Penilaian Kerusakan Lingkungan Akibat Kegiatan Penambangan Pasir

62 Tabel 10. Pendapatan Penambang Pasir Pendapatan Rp Jumlah responden orang Pendapatanhari Rp Pendapatantahun Rp 40.000 6 240.000 72.000.000 60.000 28 1.680.000 504.000.000 Total 1.920.000 576.000.000 Sumber: Data primer, diolah Maret 2011 Berdasarkan pendapatan dari 13 pengusaha pasir dan 34 penambang pasir, penilaian manfaat dari kegiatan penambangan pasir menghasilkan angka Rp.1.260.000.000tahun. Pendapatan pengusaha dan penambang pasir merupakan nilai guna langsung dari kegiatan penambangan pasir. Hasil yang didapatkan dari wawancara dan pengamatan lapang, rata-rata 25 supir mendapatkan keuntungan masing-masing Rp 40.000 per harinya sebagai pembeli pertama. Sementara itu, buruh pengangkut pasir setiap hari memperoleh pendapatan Rp 25.000. Rata-rata dalam satu hari diperoleh estimasi nilai guna tidak langsung sebesar Rp 1.625.000. Asumsi hari kerja dalam satu tahun adalah 300 hari kerja, sehingga nilai guna tidak langsung dari kegiatan penambangan pasir di Desa Sukaresmi Kecamatan Tamansari adalah sebesar Rp 487.500.000 per tahun. Nilai guna langsung dan tidak langsung dari kegiatan penambangan pasir adalah Rp 1.747.500.000 per tahun. Penambangan pasir di lokasi penelitian diperkirakan akan habis dalam 2,5 tahun, sehingga total nilai guna dari kegiatan penambangan pasir adalah sebesar Rp 4.368.750.000.

6.3.2 Penilaian Kerusakan Lingkungan Akibat Kegiatan Penambangan Pasir

Berdasarkan panduan perhitungan ganti kerugian akibat pencemaran dan atau perusakan lingkungan, terdapat dua komponen konsep ganti rugi pada kasus 63 galian C penambangan batu, pasir, dan tanah yaitu biaya kerugian ekologis dan biaya kerugian ekonomi. Biaya pada panduan perhitungan merupakan biaya yang ditetapkan pada tahun 2006, sedangkan penelitian dilakukan pada tahun 2010 sehingga tetapan biaya yang digunakan untuk menilai kerusakan lingkungan disesuaikan dengan konsep future value. F = P 1 + i n Dimana: F : biaya di tahun 2010 P : tetapan biaya di tahun 2006 i : suku bunga yang digunakan pada saat penelitian, yaitu 6,5 n : lama waktu, yaitu 4 tahun 1. Biaya kerugian ekologi a. Biaya pembuatan reservoir Lahan sawah yang dialih fungsikan menjadi pertambangan pasir mengakibatkan hilangnya fungsi tanah sebagai penyimpan air. Pembangunan tempat penyimpanan air buatan diperlukan untuk menggantikan fungsi tanah yang hilang tersebut. Menurut BPT Bogor 2005 U dalam U KLH 2006, diketahui bahwa lahan sawah dapat menyerap air sekitar 900 m 3 900 ribu liter per hektar, sehingga reservoir tersebut harus memiliki kapasitas air sebanyak 900 m 3 . Untuk menampung air sebanyak 900 m 3 diperlukan reservoir berukuran lebar 15 m, panjang 20 m, dan tinggi 3 m. Biaya pembangunan diasumsikan Rp 100.000 per m 2 pada tahun 2006, dengan konsep future value, asumsi biaya pada tahun 2010 adalah Rp 129.000. Per hektar lahan sawah yang rusak diperlukan biaya : 64 = {2 x 3 x 15 + 2 x 3 x 20 + 15 x 20} x Rp 129.000m2 = 510 m2 x Rp 129.000m2 = Rp 65.790.000 Luas lokasi penambangan adalah 1,064 ha, maka biaya pembuatannya CR adalah : = 1,064 ha x Rp 65.790.000ha = Rp 70.000.560 Biaya pemeliharaan reservoir sampai lahan terdegradasi pulih CPMR yaitu selama 100 tahun dengan biaya Rp 200.000 per tahun pada tahun 2006 atau Rp 258.000 pada tahun 2010: = Rp 258.000thha x 100 th x 1,064 ha = Rp 27.451.200 Biaya yang dibutuhkan untuk membangun dan memelihara reservoir buatan untuk 1,064 ha CFTA adalah sebesar Rp 97.451.760 b. Pengaturan tata air Biaya pengaturan tata air didasarkan kepada manfaat air untuk keperluan budi daya dalam ekosistem daerah aliran sungai DAS menurut Manan, Wasis, Rusdiana, Arifjaya, dan Purwowidodo 1999 U dalam U KLH 2006 untuk tanaman budidaya Rp 19.100.000ha Rp 24.639.000ha di tahun 2010 dan penyediaan air minum PAM Rp 3.710.000ha Rp 4.785.900ha di tahun 2010, sehingga biaya yang harus dikeluarkan untuk pengaturan tata air untuk luas 1,064 ha dengan asumsi perbaikan lahan selama 100 tahun sebesar : CTA = 1,064 ha x Rp 24.639.000 + Rp 4.785.900 x 100 th = Rp 3.130.809.400 c. Pengendalian erosi dan limpasan Biaya pengendalian erosi dan limpasan akibat konversi hutan alam menjadi hutan sekunder dan tanah terbuka dengan pembuatan teras dan rorak 65 didasarkan perhitungan Manan et al 1998 U dalam U KLH 2006 yaitu sebesar Rp 6.000.000 per ha Rp 7.740.000 per ha di tahun 2010. Biaya yang dibutuhkan untuk pengendalian erosi dan limpasan seluas 1,064 ha adalah : CEL = 1,064 ha x Rp 7.740.000ha = Rp 8.235.360 d. Pembentukan tanah Biaya pembentukan tanah menurut Hardjowigeno 1993 U dalam U KLH 2006 adalah sebesar Rp 1.500.000ha Rp 1.935.000 di tahun 2010 dikalikan dengan solum tanah yang hilang dibagi 2,5 mm. Tanah yang hilang adalah 50 cm dan luas lahan penambangan 1,064 ha. CPT = 500 mm2,5 mm x Rp 1.935.000ha x 1,064 ha = Rp 411.768.000 e. Pendaur ulang unsur hara Biaya hilangnya unsur hara menurut Wasis 2005 U dalam U KLH 2006 akibat penambangan galian C adalah Rp 9.548.000ha Rp 12.316.920 di tahun 2010, sehingga dengan lokasi penambangan seluas 1,064 ha diperlukan biaya sebesar : CUH = 1,064 ha x Rp 12.316.920ha = Rp 13.105.203 f. Pengurai limbah Biaya pengurai limbah yang hilang karena kerusakan lahan menurut perhitungan Pangestu dan Ahmad 1998 U dalam U KLH 2006 yaitu sebesar Rp 435.000 per ha Rp 561.150 di tahun 2010. Biaya yang dibutuhkan untuk pengurai limbah pada lahan seluas 1,064 ha adalah: CPL = 1,064 ha x Rp 561.150ha = Rp 597.063,6 66 g. Pemulihan biodiversity Biaya yang dibutuhkan untuk memulihkan keanekaragaman hayati yang hilang akibat rusaknya lahan karena galian C menurut perhitungan Pangestu dan Ahmad 1998 U dalam U KLH 2006 yaitu sebesar Rp 2.700.000ha Rp 3.483.000 pada tahun 2010, sehingga untuk lahan seluas 1,064 ha adalah : CPB = 1,064 ha x Rp 3.483.000ha = Rp 3.705.912 h. Sumberdaya genetik Biaya pemulihan akibat hilangnya sumberdaya genetik adalah sebesar Rp 410.000ha Pangestu dan Ahmad, 1998 U dalam U KLH, 2006, dengan konsep future value maka pada tahun 2010 biaya pemulihan adalah sebesar Rp 528.900ha, sehingga untuk lahan seluas 1,064 ha biaya yang dibutuhkan untuk memulihkan adalah sebesar: Cgen = 1,064 ha x Rp 528.900ha = Rp 562.749,6 i. Pelepasan karbon Biaya pelepasan karbon menurut Pangestu dan Ahmad 1998 U dalam U KLH 2006 adalah sebesar Rp 90.000ha Rp 116.100ha di tahun 2010. Biaya yang dibutuhkan untuk pemulihan lahan seluas 1,064 ha adalah sebagai berikut: Ccar = 1,064 ha x Rp 116.100ha = Rp 123.530,4 Total biaya ekologi CKEg : CKEg = CFTA + CTA + CEL + CPT + CUH + CPL + CPB + Cgen + Ccar = Rp 97.451.760 + Rp 3.130.809.400 + Rp 8.235.360 + Rp 411.768.000 + Rp 13.105.203 + Rp 597.063,6 + Rp 3.705.912 + Rp 562.749,6 + Rp 123.530,4 = Rp 3.666.358.978,6 67 2. Biaya Kerugian Ekonomi a. Nilai batu, pasir, dan tanah Akibat adanya pengambilan tanah dan batu di penambangan pasir Desa Sukaresmi pada lahan seluas 1,064 ha dengan kedalaman 12 m volume = 127.680 m 3 , dimana nilai batu, pasir, dan tanah sebesar Rp 50.000m 3 KLH, 2006 atau Rp 64.500m 3 pada saat penelitian, maka biaya kerusakan akibat pengambilan batu dan pasir adalah sebesar : CBPT = 127.680 m 3 x Rp 64.500m 3 = Rp 8.235.360.000 b. Umur pakai lahan Pada bagian kerusakan ekonomi ini terdapat parameter penting yang patut dipertimbangkan yaitu hilangnya umur pakai lahan selama 100 tahun. Alih fungsi lahan dari sawah menjadi penambangan pasir menyebabkan hilangnya fungsi lahan tersebut dalam memproduksi padi. Penilaian hilangnya produksi padi dilakukan untuk mengetahui berapa besar kerugian yang diterima akibat alih fungsi lahan tersebut. Luas lahan persawahan yang dikonversi menjadi panambangan pasir adalah sebesar 1,064 ha. Produksi rata-rata padi di lokasi penelitian adalah 12 tonhatahun, sehingga padi yang seharusnya dihasilkan adalah 12,768 tontahun. Harga yang diterima petani setempat adalah Rp 2.900kg padi. Sehingga perhitungan hilangnya penerimaan petani akibat hilangnya produksi padi adalah sebesar Rp 37.027.200tahun atau selama 100 tahun sebesar Rp 3.702.720.000. Estimasi biaya total kerugian ekonomi pada lokasi penambangan seluas 1,064 ha adalah Rp 11.938.080.000. 68 Dengan menjumlahkan biaya total kerugian ekologi dan biaya total kerugian ekonomi, maka diperoleh estimasi nilai kerusakan lingkungan akibat adanya kegiatan penambangan pasir seluas 1,064 ha yaitu Rp 15.604.438.978,6. Nilai ini jauh lebih besar jika dibandingkan dengan nilai guna yang diperoleh dari kegiatan penambangan pasir. Berdasarkan nilai tersebut maka diperlukan pengendalian kegiatan penambangan pasir di Desa Sukaresmi. Pengendalian tersebut seharusnya juga diterapkan di desa-desa lainnya, meskipun kegiatan penambangan yang dilakukan memiliki skala yang lebih kecil. 69

VII. SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan penelitian dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Pengusaha pasir, penambang pasir, supir truk pengangkut pasir, dan buruh pengangkut pasir merupakan pihak yang terlibat secara langsung dalam kegiatan penambangan pasir ini. Pemerintah sebagai pihak luar tidak banyak terlibat dalam kegiatan penambangan dikarenakan kegiatan tersebut bersifat ilegaltidak memiliki izin. 2. Lahan sawah yang dikonversikan menjadi lahan untuk kegiatan penambangan pasir mengakibatkan hilangnya fungsi dan multifungsi lahan sawah. Manfaat yang hilang meliputi aspek ekonomi, lingkungan, dan sosial-budaya. 3. Total nilai guna dari kegiatan penambangan pasir adalah sebesar Rp 4.368.750.000. Terdiri dari nilai guna langsung pendapatan pengusaha pasir dan penambanga pasir dan nilai guna tidak langsung pendapatan supir dan buruh pengangkut pasir. 4. Nilai kerusakan lingkungan akibat kegiatan penambangan pasir diperoleh dari nilai kerugian ekologi dan nilai kerugian ekonomi, termasuk hilangnya produksi padi yaitu sebesar Rp 15.604.438.978,6.