REALISASI KETIDAKSANTUNAN BERBAHASA DALAM KOMUNIKASI REMAJA DI DAERAH TELUK BETUNG BARAT BANDAR LAMPUNG DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA
REALISASI K
KOMUNIKASI R
BANDAR L
PEM
Sebagai
Prog
Fakultas Kegu
FAKULT
SI KETIDAKSANTUNAN BERBAHASA D
SI REMAJA DI DAERAH TELUK BETUN
LAMPUNG DAN IMPLIKASINYA TERH
EMBELAJARAN BAHASA INDONESIA
Oleh
MARYANI
Skripsi
agai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar
SARJANA PENDIDIKAN
Pada
rogram Studi Bahasa dan Sastra Indonesia
Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni
eguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas L
LTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIK
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2014
DALAM
NG BARAT
HADAP
elar
a
as Lampung
(2)
ABSTRAK
REALISASI KETIDAKSANTUNAN BERBAHASA DALAM
KOMUNIKASI REMAJA DI DAERAH TELUK BETUNG BARAT
BANDAR LAMPUNG DAN IMPLIKASINYA TERHADAP
PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA
Oleh
Maryani
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui tuturan yang tidak santun yang
digunakan oleh remaja. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan realisasi
ketidaksantunan berbahasa oleh remaja di daerah Teluk Betung Barat Bandar
Lampung dan implikasinya terhadap pembelajaran bahasa Indonesia. Penelitian
ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Sumber data dalam penelitian ini
adalah remaja di desa Sinar Mulya daerah Teluk Betung Barat. Data yang menjadi
kajian dalam penelitian ini berupa tuturan yang tidak santun yang digunakan oleh
remaja.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa realisasi ketidaksantunan berbahasa dalam
komunikasi remaja di daerah Teluk Betung Barat banyak dilakukan saat penutur
sedang marah, atau tidak suka dengan lawan tutur. Selain itu, hubungan kedekatan
antara penutur dengan mitra tutur juga ikut memengaruhi terjadinya
ketidaksantunan di dalam komunikasi remaja di daerah Teluk Betung Barat. Hal
lain yang menyebabkan terjadinya ketidaksantunan berbahasa adalah penutur
tidak memerhatikan situasi dan kondisi mitra tutur saat melakukan tuturan.
Pelanggaran prinsip kesantunan yang paling banyak terjadi pada tuturan adalah
maksim pujian, yang berjumlah lima belas data. Maksim kedermawanan berada di
urutan kedua yang berjumlah tujuh data. Sedangkan di urutan ketiga yakni
maksim kesepakatan dan maksim simpati dengan jumlah enam data. Dan di
urutan terakhir yaitu maksim kerendahan hati dengan jumlah empat data. Total
(3)
Maryani
keseluruhan data berjumlah tiga puluh delapan data. Pelanggaran prinsip
kesantunan pada tuturan remaja didominasi oleh maksim pujian. Maksim pujian
diungkapkan dengan tuturan ekspresif dan asertif. Maksim ini menggariskan
setiap pertuturan untuk meminimalkan ketidakhormatan pada mitra tutur dan
memaksimalkan rasa hormat pada mitra tutur. Namun, dalam data-data yang
sudah terkumpul dan telah dianalisis yang terjadi adalah sebaliknya, yaitu
memaksimalkan ketidakhormatan pada mitra tutur, atau meminimalkan rasa
hormat pada mitra tutur. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan tingkat
ketidaksantunan berbahasa di Daerah Teluk Betung Barat dapat dikatakan cukup
tinggi karena dari hasil penelitian banyak ditemukan tuturan yang melanggar
prinsip kesantunan Leech.
(4)
(5)
(6)
(7)
DAFTAR ISI
ABSTRAK ...
i
HALAMAN JUDUL ... ...
iii
HALAMAN PERSETUJUAN ... ...
iv
HALAMAN PENGESAHAN ...
v
SURAT PERNYATAAN ...
vi
RIWAYAT HIDUP...
vii
MOTO ...
viii
PERSEMBAHAN ...
ix
SANWACANA ...
x
DAFTAR ISI ...
xiii
DAFTAR TABEL ...
xv
DAFTAR LAMPIRAN ...
xvi
DAFTAR SINGKATAN ...
xvii
BAB I PENDAHULUAN ...
1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 5
1.3 Tujuan Penelitian ... 6
1.4 Manfaat Penelitian ... 7
1.5 Ruang Lingkup Penelitian ... ... 7
BAB II LANDASAN TEORI ...
8
2.1 Peristiwa Tutur ... 8
2.2 Hakikat Tindak Tutur ... 8
2.3 Jenis-jenis Tindak Tutur ... 10
2.3.1 Tindak Lokusi ... 10
2.3.2 Tindak Ilokusi ... 11
2.3.3 Tindak Perlokusi ... 13
2.4 Tindak Tutur Langsung dan Tindak Tutur Tidak Langsung ... 15
2.4.1 Tindak Tutur Literal dan Tindak Tutur Tidak Literal ... 17
2.4.2 Tindak Tutur Langsung Literal ... 18
2.4.3 Tindak Tutur Tidak Langsung Literal ... 18
2.4.4 Tindak Tutur Langsung Tidak Literal ... 20
2.4.5 Tindak Tutur Tidak Langsung Tidak Literal ... 20
2.5 Pemanfaatan Konteks dalam Tindak Tutur ... 21
2.5.1 Jenis-jenis Konteks ... 23
2.5.2 Unsur-unsur Konteks ... 28
2.6 Prinsip-prinsip Percakapan ... 30
2.6.1 Prinsip Sopan Santun ... 31
2.6.1.1 Maksim Kebijaksanaan ... 33
2.6.1.2 Maksim Kedermawanan ... 34
(8)
xiv
2.6.1.4 Maksim Kerendahan Hati ... 36
2.6.1.5 Maksim Kesepakatan ... 36
2.6.1.6 Maksim Simpati ... 37
2.6.2 Skala Kesantunan ... 38
2.6.2.1 Skala Kesantunana Leech ... 38
2.6.2.2 Skala Kesantunan Brown dan Levinson ... 40
2.6.2.3 Skala Kesantunan Robin Lakoff ... 41
2.7 Aspek Kesantunan Berbahasa ... 43
2.7.1 Aspek Kebahasaan sebagai Penanda Kesantunan ... 43
2.7.2 Aspek NonKebahasaan sebagai Penanda Kesantunan ... 45
2.8 Faktor Penyebab Ketidaksantunan ... 46
2.9 Pembelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Menengah Pertama ... 48
BAB II METODE PENELITIAN ...
50
3.1 Desain Penelitian ... 50
3.2 Sumber Data... 51
3.3 Teknik Pengumpulan Data ... 52
3.4 Teknik Analisis Data ... 53
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ...
54
4.1 Hasil Penelitian ... 56
4.2 Pembahasan ...
56
4.2.1 Pelanggaran Maksim Kebijaksanaan ... 57
4.2.2 Pelanggaran Maksim Kedermawanan ... 57
4.2.3 Pelanggaran Maksim Pujian ... 61
4.2.4 Pelanggaran Maksim Kerendahan Hati ... 64
4.2.5 Pelanggaran Maksim Kesepakatan ... 67
4.2.6 Pelanggaran Maksim Simpati ... 70
4.2.7 Faktor Penyebab Ketidaksantunan ... 73
4.2.7.1 Kritik Secara Langsung dengan Kata-kata Kasar ... 73
4.2.7.2 Dorongan Rasa Emosi Penutur ... 74
4.2.7.3 Sengaja Memojokkan Mitra Tutur ... 75
4.2.8 Skala Kesantunan Leech ... 76
4.2.8.1 Skala Kerugian dan Keuntungan ... 77
4.2.8.2 Skala Pilihan ... 77
4.2.8.3 Skala Ketidaklangsungan ... 79
4.2.8.4 Skala Keotoritasan ... 80
4.2.8.5 Skala Jarak Sosial ... 81
4.2.9 Implikasi Hasil Penelitian terhadap Pembelajaran Bahasa Indonesia di
Sekolah Menengah Pertama ... 82
BAB V SIMPULAN DAN SARAN ...
88
5.1 Simpulan ... 88
5.2 Saran ... 89
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
(9)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Bahasa adalah alat komunikasi atau alat interaksi yang digunakan oleh manusia
untuk menyampaikan maksud, ide, dan gagasan yang dimilikinya serta untuk
bersosialisasi di masyarakat. Bahasa memiliki peran penting bagi kehidupan
manusia karena bahasa tidak hanya dipergunakan di dalam kehidupan sehari-hari,
tetapi bahasa juga diperlukan untuk menjalankan aktivitas hidup manusia, seperti:
penelitian, penyuluhan, pemberitaan dan
untuk menyampaikan pikiran,
pandangan, serta perasaan. Bidang-bidang seperti ilmu pengetahuan, hukum,
kedokteran, politik, pendidikan juga memerlukan peran bahasa karena hanya
dengan bahasa manusia mampu mengomunikasikan segala hal. Oleh karena itu,
tidaklah berlebihan jika bahasa disebut sebagai alat komunikasi terpenting bagi
manusia (Wijana, 2009:1).
Pemakaian bahasa sebagai alat komunikasi harus mampu menampung perasaan
dan pikiran pemakainya, serta mampu menimbulkan adanya saling mengerti
antara penutur dan pendengarnya agar tercipta kerja sama yang baik dan
hubungan sosial penutur dengan masyarakat pun tetap terjaga. Selain sebagai alat
komunikasi, bahasa juga merupakan cermin kepribadian seseorang. Artinya, baik
(10)
2
buruknya seseorang dapat dilihat dari bahasa yang digunakan dan perilaku yang
diperlihatkan. Bahasa dan perilaku seseorang dapat dilihat menggunakan tolok
ukur kesantunan pemakaian bahasa (Pranoto, 2009:3). Pemakaian bahasa yang
sopan, santun, teratur, lugas dan jelas mencerminkan pribadi penuturnya yang
berbudi. Sebaliknya, pemakaian bahasa yang kasar, memaki, mengejek,
menghujat, melecehkan akan mencerminkan pribadi yang tidak berbudi.
Kesantunan berbahasa adalah salah satu aspek yang perlu diperhatikan dalam
komunikasi. Santun tidaknya suatu tuturan sangat bergantung pada ukuran
kesantunan masyarakat penutur bahasa yang dipakai. Tuturan dalam bahasa
Indonesia secara umum sudah dianggap santun jika penutur menggunakan
kata-kata yang santun, tuturannya tidak mengandung ejekan secara langsung, tidak
memerintah secara langsung, serta menghormati orang lain. Kesantunan
berbahasa, khususnya dalam komunikasi verbal dapat dilihat dari beberapa
indikator. Salah satunya adalah maksim-maksim kesantunan. Semakin
terpenuhinya maksim-maksim kesantunan suatu tuturan, semakin santun tuturan
tersebut.
Kesantunan berbahasa memiliki peran yang sangat penting dalam pembentukan
sikap dan karakter seseorang terutama pada usia remaja, yang sedang melakukan
proses pencarian jati diri dan membentuk pola sikap dan karakternya. Kesantunan
berbahasa dapat dijadikan barometer dari kesantunan sikap secara keseluruhan
serta kepribadian dan budi pekerti seseorang.
(11)
3
Dewasa ini, masyarakat sedang mengalami perubahan menuju era globalisasi dan
teknologi. Faktor bahasa sebagai media penyampaian dalam komunikasi
mengalami perubahan dalam penggunaannya. Setiap perubahan masyarakat
melahirkan konsekuensi-konsekuensi tertentu yang berkaitan dengan nilai dan
moral, termasuk pergeseran bahasa dari bahasa santun menuju kepada bahasa
yang tidak santun.
Ketidaksantunan berbahasa merupakan bentuk pertentangan dari kesantunan
berbahasa. Jika kesantunan berbahasa berkaitan dengan penggunaan bahasa yang
baik dan sesuai dengan tatakrama, maka ketidaksantunan berbahasa berkaitan
dengan penggunaan bahasa yang tidak baik dan tidak sesuai dengan tatakrama.
Ketidaksantunan berbahasa banyak ditemukan dalam kehidupan sehari-hari, baik
secara lisan maupun tulisan.
Masyarakat terutama remaja saat ini lebih suka menggunakan bahasa yang
cenderung tidak santun.
Remaja khususnya sekarang semakin berani bersuara, dan
senantiasa merasa apapun yang diujarkan itu menunjukkan keremajaan mereka.
Sikap pemalu dan berbudi bahasa semakin menipis dalam jiwa anak remaja
sehingga menyebabkan bahasa yang digunakan langsung tidak sopan.
Padahal
remaja adalah generasi penerus bangsa, masa depan bangsa dan negara adalah
tanggung jawab remaja. Jika remajanya berkualitas maka harapan akan masa
depan bangsa pun menjadi positif tetapi sebaliknya jika remajanya saja tidak
berkualitas bagaimana nasib bangsa ke depannya, sehingga keterampilan
berbahasa, terutama kemampuan untuk berbahasa secara santun mutlak harus
mereka miliki.
(12)
4
Berdasarkan observasi semula, ketika peneliti berkunjung ke rumah teman yang
berada di desa Sinar Mulya Kel. Keteguhan Teluk Betung Barat, peneliti
melihat bahwa remaja di sana masih sering menggunakan kata-kata yang kurang
santun ketika melakukan percakapan bahkan terkadang menimbulkan keributan
kecil. Salah satu fenomena kebahasaan yang penulis dapatkan adalah tuturan
yang diucapkan oleh remaja usia 14 tahun yang masih duduk di bangku SMP
dengan teman sebayanya. Ketika itu mereka hendak pergi bermain menggunakan
sepeda motor, tetapi saat dian menyuruh indah naik, dian dengan maksud
bercanda menjalankan motornya saat indah hendak naik, berikut contoh
tuturannya:
Dian
: Ayuk, naek! (menjalankan motornya pelan).
Indah : Tolol sih, kalo gua jatuh gimana. Emang bapak elo yang
mau ngobatin gua. (menendang ban motor dian)
Fenomena kebahasaan di atas adalah penggalan beberapa ketidaksantunan
berbahasa yang diucapkan oleh remaja di desa Sinar Mulya Kel. Keteguhan Teluk
Betung Barat. Banyak hal yang membuat kata-kata kasar keluar dari pemakainya.
Sarkasme itu sendiri kadang bisa memancing kemarahan orang yang dituju, tapi
kadang juga tidak berpengaruh karena itu sudah menjadi hal yang lumrah untuk
keduanya.
Dalam kondisi seperti ini, pendidikan di sekolah berperan penting dalam
mengembangkan kemampuan etika berbahasa santun agar siswa dapat
berkomunikasi dengan baik. Pembelajaran bahasa Indonesia memiliki peranan
yang besar dalam membentuk sikap siswa, terutama dalam hal kesantunan
berbahasa. Maka dari itu dalam pembelajaran bahasa Indonesia aspek kesantunan
(13)
5
berbahasa harus diperhatikan. Anak-anak perlu dididik dan dibina untuk
berbahasa santun agar berbahasa santun tidak hilang dan terus membudaya serta
tidak lahir generasi penerus yang tidak beretika dan kasar.
Penulis memilih analisis ketidaksantunan berbahasa pada tuturan remaja
berdasarkan pertimbangan bahwa ragam bahasa yang kasar kerap kali menjadi
alat komunikasi dalam pergaulan sebagian masyarakat Indonesia, baik kalangan
yang berpendidikan maupun yang tidak berpendidikan.
Penulis memilih penelitian di daerah Teluk Betung Barat Bandar Lampung
tepatnya di desa Sinar Mulya Kel. Keteguhan dikarenakan penulis sering kali
mendengar remaja di daerah tersebut sering menggunakan bahasa yang tidak
santun dan terdengar kasar saat berkomunikasi sehingga penulis merasa tertarik
untuk meneliti tentang bagaimana Realisasi Ketidaksantunan Berbahasa dalam
Komunikasi Remaja di daerah Teluk Betung Barat Bandar Lampung dan
Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa Indonesia .
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah dalam penelitian adalah
Bagaimanakah realisasi ketidaksantunan berbahasa remaja di lingkungan daerah
Teluk Betung Barat Bandar Lampung dan implikasinya terhadap pembelajaran
bahasa Indonesia , yang difokuskan, sebagai berikut.
1. bagaimana pilihan kata dalam tuturan yang mengandung ketidaksantunan yang
digunakan oleh remaja di lingkungan daerah Teluk Betung Barat Bandar
Lampung?
(14)
6
2. bagaimana pelanggaran prinsip kesantunan yang terjadi pada percakapan
remaja di lingkungan daerah Teluk Betung Barat Bandar Lampung?
3. bagaimana faktor penyebab terjadinya tuturan yang tidak santun pada tuturan
remaja di lingkungan daerah Teluk Betung Barat Bandar Lampung?
4. faktor apa sajakah yang memengaruhi terjadinya ketidaksantunan berbahasa
dalam komunikasi remaja di lingkungan daerah Teluk Betung Barat Bandar
Lampung?
1.3 Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah yang telah dikemukakan, penelitian ini bertujuan
untuk mendeskripsikan ketidaksantunan berbahasa oleh remaja di daerah Teluk
Betung Barat Bandar Lampung dan implikasinya terhadap pembelajaran bahasa
Indonesia, difokuskan pada :
1. mendeskripsikan pilihan kata dalam tuturan yang mengandung ketidaksantunan
yang digunakan oleh remaja di lingkungan daerah Teluk Betung Barat Bandar
Lampung.
2. mendeskripsikan pelanggaran prinsip kesantunan yang terjadi pada percakapan
remaja di lingkungan daerah Teluk Betung Barat Bandar Lampung.
3. mendeskripsikan faktor penyebab terjadinya tuturan yang tidak santun pada
tuturan remaja di lingkungan daerah Teluk Betung Barat Bandar Lampung.
4. mendeskripsikan faktor yang memengaruhi terjadinya ketidaksantunan
berbahasa dalam komunikasi remaja di lingkungan daerah Teluk Betung Barat
Bandar Lampung.
(15)
7
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan memiliki manfaat-manfaat yang dapat diambil baik
secara teoritis maupun secara praktis.
1. Secara teoretis penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam
khasanah kebahasaan khususnya dalam ranah studi pragmatik dan dapat
menjadi acuan bagi penelitian-penelitian sejenis secara mendalam.
2. Secara praktis diharapkan penelitian ini dapat memberikan sumbangan
pengetahuan bagi para pendidik agar dalam membelajarkan peserta didik tidak
hanya sekadar mengajarkan materi pelajaran tetapi juga mengajarkan tentang
nilai-nilai kesantunan berbahasa serta dapat membimbing dan mengarahkan
siswa untuk dapat menerapkan prinsip sopan santun dalam berkomunikasi
sehari-hari.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini meliputi hal-hal sebagai berikut.
1. Subjek penelitian ini adalah remaja di desa Sinar Mulya Kel. Keteguhan Teluk
Betung Barat.
2. Objek penelitian ini adalah tuturan yang tidak santun yang dituturkan oleh
remaja di desa Sinar Mulya Kel. Keteguhan Teluk Betung Barat dalam
berkomunikasi.
3. Lokasi penelitian ini bertempat di desa Sinar Mulya Kel. Keteguhan Teluk
Betung Barat, Bandar Lampung Provinsi Lampung.
(16)
✁ ✂✂
✄✁☎✆✁
SAN TEORI
2.1 Peristiwa Tutur
Chaer (1995: 61) mengemukakan bahwa peristiwa tutur (sp
ee
ch event
) adalah
terjadinya atau berlangsungnya interaksi linguistik dalam satu bentuk ujaran atau
lebih yang melibatkan dua pihak, yaitu penutur dan lawan tutur, dengan satu
pokok tuturan, di dalam waktu, tempat, dan situasi tertentu. Jadi, interaksi yang
berlangsung antara pedagang dan pembeli di pasar pada waktu tertentu dengan
menggunakan bahasa sebagai alat komunikasinya adalah sebuah peristiwa tutur.
Jadi, suatu percakapan yang dapat disebut sebagai peristiwa tutur adalah jika ada
topik atau pokok pembicaraan, tujuan, dilakukan dengan unsur kesengajaan, dan
menggunakan satu ragam bahasa.
2.2 Hakikat Tindak Tutur
Konsep mengenai tindak tutur (Speech Acts)
pertama kali dikemukakan oleh
Austin dalam buku yang berjudul
How to Do Things with Word
tahun 1962.
Austin dalam Rusminto (2009: 74) mengemukakan bahwa aktivitas bertutur tidak
hanya terbatas pada penuturan sesuatu, tetapi juga melakukan sesuatu atas dasar
tuturan itu. Pendapat Austin ini didukung oleh Searle (2001) dengan mengatakan
(17)
✝
✞✟✠ ✡✟ ☛ ☞✌
t t
✍✎ ✏✍✑✌✒ ✏✓ ✔☛ ☞✌ ✏✟ ✕✌ ✞☛✏✟ ☞ ✒✟✠ ✏✟ ✒✌ ✔✟t,
✔✍ ✒✟✌ ☞ ✏✟ ☞ ✌ ☞✖✟ ✏✟ ☞t
t
✍✎✍ ☞✗t
u
,
✕✍✘✍✎✌t
✔✍ ✔ ✞☛ ✟t
✘✍✎ ☞✟y
✟✟ ☞✙t
✘✍✎✟ ☞t
✟✟ ☞✙y
✘✍✎✌ ☞✗✟✠,
✖ ✟ ☞✘✍✎ ✔✌ ☞✗✟✟ ☞✚✛✟ ✒✌ ✔✟
t
✔✍ ☞☛ ✎u
t t
✟✟t
✞✟✠ ✟ ✕✟t
✎✟✖✌ ✕✌✓☞✟ ✒ ✖✌ ✞✟✜✌ ✔✍ ☞✢✟✖ ✌t
✌✜✟ ✢✍ ☞✌s
✏✟ ✒✌ ✔✟t, y
✟✌tu
(
✣)
✏✟ ✒✌ ✔✟t
✖✍ ✏ ✒✟✎✟✌✤t
, (
✥)
✏✟ ✒✌ ✔✟t
✌ ☞✗✍✎✓✜✟t
✌✤,
✖✟ ☞(
✦)
✏✟ ✒✌ ✔✟t
✌ ✔✘✍✎✟t
✌✤.
✧✍ ✔ ✞✟✜✌✟ ☞ ✏✟ ✒✌ ✔✟
t
✌ ☞✌ ✞✍✎✖ ✟ ✕✟ ✎ ✏✟ ☞ ✞✍ ☞✗☛ ✏ ✏✟ ✒✌ ✔✟t
✌tu
✕✍✑✟✎✟t
✍✎ ✒✍✘✟s.
★✎t
✌ ☞✟y
,
✏✟ ✒✌ ✔✟t
✖✌ ✒✌✠ ✟t
✟t
✟u
✖ ✌✘✟ ☞✖✟ ☞✜ ✕✍ ✞✟✜✟✌ ✕✟tu
✞✍ ☞✗☛✏ ✏✍☛✠ ✟ ☞u
t
t
✍✎✌ ☞✜✜✌t
.
✛✟ ✒✌ ✔✟t
✖ ✍ ✏✒✟✎✟✌✤t
✟✖ ✟ ✒✟✠ ✏✟ ✒✌ ✔✟t y
✟ ☞✜ ✌✕✌ ☞✟y
✠ ✟ ☞✟y
✔✍ ✔✌ ☞✗✟ ✘✍ ☞✖ ✍ ☞✜✟✎ ✟t
✟u
y
✟ ☞✜✔✍ ☞✖ ✍ ☞✜✟✎ ✏✟ ✒✌ ✔✟
t
✌tu
u
☞✗☛ ✏ ✔✍ ☞✟✎☛✠ ✘✍✎✠ ✟t
✌✟ ☞ ✕✟✢✟, t
✌✖ ✟ ✏☛✕✟✠ ✔✍ ✒✟ ✏☛✏✟ ☞✟✘✟ -✟✘✟,
✕✍ ✞✟ ✞ ✔✟ ✏ ✕☛ ✖ ✕✌ ✘✍ ☞☛ ✗☛ ✎ ✠✟ ☞✟y
☛ ☞✗☛ ✏ ✔✍ ✔ ✞✍✎✌✟✠ ☛ ✏✟ ☞t
✕✟✢✟.
✛✟ ✒✌ ✔✟t
✌ ☞✗✍✎✓✜✟t
✌✤ ✟✖ ✟ ✒✟✠ ✏✟ ✒✌ ✔✟t y
✟ ☞✜ ✌ ✕✌ ☞✟y
✔✍ ✔✌ ☞✗✟ ✟✜✟✎ ✘✍ ☞✖ ✍ ☞✜✟✎ ✟t
✟u
✓✎ ✟ ☞✜y
✟ ☞✜ ✔✍ ☞✖ ✍ ☞✜✟✎ ✏✟ ✒✌ ✔✟t t
✍✎s
✍ ✞☛ ✗ ☛☞✗☛✏ ✔✍ ✔ ✞✍✎✌ ✢✟✟ ✞✟ ☞w
✕✍✑✟✎ ✟ ✒✌ ✕✟ ☞✚ ✩✟✖ ✌,
✟ ☞✜y
✖ ✌ ✔✌ ☞✗✟ ✞☛✏✟ ☞ ✠✟ ☞✟y
✕✍ ✏✟✖ ✟✎ ✘✍✎✠ ✟✌✟ ☞✙t
✔✍ ✒✟✌ ☞ ✏✟ ☞ ✢✜✟u
✢✟✟ ✞✟ ☞✚w
✛✟ ✒✌ ✔✟t
✌ ✔✘✍✎✟✌✤t
✟✖ ✟ ✒✟✠ ✏✟ ✒✌ ✔✟t y
✟ ☞✜ ✌s
✌ ☞✟y
✔✍ ✔✌ ☞✗✟ ✘✍ ☞✖✍ ☞✜✟✎ ✟✟t
u
y
✟☞✜ ✔✍ ☞✖ ✍ ☞✜✟✎ ✏✟ ✒✌ ✔✟t
✌tu
✔✍ ✔ ✞✍✎✌t
✟ ☞✜ ✜✟✘✟ ☞✞✍✎☛✘✟t
✌ ☞✖ ✟ ✏✟ ☞✟✟t
u
✘✍✎ ✞☛✟✟ ☞t
✟ ☞✜y
✖ ✌ ✔✌ ☞✗✟.
★✌ ☞
u
st
✔✍ ✔ ✞✍✖ ✟ ✏✟ ☞ ✏✟ ✒✌ ✔✟t
✖ ✍ ✏✒✟✎ ✟✌✤t
✔✍ ☞✢✟✖ ✌ ✏✟ ✒✌ ✔✟t
✏✓☞✕✗✟✌✤t
✖✟ ☞ ✏✟ ✒✌ ✔✟t
✘✍✎✤✓ ✎ ✔✟✌✤t
.
✛✟ ✒✌ ✔✟t
✏✓☞✕✗✟✌✤t
✟✖ ✟ ✒✟✠ ✏✟ ✒✌ ✔✟t y
✟☞✜ ✞✍✎ ✌ ✕✌ ✘✍✎ ☞ ✟y
✟✟ ☞t
✞✍ ✒✟ ✏✟ ✕✍✠✌ ☞✜✜✟ ☛✢✟✎ ✟ ☞ ✏✓☞✕✗✟t
✌✤ ✖ ✟✘✟t
✖✌ ✏✟✟ ✏✟ ☞t
✞✍ ☞✟✎ ✟✟t
u
✕✟ ✒✟✠✚ ✪✍✖ ✟ ☞✜✏✟ ☞ ✏✟ ✒✌ ✔✟t
✘✍✎✤✓ ✎ ✔✟✌✤t
✔✍✎ ☛✘✟ ✏✟ ☞ ✏✟ ✒✌ ✔✟t y
✟ ☞✜ ✞✍✎ ✌ ✕✌t
✌ ☞✖✟ ✏✟ ☞✙ ☛✢✟✎ ✟ ☞ ✘✍✎✤✓ ✎ ✔✟t
✌✤t
✌✖ ✟ ✏ ✔✍ ☞✖ ✍ ✕✏✎✌✘✕✌ ✏✟ ☞✞✍ ☞✟✎✟✟t
u
✕✟ ✒✟✠(
★✌ ☞u
st
(Chaer
: 51)).
Selanjutnya searle dalam Rusminto (2009: 74) mengemukakan bahwa tindak tutur
adalah teori yang mencoba mengaji makna bahasa berdasarkan pada hubungan
tuturan dengan tindakan yang dilakukan oleh penutur. Kajian tersebut didasarkan
pada pandangan bahwa (1) tuturan merupakan sarana utama komunikasi dan (2)
(18)
✫✬
tu
t
✭✮ ✯✰✱ ✯✮
u
✲✳ ✲✴✵✴✶ ✴ ✲ ✯✶✰ ✯✷✴✶✯t
✳ ✵✯✸✹ ✴✮ ✳ ✯✵✴✺ ✯✺ ✴✶ ✯✰✹ ✯✵✯✲t
✴✰✹ ✯✶ ✯✰ ✶✻ ✲✭ ✰✴✶ ✯✺ ✴ ✰y
✯t
✯,
✲✴✺ ✯✵✰✯y
✲✳ ✲✱ ✭✯t
✼✳✮✰✯y
t
✯✯✰✽✼✳✮t
✯✰y
✯✯✰✽✼✳✮ ✴✰✾✯✸✽ ✯t
✯u
✼✳✮ ✲ ✴✰✾✯✯ ✰✿❀✳ ✰❁✯✰ ✹ ✳ ✲✴✶ ✴✯✰✽
t
✴✰✹✯✶✯✰ ✲✳✮ ✭✼✯✶ ✯✰ ✶✯✮✯✶✾✳✮ ✴st
✴✶ ✭✮ ✯✰tu
t
✹ ✯✵✯✲ ✶ ✻✲ ✭✰ ✴✶✯✺ ✴.
❀✴✯su
✲✺ ✴✶✯✰✱ ✯✸ ❂✯✹✯✵✯✲✲✳✮✳ ✯✵✴✺ ✯✺ ✴✶ ✯✰tu
t
✭✮ ✯✰✯t
✯u
w
✯❃✯✰ ✯,
✺ ✳✺✳ ✻✮ ✯✰❁ ✱✳✮ ✱ ✭✯t
✺ ✳✺ ✭✯tu
, y
✯✴tu
✼✳✮❄✻✮✲✯✰✺ ✴t
✴✰✹✯✶✯✰✿ ❅✭✾✭✮ ✯✰ ✯✰❁y
✱✳✮ ✭✼✯ ✼✳✮❄✻✮✲✯✰✺ ✴t
✴✰✹✯✶✯✰ ✴✰ ✴ ✹ ✴✺ ✳ ✱✭✾ ✹✳ ✰❁✯✰tu
t
✭✮✯✰ ✼✳✮❄✻✮ ✲ ✯t
✴❄, y
✯✶ ✰✴tu
t
✭✮✯✰y
✯✰❁ ✹✴✲✯✶✺ ✭✹ ✶ ✯✰ ✭✰✾✭✶ ✲✳ ✵✯✶✭ ✶✯✰✺ ✭✯tu
t
✴✰✹ ✯✶ ✯✰✿❆❇❈❉ ❊
n
is
-jenis Tindak Tutur
❋
u
st
✴✰ ✹ ✯✵✯✲ ●✭✺ ✲ ✴✰✾✻(
❍✬ ✬ ■❏ ❑▲76) mengklasifikasikan tindak tutur atas tiga
klasifikasi, yaitu tindak lokusi, tindak ilokusi, dan tindak perlokusi. Berikut ini
penjelasan mengenai ketiga tindak tutur tersebut.
2.3.1 Tindak Lokusi
Tindak lokusi adalah tindak tutur yang menyatakan sesuatu dalam arti berkata ,
atau tindak tutur dalam bentuk kalimat yang bermakna dan dapat dipahami. Searle
dalam Chaer (1995: 69) menyebut tindak tutur lokusi ini dengan istilah tindak
bahasa proposisi karena tindak tutur ini hanya berkaitan dengan makna. Oleh
karena itu, yang diutamakan dalam tindak lokusi adalah isi tuturan yang
diungkapkan oleh penutur. Wujud tindak lokusi adalah tuturan-tuturan yang berisi
pernyataan atau informasi tentang sesuatu. Leech menyatakan bahwa tindak
bahasa ini lebih kurang dapat disamakan dengan sebuah tuturan kalimat yang
mengandung makna dan acuan (Leech(Rusminto, 2009: 75)). Contoh tindak tutur
lokusi adalah sebagai berikut.
(19)
▼ ▼
1. Anak itu rajin.
2. Pendidikan itu sangat penting.
◆❖P❖ ◗❘❙ ❚ ❯ ❘❘
t
s
❱❲ ◗❖ ❳❘ ❨❘❙ ❩❬❙ P❬ ❭t
❯❙ ❚❘ ❨ ❖t
tu
◗ ❪❬ ❨❖ ❫ ❯.
◆❖P❖◗❘❙(
▼)
❚❘❙(
❴)
❱❲ ❱❯❪ ❯❨ ❯❨❲ ❫❘ ❱❘❘❙❵❘ ❯y
tu
❫❘ ❱❘-
❫❘ ❱❘ ❛❲ ◗❖❜❖ ❘❙t
u
❙P❖❨ ❱❲❙❝❯❙❞❬ ◗ ❱❘ ❫ ❯❨❘❙ ❫❲ ❫❖❘tu
.
◆ ❯❚ ❘ ❨❘❚ ❘ ❱❘ ❨ ❫❖❚❪❘ ❯❙❚ ❘❪❘ ❱tu
❖◗❘❙t
❯❙❯,
❱❯❫❘❪❙❘y
❱❲ ❱❯❙ P❘❪❘❘❙w
❖◗❙tu
t
❘y
❖ ❙P❖❨ ❱❲❪❘ ❨❖❨❘❙❫❲ ❫❖ ❘tu
❘❘t
u
❖❙ P❖❨❱❲ ❱ ❳❲❙❝❘ ◗❖❭❯❪❘w
❘❙P❖ ◗❙u
t
❘y
.
❡❢❣ ❢ ❡ ❤
in
dak Ilokusi
✐❖ ❫ ❱ ❯❙P❬
(
❴❥ ❥❦❧ ♠ ♥)
❱❲❙❝❲ ❱❖ ❨❘ ❨❘❙ ❛❘ ❭♦❘t
❯❙ ❚ ❘ ❨ ❪❬❨❖❫❯ ❘❚ ❘❪❘ ❭t
❯❙ ❚❘❨ ❖◗tu
t
y
❘❙❝ ❱❲❙❝❘❙ ❚❖ ❙❝ ❚ ❘❘
y
❖❙ P❖ ❨ ❱❲❪❘ ❨❖❨❘❙t
❯❙❚ ❘ ❨❘❙ ❲ ◗t
t
❲❙Pu
❚❘❪❘ ❱ ❭❖❛❖ ❙❝❘❙ ❙❘y
❚ ❲❙❝❘❙ ❱❲❙❝❘❘ ❨❘❙t
❫❲s
❖❘tu
(
an act of doing something in saying something).
◆ ❯❙ ❚❘ ❨❘❙ ❲ ◗ ❫❲❛❖Pt
❫❲ ❳❲ ◗t
❯ ❜❘❙❜❯, t
❘❘ ◗❘❙❵w
❘t
❘u
❳❲ ◗❘❙t
❘❘❙y
❘❙❝y
t
❲ ◗❖ ❙❝❨❘ ❳ ❚ ❘❪❘ ❱tu
t
❖◗❘❙♣ q❬ ❬ ◗❲ ❚ ❘❪❘ ❱✐❖❫❱ ❯❙P❬
(
❴❥❥ ❦❧ ♠ ♥)
❱❲❙❝❲ ❱❖ ❨❘ ❨❘❙❛❘ ❭❘w
t
❯❙ ❚❘ ❨ ❯❪❬ ❨❖ ❫ ❯ ❱❲ ◗❖ ❳❘ ❨❘❙t
❯❙❚ ❘ ❨tu
t
❖ ◗y
❘❙❝ ❫❲ ❫❖ ❙❝❝❖❭❙❘y
❘❘t
u
y
❘❙❝ ❙❘y
❘t
❘❙❝y
❚❯❳❲ ◗❞❬ ◗❱❘❙ ❫ ❯❨❘❙ ❬❪❲ ❭tu
❖◗❘❙❵t
❫❲ ❳❲ ◗t
❯❜❘❙❜❯,
❫❘ ❱❛u
t
❘❙❵❚❘❙ ❳❲ ◗❯❙❝❘❘❙♣t
r❘❪❘ ❱❭❘❪ ❯❙❯❚ ❯❛❯❩❘ ◗❘ ❨❘❙❱❲❙❝❲❙ ❘ ❯❱❘ ❨❫❖❚❵❞❖ ❙❝❫❯,
❚ ❘❙❚ ❘❘y
❖❜❘ ◗❘❙❘❙❝y
❚❯❱❘ ❨ ❫❖ ❚♣Chaer (1995: 69) mengatakan bahwa tindak tutur ilokusi adalah tindak tutur yang
biasanya diidentifikasikan dengan kalimat
performatif
yang
eksplisit.
Mengidentifikasi tindak ilokusi lebih sulit dibandingkan dengan tindak lokusi,
sebab pengidentifikasian tindak ilokusi harus mempertimbangkan penutur dan
mitra tuturnya, kapan dan di mana tuturan terjadi.
Beranjak dari pemikiran Austin tentang tuturan performatif, Searle dalam
Rusminto (2009: 77 78) mengembangkan hipotesis bahwa setiap tuturan
(20)
st
✉✈✇ ①②✇ ③④✇① ② ⑤
t
⑥t
⑥✇③② ⑦②✇ ⑧ ⑨ ⑥✇③② ⑦②✇ ⑥⑩❶ ⑦④ ❷ ⑥❶✇✈ ⑤ ✉✈ ⑤④ ❸② ⑦②✇ ❹② ① ⑥②✇ ❷ ✈t
⑤② ⑩ ③② ⑩② ✉ ⑦②❺⑥②✇❻⑥✇③② ⑦❻④⑤u
t
.
❼③②⑩⑥✉②❺✈✇⑥s
④❺② ⑤②✇②✇①y
③ ⑥✇u
①⑦②❸⑦②✇ ❶ ⑩✈❽❾✈② ⑤ ⑩✈.
s⑧
Representatif
(
②❷✈ ⑤t
⑥❿), y
② ⑥tu
t
⑥✇③② ⑦ ④ ⑤tu
t
y
②✇① ✉✈✇①⑥⑦②t
❸ ✈✇④❻u
⑤✇②y
⑦✈ ❹✈✇② ⑤②✇ ②
t
②s
②❸②y
② ✇ ① ③ ⑥⑦②② ⑦②✇t
(
✉⑥❷ ② ⑩✇②➀y
✉✈✇②y
t
② ⑦②✇➁ ✉✈ ⑩②❸ ❶ ⑤⑦②✇➁ ✉✈✇①② ❹② ⑤⑦②✇➁✉✈✇ ④✇❺④ ⑦ ⑦②✇➁✉✈✇✈ ❹④❻⑦②✇y
).
t⑧
Direktif, t
⑥✇③② ⑦④❺② ⑤②✇y
②✇①③⑥⑩② ⑦④ ⑦②✇ ❸✈✇ ④❻④⑤✇②y
③✈✇①②✇ ✉② ⑦❷ ④ ③ ② ①② ⑤✉ ⑥t
⑤②tu
t
④ ⑤ ✉✈ ⑩② ⑦④ ⑦②✇ ②❸ ②
y
②✇① ② ③② ③② ⑩② ✉ ④❺② ⑤②✇ ✈ ⑤❷✈ ❹④❻t
(
✉⑥❷ ② ⑩✇②➀y
✉✈✇④⑤④y
❽➁ ✉✈ ✉ ❶❽❶✇➁✉✈ ✉⑥✇❻②,
✉✈✇④ ✇❻u
t).
➂⑧
Ekspresif,
t
⑥✇③② ⑦ ④❺② ⑤②✇ ②✇①y
③ ⑥⑩② ⑦④⑦②✇ ③✈✇ ①②✇ ✉② ⑦❷④③ ④❺② ⑤②✇ ✇②y
③⑥② ⑤t
⑥ ⑦②✇ ❷✈ ❹② ①② ⑥✈v
② ⑩④ ②❷ ⑥t
✈✇❻②✇① ❽② ⑩y
②✇① ③⑥❷ ✈ ❹④❻⑦②✇❸ ② ③②④❺② ⑤②✇t
✈ ⑤❷ ✈ ❹④❻(
✉ ⑥s
② ⑩✇➃②➀ ✉✈ ✉④❺⑥,
✉✈✇①⑦⑤ ⑥t
⑥⑦➁❹✈ ⑤t
✈ ⑤⑥✉② ⑦②❷ ⑥❽).
➄⑧
Komisif,
t
⑥✇ ③② ⑦ ④❺② ⑤②✇ ②✇ ①y
✉✈✇①⑥⑦②t
❸ ✈✇④❻④ ⑤u
✇❻④ ⑦ ✉✈ ⑩② ⑦④ ⑦②✇ ❷ ✈❸✈ ⑤t
⑥ ②❸ ②y
②✇①③⑥④❺② ⑤⑦②✇
(
✉⑥❷ ② ⑩✇②➀y
❹✈ ⑤❷ ④✉❸ ②❽➁✉✈✇①②✇ ➅② ✉,
❹✈ ⑤❺②✇❺⑥)
➆⑧
Deklarasi,
t
⑥✇ ③② ⑦ ④❺② ⑤②✇ ②✇①y
③ ⑥⑩② ⑦④⑦②✇ ❸ ✈✇④t
④ ⑤ ③✈✇①②✇ ✉② ⑦❷ ④ ③ ④✇❻④⑦ ✉✈✇ ➅ ⑥❸❻② ⑦②✇ ❽② ⑩ ②✇①y
❹② ⑤u
(
✉ ⑥❷② ⑩✇②➀y
✉✈ ✉④❷ ⑦②✇➁u
t
✉✈ ⑩② ⑤②✇①,
✉✈ ✉ ❹②② ⑩⑦②✇t
).
➇✈✈➅❽ ③② ⑩② ✉ ➈④❷ ✉⑥✇❻❶
(
t ➉➉ ➊➀ ➋ ➋)
✉✈✇①⑦⑩②❷ ⑥❿ ⑥⑦②❷ ⑥⑦②✇t
⑥✇ ③② ⑦⑥⑩❶ ⑦④ ❷ ⑥❹✈ ⑤ ③②❷ ② ⑤⑦②✇ ❽④ ❹④✇①②✇ ❿④✇①❷ ⑥-
❿④ ✇ ①❷ ⑥t
⑥✇③② ⑦ ⑥⑩❶⑦④❷ ⑥ ③✈✇①② ✇ ④❺④②✇t
-t
④❺④②✇ ❷ ❶❷ ⑥② ⑩ ❹✈ ⑤④❸ ② ❸ ✈ ✉✈ ⑩⑥❽② ⑤②②✇ ❸ ✈ ⑤⑥⑩② ⑦④ ②✇ ①y
❷ ❶❸ ②✇ ③②✇t
✈ ⑤❽❶⑤✉ ②t
✉✈✇❺② ③ ⑥ ✈ ✉❸②t
❺✈✇ ⑥s, y
② ⑥tu
(
s)
⑦ ❶✉❸✈t
⑥t
⑥❿(
competitive),
❷ ✈❸ ✈ ⑤⑥t
✉✈ ✉✈ ⑤ ⑥✇❻②❽ ➁ ✉✈ ✉⑥✇❻②,
✉✈✇④ ✇❻u
t,
✉✈✇ ①✈ ✉ ⑥s
; (2)
menyenangkan (convival), seperti menawarkan, mengajak, mengundang,
menyapa, mengucapkan terima kasih, mengucapkan selamat; (3) bekerja sama
(21)
➌➍
(collaborative),
➎ ➏➐ ➏➑t
➒ ➓ ➏➔y
→t
→➣ →➔↔ ➓➏↕ →➐➙➑,
➓ ➏➔➛ ➜➓ ➜➓➣ →➔↔ ➓ ➏➔➛ →➝ →➑ ➣ →➔➞(
➟)
➠➏➑
t
➏➔➡→➔➛ →➔(
confictive),
➎ ➏➐➏➑t
➒➓ ➏➔➛ →➔➢→➓,
➓ ➏➔ ➜➤➜➥↔➓ ➏➔➜➓ ➐ →➥➒y
,
➓ ➏➓→➑ →➥➒.
➦➧➨ ➧➨ ➩
in
dak Perlokusi
➫➒➔➤→➣ ➐➏➑ ↕ ➙➣➜➎ ➒ →➤→↕ →➥ ➏➭➏➣
y
→➔➛➤➒t
➒➓➠➜↕➣→➔ ➙↕ ➏➥ ➜➑ →➔t
tu
t
➏➑➥→➤→➐➓➒➑ →t
tu
➜➑t
,
➎ ➏➥➒➔➛➛→➓➒➑ →t
tu
t
➜➑➓ ➏↕ →➣➜➣→➔➒➔➤→➣ →➔t
➠➏➑➤→➎ →➑➣→➔➒➎➒tu
t
➜➑→➔(
➯➜➎➓ ➒➔➡➙↔➲ ➳ ➳➵➸ ➺➻).
➼➏➽➒➔➎ ➙ ➔➤→↕ →➓➯➜➎➓ ➒➔➡➙(
➲➳➳ ➵➸ ➺➻)
➓➏➔➛➏➓ ➜➣ →➣→➔➠→➥ ➾→t
➒➔➤→➣ ➐ ➏➑↕ ➙➣ ➜ ➎➒ ↕ ➏➠➒➥ ➓ ➏➓➏➔➡➒➔➛➣ →➔ ➥→s
➒↕,
➎ ➏➠→➠t
➒➔➤→➣ ➒➔ ➒ ➤➒➣ →t
→➣→➔ ➠➏➑➥→➎ ➒↕ ➝ ➒➣→ ➓➒➑ →t
tu
➜➑t
➓➏↕ →➣ ➜➣ →➔ ➎ ➏su
→tu
y
→➔➛ ➠➏➑➣→ ➒→➔t
➤➏➔➛→➔tu
t
➜➑ →➔ ➐➏➔ ➜➡➜➑.
➚➏➔➛ →➔ ➣→t
→ ↕ →➒➔↔ ➐ ➏➔➜➡➜➑ ➓➏↕ →➣ ➜➣ →➔ →➐→y
→➔➛ ➤➒➣➏➥➏➔➤→➣ ➒ ➙↕ ➏➥ ➐➏➔ ➜➡➜➑.
Chaer (1995: 70)
mengemukakan bahwa tindak tutur perlokusi adalah tindak tutur yang berkenaan
dengan adanya ucapan orang lain sehubungan dengan sikap dan perilaku
nonlinguistik dari orang lain itu. Misalnya, karena adanya ucapan dokter (kepada
pasiennya),
Mungkin ibu menderita penyakit jantung koroner ,
maka si pasien
akan panik atau sedih. Ucapan dokter itu adalah tindak tutur perlokusi.
Halliday dalam Rusminto mengklasifikasikan tindak tutur ke dalam lima belas
jenis, yaitu (1) tidak tutur menyapa, mengundang, menerima, dan menjamu; (2)
tindak tutur memuji, mengucapkan selamat, menyanjung, menggoda, dan
menyombongkan; (3) tindak tutur menginterupsi, menyela, dan memotong
pembicaraan; (4) tindak tutur memohon, meminta, dan mengharapkan; (5) tindak
tutur mengelak, membohongi, dan mengobati kesalahan; (6) tindak tutur
mengkritik, menegur, mencerca, mengomeli, mengejek, menghina, dan
memperingatkan; (7) tindak tutur mengeluh dan mengadu; (8) tindak tutur
menuduh dan menyangkal; (9) tindak tutur menyetujui, menolak, dan membantah;
(22)
➪➶
(
➪➹) t
➘➴➷ ➬➮tu
t
➱✃ ❐ ❒y
➬➮➘➴ ➮➬➴❮ ❐ ❒❐❒➴❰ ➬✃ ➱Ï ➘,
➷ ➬➴ ❐❒➴y
u
❰❒st
➘; (11) tindak tutur
memerintah, memesan, dan meminta atau menuntut; (13) tindak tutur
menanyakan, memeriksa, dan meneliti; (14) tindak tutur menaruh simpati dan
menyatakan bela sungkawa; (15) tindak tutur meminta maaf dan memaafkan.
Jumlah klasifikasi yang sama (15 klasifikasi), tetapi dengan muatan yang agak
berbeda, juga dikemukakan oleh Depdikbud RI dalam garis-garis besar program
pengajaran (GBPP) 1984, mata pelajaran bahasa dan sastra indonesia, khususnya
untuk pokok bahasan pragmatik jenjang SD, SMP, dan SMU. Pengklasifikasian
tersebut sebagai berikut: (1) tindak tutur melaporkan fakta; (2) tindak tutur
menyatakan fakta; (3) tindak tutur menyatakan setuju/tidak setuju; (4) tindak tutur
menyatakan menerima/menolak; (5) tindak tutur menyatakan kemungkinan dan
kepastian; (6) tindak tutur menyatakan simpulan; (7) tindak tutur menyatakan
suka atau tidak suka; (8) tindak tutur menyatakan keinginan; (9) tindak tutur
menyatakan simpati, selamat, ikut prihatin, dan berduka; (10) tindak tutur
menyatakan maaf; (11) tindak tutur menyatakan pujian dan penghargaan; (12)
tindak tutur meminta, memohon, dan meminjam; (13) tindak tutur menyuruh,
memerintah, dan melarang; (14) tindak tutur memberi peringatan; (15) tindak
tutur memberi saran.
Sementara itu, Pateda lebih sederhana dalam mengklasifikasikan tuturan atas lima
klasifikasi, yaitu (1) tuturan yang berisi pernyataan, (2) tuturan yang berisi
suruhan/penolakan, (3) tuturan yang berisi permintaan/penolakan, (4) tuturan yang
berisi pertanyaan/jawaban, dan (5) tuturan yang berisi nasihat.
(23)
ÐÑ
ÒÓÔÕ
in
dak Tutur Langsung dan Tindak Tutur Tidak Langsung
Öר×ÙÚ
t
ÛÚÜ × ÝÞ ßàá Ýâ â×Ú â ×tu
t
×ß ÛÚ Ý ãÜt
tu
t
áÜäÚ å × æá ßçÚ Û × Û ãÚ çá ß×s, y
Ú ×tu
t
×ßÛÚ Ýtu
t
ãÜ ØÚ ß åâ ãß å ÛÚ ß
t
×ßÛÚ Ýtu
t
ãÜt
×ÛÚ Ý ØÚ ßåâ ã ßå.
ÖçÚ çÚ â ã ÛÚÜæÚ ÛÚ ØÚ æ èã âæ ×ßàÞ(
é ê êë)
æá ßåá æã ÝÚ ÝÚ ß ä Ú ÙìÚt
×ßÛÚ Ýtu
ãÜt
ØÚ ß åâ ã ßå Ú ÛÚ ØÚ Ùt
×ßÛÚÝtu
t
ãÜy
Ú ß åÛ ×ãß åÝÚíÝÚ ß âáîÚÜÚ ØãåÚ
s
âá Ù ×ßå åÚ æã ÛÚ Ù Û×íÚ ÙÚ æ ×ÞØá Ùæ×Ü Út
tu
t
ãÜ,
âá ÛÚ ß åÝÚ ßt
×ß ÛÚ Ý
tu
t
ãÜt
×ÛÚ Ý ØÚ ß ås
ãß å Ú ÛÚ ØÚ Ùt
×ßÛÚ Ýtu
t
ãÜy
Ú ß å äáÜæÚ Ý ßÚ ÝÞßàá Ý âà ãÚ Ø ÛÚ ß â ×t
ãÚ â ×ÞßÚ Ø.
ÖÚ ØÚ æ âáäãÚ Ù íáÜ ×
st
× Úw
tu
t
ãÜ íÚ ÛÚ Ýá ßÚy
ÚÚ ß ßt
Úy
,
íá ß ãà ãÜt
×ÛÚ Ý âá ØÚ Øu
æá ßåÚÚ ÝÚ ßt
ÚíÚy
Ú ß åÛ ×æÚ Ý â ãÛ ÝÚ ß ßÚy
âáîÚÜ Ú ØÚ ß åâ ãß å.
Öá ßåÚ ßÝÚt
Ú ØÚ × ßï ãßà ãÝ æá ßÚ æíÚ ×ÝÚ ßy
æÚ Ý âã ÛßÚy
s
áÞ ÜÚ ß åíá ß ãà ãÜ âáÜ×ßåçu
åÚæá ß å åãßÚ Ý Ú ßt
×ß ÛÚ Ýtu
t
ãÜt
×ÛÚ Ý ØÚ ßå âã ß åÚ åÚÜ Øáä ×Ù
t
áÜ Ø×ÙÚt
âÞíÚ ßð ÖÚ ØÚ æ íÜÚ åæÚt
×Ý ÝÚt
Útu
t
ãÜ Ú ß ×ß× ÛÚíÚt
Û ×åãßÚ ÝÚ ß âáäÚ åÚ × íÜÞÛã Ý â ãÚtu
t
×ß ÛÚ Ý ñáÜä Ú Ø(
òááîÙï Ð ëóô õ Ðö).
÷á ßå åãßÚÚ ß ä á ßà ã Ý ñáÜ äÚ Ø ØÚ ß åâ ãß å ÛÚ ßt
×ÛÚ Ý ØÚ ß åâ ãß å âá çÚ ØÚ ß Ûá ßåÚ ß íÚ ßÛÚ ßåÚ ß ä Ú ÙìÚ ä á ßà ã Ýtu
t
ãÜy
Ú ß å ä áÜ æÚîÚ æ-
æÚîÚ æ ÛÚíÚt
Û ×åã ßÚ ÝÚ ß ã ßà ã Ý æá ßÚ æíÚ ×ÝÚ ßy
æÚ Ýâ ãÛ Ú ßåy
âÚ æÚ,
âá äÚ Ø×Ý ßÚy
äá ÜäÚ åÚ × æÚîÚæ æÚ Ýâ ãÛ ÛÚíÚt
Û×âÚ æíÚ ×ÝÚ ß Ûá ßåÚ ßtu
t
ãÜ Ú ß Ú ß åy
s
Ú æÚ(
øä ÜÚ Ù ×æ; Rusminto, 2009: 80) . Di samping itu,
penggunaan bentuk verbal yang bermacam-macam dalam bertindak tutur, tidak
hanya dimaksudkan untuk memperoleh sesuatu, melainkan juga untuk menjaga
hubungan baik dengan mitra tuturnya dan agar interaksi dapat berjalan lancar dan
baik. Dengan kata lain, dalam menyampaikan maksudnya, penutur tidak hanya
berusaha mencapai tujuan pribadi tetapi juga untuk mencapai tujuan sosial.
Dengan adanya tujuan sosial di samping tujuan pribadi tersebut mendorong
penutur menggunakan bentuk-bentuk verbal bermacam-macam. Hal ini
(24)
ùú
ûüý þÿ ÿ✁ ✂ ✄ ☎þ✆ û ✂
y
✝ ✁✞ ÿ ✆✟ ûü û ☎ ✠ ÿ þ✡☛✡tu
t
, tu
t
☛✡ ✂ ☞ þ✂☛✞☛✡t
ü û ✁ ✆ ✂y
✆ ✡u
s
✌☛✁☛☞ü✂ ✝✄✡✠ ü✝t
, t
þt
☞ü✍☛✎ ✆ ✡u
s
ÿ þ✡☛ý ✆ ✠ þ✂✍ ✎ ✆☛ÿ☛ ✂✎ ✂ ÿ ü ✁ û þ✂✎ ✂ ✠ü✡t
tu
t
☛✡y
✂✎ûü ✆ û ☞ü✂y, y
✁✂ü ûþ✂✎ ✂ ✠þ✂✎✎☛✂ ✁ ✂ ÿþ✂✞☛ ✁☛✡tu
t
✂t
ü û ✁☎ ✂✎ý ☛✂✎û ☎ ✠✡ ✂✎✁ ✠ þ✡ þ ☎üý ý ü ✁ ✂☞✡ü✂ý ü ☞ý✄☞ ✂ý ✂ ✞☛ ✂✏
✑þ✌ ✡ ✝✄ ✡ ✠ ☎
,
ÿþ✡ûs
✡✁ ✂ ✠✄û☛ ý✂y,
✁ ☎ü ✠t
ûü ÿ þû ✁ ✂ ✠þ✂✍ ûü ✁ ☎ü ✠t
ÿþ✡üt ,
✁ ☎ü ✠t t
✂y,
û ✂ ✁ ☎ü ✠t
☞ þ✡ü✂✞ ✆✏ ✑þ✌ ✡ ✁✄ ✂ ✒ þ✂ý ü✄ ✂ ☎ ✁ ☎ü ✠t
ÿ þ✡üt
ûü✎☛✂ ✁ ✂ ☛ ✂ ✞☛✁ ✠ þ✠ÿ þ✡ü ✁ ✂ ý☛tu
ü✂✝ ✄✡ ✠ ý ü,
✁ ☎ü ✠t t
✂y
ûü✎☛ ✂ ✁ ✂ ☛✂✞☛ ✁ ✠ þ✂ ✂y
✁ ✂s
þý ☛tu
,
û ✂ ✁ ☎ü ✠t
☞þ✡ü✂✞ ✆ ☛ ✂ ✞u
✁ ✠ þ✂yt
✁ ✂ ☞þ✡ ü✂ ✞ ✆✓ ✍ ✁ ✂✓ ☞ þ✡ ✠ü✂✞ ✂✓t u
☞þ✡✠✄✆✄ ✂ ✂✏ ✔☞ ÿü ☎ ✁ ☎ü ✠t
ÿ þ✡üt
ûü✝☛ ✂✎ý ü ✁ ✂ ý þ✌ ✡ ✁✄✂✒þ✂ ýü✄ ✂ ☎ ☛✂✞☛ ✁ ✠þ✂✎t
✁ ✂ ý þý ☛tu
,
✁ ☎ü ✠t t
✂y
☛✂✞☛ ✁ ÿ þ✡t
✂y,
û ✂ ✁ ☎ü ✠t
☞ þ✡ü✂ ✞ ✆ ☛✂✞☛ ✁ ✠þ✂y
☛✡u
✆,
✠ þ✂✎ ✍ ✁✓ ✠þ✠✄ ✆✄✂ ✓ û ✂ ý þÿ ✎ ü✂y.
✕ü✂ û ✁tu
t
☛ ✡
y
✂✎t
þ✡ ÿ þ✂ ✞☛✁ û ☎ ✆ ü✂ût
✁ ☛✡tu
t
☎ ✂✎ý☛ ✂✎(
direct speech act),
ý þ☞þ✡t
ü ✌✄ ✂ ✞✄✆ûüÿw
✆ü✂ ü✖1. Dina memelihara seekor kucing.
2. Kapankah kita akan pulang?
3. Tolong tutup pintu itu!
✕ü✂û ✁ ☛ ✡
tu
t
t
ü û ✁ ☎ ✂✎ý☛ ✂✎(
Indirect speech act)
û ☎ ✆t
ü✂û ✁tu
t
☛✡y
✂✎ ûü ☎ ✁☛✁ ✂ ☞ þ✂☛✞☛✡ ✁ þ☞ û ✠üt
✡tu
t
☛✡ ý þ✌ ✡t
üû ✁ ☎ ✂✎ý ☛✂✎.
✕ü✂ û ✁ ✂ ü✂ ü ûü ☎ ✁☛✁ ✂ û þ✂✎ ✂ ✠ þ✠ ✂✝ ✁t
✂ ✁ ☎ü ✠t
ÿþ✡ üt t u
✁ ☎ü ✠t t
✂y
✎ ✡ ✄✡ ✂✎y
✂✎ ûü ☞þ✡ ü✂ ✞ ✆ ü ût
✁ ✠ þ✡ ý ûü ☞ þ✡ü✂✞ ✆✏ ✗üý ☎✂y,
ý þ✄ ✡ ✂✎t
þ✠ ✂y
✂✎✠ þ✠ÿ☛ ✞☛✆✁ ✂ ✠ ✁ ✂ ✂ û ✂ ✠ þ✂✡ ☛ ✆
u
y
☎w
✂tu
☛ ✡✂t
y
☛✂✞☛✁ ✠þ✂✎ ✠ÿü ☎✁ ✂✠ ✁ ✂ ✂
y
✂✎ û ûü ☎✠ ✡ü ûü☛✂✎✁ ☞✁ ✂ û þ✂✎ ✂tu
t
☛✡ ✂Ada makanan di
almari
.
✘ ☎ü ✠t t
þ✡ý þÿ☛ ✞ ÿ☛ ✁ ✂ ✆ ✂y s
þ✁ û ✡ ☛✂✞☛✁ ✠þ✂✎ü✂✝ ✄✡ ✠ ý ü ✁ ✂ ÿ ✆✟ûü ☎✠ ✡ü û ✠ ✁ ✂ ✂
t
þt
☞ü ✍☛✎ ☛ ✂ ✞☛ ✁ ✠þ✠ þ✡ü✂✞ ✆t
þ✠ ✂✂y
✠ þ✂✎ ✠ ÿü ☎✁ ✂ ✠ ✁ ✂ ✂ûü ☎✠ ✡ü.
(25)
✙✚
✛✜✢✣✤✥ ✦✧ ✤✥ ✣✤ ★ ✣✤✩ ✜
t
✪★ ✣✩✢✣✤✥ ✦✧ ✤✥✣✤✦ ✜✫✧ ✣✬ ✭ ✣✤tu
tu
✫ ✜✭✦ ✣✤✥✩u
t
✮ ✣u
t
★ ✜✤✥ ✣✤★✧✣ ✬ ✣✢ ✮✯✩✯✩✰y
✣✪tu
✱✣✦ ✣✢✣✬ ✫ ✜✤✲✧ ✩ ★✣✤ ✱✣✦ ✣✢✣✬ ✪✦ ✪tu
✧✭✣✤t
(
✳✧✦✱✪✤✲✯ ✰ ✴ ✵ ✵✶✷81).
Masalah bentuk tuturan berkaitan dengan realisasi maksim cara, yakni bersangkut
paut dengan bagaimana tuturan diformulasikan dan bagaimana bentuk satuan
pragmatik yang digunakan untuk mewujudkan suatu ilokusi. Sementara itu,
masalah isi berkaitan dengan maksud yang terkandung dalam ilokusi tersebut.
Jika isi ilokusi mengandung maksud yang sama dengan makna performansinya,
tuturan tersebut disebut tuturan langsung. Sebaliknya, jika maksud suatu ilokusi
berbeda dengan makna performansinya, tuturan tersebut disebut tuturan tidak
langsung.
✸✹✺ ✹✻✼
in
dak Tutur Literal dan Tindak Tutur Tidak Literal
Tindak tutur literal (literal speech act) adalah tindak tutur yang maksudnya sama
dengan makna kata-kata yang menyusunnya, sedangkan tindak tutur tidak literal
(nonliteral speech act)
adalah tindak tutur yang maksudnya tidak sama atau
berlawanan dengan makna kata-kata yang menyusunnya. Untuk lebih jelasnya
dapat diperhatikan kalimat berikut.
1.
Penyanyi itu suaranya bagus.
2.
Suaranya bagus, (tapi tak usah nyanyi saja).
3.
Radionya keraskan! Aku ingin mencatat lagu itu.
4.
Radionya kurang keras. Tolong keraskan lagi. Aku mau belajar.
Kalimat (1), bila diutarakan untuk maksud memuji atau mengagumi kemerduan
suara penyanyi yang dibicarakan, merupakan tindak tutur literal, sedangkan
kalimat 2), penutur memaksudkan bahwa suara lawan tuturnya tidak bagus
dengan mengatakan
tak usah nyanyi saja,
merupakan tindak tutur tidak literal.
(26)
✽✾
✿❀❁❂❃❂ ❄❅ ❆❇ ❈❄ ❃ ❄❉ ❀❅❄ ❆❀❅❇ ❊❇❉ ❋ ❀❅❄ ❉
-
❋❀❅ ❄❉ ❁❀❅●❂ ❅●❂ ❅❃❄❅ ❈❄w
❄❅ ❇❉tu
t
❇ ❅ ❊❇ ❃ ❁ ❀❅●❀❉❄❍❃ ❄❅(
❁ ❀❁❋ ❀❍❄❉❃❄❅)
■ ❏❈❇❁❀ ❉❄❑❂❏ ❇❅❇ ❃t
❑❄❆ ❄t
❍❀▲❄❉❄ ❈❀❋❂▼ ❁❇❑❄▼ ❁ ❀❅▲❄t
❄t
❈❄●u
y
❄❅● ❑❂ ❆ ❀❉❑❀❅● ❄❉❃❄❅❅y
❄, t
❂ ❅❑❄❃ ❇tu
t
❉ ❃ ❄❈❂ ❁ ❄t (
◆)
❄❑❄❈❄▼t
❂ ❅❑❄❃tu
t
❇❉ ❈❂
t
❀❉❄❈.
❖❀❋ ❄❈❂❃ ❅y
❄,
❃ ❄❉ ❀❅❄ ❆❀❅❇ ❊❇❉s
❀❋❀❅ ❄❉❅y
❄ ❁ ❀❅●❂ ❅● ❂ ❅❃❄❅ ❈❄w
❄❅ ❇❉tu
t
❁ ❀❁❄❂❃❄❅t
❉ ❄❑❂❏❅y
❄, t
❂ ❅❑❄❃ ❇ ❉tu
t
❑❄❈❄❁ ❃ ❄❈❂ ❁ ❄t (
P)
❄❑❄❈❄▼ ❂ ❅❑❄❃t
❇❉tu
t
t
❂❑❄❃ ❈❂t
❀❉❄❈.
◗❘❙ ❘ ◗❚
i
dak Tutur Langsung Literal
❯❂❅❑❄❃ ❇❉
tu
t
❈❄❅●❍❇ ❅● ❈❂t
❀❉❄❈(
direct literal speech act)
❄❑❄❈❄▼ ❂ ❅❑❄❃t
tu
❇ ❉t
y
❄❅● ❑❂u
t
❄❉❄❃❄❅ ❑❀❅● ❄❅ ❁❏❑❇❍ ❇❉❄❅tu
t
❑❄❅ ❁❄❃❅❄y
❄❅● ❍❄❁ ❄ ❑❀❅● ❄❅ ❁❄❃❍❇❑ ❆ ❀❅●u
t
❄❉❄❄❅ ❅y
❄.
❱❄❃❍❇❑ ❁❀❁ ❀❉❂ ❅ ❊❄▼ ❑❂❍❄❁❆ ❄❂❃❄❅ ❑❀❅● ❄❅ ❃ ❄❈❂ ❁ ❄t
❆❀❉❂ ❅ ❊❄▼ ❁ ❀❁❋ ❀❉❂t
❄❃ ❄❅ ❑❀❅●❄❅❃ ❄❈❂ ❁ ❄t
❋ ❀❉❂t
❄,
❁ ❀❅❄❅y
❄❃ ❄ ❅❍❀❍❇ ❄tu
❑❀❅● ❄❅❃❄❈❂ ❁❄t t
❄❅y
❄,
❑ ❍❋❲ ❳❅ ❊❇❃❂tu
❑❄❆ ❄t
❑❂ ❆ ❀❉▼❄t
❂❃ ❄❅▲ ❏❅ ❊❏▼❋ ❀❉❂❃ ❇ ❊❂ ❅❂.
1. Orang itu sangat pandai.
2. Buka mulutmu!
3. Jam berapa sekarang?
❯❇ ❊❇ ❉ ❄❅
(
✽), (
❨),
❑❄❅(
◆)
❁ ❀❉❇ ❆ ❄❃ ❄❅ ❂ ❅❑❄❃t
tu
t
❇ ❉ ❈❄❅●❍❇ ❅● ❈❂❀❉❄❈t
❋❂ ❈❄ ❍❀▲❄❉❄ ❋ ❀❉❇❉t
u
t -t
❇ ❉u
t
❑❂ ❁ ❄❃❍❇❑❃ ❄❅ ❇❅❊❇ ❃ ❁ ❀❁❋ ❀❉❂t
❄❃❄❅ ❋❄▼❩ ❄ ❏❉ ❄❅●y
❄❅● ❑❂ ❋❂▲❄❉ ❄❃ ❄❅ ❍❄❅●❄t
❆❄❅❑❄❂,
❁❀❅❇ ❉y
u
▼ ❄● ❄❉ ❈❄w
❄❅tu
❇❉t
❁❀❁ ❋❇ ❃ ❄ ❁❇❈u
t,
❑❄❅ ❁ ❀❅❄❅❄❃ ❄❅y
❆❇❃ ❇ ❈ ❋❀❉❄❆ ❄❃❀❂❃❄t
❂tu
.
❱❄❃❍❇❑ ❁❀❁ ❋❀❉❂❄❃ ❄❅t
❑❂u
t
❄❉❄❃ ❄❅ ❑❀❅● ❄❅❃❄❈❂ ❁❄t
❋❀❉❂t
❄(
✽),
❁❄❃❍❇❑ ❁ ❀❁❀❉❂ ❅t
❄▼ ❑❀❅●❄❅ ❃❄❈❂ ❁ ❄t
❆ ❀❉❂ ❅❊❄▼(
❨),
❑❄❅ ❁❄❃❍❇❑ ❋❀❉t
❄❅y
❄❑❀❅●❄❅❃ ❄❈❂ ❁❄
t t
❄❅y
❄.
2.4.3 Tidak Tutur Tidak Langsung Literal
❯❂❅❑❄❃
tu
t
❇ ❉t
❂❑❄❃ ❈❄❅●❍❇ ❅● ❈❂t
❀❉ ❄❈(
Indirect speech act)
❄❑❄❈❄▼t
❂ ❅❑❄❃tu
t
❇❉y
❄❅● ❑❂❇ ❅●❃ ❄❆❃❄❅ ❑❀❅● ❄❅ ❁❏❑❇❍ ❃ ❄❈❂ ❁❄t y
❄❅●t
❂❑❄❃ ❍❀❍❇❄❂ ❑❀❅● ❄❅ ❁ ❄❃❍❇❑(27)
❬❭
❪❫❴ ❵❛❜❛❛❴ ❴
u
t
❛y
, t
❫❛ ❪❝t
❞❛❡❴ ❛ ❡❛❛t
-
❡❛t
❛y
❛❴❵ ❞❫❴y
❢❣ ❢❴ ❴❛y
❣ ❫su
❛❝ ❤❫❴ ❵❛❴ ❛ ❪❛y
❛❴❵❤❝❞❛❡ ❣ ❢❤❡❛❴ ❪❫❴ ❢✐❢❜
.
❥❛❦❛❞t
❝❴ ❤❛❡tu
t
❢❜❝❴❝❞ ❛❡❣ ❢❤❞ ❫❞❫❜❝❴✐❛❧❤❝❛❜ ❛❡❛❴u
t
❤❫❴ ❵❛❴ ❡ ❛❦❝❞ ❛t
♠❫❜ ❝t
❛ ❛❛t
u
❡❛❦❝❞ ❛t t
❛❴❛y
.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat
kalimat (4) dan kalimat (5) dibawah ini.
4. Rambutmu acak-acakan.
5. Di mana sapunya?
Dalam konteks seorang berbicara dengan temannya pada kalimat (4), tuturan ini
tidak hanya informasi tetapi terkandung maksud memerintah yang diungkapkan
secara tidak langsung dengan kalimat berita. Makna kata-kata yang menyusun
kalimat (4) sama dengan maksud yang dikandungnya. Demikian pula dalam
konteks konteks seorang ibu bertutur dengan anaknya pada kalimat (5) maksud
memerintah untuk mengambilkan sapu diungkapkan secar tidak langsung dengan
kalimat tanya, dan makna kata-kata yang menyusunnya sama dengan maksud
yang dikandung. Untuk memperjelas maksud memerintah (4) dan (5) di atas,
perluasannya ke dalam konteks (6) dan (7) diharapkan dapat membantu.
6. + Rambutmu acak-acakan.
-Baik, saya rapikan sekarang.
7. + Di mana sapunya?
- Sebentar, saya ambilkan, Bu.
Sangat lucu dan janggal bila dalam konteks seperti (4) dan (5) seorang teman dan
anak menjawab seperti (8) dan (9) berikut.
8. + Rambutmu acak-acakan.
-Memang acak-acakan sekali ya.
9. + Di mana sapunya?
(28)
♥♦
♣ q
w
qr qs( -)
t q✉q✈(8) dan (9) akan mengejutkan penutur yang melihat rambut
temannya acak-acakan dan mengagetkan sang ibu yang menyuruh anaknya
mengambil sapu karena sang ibu ingin menyapu.
✇①② ①②③
in
dak Tutur Langsung Tidak
Literal
Tindak tutur langsung tidak literal (direct nonliteral speech act) adalah tindak
tutur yang diutarakan dengan modus kalimat yang sesuai dengan maksud tuturan,
tetapi kata-kata yang menyusunnya tidak memiliki makna yang sama dengan
maksud penuturnya. Maksud memerintah diungkapkan dengan kalimat perintah,
dan maksud menginformasikan dengan kalimat berita. Untuk jelasnya dapat
diperhatikan kalimat (10) dan kalimat (11) di bawah ini.
10. Tulisanmu bagus, kok.
11. Kalau makan biar kelihatan sopan, buka saja mulutmu!
Dengan tindak tutur langsung tidak literal penutur dalam kalimat (10)
memaksudkan bahwa tulisan lawan tuturnya tidak bagus. Sementara itu dengan
kalimat (11) penutur menyuruh lawan tuturnya yang mungkin dalam hal ini
anaknya, atau adiknya untuk menutup mulut sewaktu makan agar terlihat sopan.
Data tersebut menunjukkan bahwa di dalam analisis tindak tutur bukanlah apa
yang dikatakan yang penting tetapi bagaimana cara menyampaikannya.
2.4.5 Tindak Tutur Tidak Langsung Tidak Literal
Tindak Tutur Tidak Langsung Tidak Literal (indirect nonliteral speech act)
adalah tindak tutur yang diutarakan dengan modus kalimat dan makna kalimat
yang tidak sesuai dengan maksud yang hendak diutarakan. Untuk memerintah
seorang pembantu menyapu lantai yang kotor, seorang majikan dapat saja dengan
nada tertentu mengutarakan kalimatnya (12). Demikian pula untuk menyuruh
(29)
④⑤
⑥⑦⑧ ⑨⑩❶ ❷
t
⑦⑩❶ ❷ ❷⑩t
❸⑦ ❸⑩t
❹❺⑩❶ ⑩⑩t
u
❸⑦❶ ❷⑦❻❹❼❺⑩❶ ❽⑧ ❼❾ ❸⑦ ⑨⑩ ❿❹⑧❶⑩y
,
➀⑦❶ ❾ ➁❾⑨ ❿⑩➀ ⑩t
❸⑦❶ ❷u
t
⑩ ⑨⑩❺⑩❶ ❿⑦❶❷⑩❶❺⑩ ❼❹ ❸⑩t
➂⑦ ⑨❹t
⑩❿⑩❶❺⑩❼❹ ❸⑩t t
⑩❶⑩y
(
⑤ ➃)
❿⑩❶(
⑤ ➄)
➂⑦ ⑨❹❺❾t
.
12. Lantainya bersih sekali.
13. Radionya terlalu pelan, tidak kedengaran.
14. Apakah radio yang pelan seperti itu dapat kau dengar?
➅❺ ➆❹ ⑨❶⑩
y
⑥⑦❻⑩ ⑨⑩ ⑨❹❶❷❺ ⑩s
❿⑩➀⑩t
❿❹❹❺➆➁❹ ⑥⑩ ⑨❺⑩❶ ➂⑩➆ ➇⑩t
❹❶ ❿⑩❺ ❾⑨tu
t
❿⑩❼⑩ ❸ ➂⑩➆ ⑩ ⑥⑩ ➈❶❿⑧ ❶⑦ ⑥❹⑩❿⑩➀ ⑩t
❿❹➂⑩ ❷❹⑩t
⑩u
❿❹➂⑦ ❿⑩❺⑩❶❸⑦❶➉⑩ ❿❹➊⑤➋ ➌❹❶ ❿⑩❺❾ ⑨
tu
t
❼⑩❶ ❷ ⑥❾ ❶❷ ④➋ ➌❹❶ ❿⑩❺➁❾ ⑨u
t
t
❹ ❿⑩❺❼⑩❶ ❷su
❶ ❷ ➃➋ ➌❹❶ ❿⑩❺➁❾ ⑨u
t
❼❹t
⑦ ⑨⑩❼ ➄➋ ➌❹❶ ❿⑩❺➁❾ ⑨u
t
t
❹ ❿⑩❺❼❹⑦ ⑨⑩❼t
➍➋ ➌❹❶ ❿⑩❺➁❾ ⑨u
t
❼⑩❶ ❷⑥❾ ❶ ❷❼❹⑦ ⑨⑩❼t
➎➋ ➌❹❶ ❿⑩❺➁❾ ⑨u
t
t
❹ ❿⑩❺❼⑩❶ ❷su
❶ ❷❼❹⑦ ⑨⑩❼t
➏➋ ➌❹❶ ❿⑩❺➁❾ ⑨u
t
❼⑩❶ ❷⑥❾ ❶ ❷t
❹ ❿⑩❺❼❹⑦ ⑨⑩❼t
8. Tindak tutur tidak langsung tidak literal
➐➑➒➓
em
a
n
fa
a
ta
n
Konte
ks dalam Tindak Tutur
Bahasa dan konteks merupakan dua hal yang saling berkaitan satu sama lain.
Bahasa membutuhkan konteks tertentu dalam pemakaiannya, demikian juga
sebaliknya konteks baru memiliki makna jika terdapat tindak berbahasa di
dalamnya (Rusminto, 2009: 54). Dengan demikian, bahasa bukan hanya memiliki
fungsi dalam situasi interaksi yang diciptakan, tetapi bahasa juga membentuk dan
menciptakan situasi tertentu dalam interaksi yang sedang terjadi (Duranti;
Rusminto, 2009: 54).
(30)
➔ ➔
→➣↔↕➙➙ ➛↕ ➜ ➝➞➟➞➠ ➡
u
➢➠ ↕ ➜➤➥(
➔➦➦ ➧ ➨ ➩➫)
➠ ➭➜➞y
➞➯➞➜t
➲➞ ↔➳➞ ➯➥➜ ➤➭➯➢ ➞ ➝➞➟➞ ↔ ➢ ➭➲➵➞ ↔ ➝ ➵➜↕➞y
➞ ➜➸ ↕➢ ↕ ➜➞y
➥➛➞ ➜➸-
➥➛➞ ➜➸y
➞ ➜➸ ➠➭➠➺➛➥ ➝ ➵➯➢ ↕tu
t
➵➛➞ ➜-tu
t
➵ ➛➞ ➜➻ ➼➛➞ ➜➸-
➥ ➛➞ ➜➸y
➞ ➜➸ ➠➭➠↕➟↕➯ ↕ ➯ ➥➠ ➵ ➜↕➞
t
s
➢ ➥➢ ↕➞➟,
➯➭➲➵ ➝➞➞➞ ➜➽y
↕ ➝➭➜ ➤↕t
➞s
➺➛↕ ➲➞ ➝↕,
➺➭➜➸➭➞ ↔ ➵➞ ➜➽t
➯➭➺➭➛➣➞➞➞ ➜➽y
t
➵➾➵➞ ➜➽ ➝➞ ➜➯➭↕ ➜➸↕ ➜➞ ➜➽ ➝➞ ➜➞y
➜➸ ➲ ➭ ➛↕ ➜ ➤➭➛➞➯ ➢↕ ➢ ➞tu
➝ ➭➜➸➞ ➜y
➞ ➜➸➟➞↕ ➜ ➝➞➟➞➠ ➲ ➭➛➲➞➸➞↕ ➠➞ ➣➞➠s
↕t
➵➞➢↕ ➲➞↕➯ ➞ ➜➸y
➲ ➭➛➢ ↕➙➞t
➢ ➥➢↕➞➟ ➠➞ ➵➺➵ ➜ ➲ ➵➝➞➞y
.
➚ ➭➜➸➞ ➜ ➝ ➭➠↕➯ ↕➞ ➜➽ ➯➥➜ ➤➭➯➢ ↕ ➝➞➯t
➢➞➾➞ ➲ ➭➛➯ ➭➜➞➞ ➜ ➝➭➜➸➞ ➜ ➺➭➜➸➭➞ ↔ ➵➞ ➜➽t
t
➭➞➺↕t
➠➭➛➵➺➞➯ ➞ ➜ ➢ ➵➞tu
➛➞ ➜➸➯ ➞↕➞ ➜ ➟↕ ➜➸➯ ➵ ➜➸➞ ➜ ➝↕ ➠ ➞ ➜➞tu
t
➵ ➛➞ ➜ ➝↕ ➠ ➵ ➜➣➵➟➯➞ ➜ ➝➞ ➜ ➝↕↕ ➜ ➤➭➛➺➛ ➭t
➞➢ ↕➯➞ ➜ ➢ ➭➲➞➸➞↕ ➛ ➭➞➟↕➢ ➞➢↕y
➞➜➸ ➝↕ ➝➞➢ ➞ ➛➯ ➞ ➜ ➺➞ ➝➞ ➞t
➵➛➞ ➜-
➞t
➵ ➛➞ ➜ ➞ ➜➸y
➲➭➛➟➞➯ ➵ ➝➞➟➞➠ ➠ ➞➞➛➞➯ ➞sy
t
➺➭➠ ➞➯➞↕ ➲➞ ↔➞➢ ➞.
→➭➾➞➟➞ ➜ ➝ ➭➜➸➞ ➜ ➺➭➜➝➞➺➞
t t
➭➛➢ ➭➲ ➵➤,
→➺➭➛➲➭➛ ➝➞ ➜ ➪↕➟➢ ➥ ➜ ➝➞➟➞➠ ➡➵➢➠ ↕ ➜t
➥(
➔➦➦ ➧ ➶ ➩➫)
➠ ➭➜➸➭➠➵➯ ➞➯➞ ➜ ➲➞ ↔➞w
➯➥➜ ➤➭➯➢ ➠➭➛➵➺➞➯ ➞ ➜ ➢ ➭➲➵➞ ↔ ➯➥➠➵➜↕➯➞➢ ↕ ➺➢↕➯➥➟ ➥➸↕s,
➢ ➭➲ ➵➞ ↔ ➺➭➛w
➵➾➵➝➞ ➜ ➞➠ ➢↕su
-
➞➢ ➵➠ ➢↕ ➠↕t
➛➞tu
t
➵➛t
➭➜ ➤➞ ➜➸ ➝➵ ➜↕➞.
→➭➲➵➞ ↔ ➯ ➥ ➜➤➭➯ ➢t
↕ ➝➞➯
t
➭➛➲➞t
➞s
➺➞ ➝➞ ↕ ➜➙ ➥ ➛➠ ➞➢↕t
➭➜➤➞ ➜➸ ➟↕ ➜➸➯➵➜➸➞ ➜ ➙↕➢ ↕➯ ➢ ➭➠ ➞t
➞,
➠ ➭➟➞↕ ➜➯➞ ➜ ➾➵➸➞tu
t
➵ ➛➞ ➜
-tu
t
➵ ➛➞ ➜t
➭➛➝➞ ↔ ➵➟u
y
➞ ➜➸➠➭➜➾➭➟➞➢ ➯➞ ➜ ↔➞ ➛➞➺➞ ➜ ➞➯ ➞ ➜➠ ➞➞s
➝➭➺➞ ➜➽ ↔↕➺➥ ➤➭➢↕s
-↔↕➺➥ ➤➭➢↕s
↕➟➠ ↕➞ ↔ ➞➞t
u
➯➭➞➯ ↕ ➜y
➞ ➜➽ ➞➸➞➠➞,
↕ ➜➸➞➞ ➜t
-
↕➜➸➞t
➞ ➜ ➞ ➜➸y
➲➭➛➢↕➙ ➞t
➞ ➜ ➭➯ ➝ ➥➤,
➞➢ ➵➠ ➢ ↕➲➵ ➝➞➞y
➢ ➭➣➞ ➛➞➵➠ ➵➠,
➝➞ ➜➯ ➭➞➯ ↕ ➜➞ ➜y
➞➯ ➞ ➜➯ ➭➲ ➭➛➞ ➝➞➞ ➜➠ ➭➜ ➤➞➟➺➭➜➵ ➤➵➛.
→➭➠➭➜➤➞ ➛➞ ↕
tu
,
Grice dalam Rusminto (2009: 57) menyebutkan bahwa yang
dimaksud dengan konteks adalah latar belakang pengetahuan yang sama-sama
dimiliki oleh penutur dan mitra tutur yang memungkinkan mitra tutur untuk
memperhitungkan implikasi tuturan dan memaknai arti tuturan dari si penutur.
Pandangan ini didasari oleh adanya prinsip kerja sama, yakni situasi yang
menunjukkan bahwa penutur dan mitra tutur menganggap satu sama lain sudah
saling percaya dan saling memikirkan. Penutur dan mitra tutur berusaha
(31)
➹➘
➴➷ ➴➬➷➮➱✃ ❐❒ ✃ ❮ ❒❰➮ ➱ ➬ÏÐ➱ Ñ➷➮Ò ❐✃❐Ñ❐❒
s
➷Ð Ï❐➱ Ó➷ ❒Ô ❐❒ ❐❒ Ôy
Ó➱ Õ ❐➮ ❐Ñ✃❐❒ Ó➷ ❒Ô ❐❒ Ò ❐➮❐ ➴➷ ❒➷➮➱ ➴ ❐➴ ❐✃Ð ÏÓ❐t
❐u
❐➮ ❐ÕÑ➷➮ Ò ❐✃❐Ñ❐❒y
❐❒ ÔÓ➱➱✃➱u
t
.
Ö❐×❐➴ ✃❐➱
t
❐❒❒❐y
Ó➷ ❒Ô ❐❒ ➷✃ÐØt
Halliday dan Hasan (1992:6)
mengemukakan
bahwa ada teks dan teks lain yang menyertainya; teks yang menyertai teks itu,
adalah konteks. Konteks di dalam teks ada yang tersurat, dan ada yang tersirat.
Akan lebih sulit untuk memahami konteks dalam bahasa teks karena biasanya
konteks dalam teks tidak dijabarkan secara lengkap.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa konteks adalah segala sesuatu yang
melatarbelakangi terjadinya peristiwa tutur baik waktu, situasi, tempat, suasana
dan sebagainya yang tidak hanya berupa faktor fisik semata melainkan mental
penutur yang mendukung peristiwa tuturan tersebut.
ÙÚÛ ÚÜÝÞ
n
is
-jenis Konteks
Rusminto, (2010: 133) mengemukakan bahwa dalam kegiatan bertuturnya, anak
mendayagunakan lima konteks, yaitu (1) konteks tempat, (2) konteks waktu, (3)
konteks peristiwa, (4) konteks suasana, dan (5) konteks orang sekitar.
1. Konteks Tempat
Tempat yang melatari peristiwa tutur pada saat bertutur, tidak hanya menjadi
bahan pertimbangan oleh penutur, lebih dari itu, ada kalanya penutur juga
mendayagunakannya untuk mendukung keberhasilan tuturannya. Konteks tempat
yang didayagunakan meliputi tempat yang berada di sekitar penutur yang
bersangkut paut dengan tuturan yang diajukan tersebut. Berikut ini contoh
pendayagunaan konteks tempat dalam tuturan anak.
(32)
ßà
1. B : Kalau dalam mobil gini, aku lepas jaket ya Buk?
(berusaha membuka kancing jaketnya)
R : Kamu ini, nanti masuk angin. Flu lagi lho.
B :
Panas lho Buk.
R : Dingin banget gini. Pakai saja.
B : Aah, Ibu ini.
Keterangan :
B : Bagus (anak)
R : Riswanti (ibu)
áâãä
st
äw
åtu
æãt
ç åè åw
åéåê å(
ë) t
âãì åèäçåè å í ååt
åê åî ïâãí åð ås
âñæãæ ò åêóó ô õåîâñæ åãó åïåã
u
í åì åíâñâí åä ðåê èäèäí æ ðïâã åäãçåê ås
éåêó åã.
öâì åîíâñâí åä ðåê èä,
åê åît
äèåî ð åu
ðâðåîåä ì åîât.
÷ïæ ðâðåî í å åóåã åêåî ðâðåîåä ì åîât
îåãâê å æèåãåêy
å í åêó åt
èäêóäêø ùñâò î åã âêå ç åè å è åí åãêy
å åê åît
äèåî í æ î å ðâð åî åä ì åîât,
ïâïâãåçå í ååt s
ât
âñåò ïâãåè å èä è åñåð ðô ïäñ,
åê åî ðâðå êúååîåêt
îâïâãåè ååê êy
åè åñåð ðô ïäñ æ ê õæî ðâðäêõå îâçåèå äï æ åó åã èää
zinkan tidak
memakai jaket. Pertanyaan
Kalau dalam mobil begini, aku lepas jaket ya Buk?
merupakan sebuah upaya yang dilakukan anak untuk mendayagunakan
keberadaannya di dalam mobil, yang relatif lebih hangat, untuk mendukung
permintaan negatif tidak memakai jaket.
ûü
Konteks Waktu
Konteks waktu yang melatari peristiwa tutur pada saat bertutur, ada kalanya juga
dimanfaatkan oleh penutur untuk mendukung keberhasilan tuturan yang
dilakukannya. Konteks waktu didayagunakan oleh penutur tidak hanya dikaitkan
dengan waktu sekarang, pada saat tuturan dilakukan, tetapi juga berkaitan dengan
waktu tertentu di masa lalu maupun di masa yang akan datang yang bersangkut
paut dengan tuturan penutur. Berikut ini contoh pendayagunaan konteks waktu.
1. B :
Tuh kan Pak, sudah setengah tujuh lebih. Antar pakai motor Pak.
(33)
ýþ
(
ÿ ✁✂ ✄☎✁✆✝✞ ✁✂ ✄☎t s
ÿ ✆✟✠ ☎ ✡).
E : Jalan juga masih nuntut kok. Makanya cepat-cepat.
B :
☛e
la
t lh
o Pak. Aku gak mau kalau lari
-lari.
R : Sudah Pak, pakai motor saja.
Keterangan
B : Bagus (anak)
E : Pak Eko (ayah)
Tuturan tersebut merupakan contoh pendayagunaan konteks waktu sekarang,
yakni waktu pada saat permintaan tersebut diajukan. Peristiwa di atas terjadi pada
saat anak akan berangkat ke sekolah, di pagi hari. Kebetulan pada saat itu sepeda
motor Om Yoyok sedang dititipkan di rumah. Anak ingin diantar ke sekolah naik
sepeda motor padahal biasanya anak pergi ke sekolah dengan berjalan kaki, sebab
di samping jarak antara rumah ke sekolah tidak terlalu jauh, bapak dan ibu
beranggapan bahwa berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki membuat anak
lebih sehat. Oleh karena itu, untuk mengajukan permintaannya, diantar dengan
menggunakan sepeda motor, anak mendayagunakan konteks waktu untuk
mendukung keberhasilan permintaan yang diajukannya, yakni bahwa untuk
berangkat ke sekolah sudah agak terlambat. Hal tersebut juga diperkuat dengan
argumentasi bahwa anak tidak mau kalau jalan cepat-cepat dan cenderung berlari.
Dengan cara tersebut anak berharap bapak dapat memaklumi permintaan anak dan
memperoleh bahan pertimbangan yang mendorong bapak mengabulkan
permintaan anak.
3. Konteks Peristiwa
Tindak tutur yang dilakukan penutur selalu terjadi dalam konteks peristiwa
tertentu. Peristiwa-peristiwa tersebut tidak saja menjadi faktor yang cukup
menentukan dalam peristiwa tutur yang terjadi, tetapi juga sering dimanfaatkan
(1)
❱❲
3.4
❳ ❨❩❬❭❩❪ ❬❫❴ ❭❵ ❭❵❛❫ ❜❫Langkah-langkah yang dilakukan dalam menganalisis data adalah sebagai berikut.
❝❞ ❡
ata yang didapat langsung dianalisis dengan menggunakan catatan deskriptif
dan reflektif.
❢❞
Mengklasifikasikan data ke dalam tuturan ketidaksantunan berdasarkan
prinsip kesantunan Leech.
❲❞
Berdasarkan hasil identifikasi dan klasifikasi data, dilakukan kegiatan
penarikan simpulan sementara.
❣❞
Memeriksa/
❤ ✐❥ ❦✐❧ ✐♠♠✐❤ ♥♦♣qr♦s♦t♦ ❥ ❦♦ r♦.
5.
✉✐❥♦✈q♠✇q❤① ②♣♦ ❥♦♠③q✈.
6.
✉✐❥r ✐✇♠✈q①✇q♠♦ ❥q❤①♣q♠♦✇q♠✐sq r♦♠✇♦ ❥s②❥♦ ❥♥✐✈♥♦③♦✇♦ ✈✐❤♦ ④♦rqr♦ ✐✈♦③⑤ ✐♣②♠(2)
⑩ ❶⑩ ❷
❸❹ ❺❻❼❽❶❾❿❶❾❸❶➀❶❾
➁➂➃❸➄➅ ➆➇➈➉➊
➋➌➍➎ ➏➐➏➍ ➑➏ ➒➓➏➐ ➔→ ➣➌ ➒➌→➔↔➔➏ ➒↕➌ ➒➙➌ ➒➏➔➏ ➒➏→➔➐ ➔➐ ➑➌↔➔➎➏➑ ➐ ➏ ➒↔ ➛ ➒➏ ➒➜➌➍ ➜➏➓➏➐ ➏ ➍➌↕ ➏➝➏
➎ ➔ →➔ ➒➙➑ ➛ ➒➙➏ ➒ ➎ ➏➌➍➏➓ ➞➌→➛➑ ➋➌↔ ➛➒➙ ➋➏➍ ➏↔ ➋➏ ➒➎➏➍ ➟➏ ↕➣➛➒➙ ↕➏➑ ➏ ➣➌ ➒ ➛→➔➐
↕ ➌ ➒➠➔↕ ➣ ➛→➑ ➏ ➒ ➜➏➓➡➏ ➍ ➌➏→➔➐➏➐ ➔ ➑ ➌↔➔➎➏➑ ➐➏ ➒↔ ➛➒➏ ➒ ➜➌➍ ➜➏➓➏➐ ➏ ➎ ➏→➏↕ ➑ ➢↕ ➛ ➒➔➑ ➏➐ ➔
➍ ➌↕➏➝➏ ➎ ➔ →➔ ➒➙ ➑ ➛ ➒➙ ➏ ➒➎➏➌➍ ➏➓ ➞➌→ ➛➑ ➋➌↔ ➛ ➒➙ ➋➏➍➏↔ ➋➏ ➒➎➏➍ ➟➏↕ ➣ ➛ ➒➙ ➑➓➛➐ ➛➐ ➒➠➏ ➎ ➔
➎ ➌➐➏ ➤➔ ➒➏➍ ➥➛→ ➠➏ ➎➏➣ ➏↔ ➎➔→➔➓ ➏↔ ➎➏➍ ➔ ➜➏ ➒ ➠➏➑➒ ➠➏ ↔ ➛↔ ➛➍➏ ➒ ➠➏ ➒➙ ↔➔➎ ➏➑ ↕ ➌ ➒➙➏ ➒➎ ➛ ➒➙
➛ ➒➐ ➛➍ ➑➌➐ ➏ ➒↔ ➛ ➒➏ ➒ ➜➌➍➜➏ ➓➏➐ ➏ ➎ ➏ ➒ ↕➌→➏ ➒➙ ➙➏➍ ➣ ➍➔ ➒➐ ➔➣ ➑ ➌➐➏ ➒↔ ➛➒➏ ➒ ➟➌ ➌➦➓➧ ➠➏ ➒➙
➎ ➔ ➜➏↔➏➐ ➔➐ ➌ ➜➏ ➙➏➔ ➜➌➍➔➑➛↔➨
➩➨ ➋➏➓ ➏➐ ➏ ➠➏ ➒➙ ↔➔➎ ➏➑ ➐ ➏ ➒↔ ➛ ➒ ➠➏ ➒➙ ➎ ➔➛➦➏➣➑ ➏ ➒➢ →➌➓ ➍➌↕ ➏➝➏ ➦➛➑➛➣ ➑ ➏➐➏ ➍➨ ➥➔➐ ➏→ ➒ ➠➏
↔➌➍➎➏➣ ➏↔ ➒➏↕ ➏➫➒➏↕➏ ➜➔ ➒➏↔➏ ➒➙ ➠➏ ➒➙ ➎➔ ➛➦➏➣➑ ➏ ➒ ➢→➌➓ ↕➌➍➌➑ ➏➨ ➋➏➓➏➐ ➏ ➠➏ ➒➙
➎➔➙ ➛ ➒➏➑ ➏ ➒➝ ➛➙➏ ➐ ➏ ➒➙➏↔ ↔➔➎ ➏➑ ➌ ➒➏➑ ➎➔➎ ➌ ➒➙➏➍➧ ↕ ➌ ➒➠➏ ➑➔↔➑ ➏ ➒➓ ➏↔➔➧ ↕➌ ➒➙➢→➢ ➑➫➢→➢➑
➏↔➏ ➛➐ ➔ ➒➎➔➍➏ ➒➎ ➏ ➒↕ ➌ ➒➙➏ ➒➎ ➛ ➒➙➦➌→➏➏ ➒➨
➭➨ ➯➌→➏ ➒➙ ➙➏➍ ➏ ➒ ➣ ➍➔ ➒➐➔➣ ➑ ➌➐ ➏ ➒↔ ➛ ➒➏ ➒ ➎➏→➏↕ ➑➢ ↕ ➛ ➒➔➑➏➐ ➔ ➍➌↕ ➏➝➏ ➎➔ →➔ ➒➙➑➛➒➙➏ ➒
➎➏➌➍➏➓ ➞➌→ ➛➑ ➋➌↔ ➛ ➒➙ ➋➏➍ ➏↔ ➋➏ ➒➎ ➏➍ ➟➏↕ ➣ ➛ ➒➙ ➎➏➣ ➏↔ ➎ ➔→➔➓➏↔ ➎ ➏➍➔ ↔➔➎➏➑
↔➌➍➣➌ ➒ ➛➓ ➔ ➒ ➠➏↕ ➏➑➐ ➔↕➑➌➎ ➌➍↕ ➏➡➏ ➒➏ ➒➧ ↕➏➑➐ ➔↕➣ ➛➝➔➏ ➒➧↕ ➏➑➐ ➔↕➑➌➍➌ ➒➎➏➓ ➏ ➒➓ ➏↔➔➧
↕➏➑ ➐➔↕ ➑➌➐ ➌➣➏➑ ➏↔➏ ➒ ➎ ➏ ➒↕ ➏➑➐ ➔↕ ➑ ➌➐➔↕ ➣➏↔➔➏ ➒➨ ➯➌→➏ ➒➙➙ ➏➍➏ ➒↔➌➍ ➜➌➐ ➏➍ ➏➎➏ ➣ ➏➎➏
(3)
➲➳
➵ ➸➺➻➻ ➼➽➾➚ ➪➼ ➺➚ ➸➶➾➼➹➹ ➸➚ ➸➽➶➼➹ ➸➽➶ ➘➶ ➘➽ ➼ ➺➘➺➶ ➘➪➵ ➸➵ ➾ ➺➾➵ ➼➴➪➼ ➺➷➼➷➾➼ ➺➹ ➼➬➼➮➽ ➼ ➺➻
➴➼➾ ➺➬ ➼ ➺➵ ➸➵ ➼➪➚ ➾➵➼➴➪ ➼ ➺➹➘➱➾➼ ➺✃➼➻ ➾➮➽ ➼ ➺➻➴➼➾ ➺❐
❒❐ ❮ ➸➺❰➸✃➼✃ ➶ ➸➽➱➼➬ ➾ ➺ ❰➼ ➶ ➘➶ ➘➽➼ ➺ ➶➾➬➼➪ ➚ ➼ ➺➶ ➘ ➺ ➪➼➽ ➸➺➼ ➹ ➼➬➼ ➚ ➼➼➶ ➶ ➘➶ ➘➽➼ ➺ ➬➾➴➼➪ ➘➪➼ ➺
➹ ➸➺ ➘➶ ➘➽ ➚ ➸➬➼ ➺➻ ➬ ➼➴➼➵ ➪➸➼➬ ➼➼ ➺ ➵ ➼➽➼ÏÐ ➵ ➸➺➱➼➻ ➼ ➻ ➸➺➻➚ ➾Ð ➚ ➸➽➶➼ ➹➸➺➘➶ ➘➽ ➪ ➘➽➼ ➺➻
➵ ➸➺ ❰➘➪ ➼➾ ➵➾➶➽ ➼ ➶ ➘➶ ➘➽❐ Ñ➸➴➼➾ ➺ ➾➶ ➘Ð Ï➘✃➘ ➺➻ ➼ ➺ ➪ ➸➬➸➪➼➶➼ ➺ ➼ ➺➶➼➽ ➼ ➹➸➺ ➘➶ ➘➽ ➬ ➸➺➻➼ ➺
➴➼Ò➼ ➺➶ ➘➶ ➘➽Ð ➚➾Ó➼➶ ➹ ➸➺ ➘➶ ➘➽ ❰➼ ➺➻ ➾ ➺➻ ➾➺ ➵ ➸➺➼ ➺➻ ➚ ➸➺➬➾➽➾ ➚ ➸➽➶➼ ➴➾ ➺➻➪➘➺➻➼ ➺ ➶ ➸➵➹ ➼➶
➶➾ ➺➻ ➻➼➴ ➹➸➺➘➶ ➘➽ ❰➼ ➺➻ ➪➘➽ ➼ ➺➻ ✃➸➽ ➹ ➸➺➬➾➬ ➾➪➼ ➺ ➬➼ ➺ ➪ ➼➚➼➽ ➚ ➸➽➶➼ ➬ ➾➬➮ ➵➾ ➺➼➚➾ ➮ ➴ ➸Ï
➼ ➺➼➪ ➹ ➘➶ ➘➚ ➚ ➸➪ ➮➴➼Ï ➱➘➻ ➼ ➾➪➘➶ ➵➸➵ ➸➺➻➼➽ ➘Ï➾ ➹➸➵ ➼➪ ➼➾➼ ➺✃➼Ï➼➚ ➼ ➽➸➵➼➱➼ ➬➾ ➬➸➚➼
Ñ➾ ➺➼➽Ô ➘➴❰➼Õ ➸➴ ➘➪Ö ➸➶ ➘ ➺➻Ö➼➽ ➼➶❐
× ❐ Ø➼➪➶➮➽ ❰➼ ➺➻ ➵➸➵➸➺➻ ➼➽ ➘Ï➾ ➪ ➸➶➾➬ ➼➪➚ ➼ ➺➶ ➘➺➼ ➺ ✃➸➽✃➼Ï➼➚ ➼ ➬ ➼➴➼➵ ➪➮ ➵ ➘ ➺➾➪ ➼➚ ➾
➽ ➸➵➼➱➼Ð ❰➼➾➶ ➘ Ï➘✃➘➺➻➼ ➺ ➼ ➺➶➼➽➼ ➹➸➺➘➶ ➘➽ ➬ ➸➺➻➼ ➺ ➵ ➾➶➽➼ ➶ ➘➶ ➘➽Ð ➚➶➼➶ ➘➚ ➚➮ ➚ ➾➼➴Ð ➬➼ ➺
➪ ➸➴➼ ➺➻➚ ➘➺➻➼ ➺➶ ➘➶ ➘➽➼ ➺❐ Ù➸➬➸➪➼➶➼ ➺➹➸➺➘➶ ➘➽➬➸➺➻➼ ➺➴➼Ò➼ ➺➶ ➘➶ ➘➽➵➸➵✃➘➼➶➶ ➘➶ ➘➽ ➼ ➺
❰➼ ➺➻ ➬ ➾➻ ➘➺➼➪ ➼ ➺ ➮ ➴ ➸Ï ➹ ➸➺ ➘➶ ➘➽ ➵ ➸➺➱➼➬➾ ➶➾➬ ➼➪ ➚ ➼ ➺➶ ➘ ➺Ð ➶ ➘➶ ➘➽➼ ➺ ❰➼ ➺➻ ➴ ➸✃➾Ï
➵ ➸➺➻ ➘ ➺➶ ➘➺➻➪ ➼ ➺ ➬➾➽➾ ➹ ➸➺ ➘➶ ➘➽ ➬➼➽➾ ➹ ➼➬➼ ➵➾➶➽➼ ➵ ➸➵✃➘➼➶ ➶ ➘➶ ➘➽➼ ➺ ➶ ➸➽➚ ➸✃➘➶ ➱➘➻ ➼
➶➾➬➼➪ ➚ ➼ ➺➶ ➘➺Ð ➚➶➼➶ ➘➚ ➚ ➮➚ ➾➼➴ ➹ ➸➺ ➘➶ ➘➽ ❰➼ ➺➻ ➴ ➸✃➾Ï ➶➾ ➺➻ ➻➾ ➬➼➽ ➾ ➵ ➾➶➽➼ ➶ ➘➶ ➘➽ ➵ ➸➵✃➘➼➶
➶ ➘➶ ➘➽➼ ➺ ❰➼ ➺➻ ➬➾➻➘➺➼➪➼ ➺➹ ➸➺ ➘➶ ➘➽➶➾➬➼➪➚ ➼ ➺➶ ➘ ➺Ð➶ ➘➶ ➘➽➼ ➺➴➼ ➺➻ ➚ ➘ ➺➻ ❰➼ ➺➻➬ ➾➻ ➘ ➺➼➪ ➼ ➺
➹ ➸➺ ➘➶ ➘➽ ➪ ➸➶➾➪ ➼ ➵ ➸➺ ❰➼➵ ➹➼➾➪ ➼ ➺ ➵ ➼➪➚ ➘➬➺ ❰➼ ➵➸➺❰➸✃➼✃➪➼ ➺ ➶ ➘➶ ➘➽ ➼ ➺ ➹➸➺➘➶ ➘➽
➵ ➸➺➱➼➬➾➶➾➬ ➼➪➚➼ ➺➶ ➘➺❐
ÚÛÜÝÞ ßÞ à
Ö➸➽➬ ➼➚➼➽ ➪➼ ➺ Ï➼➚ ➾➴ ➹➸➺➸➴➾➶➾➼ ➺ ➬ ➼ ➺ ➹ ➸➵✃➼Ï➼➚ ➼ ➺ ❰➼➺➻ ➶ ➸➴➼Ï ➬ ➾➚➼➱➾➪ ➼ ➺ ➹➼➬ ➼ ✃➼➻➾ ➼ ➺
➚ ➸✃➸➴ ➘➵ ➺ ❰➼Ð➹ ➸➺ ➘➴➾➚➵➸➺❰➼ ➽➼ ➺➪➼ ➺Ï➼➴á Ï➼➴➚ ➸✃➼ ➻➼➾✃➸➽➾➪➘➶❐
â ❐ ã➘➽ ➘ ➬ ➼➹➼➶ ➵ ➸➵ ➼ ➺Ó➼➼➶➪ ➼ ➺ ✃➸➺➶➘➪á✃➸➺➶ ➘➪ ➪ ➸➶➾➬➼ ➪➚ ➼ ➺➶ ➘ ➺➼ ➺ ✃➸➽✃➼Ï➼➚ ➼ ➚ ➸✃➼➻➼➾
(4)
åæ
ç èé ê ëé èì ç ëéí èé îèì è ï ëéð éñðòòèéçèé ï ëïêëìó ô ëï èõ èï èéòëôèç è ö óö ÷è
ïëéí ëé èó ê ëéøðòùêëéøðò òëøóç èòöèéøðé èé ê ëìêèõ èö è ö ëìøè ÷èòøð
ô ëéííðé èèéé úè ö ëõóéí í è ö óö ÷è ç èôèø ïëïèõèïó çèé ï ëéíëìøó øëéøèéí
ô ëéííðé èèé êèõ èö è ûéçüéëö óè úèéí ê èóò ç è é ê ëé èì ö ëìøè ò èôèé ÷èòøð
ô ëéííðé èèéé úèý þ óö÷è ñðí è çèôèø ÿëêóõ ï ëï èõ èï ó çèÿèï ïëé úëö ð èóòèé
ô ëéííðé èèé êèõ èö è òëøóò è êëìèçèç èÿ èï öóøð èö ó üìï èÿ ç èé øóç èò üì ïèÿ öëìøè
ç èôèø ï ëéíõ óéç è ìó ô ëéííðé èèé òèøèùòèøè úèéí øóçèò ê èóò ç ó ç èÿ èï ò ëíóèøèé
ê ëÿ èñèìùïëéí èñèì ý
✁ ý ✂ èíó í ð ìð êèõ èö è ûéçüéëö óè ö ëòüÿ èõ ï ëéëéí èõ ô ëìøèï è✄ ö ëê èí èó ô ëéç óçóò
öëòèÿ óí ð öôëéíèñèì õëéçèòéúè çèô èø ïëï èõ èï óêèõ ÷è ò ëö èéøð éèé êëìêèõèö è
øóç èò õèéúè ðéøðò çóèñèìòèé ïëÿ èóéò èé ð éøðò ç óøëìèô ò èé ñðí è çó çèÿ èï
ò ëõóç ðô èé ö ëõ èìóùõèìóý ☎ÿ ëõ òèìëé è óøð✄ í ð ìð õëéç èòéúè øóçèò õèé úè ö ëòèç èì
ïëéí èñèìòèé ï èøëìó ô ëÿ èñèìèé öèñ è øëøèôó ñðí è ïëé èé èïòèé éóÿ èóùéóÿ èó
ò ëö èéøð éèé ç ó ç èÿ èï ç óìó ö óö÷è✄ ïëéí èìèõ ò èé ç èé ïëïê óïê óéí öóö ÷è èíèì
ïèïô ð ï ëéëì èôòèé òëö èéøð éèé ê ëìê èõèö è çó ç èÿ èï òëõ óçðôèé ö ëõèìóùõ èì óý
þ ëÿ èóé óøð✄ íðìð ñðí è õèìðö ïëéí í ðé èò èé øðøð ìèé úè éí ö èéøðé èí èì ç èôèø
(5)
DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2004.
Sosiolinguistik Perkenalan Awal
.
Jakarta: Rineka Cipta.
Halliday, Ruqaiya hasan. 1992. Bahasa, Konteks dan Teks. Terjemahkan oleh
Tou, Asruddin Barori. 1992. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Leech, Geoffrey. 1993.
Prinsip-prinsip Pragmatik
. Terjemahan oleh Oka, M.D.D.
1993. Universitas Indonesia (UI-Press). Jakarta. 389 hlm.
M. A., Hoetomo. 2005.
Kamus Lengkap Bahasa Indonesia
. Surabaya: Mitra
Pelajar Surabaya
Muslich, Masnur. 2010.
Bahasa Indonesia Pada Era Globalisasi
. Jakarta: PT
Bumi Aksara.
Muslich, Masnur. 2007.
Kesantunan berbahasa: Sebuah Kajian Sosiolinguistik
.
http://muslich-m.blogspot.com/kesantunan berbahasa indonesia (26 April
2007).
Nadar, F.X. 2009.
Pragmatik & Penelitian Pragmatik.
Yogyakarta: Graha Ilmu.
Parrera, Jos Daniel. 2004.
Teori Semantik
. Jakarta: Erlangga.
Pranowono. 2009.
Berbahasa Secara Santun.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Prastowo, Andi. 2011.
Metode Penelitian Kualitatif dalam Perspektif Rancangan
Penelitian.
Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Rahardi, Kunjana. 2005.
PRAGMATIK, Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia.
Jakarta: Erlangga.
Rusminto, Nurlaksana Eko. 2009.
Analisis Wacana Bahasa Indonesia.
(Buku
Ajar). Bandar Lampung: Universitas Lampung.
(6)