Analisis Karakteristik Ibu Dan Strategi Pelaksanaan Imunisasi Dengan Imunisasi Polio Di Kabupaten Bireuen Tahun 2007

(1)

1

ANALISIS KARAKTERISTIK IBU DAN STRATEGI

PELAKSANAAN IMUNISASI DENGAN IMUNISASI POLIO

DI KABUPATEN BIREUEN

TAHUN 2007

T E S I S

Oleh

MUHAMMAD YUSUF

047023014/AKK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2008


(2)

2

ANALISIS KARAKTERISTIK IBU DAN STRATEGI

PELAKSANAAN IMUNISASI DENGAN IMUNISASI POLIO

DI KABUPATEN BIREUEN

TAHUN 2007

T E S I S

Untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M. Kes) dalam Program Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Konsentrasi Administrasi Kesehatan Komunitas/Epidemiologi

pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

MUHAMMAD YUSUF

047023014/AKK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2008


(3)

3

Judul Tesis : ANALISIS KARAKTERISTIK IBU DAN

STRATEGI PELAKSANAAN IMUNISASI

DENGAN IMUNISASI POLIO

DI KABUPATEN BIREUEN TAHUN 2007

Nama Mahasiswa : Muhammad Yusuf

Nomor Pokok : 047023014

Program Studi : Administrasi dan Kebijakan Kesehatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. dr. Sutomo Kasiman, Sp. PD, Sp. JP)

Ketua

(dr. Jules Hutagalung, MPH) (Dra. Syarifah, MS)

Anggota Anggota

Ketua Program Studi, Direktur,

(Dr. Drs. Surya Utama, MS) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., MSc)


(4)

4

Telah diuji pada Tanggal 22 April 2008

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. dr. Sutomo Kasiman, Sp. PD, Sp.JP

Anggota : 1. dr. Jules Hutagalung, MPH

2. Dra. Syarifaf, MS 3. drh. Rasmaliah, M. Kes 4. drh. Hiswani, M. Kes


(5)

5

PERNYATAAN

ANALISIS KARAKTERISTIK IBU DAN STRATEGI PELAKSANAAN IMUNISASI DENGAN IMUNISASI POLIO

DI KABUPATEN BIREUEN TAHUN 2007

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan disuatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, 12 Februari 2008


(6)

6

ABSTRAK

Imunisasi adalah upaya pencegahan penyakit yang paling efektif terhadap peningkatan kesehatan masyarakat dan dalam upaya pencegahan terjadinya penyakit polio diperlukan suatu strategi dalam pelaksanaannya serta dukungan dari masyarakat untuk meningkatkan kekebalan anak balita dengan pemberian imunisasi polio. Di Indonesia kasus penyakit polio telah menjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) pada kurun waktu tahun 2005 dan 2006 dengan 305 kasus yang tersebar di 10 provinsi dan 47 kabupaten/kota. Di Kabupaten Bireuen terjadi KLB Polio dengan 1 kasus, dimana angka cakupan imunisasi polio di Kabupaten Bireuen Tahun 2006 adalah 90% dari target cakupan 95%.

Penelitian ini merupakan studi analitik observasional dengan desain kasus kontrol yaitu membandingkan kecamatan yang didapatkan kasus penyakit polio yaitu Kecamatan Juli (kasus) dengan Kecamatan yang tidak ditemukan adanya kasus penyakit polio yaitu Kecamatan Kota Juang dan Kecamatan Jeumpa (kontrol). Total sampel 294 orang yang diambil dari kecamatan kasus 98 orang dan Kecamatan kontrol 196 orang (perbandingan 1 kasus 2 kontrol) dengan melakukan matching umur dan jenis kelamin balita dengan tehnik systematic sampling. Analisis dilakukan secara univariat, bivariat dengan uji Chi-square dan multivariat dengan uji regresi logistik ganda pada taraf kepercayaan 95% untuk mengetahui faktor risiko yang dominan terhadap imunisasi polio di Kabupaten Bireuen Tahun 2007.

Hasil analisis bivariat menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara pengetahuan, sosialisasi imunisasi dan petugas kesehatan dengan imunisasi polio dengan nilai p < 0,05, sedangkan pendidikan, pekerjaan, sikap dan peran serta masyarakat tidak terdapat hubungan yang signifikan dengan imunisasi polio dengan nilai p > 0,05 dan hasil analisis statistik secara multivariat menunjukan bahwa pengetahuan, sosialisasi imunisasi dan petugas kesehatan merupakan faktor risiko yang dominan dalam hubungannya dengan imunisasi polio di Kabupaten Bireuen. Untuk meningkatkan pengetahuan ibu disarankan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Bireuen melaksanakan penyuluhan kesehatan secara berkesinambungan, meningkatkan sosialisasi imunisasi pada masyarakat, melakukan kerja sama lintas program dan lintas sektor serta meningkatkan kompetensi petugas kesehatan dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab sebagai tujuan program sehingga sumber daya manusia aparatur sesuai dengan kebutuhan dalam melaksanakan tugas pemerintah dan pembangunan.


(7)

7

ABSTRACT

Immunization is the most effective way of disease prevention in improving community health. To avoid the incident of polio, strategy and community support are needed in the implementation of the attempt to increase immunity in children under five years old by administering polio immunization. In Indonesia, the case of polio became an outstanding incident in 2005 and 2006 with 305 case spread in 10 provices and 47 districts/cities. In 2006, only one case happened in Biruen District because 90% out of 95% polio immunization targeted were covered.

This observational analitycal study with case control design compares Juli Sub-district (case group) and Kota Juang and Jeumpa Sub-district (control group). The samples for this study were 294 children under five years old comprising 98 children for Juli Sub-district (case group) and 196 children from Kota Juang and Jeumpa sub-district ( with the ratio of 1 case group to 2 control groups) by matching their age and sex through the systematic sampling technique. The data obtained were analyzed through univariate analysis, bivariate analysis with Chi-square test, and multivariate analysis with multiple logistc regression tests with level of confidence of 95% to find out the rsik factor dominating polio immunizatian in Bireuen District in 2007.

The result of bivariate analysis shows that there is a significant relationship between knowledge, socialization of immunization and health workers and polio immunization with <0.05 while there is no significant relationship between knowledge, occupation, attitude and community participation and polio immunization with >0.05, and the result of multivariate statistical analysis reveals that knowledge, sicialization of immunization and health workers are the risk factors which are dominant to polio immunization in Bireuen District.

To improve mother’s knowledge, it is suggested that Helath Service of Bireuen District continously carry out an axtension on health issues, increase the socialization of immunization for the community, implement cross-program and cross-sectoral cooperation, and improve the competency of health workers in implementing their duties and responsibilities as the objective of the program that they can implement the task of the government and development.


(8)

8

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadiran Allah SWT, dimana atas rahmat dan hidayahNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini dengan judul

“Analisis Karateristik Ibu dan Strategi Pelaksanaan Imunisasi dengan Imunisasi Polio Di Kabupaten Bireuen Tahun 2007”.

Penulisan ini merupakan salah satu persyaratan akademik untuk menyelesaikan pendidikan Program Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Konsentrasi Komunitas/Epidemiologi Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih dengan penuh keikhlasan dan cinta kasih yang sedalam-dalamnya kepada :

Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. dr. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp. A (K) atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada kami untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Sekolah Pascasarjana.

Direktur Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang dijabat oleh Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, MSc, atas kesempatan yang diberikan menjadi mahasiswa Program Magister pada Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Ketua Program Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan yang dijabat oleh Dr. Drs. Surya Utama, MS, atas kesempatan yang diberikan menjadi mahasiswa Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.


(9)

9

Terima kasih yang tak terhingga dan penghargaan yang setinggi-tingginya kami ucapkan kepada Prof. dr. Sutomo Kasiman, Sp. PD, Sp. JP selaku ketua komisi pembimbing yang telah banyak membimbing dan meluangkan waktu untuk membimbing penulis mulai dari proposal hingga penulisan tesis selesai. dr. Jules Hutagalung, MPH, selaku pembimbing dua, yang juga telah banyak meluangkan waktu untuk membimbing dan Dra. Syarifah, MS, selaku pembimbing tiga, yang dengan penuh kesabaran, membimbing dan mengarahkan penulisan tesis ini. drh. Rasmaliah, M. Kes, selaku dosen pembanding yang telah banyak memberikan masukan demi kesempurnaan penulisan ini dan drh. Hiswani, M. Kes, selaku dosen pembanding yang telah banyak membantu penulisan ini.

Terima kasih juga disampaikan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kesehatan Kabupaten Bireuen yang dijabat oleh dr. Amren Rahim, M. Kes yang telah memberikan izin untuk melakukan penelitian ini. Kepala Puskesmas Jeumpa, Kota Juang dan Juli yang telah ikut berperan dalam memfasilitaskan lokasi penelitian dan para ibu-ibu yang telah bersedia untuk diwawancarai serta semua rekan-rekan seperjuangan yang telah banyak membantu dalam penulisan tesis ini.

Ucapan terima kasih kepada keluaga tercinta (Alm) Ayahanda H. Madsyah dan Ibunda Puteh, abang dan adik serta sekeluarga besar tercinta, yang telah membantu memberi dorongan dan dukungan baik moril maupun materil yang tak terbatas kepada penulis.


(10)

10

Teristimewa juga buat isteri tercinta Evi Juliza, AMK yang tidak henti-hentinya memberikan dorongan serta semangat dalam penulisan ini.

Akhirnya dengan satu harapan, semoga penulisan akhir ini berguna dan bermanfaat bagi kita semua.

Medan April 2008 Tertanda,

Muhammad Yusuf


(11)

11

RIWAYAT HIDUP

Nama : Muhammad Yusuf

Tempat Tanggal Lahir : Pantonlabu, 29 Maret 1968

Agama : Islam

Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil Pemerintah Daerah

Kabupaten Bireuen

Alamat / Tempat Tinggal : Desa Jarummah Mee Kec. Kuta Blang

Kabupaten Bireuen Provoinsi NAD.

Riwayat Pendidikan

1. SD Negeri di Pantonlabu : 1983

2. SMP Negeri di Pantonlabu : 1986

3. SMA Negeri di Pantonlabu : 1989

4. AKL Mona di Banda Aceh : 1998

5. FKM Muhammadiyah di Banda Aceh : 2001

6. Sekolah Pascasarjana USU di Medan : 2004

Riwayat Pekerjaan

1. AKL Mona Banda Aceh : 1998

2. RSU Djut Nyak Dhien Meulabo Aceh Barat : 2000

3. Dinas Kesehatan Kabupaten Bireuen : 2002

4. RSUD dr.Fauziah Kabupaten Bireuen : 2007


(12)

12

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

KATA PENGANTAR... viii

RIWAYAT HIDUP... xi

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

PENDAHULUAN... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 8

1.3. Tujuan Penelitian... 8

1.4. Hipotesis Penelitian... 8

1.5. Manfaat Penelitian... 9

TINJAUAN PUSTAKA ... 10

2.1. Polio ... 10

2.2. Karakteristik Masyarakat ... 17

2.3. Strategi Pelaksanaan Imunisasi ... 22

2.4. Landasan Teoritis Penelitian ... 34


(13)

13

METODE PENELITIAN ... 40

3.1. Jenis Penelitian... 40

3.2. Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian... 40

3.3. Populasi dan Sampel Penelitian ... 41

3.4. Metode Pengumpulan Data ... 42

3.5. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 44

3.6. Metode Pengukuran... 45

3.7. Metode Analisis Data ... 48

HASIL PENELITIAN... 50

4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 50

4.2. Hasil Analisis ... 53

PEMBAHASAN ... 62

5.1. Hubungan Karakteristik Ibu Dengan Imunisasi Polio... 62

5.2. Hubungan Strategi Pelaksanaan Imunisasi Dengan Imunisasi Polio... 65

5.3. Faktor Resiko Yang Dominan Dengan Imunisasi Polio ... 69

KESIMPULAN DAN SARAN ... 71

6.1. Kesimpulan... 71

6.2. Saran... 72


(14)

14

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

1. Distribusi Penduduk, Desa, Luas Wilayah dan Keluarga

Berdasarkan Kecamatan Di Kabupaten Bireuen Tahun 2006 ... 50 2 Persentase Cakupan Desa UCI Berdasarkan Kecamatan Di Kabupaten Bireuen Tahun 2006 ... 51 3 Distribusi Umur dan Jenis Kelamin Anak pada Kecamatan Kasus

dan Kecamatan KontrolDi Kabupaten Bireuen Tahun 2007 ... 52

4 Distribusi Variabel Independen Dengan Imunisasi Polio

Berdasarkan Kecamatan Kasus dan Kecamatan Kontrol Di Kabupaten Bireuen Tahun 2007 ... 53 5 Hasil Analisis Multivariat Untuk Indetifikasi Variabel Independen

Yang Akan Masuk Dalam Model ... 59 6 Hasil Analisis Multivariat Model Faktor Risiko Imunisasi Polio Di


(15)

15

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1 Kuesioner Penelitian ... 76

2 Tabel skor ... 82

3 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas ... 83

4 Hasil Crosstabel ... 89

5 Hasil Uji Logistic Regression ... 97

6 Hasil Uji Multivariat Logistic Regression ... 102

7 Hasil Uji Interaksi Logistic Regression ... 105

8 Surat Selesai Penelitian ... 106


(16)

16

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

Tujuan pembangunan Nasional adalah tercapainya kemampuan hidup sehat bagi setiap penduduk agar dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal sebagai salah satu unsur kesejahteraan umum dari tujuan nasional. Dalam tujuan tersebut di atas telah dilaksanakan berbagai kegiatan dalam bidang kesehatan yang diatur oleh pemerintah dan dilaksanakan secara bersama-sama oleh pemerintah dan masyarakat termasuk swasta (Depkes RI. 2000).

Keberhasilan pembangunan kesehatan sangat dipengaruhi oleh tersedianya sumber daya manusia yang sehat, terampil dan ahli, serta disusun dalam satu program kesehatan dengan perencanaan terpadu yang didukung oleh data dan informasi epidemiologi yang Valid.

Pembangunan bidang kesehatan di Indonesia saat ini mempunyai beban ganda (double burden). Penyakit menular masih merupakan masalah, sementara penyakit degeneratif juga muncul sebagai masalah. Penyakit menular tidak mengenal batas administrasi, sehingga menyulitkan pemberantasanya. Dengan tersedianya vaksin yang dapat mencegah penyakit menular tertentu, maka tindakan pencegahan untuk mencegah berpindahnya penyakit dari suatu daerah kedaerah lain atau satu negara ke negara lain dapat dilakukan dalam waktu yang singkat dan dengan hasil yang efektif.


(17)

17

Salah satu strategi pembangunan kesehatan nasional untuk mewujudkan “Indonesia Sehat 2010” adalah menerapkan pembangunan nasional berwawasan kesehatan, yang berarti setiap upaya program pembangunan harus mempuyai konstribusi positif terhadap terbentuknya lingkungan yang sehat. Sebagai acuan pembangunan kesehatan mengacu pada konsep “Paradigma Sehat” yaitu pembangunan kesehatan yang memberikan prioritas utama pada upaya pelayanan peningkatan kesehatan (promotif) dan pencegahan penyakit (preventif) dibandingkan upaya pelayanan penyembuhan/pengobatan (kuratif) dan pemulihan

(rehabilitatif) secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan. Undang-undang Kesehatan Nomor 23 Tahun 1992, ”Paradigma Sehat” dilaksanakan melalui beberapa kegiatan antara lain pencegahan penyakit. Salah

satu upaya pencegahan penyakit menular adalah upaya imunisasi (Depkes RI, 2005).

World Health Assembly (WHA) (1988), suatu badan tertinggi di organisasi kesehatan dunia (World Health Organization/WHO), telah mengeluarkan resolusi untuk membasmi penyakit polio dari dunia ini sebelum tahun 2000 karena polio merupakan salah satu dari beberapa penyakit yang dapat dibasmi. Strategi untuk membasmi polio didasarkan atas pemikiran bahwa virus polio akan mati bila ia disingkirkan dari tubuh manusia dengan cara pemberian imunisasi polio. Strategi yang sama telah digunakan untuk membasmi penyakit cacar (smallpox) pada tahun 1977 dan penyakit cacar tersebut telah berhasil dibasmi (Depkes RI, 2007).


(18)

18

Pada tahun 1952 di Amerika terdapat 58 ribu kasus polio, dan pada tahun 1955 vaksin Salk mulai digunakan. Sehingga pada tahun 1963, puluhan juta anak yang telah divaksin, pada saat itu masih terdapat sekitar 350 ribu kasus polio di seluruh dunia, sedangkan di Amerika hanya ada 396 kasus polio. Meskipun sampai tahun 2000, polio belum terbasmi, tetapi jumlah kasusnya telah berkurang hingga di bawah 500. Sampai dengan tahun 2002 polio tidak ada lagi di Asia Timur, Amerika Latin, Timur Tengah atau Eropa, tetapi masih terdapat di Nigeria, Afganistan, dan sejumlah kecil di India dan Pakistan. India telah melakukan usaha pemberantasan polio yang cukup sukses. Pada tahun 2004 angka infeksi polio meningkat menjadi 1.185 di 17 negara dari 784 di 15 negara pada tahun 2003. Sebagian penderita berada di Asia dan 1.037 ada di Afrika. Nigeria 763 penderita, India 129 penderita dan Sudan 112 penderita. Vaksinasi pada saat balita akan sangat membantu pencegahan polio di masa depan karena polio menjadi lebih berbahaya jika diderita oleh orang dewasa. Orang yang telah menderita polio bukan tidak mungkin akan mengalami gejala tambahan di masa depan seperti layuh otot; gejala ini disebut sindrom post polio (Wikipedia, 2006).

Upaya imunisasi diselenggarakan di Indonesia sejak tahun 1956. Upaya ini merupakan upaya kesehatan masyarakat yang terbukti paling cost effective. Dengan upaya ini terbukti bahwa penyakit cacar telah terbasmi dan Indonesia dinyatakan bebas dari penyakit cacar sejak tahun 1974 dan mulai tahun 1977, upaya imunisasi diperluas menjadi Program Pengembangan Imunisasi (PPI) dalam rangka pencegahan penularan terhadap Penyakit yang Dapat dicegah Dengan


(19)

19

Imunisasi (PD3I) yaitu tuberkulosis, difteri, pertusis, campak, polio, tetanus serta hepatitis B. (Depkes RI, 2005).

Setelah dilaksanakan Pekan Imunisasi Nasional (PIN) selama 3 (tiga) tahun berturut-turut pada tahun 1995, 1996 dan1997, virus polio liar asli Indonesia tidak ditemukan lagi sejak tahun 1996, namun pada awal maret tahun 2005 muncul kasus polio pertama selama satu dasa warsa yang mana negeri bebas polio yang disandang selama 10 tahun hilang ketika seorang anak berusia 20 bulan di Kecamatan Cidahu Kabupaten Sukabumi Jawa Barat ditemukan virus polio liar. Virus ini diperkirakan terbawa dari Nigeria ke Arab dan sampai ke Indonesia melalui tenaga kerja Indonesia yang bekerja di Arab atau orang yang bepergian ke Arab untuk haji. Kasus polio tersebut berkembang menjadi kejadian luar biasa (KLB), dimana pada kurun waktu 2005 sampai awal 2006 kasus polio telah berjumlah 305 kasus yang tersebar di 10 propinsi dan 47 kabupaten/kota di Indonesia (Depkes RI, 2007).

Markum (1997), pada tahun 1984 cakupan imunisasi lengkap secara nasional di Indonesia baru mencapai 4% dengan bantuan donor internasional seperti WHO, UNICEF dan USAID dilasanakan program imunisasi nasional yang berupaya mendistribusikan seluruh kebutuhan vaksin dan peralatan rantai dinginnya serta melatih tenaga vaksinator dan pengelola rantai dingin. Pada akhir tahun 1989 sejumlah 96% dari seluruh kecamatan di Indonesia telah dapat memberikan pelayanan imunisasi secara teratur. Dengan strategi tersebut maka sasaran imunisasi dasar bagi seluruh anak (Universal Child Imunization =UCI,)


(20)

20

telah dapat dicapai pada akhir tahun 1990. Angka drop out cakupan imunisasi DPT1 pada bayi secara nasoinal sebesar 7,4%. Provinsi dengan angka drop out

terendah adalah Irian Jaya (1,1%), Nusa Tenggara Barat (1,3%), dan Yogyakarta (1,5%). Sedangkan provinsi dengan angka drop out yang tinggi adalah Irian Jaya (16,9%), Nanggroe Aceh Darussalam (16,8%), dan Nusa Tenggara Timur (13,8%) (Depkes RI, 1999).

Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam pada tahun 2006, melaporkan telah terjadi 3 kasus polio yang tersebar di kabupaten di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (UNICEF, 2005). Pada tahun 2005, di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam persentase cakupan imunisasi menunjukan DPT 1 85,48%, Polio 3 sebesar 74,37%, Polio 4 sebesar 69,51% dan Campak 72,14%. Sedangkan Cakupan imunisasi di Kabupaten Bireun terdapat DPT1 70,45%, Polio sebesar 90,30% dan Campak 65,25%. Jika dilihat persentase cakupan imunisasi di atas maka dapat dipastikan bahwa masih terjadi drop out dalam pencapaian angka cakupan imunisasi (Dinkes NAD, 2006).

Di Kabupaten Bireuen munculnya Kejadian Luar Biasa (KLB) penyakit polio dengan 1 kasus polio menjadi tanda tanya besar bagi Pemerintah Kabupaten Bireuen terutama Dinas Kesehatan, sehingga kegiatan Outbreak Response Immunization (ORI) dilaksanakan untuk memutuskan rantai penularan virus polio . Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir Pekan Imunisasi Nasional (PIN) selalu dilaksanakan. Cakupan imunisasi polio sebesar 90% dari target cakupan 95%. Pada akhir tahun 2005 yang telah dilaksanakan PIN sampai putaran V di seseluruh


(21)

21

wilayah Kabupaten Bireuen oleh petugas kesehatan. Penyelenggaraan program imunisasi di Kabupaten Bireuen telah mengacu kepada kebijakan dan strategi pelaksanaan imunisasi di Indonesia yaitu dengan menjadikan program imunisasi sebagai program kesehatan masyarakat yang menjadi tanggung jawab bersama antara masyarakat dan pemerintah (Dinkes Bireuen, 2006).

Fahmi, 2005 dalam penelitian yang dilakukan di Kabupaten Aceh Barat, tentang pengetahuan ibu terhadap status imunisasi dari 61 responden didapatkan pemberian imunisasi lengkap 40 orang dan dengan status iminusasi tidak lengkap 21 orang ( Fahmi, 2005).

Masalah kesehatan masyarakat, pada dasarnya menyangkut dua aspek utama. Yang pertama ialah aspek fisik, seperti tersedianya sarana kesehatan dan pengobatan penyakit, sedangkan yang kedua adalah aspek non fisik yang menyakut perilaku kesehatan. Faktor perilaku ini mempuyai pengaruh yang besar terhadap status kesehatan individu maupun masyarakat.

Perilaku manusia merupakan hasil daripada segala macam pengalaman serta interaksi manusia dengan lingkungan yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap dan tindakan. Dengan kata lain, perilaku merupakan respons/reaksi seorang individu terhadap stimulus yang berasal dari luar maupun dari dalam dirinya, respon ini dapat bersifat pasif (tanpa tindakan : berpikir, berpendapat dan bersikap) maupun aktif (melakukan tindakan). Perilaku aktif dapat dilihat (overt), sedangkan perilaku pasif tidaklah tanpak, seperti pengetahuan, persepsi atau motivasi ( Notoadmdjo, 2005).


(22)

22

Lawrence Green, mengatakan bahwa kesehatan individu/masyarakat dipengaruhi oleh dua faktor pokok, yaitu faktor perilaku dan faktor-faktor diluar perilaku (non perilaku). Selanjutnya, faktor perilaku ini ditentukan oleh tiga kelompok faktor yaitu faktor predisposisi (predisposing factors) mencakup pengetahuan individu, sikap, kepercayaan, tradisi, norma sosial dan unsur-unsur lain yang terdapat dalam individu dan masyarakat. Faktor pendukung (enabling factors) ialah tersedianya pelayanan kesehatan dan kemudahan untuk mencapainya sedangkan faktor pendorong (reinforcing factors) ialah sikap dan perilaku petugas kesehatan. Green menyatakan bahwa pendidikan kesehatan merupakan peranan penting dalam mengubah dan menguatkan ketiga kelompok faktor itu agar sejalan dengan tujuan kegiatan sehingga menimbulkan perilaku positif dari masyarakat terhadap program tersebut dan terhadap kesehatan pada umumnya (Sarwono, 2007).

Sebagai contoh model Green ini dapat digunakan untuk menganalisa program imunisasi di Indonesia. Seseorang yang tidak mau mengimunisasikan anaknya di posyandu dapat disebabkan karena orang tersebut tidak atau belum mengetahui manfaat imunisasi bagi anaknya (predisposing factors). Atau barangkali karena rumahnya jauh dari posyandu atau puskesmas tempat mengimunisasi anaknya (enabling factors). Sebab lain mungkin karena para petugas kesehatan atau tokoh masyarakat lain disekitarnya tidak pernah mengimunisasi anaknya (reinforcing factors) (Notoatmodjo, 2007).


(23)

23

Berdasarkan latar belakang diatas penulis mencoba untuk melakukan penelitian melalui pendekatan faktor resiko terhadap imunisasi polio baik dari faktor karateristik ibu (pendidikan, pekerjaan, pengetahuan dan sikap) maupun dari faktor strategi pelaksanaan imunisasi (petugas kesehatan, sosialisasi imunisasi dan peran serta masyarakat), karena seharusnya penyakit polio tidak muncul lagi setelah dilaksanakan pekan imunisasi nasional, namun kasus polio masih dijumpai di Kabupaten Bireuen.

1.2.Perumusan Masalah

Apakah ada hubungan antara karakteristik ibu dan strategi pelaksanaan imunisasi dengan imunisasi polio di Kabupaten Bireuen?

1.3.Tujuan Penelitian

Untuk menganalisis hubungan karakteristik ibu dan strategi pelaksanaan imunisasi dengan imunisasi polio di Kabupaten Bireuen.

1.4.Hipotesis Penelitian

Adanya hubungan karakteristik ibu dan strategi pelaksanaan imunisasi dengan imunisasi polio di Kabupaten Bireuen.


(24)

24

1.5.Manfaat Penelitian

1. Dapat menjadi suatu masukan bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Bireuen, sebagai strategi meningkatkan pelayanan kesehatan dasar di puskesmas. 2. Bagi peneliti, sebagai bahan masukan yang berkaitan dengan imunisasi

polio dan meningkatkan pengetahuan tentang pencegahan penyakit polio. 3. Bagi peneliti lain, sebagai bahan perbandingan dalam melakukan penelitian


(25)

25

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Polio

2.1.1. Pengertian polio

Polio adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus polio, dan dapat mengakibatkan terjadinya kelumpuhan yang permanen. Walaupun penyakit ini dapat menyerang semua kelompok umur, namun kelompok umur yang paling rentan adalah umur kurang dari 3 tahun ( 50 – 70 % dari semua kasus polio ).

Virus masuk ke dalam tubuh melalui mulut ketika seseorang memakan makanan atau minuman yang terkontaminasi dengan tinjadan berkembang biak di tenggorokan dan usus. Masa inkubasi polio dari gejala pertama berkisar dari 4 hingga 35 hari. Virus akan dikeluarkan dari tubuh manusia secara berulang-ulang (intermittent) melalui tinja selama beberapa minggu. Gejala awal dari polio meliputi, rasa demam, sakit kepala, muntah, konstipasi, rasa nyeri pada tungkai, dan kadang-kadang disertai diare. Pada tahap selanjutnya, dimana virus sudah menyebar ke sistem syaraf, penyakit ini bisa menyebabkan kelumpuhan yang permanen sebagai akibat dari kerusakan sel-sel syaraf yang diserangnya. Kelumpuhan yang permanen ini hanya terjadi pada kurang dari 1 % orang yang terinfeksi virus polio. Pada lebih dari 90 % orang yang terinfeksi, penyakit polio tidak menunjukan sakit atau hanya mengalami gejala-gejala klinis mirip flu. Keadaan ini menyebabkan virus polio dapat menyebar dengan cepat tanpa


(26)

26

diketahui, karena sebagian anak yang terinfeksi tidak menunjukan gejala klinis yang jelas. Petuga kesehatan pun sulit mengetahui adanya penyebaran penyakit ini dengan segera, karena hanya sebagian kecil yang akan mengalami gejala paralisis (Depkes RI, 2002).

2.1.2. Jenis polio

Wikipedia Indonesia (2006), Polio dapat dibedakan menjadi tiga jenis yaitu:

a. Polio non-paralisis adalah menyebabkan demam, muntah, sakit perut, lesu, dan sensitif. Terjadi kram otot pada leher dan punggung, otot terasa lembek jika disentuh.

b. Polio paralisis spinal adalah strain polio virus ini menyerang saraf tulang belakang, menghancurkan sel tanduk anterior yang mengontrol pergerakan pada batang tubuh dan otot tungkai.

c. Polio bulbar adalah polio jenis ini disebabkan oleh tidak adanya kekebalan alami sehingga batang otak ikut terserang. Batang otak mengandung neuron motor yang mengatur pernapasan dan saraf kranial, yang mengirim sinyal ke berbagai otot yang mengontrol pergerakan bola mata saraf trigeminal dan saraf muka yang berhubungan dengan pipi, kelenjar air mata, gusi, dan otot muka saraf auditori yang mengatur pendengaran saraf glossofaringeal yang membantu proses menelan dan berbagai fungsi di kerongkongan; pergerakan lidah, rasa, saraf yang mengirim sinyal ke jantung, usus, paru-paru, dan saraf tambahan yang mengatur pergerakan leher.


(27)

27

2.1.3. Epidemiologi polio

Landsteriner dan Propper tahun 1952, melaporkan suatu filterable agent

penyebab penyakit dari sumsum tulang belakang kera percobaan. Virus polio adalah RNA virus, dalam famili picornaviridae, terbagi dalam 5 genera, diantaranya yang patogenik pada manusia adalah enterovirus, hepatovirus dan

rhinovirus. enterovirus terbagi lagi dalam 68 spesies, yaitu berbagai virus polio, virus coxsackie, virus echo dan enterovirus 68-71. Virus terdiri dari 3 strain yaitu strain 1 (bruhilde), strain 2 (lansig), dan strain 3 (leon). Virus yang single-stranded, 30 % terdiri dari virion, mayor protein (VP1-4) dan satu protein minor (VPg). Perbedaan 3 strain terletak pada sekuen nukleotidanya. VP1 adalah antigen yang paling dominan dalam membentuk antibodi netralisasi. Strain 1 adalah yang paling paralitogenik dan sering menimbulkan wabah, sedangkan strain 2 paling jinak (Depkes RI & WHO, 2002).

Virus ditularkan oleh infeksi droplet dari orofaring (saliva) atau tinja penderita infeksius. Penularan terutama terjadi dari penularan langsung manusia ke manusia (fekal - oral atau oral - oral) pada waktu 3 hari sebelum dan sesudah masa prodromal. Virus polio tahan terhadap alkohol dan lisol dan pada keadaan beku dapat bertahan bertahun tahun . Virus dapat bertahan lama pada air limbah dan air permukaan, bahkan masih infeksius di tempat yang berkilometer dari sumber penularan. Penularan terutama akibat tercemarnya lingkungan oleh virus polio dari penderita yang infeksius, namun kemampuan hidup virus dilingkungan sangat terbatas. Infeksi virus menurun 90% setiap 20 hari pada tanah saat musim dingin,


(28)

28

setiap 1,5 hari pada musim panas setiap 26 hari pada air limbah dengan suhu 26 derajat, setiap 5,5 hari pada air bersih dan 2,5 hari pada air laut (Depkes RI, 2002).

Satu-satunya inang yang dapat yang dibuktikan saat ini adalah manusia. Meskipun pada individu yang mempuyai efek pada tanggap kebal seluler maupun humoral virus dapat berkembang biak dan diekskresi dalam waktu yang lebih lama, namum belum dapat dibuktikan adanya karier jangka panjang pada manusia (Depkes RI & WHO, 2002).

Kasus polio tersebut berkembang menjadi KLB, dimana pada kurun waktu 2005 sampai awal 2006 kasus polio telah berjumlah 305 orang yang tersebar di 10 Propinsi dan 47 Kabupaten/Kota. Selain itu juga ditemukan 46 kasus polio yang bukan merupakan virus polio liar dimana 45 kasus terjadi di Pulau Madura (4 kabupaten) dan 1 kasus di Probolinggo Jawa Timur pada tahun 2005. Setelah dilakukan Outbreak Response Immunization (ORI), 2 kali mop-up, 5 kali PIN dan 2 kali sub-PIN, KLB dapat ditanggulangi sepenuhnya, dimana kasus Virus Polio Liar (VPL) terakhir mengalami kelumpuhan pada tanggal 20 Februari 2006 di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Namun pada tanggal 13 April 2006 ditemukan VPL dari spesimen kontak tesebut.

Sebagaimana kita ketahui, sebagian besar kasus poliomielitis bersifat non paralitik atau tidak disertai manisfestasi klinik yang jelas. Sebagian kecil (1%) saja dari kasus poliomielitis yang menimbulkan kelumpuhan (poliomielitis paralitik). Dalam surveilens AFP (Acute Flaccid Paralyisis), pengamatan difokuskan pada kasus poliomielitis yang mudah diindentifikasi, yaitu poliomielitis paralitik.


(29)

29

Ditemukannya kasus poliomielitis paralitik disuatu wilayah menunjukkan adanya penyebaran virus polio liar di wilayah tersebut (Depkes RI, 2007).

2.1.4. Tanda dan gejala klinik polio

Tanda klinik penyakit polio pada manusia sangat jelas sehingga penyakit ini telah dikenal sejak 4.000 tahun sebelum Masehi dari pahatan dan lukisan dinding di piramida Mesir. Sebagian terbesar (90%) infeksi virus polio akan menyebabkan inapparent infection, 5% akan menampilkan gejala abortive infection, 1% non-paralytic, sedangkan sisanya menunjukkan tanda klinik paralitik. Penderita yang menunjukkan tanda klinik paralitik, 30% akan sembuh, 30% menunjukkan kelumpuhan ringan, 30% menunjukkan kelumpuhan berat, sedangkan 10% menunjukkan gejala yang berat dan bisa menimbulkan kematian. Masa inkubasi biasanya berkisar 4 - 35 hari. Penderita sebelum masa ditemukannya vaksin, terutama berusia di bawah 5 tahun. Setelah adanya perbaikan sanitasi serta penemuan vaksin, penderita bergeser usianya pada kelompok anak berusia di atas 5 tahun (Depkes RI, 2002).

Pada stadium akut yaitu sejak adanya gejala klinis hingga 2 minggu ditandai dengan suhu tubuh yang meningkat, jarang lebih dari 10 hari, kadang disertai sakit kepala dan muntah. Kelumpuhan terjadi dalam seminggu dari permulaan sakit. Kelumpuhan ini terjadi sebagai akibat dari kerusakan sel-sel motor tulang belakang (neuron di medula spinalis) yang disebabkan karena invasi virus. Kelumpuhan ini bersifat asimetris sehingga cenderung menimbulkan gangguan bentuk tubuh (deformitas) yang cenderung menetap atau bahkan


(30)

30

menjadi lebih berat. Sebagian besar kelumpuhan akan mengenai tungkai (78,6%), sedangkan 41,4% akan mengenai lengan. Kelumpuhan ini akan berjalan bertahap dan memakan waktu 2 hari sampai dengan 2 bulan (Judarwanto, 2005).

Pada stadium sub-akut dari 2 minggu sampai dengan 2 bulan ditandai dengan menghilangnya demam dalam waktu 24 jam atau kadang suhu tidak terlalu tinggi dan kadang disertai kekakuan otot dan nyeri otot ringan. Kelumpuhan anggota gerak yang layuh dan biasanya pada salah satu sisi. Stadium dari 2 bulan sampai dengan 2 tahun (konvalescent) ditandai dengan pulihnya kekuatan otot yang lemah. Sekitar 50% – 70% dari fungsi otot pulih dalam waktu 6 - 9 bulan setelah fase akut. Selanjutnya, sesudah usia 2 tahun diperkirakan tidak terjadi lagi perbaikan kekuatan otot. Stadium kronik atau lebih 2 tahun dari gejala awal penyakit biasanya menunjukkan kekuatan otot yang mencapai tingkat menetap dan kelumpuhan otot yang ada bersifat permanen (Judarwanto, 2005).

2.1.5. Penyebaran penyakit polio

Virus ditularkan oleh infeksi droplet dari mulut dan tenggorok(oro-faring) atau dari tinja penderita yang infeksius. Penularan terutama terjadi penularan langsung dari manusia ke manusia melalui tinja ke mulut (fekal-oral) atau yang agak jarang lainnya melalui dari mulut ke mulut (oral-oral). Fekal-oral artinya minuman atau makanan yang tercemar virus polio yang berasal dari tinja penderita masuk ke mulut manusia sehat lainnya. Sedangkan dari oral-oral adalah penyebaran dari air liur penderita yang masuk ke mulut manusia sehat lainnya. Virus polio sangat tahan terhadap alkohol dan lisol, namun peka terhadap


(31)

31

formaldehide dan larutan klor. Suhu yang tinggi cepat mematikan virus, tetapi pada keadaan beku dapat bertahun-tahun. Ketahanan virus di tanah dan air sangat tergantung kelembaban suhu dan adanya mikroba lainnya. Virus ini dapat bertahan lama pada air limbah dan air permukaan, bahkan dapat sampai berkilo-kilometer dari sumber penularan. Meskipun penularan terutama akibat tercemarnya lingkungan oleh virus polio dari penderita yang infeksius, namun virus ini hidup di lingkungan terbatas. Salah satu inang atau makhluk hidup perantara yang dapat dibuktikan sampai kini adalah manusia (Judarwanto, 2005).

2.1.6. Pencegahan penyakit polio

World Health Assembly tahun 1998 yang diikuti oleh sebagian besar negara di penjuru dunia dibuat kesepakatan untuk melakukan Eradikasi Polio (Erapo) tahun 2000, artinya dunia bebas polio tahun 2000. Program Erapo pertama yang dilakukan adalah dengan melakukan cakupan imunisasi yang tinggi dan menyeluruh. Kemudian diikuti dengan PIN yang telah dilakukan Departemen Kesehatan tahun 1995, 1996, dan tahun 1997. Pemberian imunisasi polio yang sesuai dengan rekomendasi WHO adalah diberikan sejak lahir sebanyak 4 kali dengan interval 6 - 8 minggu. Kemudian diulang usia 1,5 tahun, 5 tahun, dan usia 15 tahun. Upaya ketiga adalah survailance acute flaccid paralysis atau penemuan penderita yang dicurigai lumpuh layuh pada usia di bawah 15 tahun harus diperiksa tinjanya untuk memastikan polio atau bukan.


(32)

32

Tindakan lainnya adalah melakukan Mopping Up, artinya pemberian vaksinasi massal di daerah yang ditemukan penderita polio terhadap anak di bawah 5 tahun tanpa melihat status imunisasi polio sebelumnya. Tampaknya dengan era globalisasi di mana mobilitas penduduk dunia antarnegara sangat tinggi dan cepat mengakibatkan kesulitan mengendalikan penyebaran virus ini. Selain pencegahan dengan vaksinasi polio, harus disertai dengan peningkatan sanitasi lingkungan dan higienis sanitasi perorangan untuk mengurangi penyebaran virus yang kembali mengkhawatirkan ini (Depkes RI, 2002).

2.2. Karakteristik Masyarakat

2.2.1. Pendidikan

Pendidikan adalah suatu proses yang unsur-unsurnya terdiri dari masukan (input), yaitu sasaran pendidikan, dan keluaran (output) yaitu suatu bentuk perilaku baru atau kemampuan baru dari sasaran pendidikan. Proses tersebut dipengaruhi oleh perangkat lunak (soft ware) yang terdiri dari kurikulum, pendidik, metode dan sebagainya serta perangkat keras (hard ware) yang terdiri dari ruang, perpustakaan (buku-buku) dan alat-alat bantu pendidikan lain (Natoatmodjo, 2005).

Jalur pendidikan formal akan membekali seseorang dengan dasar-dasar pengetahuan, teori dan logika, pengetahuan umum, kemampuan analisis serta pengembangan kepribadian. Berdasarkan proses intelektual, H.L. Blum menjelaskan bahwa pendidikan merupakan suatu proses dengan tujuan utama


(33)

33

menghasilkan perubahan perilaku manusia yang secara operasional tujuannya dibedakan menjadi 3 aspek yaitu aspek pengetahuan (kognitif), aspek sikap (afektif), dan aspek keterampilan (psikomotor) (Natoatmodjo, 2007).

Pendidikan merupakan kegiatan yang sengaja dilakukan untuk memperoleh hasil berupa pengetahuan, keterampilan dan sikap seseorang. L. Green 1980, bahwa gangguan terhadap penyakit juga disebabkan oleh manusia itu sendiri, terutama menyangkut pendidikan, pengetahuan dan sikap seseorang dalam menjaga kesehatan. Sehingga ia mempunyai kesadaran yang tinggi terhadap kesehatan baik kesehatan pribadi maupun kesehatan keluarga, begitu juga dalam mengkonsumsi makanan yang bernilai gizi tinggi dan cukup kalori sehingga dapat menjaga kesehatannya terutama pada saat ibu hamil (Azwar, 2002).

Kesehatan keluarga adalah kesehatan kelompok individu yang terkait dalam satu kesatuan bio-psikososio-ekonomi-budaya, mencakup segi kesehatan jasmani, rohani dan sosial. Kesejahteraan keluarga mengandung pengertian adanya rasa aman, tenteram, makmur lahir dan batin, tercapainya keseimbangan, keselarasan dan keserasian dalam pemenuhan kebutuhan kesehatan jasmani, rohani dan sosial dari keluarga tersebut (Maryati, 1997).

Pendidikan yang tinggi seseorang akan lebih mudah memahami tentang suatu informasi, bila pendidikannya tinggi maka dalam menjaga kesehatan sangat diperhatikan, termasuk cara menjaga bayi, penyusunan menu makan, dan begitu juga sebaliknya dengan pendidikan rendah sangat sulit menterjemahkan tentang


(34)

34

informasi yang ia dapatkan baik dari petugas kesehatan maupun dari media-media lainnya (Notoadmodjo, 2007).

Penelitian di 11 negara oleh Pusat Demografi Amerika Latin (Grant, 1984) menunjukkan bahwa pengaruh pendidikan ibu terhadap kesempatan hidup anak ternyata lebih kuat dibandingkan dengan pengaruh tingkat pendapatan rumah tangga. Pengamatan di Kenya mencatat adanya penurunan tingkat kematian bayi sebesar 86% setelah dilaksanakan program peningkatan pendidikan kaum wanita (Kardjati,2000).

2.2.2. Pekerjaan

Pekerjaan dapat mempengaruhi orang dalam menjaga kesehatan, baik kesehatan individu maupun kesehatan keluarga. Karakteristik yang berkaitan dengan pekerjaan karena kesibukan membuat seseorang terabaikan akan kesehatannya, dalam hal ini termasuk ibu yang memiliki balita. Kesibukan akan pekerjaan terkadang ibu lupa terhadap pemberian imunisasi yang perlu diberikan pada balita. Disamping itu adanya hubungan antara jenis pekerjaan dengan pola penyakit. Ibu yang dengan kesibukan tertentu akan terabaikan terhadap kesehatan anak dalam melakukan kunjungan sesuai dengan jadwal yang ditentukan oleh petugas kesehatan. Kesibukan ibu juga dapat mempengaruhi terhadap pemberian imunisasi, begitu juga dengan status sosial ekonomi yang dapat mendukung terhadap peningkatan kesehatan anak dan begitu juga sebaliknya yaitu dapat menjadi faktor penghambat terhadap terjadinya penyakit-penyakit menular termasuk dalam hal ini penyakit polio (Notoadmodjo, 2005).


(35)

35

2.2.4. Pengetahuan

Pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui mengenai hal atau sesuatu. Pengetahuan dapat mempengaruhi perilaku seseorang. Pengetahuan adalah kesan dari pikiran manusia sebagai hasil panca indra. Peningkatan pengetahuan tidak selalu menyebabkan perubahan perilaku, namun hubungan positif antara kedua variabel itu tersebut didalam sejumlah penelitian. Pengetahuan tertentu tentang kesehatan mungkin penting sebelum suatu tindakan kesehatan terjadi, tetapi tindakan kesehatan yang diharapkan mungkin tidak akan terjadi kecuali apabila seseorang mendapat isyarat yang cukup kuat untuk memotivasinya bertindak atas dasar pengetahuan yang dimilikinya. Pengetahuan merupakan faktor penting dalam menghasilkan perubahan namun tidak memadai dalam perubahan perilaku kesehatan (Azwar, 1996).

Pengetahuan dapat diperoleh melalui pengalaman sendiri maupun orang lain. Pengetahuan mempunyai enam tingkatan meliputi tahu, memahami, aplikasi, analisis, sintesis dan evaluasi. Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya, yang termasuk kedalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) terhadap suatu yang spesifik dan seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima khususnya yang berkaitan

dengan penyakit polio. Memahami (comprehension) yaitu sebagai suatu

kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang penyebab yang diketahui terhadap penyakit polio dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara


(36)

36

benar. Aplikasi (Aplication) diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real/sebenarnya. Analisis (Analysis) adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau objek kedalam komponen-komponen tetapi masih di dalam suatu struktur organisasi tersebut dan masih ada kaitannya satu sama lain. Sintesis (Syntesis) menunjukkan kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru dan evaluasi (evaluation) ini berkaitan dengan kemampuan untuk melalukan penilaian terhadap suatu materi atau objek (Notoatjmodjo, 2007)

2.2.5. Sikap

Sikap adalah respon tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek tertentu, yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi seseorang. Newcomb dalam buku Notoadmodjo, 2005 menyatakan bahwa sikap merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Fungsi sikap belum merupakan tindakan (reaksi terbuka) atau aktivitas, akan tetapi merupakan predisposisi perilaku (tindakan) atau reaksi tertutup. Sikap terdiri dari 3 komponen pokok yaitu :

a. Kepercayaan atau keyakinan, ide, dan konsep terhadap objek. artinya, bagaimana keyakinan dan pendapat atau pemikiran seseorang terhadap objek. b. Kehidupan emosional atau evaluasi orang terhadap objek artinya bagaimana


(37)

37

c. Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave), artinya sikap adalah merupakan komponen yang mendahului tindakan atau perilaku terbuka. Sikap adalah ancang-ancang untuk bertindak atau berperilaku terbuka (tindakan).

Ketiga komponen tersebut secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh (total attitude). Dalam menentukan sikap yang utuh ini pengetahuan, pikiran, keyakinan dan emosi memegang peranan penting (Notoatmodjo, 2005).

Sikap ibu yang berkaitan dengan pencegahan penyakit polio sangat menentukan dalam pemberian imunisasi yang diberikan pada anak. Terkadang pada saat melakukan imunisasi anaknya pernah mengalami suhu badan panas, sehingga pada saat pemberian imunisasi selanjutnya ia tidak akan membawa lagi anak ketempat pemberian imunisasi.

2.3. Strategi Pelaksanaan Imunisasi

2.3.1. Sosialisasi imunisasi

Sosialisasi imunisasi merupakan salah satu langkah yang ditempuh oleh pemerintah Indonesia untuk memberantas penyakit polio. Sosialisasi yang dilakukan oleh pemerintah untuk mensukseskan pelaksanaan imunisasi dari tahun ketahun semakin baik dilakukan, diantaranya sosialisasi imunisasi melalui media cetak dan elektronik.

Menurut Notoatmodjo (2005) berdasarkan sifatnya, pesan-pesan yang dikomunikasikan dapat dibedakan menjadi tiga yaitu :


(38)

38

a. Media informasional adalah suatu pesan dikatakan informasional jika bersifat menyampaikan informasi. Biasanya pesan-pesan seperti ini dapat dirasakan sebagai pemberitahuan. Media yang mengandung pesan-pesan informasional sering disebut sebagai media informasional, karena difungsikan untuk menyampaikan informasi. Bentuk media dapat bermacam-macam selama isi pesannya bersifat menyampaikan informasi. Biasanya, informasi yang disampaikan adalah informasi yang diperhitungkan sebagai informasi penting yang perlu diketahui khalayaknya. Media-media informasional dapat berupa bagian dari upaya peningkatan pengetahuan ataupun sebagai bagian prasyarat peningkatan ketrampilan, keduanya fokus pada upaya mempengaruhi kognisi khalayaknya.

b. Media motivasional adalah pesan-pesan yang bersifat menggugah

khalayaknya, dikatakan sebagai pesan motivasional. Biasanya pesan-pesan ini dapat dirasakan sebagai upaya provokasi, membuat gelisah, berfikir ataupun membujuk (persuasif). Media yang mengandung pesan motivasional disebut sebagai media motivasional. Berbagai bentuk media dapat difungsikan sebagai media motivasional, namun tingkat efektivitasnya berbeda-beda tergantung dari isi pesan dan karakter bentuk medianya. Biasanya jika digunakan sebagai bagian dari metode komunikasi massa, pesan yang disampaikan adalah pesan yang menggugah, membuat khalayak berfikir, membuat gelisah ataupun provokasi. Dalam metode komunikasi interpersonal (individual), kesemuanya


(39)

39

dapat digunakan, media motivasional fokus pada upaya mempengaruhi perubahan sikap dari khalayaknya.

c. Media instruksional adalah informasi mengenai cara melakukan sesuatu ataupun langkah-langkah adalah ciri-ciri sifat pesan instruksional. Pesan-pesan seperti ini dapat dirasakan sebagai pembimbing dalam melakukan sesuatu. Pesan-pesan instruksional tidak efektif jika digunakan dalam metode komunikasi massa. Fokus pesan-pesan instruksional adalah mempengaruhi aspek ketrampilan khalayaknya. Media-media instruksional adalah bagian dari metode komunikasi kelompok. Sebagian besar bentuknya adalah barang cetakan karena lebih memudahkan untuk dibaca kembali. Beberapa pesan yang memerlukan peragaan gerak dapat menggunakan media audio visual.

Beberapa jenis penggolongan media yaitu media audio, visual dan audio visual. Media audio adalah media yang hanya dapat didengar saja, media visual hanya dapat dilihat saja sedangkan media audio visual dapat dilihat dan didengar. a. Media audio, adalah seperti program radio dan segala bentuk rekaman seperti

kaset rekaman, piringan hitam, cakram digital. Kekuatan media audio dapat menjangkau khalayak yang tidak dapat membaca menulis dan dapat didengar walaupun saat melakukan kegiatan lainnya, sedangkan kelemahannya adalah pesannya menguap setelah diputar, khalayak sulit untuk dapat mendengarkan ulang.

b. Media visual, adalah segala bentuk cetakan (poster, leaflet, komik, buklet, stiker, flipchart, foto, koran, majalah) dan segala bentuk proyeksi tanpa


(40)

40

gambar. Bentuk lainnya yang juga digolongkan adalah segala bentuk campuran media visual yang ditata kembali (display, papan informasi, pameran). Kekuatan media visual adalah daya tariknya yang mengundang khalayak untuk memperhatikan. Sebagian besar orang belajar lebih banyak melalui indra penglihatan daripada indra pendengaran, khalayak yang lupa bisa membacanya kembali bila menginginkannya. Kelemahan dari media visual adalah tidak dilihat sambil melakukan kegiatan lainnya dan tidak dapat menjangkau orang buta huruf.

c. Media audio visual, adalah film dalam berbagai bentuk, program televisi dan pertunjukan (panggung boneka, wayang, kabaret). Kekuatannya adalah merangsang indra penglihatan dan pendengaran sekaligus, sehingga lebih memudahkan penyerapan informasi. Kelemahannya selain biaya pembuatannya yang relatif mahal, tidak dapat dilihat sambil melakukan kegiatan lain. Sedangkan kelemahannya adalah memiliki ketergantungan dengan listrik dalam penggunaannya.

2.3.2. Petugas kesehatan

Untuk mencapai target pelaksanaan imunisasi, maka peran petugas yang ditunjuk oleh Puskesmas yang akan bekerja dilapangan sangatlah penting dalam keberhasilan program. Kualitas pelayanan dan sikap petugas merupakan cerminan keberhasilan dalam strategi pelaksanaan imunisasi. Keramahan petugas dalam melayani masyarakat/pasien merupakan suatu hal yang penting diperhatikan


(41)

41

mengingat keramahan modal utama pendekatan dengan masyarakat. Sikap sopan dalam melayani masyarakat juga merupakan suatu motivasi yang diberikan oleh petugas kepada masyarakat, sehingga masyarakat tidak segan-segan mengungkapkan masalah kesehatan yang dialami atau dideritanya. Ketanggapan komunikasi keramahan yang ditampakkan oleh petugas dapat membawa dampak yang baik terhadap penyakit yang diderita oleh masyarakat. Secara psikologis penyakit juga dapat disembuhkan melalui terapi-terapi yang dilakukan oleh petugas terutama melalui sikap dan tindakan dalam melayani masyarakat (Halim, 1990).

a. Kualitas pelayanan

Kemampuan petugas dalam mendengar dan menerima tingkah laku pasien dan ketepatan informasi yang diberikan pada saat pasien membutuhkan. Pengertian pelayanan keperawatan sesuai WHO Expert Commite on Nursing

(1982) adalah gabungan dari ilmu kesehatan dengan seni melayani/merawat, suatu hubungan humanistik dan ilmu pengetahuan, filosofi keperawatan, kegiatan klinik, komunikasi dan ilmu sosial pelayanan keperawatan bertugas membantu individu, keluarga dan kelompok untuk mencapai profesi optimalnya di bidang fisik, mental dan sosial, dalam ruang lingkup kehidupan dan pekerjaannya (Muninjaya, 2004).

Perkembangan teknologi yang juga dapat mempengaruhi dalam berkomunikasi baik secara lisan maupun tulisan atau menggunakan media elektronik, dalam dunia kesehatan, dampak aspek kepuasan mempunyai peranan


(42)

42

penting dalam pelayanan kesehatan, pelayanan adalah yang menunjukkan pada tingkat kesempurnaan pelayanan kesehatan dalam menimbulkan rasa puas pada diri setiap pasien. Kebutuhan dan tuntutan, makin sempurna kepuasan tersebut akan baik pula pola mutu pelayanan kesehatan. Pengertian komunikasi yang terkait dengan kepuasan ini telah diterima secara luas, namun penerapan tidak semudah yang diperkirakan (Swara, 2003).

Kesembuhan penyakit, proses penyembuhan tidak hanya menjadi tanggung jawab dokter akan tetapi dengan meningkatnya variasi penyakit dan rumitnya teknologi kedokteran, diperlukan tenaga-tenaga lain seperti perawat, bidan, tenaga rontgen, ahli gigi, ahli gizi, ahli sanitasi dan sebagainya. Ruang lingkup pelayanan kesehatan dan perawatan melainkan juga promosi kesehatan, pencegahan penyakit dan rehabilitasi. Pelayanan yang diberikan tidak hanya terhadap individu pasien tetapi juga keluarga pasien serta masyarakat luas. Dalam menggarap masyarakat dan keluarga inilah diperlukan pengetahuan tentang ilmu perilaku, maka para ahli ilmu sosial terutama ahli ilmu perilaku, harus memperkuat tim kesehatan supaya misi yang dibawa oleh petugas kesehatan tersebut berjalan dengan baik. Puskesmas yang merupakan pos terdepan dalam pelayanan kesehatan dasar harus mampu membaca kebutuhan masyarakat (Notoadmodjo, 2007).

Tokoh kunci dalam proses pengobatan atau penyembuhan suatu penyakit ialah petugas kesehatan atau lebih khusus dokter. Bagi masyarakat awam seorang dokter dianggap mempunyai pengetahuan dan keterampilan untuk mendiagnosa dan menyembuhkan penyakit sehingga dia berwenang untuk melakukan tindakan


(43)

43

terhadap diri sisakit ini terhadap fungsi dan peran dokter terjadilah interaksi antara dokter dengan pasien yang bersifat profesional dan seringkali tidak seimbang artinya dokter yang aktif memberikan tindakan dan mengambil inisiatif bertindak, sedangkan pasien secara pasif menerima saran dan mematuhi intruksi dokter (Mariyati,1994).

Kepuasan pada penerapan semua persyaratan pelayanan kesehatan, disini ukuran kepuasan pemakai jasa pelayanan kesehatan dikaitkan dengan penerapan semua persyaratan kesehatan, suatu pelayanan kesehatan yang bermutu apabila penerapan semua persyaratan pelayanan kesehatan dapat memuaskan pasien. Dengan pendapat ini mudahlah dipahami bahwa ukuran-ukuran pelayanan kesehatan yang bermutu lebih bersifat luas, karena didalamnya tercakup penilaian terhadap kepuasan pasien (Hendarson, 1990).

Swara (2003), mutu pelayanan kesehatan yang baik adanya beberapa hal yang harus dapat dipenuhi :

1. Ketersediaan pelayanan kesehatan (available), untuk menimbulkan kepuasan pasien terhadap pelayanan kesehatan, banyak cara yang harus dipenuhi. Salah satu diantaranya yang dinilai mempunyai peranan yang cukup penting adalah ketersediaannya pelayanan kesehatan tersebut. Bertitik tolak dari pendapat yang seperti ini, dan karena kepuasan mempunyai hubungan yang erat dengan mutu pelayanan maka sering disebutkan suatu pelayanan kesehatan adalah pelayanan kesehatan yang bermutu, apabila pelayanan kesehatan tersebut tersedia dimasyarakat.


(44)

44

2. Kewajaran pelayanan kesehatan (appropriateness), syarat lain yang harus dipenuhi untuk dapat menimbulkan kepuasan pasien terhadap pelayanan kesehatan, adalah kewajaran pelayanan kesehatan. Sama halnya dengan ketersediaan, yang mengkaitkan aspek kepuasan dengan mutu pelayanan, maka suatu pelayanan kesehatan juga disebut sebagai pelayanan yang bermutu, apabila pelayanan tersebut bersifat wajar, dalam arti dapat mengatasi masalah kesehatan yang dihadapi.

3. Kesinambungan pelayanan kesehatan (continue), kepuasan pasien terhadap pelayanan juga ditentukan oleh kesinambungan pelayanan kesehatan. Karena kepuasan mempunyai hubungan erat dengan mutu pelayanan, maka aspek kesinambungan ini juga diperhitungkan sebagai salah satu syarat pelayanan kesehatan yang bermutu. Secara umum disebutkan, pelayanan kesehatan yang bermutu adalah apabila pelayanan kesehatan tersebut bersifat berkesinambungan, dalam arti tersedia setiap saat, baik menurut waktu dan ataupun kebutuhan pemakai jasa pelayanan kesehatan.

4. Penerimaan pelayanan kesehatan (acceptable), dapat diterima atau tidaknya pelayanan kesehatan sangat menentukan puas atau tidaknya pasien terhadap pelayanan kesehatan. Dengan demikian untuk dapat menjamin munculnya kepuasan yang terkait dengan mutu pelayanan, maka pelayanan kesehatan tersebut harus dapat diupayakan, sehingga dapat diterima oleh pemakai jasa pelayanan. Dengan perkataan lain suatu pelayanan kesehatan dinilai sebagai


(45)

45

pelayanan yang bermutu, apabila pelayanan kesehatan tersebut dapat diterima oleh pemakai jasa pelayanan kesehatan.

5. Ketercapaian pelayanan kesehatan (accesible), pelayanan kesehatan yang lokasinya terlalu jauh dari daerah tempat tinggal tentu tidak mudah dicapai. Apabila keadaan ini sampai terjadi, tentu tidak akan memuaskan pasien. Dalam kaitan ini, karena kepuasan ada hubungannya dengan mutu pelayanan, maka disebut suatu pelayanan kesehatan yang bermutu, adalah apabila pelayanan kesehatan tersebut dapat dicapai oleh pemakai jasa pelayanan kesehatan.

6. Keterjangkauan pelayanan kesehatan (affordable), pelayanan kesehatan yang terlalu mahal tidak dapat dijangkau oleh semua pemakai jasa pelayanan kesehatan, dan karenanya tidak akan memuaskan pasien. Sebagai jalan keluarnya, disarankanlah perlunya upaya pelayanan kesehatan yang biayanya sesuai dengan kemampuan pemakai jasa pelayanan kesehatan. Karena keterjangkauan pelayanan kesehatan erat hubungan dengan kepuasan pasien, dan hubungannya dengan mutu pelayanan, maka suatu pelayanan kesehatan disebut sebagai pelayanan yang bermutu apabila pelayanan kesehatan tersebut dapat dijangkau oleh pemakai jasa pelayanan kesehatan.

7. Efisiensi pelayanan kesehatan (effecient), efisiensi pelayanan telah diketahui mempunyai hubungan yang erat dengan kepuasan pemakai jasa pelayanan. Dengan demikian untuk dapat menimbulkan kepuasan tersebut, perlulah diupayakan peningkatan efisiensi pelayanan. Karena puas atau tidaknya pemakai jasa pelayanan mempunyai kaitan yang erat dengan baik atau


(46)

46

tidaknya mutu pelayanan, maka suatu pelayanan kesehatan disebut sebagai pelayanan yang bermutu apabila pelayanan kesehatan tersebut dapat disenggarakan secara efisien.

b. Sikap petugas

Sikap merupakan produk dari proses sosialisasi dimana seseorang bereaksi sesuai dengan rangkaian yang diterimanya. Sikap merupakan tanggapan batin terhadap rangsangan di luar diri subjek baik bersifat fisik maupun non fisik. Sikap adalah proses mental yang terjadi pada individu yang akan menentukan respon yang baik dan nyata ataupun yang potensial dan setiap orang yang berbeda. Dengan perkataan lain bahwa sikap adalah mental manusia untuk bertindak atau menentang suatu objek tertentu (Henderson, 1990).

Allport (1992), sikap mempunyai tiga komponen pokok yaitu kepercayaan, ide dan konsep terhadap suatu objek. Ketiga komponen tersebut secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh. Dalam penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan berpikir, keyakinan dan emosional pada diri seseorang memegang peranan penting dalam bertindak (Azwar, 2007).

Penampilan dalam pelayanan, sikap ini dapat ditumbuhkan jika petugas kesehatan dapat mengembangkan rasa tulus dan ikhlas melaksanakan tugasnya dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Untuk ini perlu dikembangkan penghayatan dan orientasi sikap dan pola pikir yang baru. Sikap petugas kesehatan dalam pelayanan yang tidak menyenangkan hal ini disebabkan oleh beberapa hal diantaranya a) Petugas tidak memahami konsep pelayanan


(47)

47

kesehatan bermutu dan memberi pelayanan hanya atas dasar penugasan dari pimpinan. b) Selama pendidikan untuk menjadi tenaga kesehatan juga tidak pernah secara jelas memberikan sikap pelayanan yang sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat. c) Selama bekerja pada suatu unit pelayanan ia tidak pernah mendapat arahan dan bimbingan mengenai perlunya sikap pelayanan yang memberi kepuasan terhadap penerimaan pelayanan. d) Motivasi menjadi petugas kesehatan sejak awal adalah untuk mencari kerja sebagai penompang dalam hidupnya. e) Kurang mendalami nilai-nilai keagamaan, khususnya Islam, yang dapat memberi motivasi untuk berperilaku ikhlas, tulus dan menganggap memberi pelayanan adalah ibadah. Oleh sebab itu maka perlu usaha pemahaman konsep mutu pelayanan kesehatan yang ditentukan oleh sikap pelayanan dan kemampuan menerapkan standar pelayanan yang telah ada. Motivasi untuk berperilaku sesuai dengan tuntutan masyarakat yaitu sopan, ramah, penuh perhatian, penuh tanggung jawab dan berdisiplin (Halim, 1990).

2.3.4. Peran serta masyarakat

Peran serta masyarakat pada semua kegiatan sangat dibutuhkan terutama dibidang kesehatan. Perlu dibentuknya kader-kader kesehatan didesa yang bertugas dalam menjalankan program posyandu. Meningkatnya peran masyarakat dapat dilihat dari partisipasi dalam melibatkan diri. Prinsip yang dapat menunjang konsep kesehatan masyarakat di Indonesia adalah cara hidup masyarakat yang sejak dulu telah menjiwai sifat kegotoroyongan dan musyawarah atau mufakat. Keikut sertaan masyarakat dalam pengambilan keputusan bersama melalui


(48)

48

konsensi adalah hal yang sudah biasa dilakukan oleh masyarakat dipedesaan. Pemeliharaan kesehatan masyarakat harus mendasar pada setiap individu maupun pada masyarakat disekelilingnya karena untuk mencapai tujuan yang diinginkan yaitu masyarakat sehat dan sejahtera secara merata. Penerapan suatu kehendak yang sudah pasti memerlukan sejumlah orang yang terlibat didalamnya memerlukan cabang ilmu lain sebagai pendukungnya, Keluarga Berencana (KB) di Indonesia dalam jangka waktu 20 tahun sebelumnya masih dianggap tabu, tetapi kini cukup memasyarakat. Keberhasilan ini karena melibatkan unsur lain sebagai penunjang seperti agama dan para ulama. Dari sektor lain dapat dilihat adanya indikator angka kematian bayi. Angka ini tidak hanya menggambarkan tingkat kematian bayi tetapi tingkat kesejahteraan seluruh bangsa Indonesia termasuk keadaan sosial ekonomi bangsa. Dalam menurunkan angka kematian bayi pemerintah telah berusaha melatih dukun bayi dan memberikan seperangkat peralatan medis yang digunakan untuk menolong persalinan (Azwar, 2002).

Dorongan dan dukungan keluarga terhadap anak-anak untuk diimunisasi di puskesmas atau pos-pos kesehatan lainnya terdekat sangat diperlukan, disamping peranan keluarga dalam mengarahkan ibu untuk membawa anak-anaknya. Dukungan keluarga termasuk suami dapat diukur dengan mellihat mendukung atau tidak mendukung terhadap kunjungan yang ibu lakukan (Roestam, 1992).

Orang tua, khususnya ibu adalah faktor yang sangat penting dalam mewariskan status kesehatan bagi anak-anak mereka. Orang tua yang sehat akan mewariskan kesehatan yang baik pula kepada anak-anaknya. Sebaliknya kesehatan


(49)

49

orang tua khususnya kesehatan ibu yang rendah akan mewariskan kesehatan yang rendah pula bagi anaknya. Rendahnya kesehatan orang tua bukan hanya karena sosial ekonomi rendah, tetapi sering juga disebabkan karena orang tua tidak mengetahui bagaimana cara pemeliharaan kesehatan (Notoatmodjo, 2005).

Segala masalah yang terjadi pada kehidupan rumah tangga keluarga adalah menjadi tanggungjawab semua anggota keluarga diperlukan dalam mewujudkan keluarga yang sehat dan sejahtera. Supaya program imunisas berjalan dengan lancar dan tidak ada kendala, salah satu faktor yang perlu diperhatikan adalah dukungan keluarga terutama suami sebagai kepala rumah tangga yang mengambil keputusan, sangat diperlukan dukungannya kepada ibu, agar membawa balitanya untuk imunisasi secara lengkap dan teratur, sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan secara berkesinambungan (Lukman, 2001).

2.4. Landasan Teoritis Penelitian

Virus ditularkan infeksi droplet dari mulut dan tenggorokan (oral-faring) atau tinja penderita infeksi. Penularan terutama terjadi langsung dari manusia ke manusia melalui tinja ke mulut (fekal-oral) atau yang agak jarang melalui mulut ke mulut (oral-oral). Fekal-oral berarti minuman atau makanan yang tercemar virus polio yang berasal dari tinja penderita masuk ke mulut manusia sehat lainnya. Sementara itu, oral-oral adalah penyebaran dari air liur penderita yang masuk ke mulut manusia sehat lainnya. Virus polio sangat tahan terhadap alkohol dan lisol, namun peka terhadap formaldehide dan larutan chlor. Suhu tinggi cepat


(50)

50

mematikan virus, tetapi pada keadaan beku dapat bertahan bertahun-tahun. Ketahanan virus di tanah dan air sangat bergantung pada kelembapan suhu dan mikroba lainnya. Virus itu dapat bertahan lama pada air limbah dan air permukaan, bahkan hingga berkilo-kilometer dari sumber penularan. Meski penularan terutama akibat tercemarnya lingkungan oleh virus polio dari penderita yang infeksius, virus itu hidup di lingkungan terbatas. Salah satu inang atau mahluk hidup perantara yang dapat dibuktikan hingga saat ini adalah manusia (Depkes RI, 2005).

Ikatan Dokter Anak Indonesia dan Departemen Kesehatan (2005) mengeluarkan rekomendasi pemberian imunisasi polio termasuk imunisasi yang diwajibkan atau masuk program Pengembangan Program Imunisasi (PPI). imunisasi polio yang harus diberikan sesuai dengan rekomendasi WHO adalah diberikan sejak lahir sebanyak 4 kali dengan interval 6-8 minggu, kemudian diulang usia 1,5 tahun, 5 tahun dan usia 15 tahun atau sebelum meninggalkan sekolah. Dalam keadaan adanya Kejadian Luar Biasa Polio, maka dilakukan imunisasi massal didaerah ditemukan polio terhadap anak umur dibawah 5 tahun tanpa memperhatikan status imunisasi (Mopping Up), artinya, strategi untuk memberikan ulangan polio pada semua anak di bawah usia 5 tahun di daerah tersebut meskipun imunisasi sebelumnya telah lengkap. Vaksin polio terdiri dari 2 jenis, yaitu Vaksin Polio Oral (Oral Polio Vaccine) dan Vaksin Polio Inactivated


(51)

51

Berdasarkan bukti empirik dan keyakinan teoretik bahwa pada umumnya penyakit memiliki lebih dari sebuah penyebab. Dalam segitiga distribusi epidemiologi atau tiga faktor yang dapat dipakai untuk menerangkan distribusi epidemiologi adalah person, tempat dan waktu. Person adalah karakteristik dari individu yang mempengaruhi keterpaparan yang mereka dapatkan dan daya tahan terhadap penyakit. Person yang karakteristiknya mudah terpapar dan peka terhadap suatu penyakit akan mudah jatuh sakit. Karakteristik dari person ini bisa berupa faktor genetik, umur, jenis kelamin, pekerjaan, kebiasaan dan status sosial ekononi. Faktor tempat berkaitan dengan karakteristik geografis dalam perbedaan distribusi penyakit menurut tempat ini memberikan petunjuk pola perbedaan penyakit yang dapat menjadi pegangan dalam mencari faktor-faktor lain yang belum diketahui, sedangkan faktor waktu adalah waktu kejadian penyakit dan informasi waktu ini bisa menjadi pedoman tentang kejadian yang timbul dalam masyarakat (Bustan, 2006 ).

Kar Snehandu B.Kar, dalam teorinya mencoba menganalisis perilaku kesehatan dengan bertitik-tolak bahwa perilaku itu merupakan fungsi dari :

a. Niat seseorang untuk bertindak sehubungan dengan kesehatan atau perawatan kesehatannya (behaviour intention)

b. Dukungan sosial dari masyarakat sekitarnya (sosial suport)

c. Ada atau tidaknya informasi tentang kesehatan atau fasilitas kesehatan (accessebility of information)


(52)

52

d. Otonomi pribadi yang bersangkutan dalam hal ini mengambil tindakan atau keputusan (personal autonomy)

e. Situasi yang memungkinkan untuk bertindak atau tidak bertindak (action situation).

Berdasarkan teori tersebut dapat disimpulkan bahwa perilaku kesehatan seseorang atau masyarakat ditentukan oleh niat orang terhadap objek kesehatan, ada atau tidak adanya dukungan dari masyarakat sekitarnya, ada atau tidaknya informasi tentang kesehatan, kebebasan dari individu untuk mengambil keputusan/bertindak, dan situasi yang memungkinkan ia berperilaku/bertindak atau tidak berperilaku/tidak bertindak.

Seorang ibu yang tidak mau ikut kegiatan imunisasi, mungkin karena tidak ada minat dan niat terhadap kegiatan imunisasi (behaviour intention), atau juga karena tidak ada dukungan dari masyarakat sekitarnya (sosial suport), mungkin juga karena kurang atau tidak memperoleh informasi yang kuat tentang imunisasi (accessebility of information), atau mungkin tidak mempuyai kebebasan untuk menentukan, misalnya harus tunduk kepada suami, mertuanya atau orang lain yang ia segani (personal autonomy) serta faktor lain yang mungkin menyebabkan ibu ini tidak ikut imunisasi adalah karena situasi dan kondisi yang tidak memungkinkan, misalnya alasan keamanan (action situation) (Notoatmodjo,2007).

Peran Departemen Kesehatan dalam Rencana Strategi Departemen Kesehatan Tahun 2005-2009 dalam pembangunan kesehatan adalah sebagai pembinaan pembangunan kesehatan dengan melakukan berbagai upaya yang


(53)

53

berkaitan dengan penetapan kebijakan pembangunan kesehatan dan pengembangan sumber daya manusia, serta perannya sebagai pengembangan pembangunan kesehatan dalam melakukan penyusunan berbagai pedoman, standar penelitian dan pengembangan kesehatan, pengembangan sistem informasi kesehatan, memfasilitasi daerah dalam memenuhi komitmen nasional dan global, serta mendorong peran aktif masyarakat dengan melakukan pemberdayaan masyarakat (Depkes, 2005).

Kegiatan pelaksanaan imunisasi di Indonesia yang dilakukan secara serentak disetiap pos pelayanan kesehatan yang telah ditujukan sebelumnya dengan melibatkan petugas kesehatan, seluruh komponen masyarakat yang terlibat dalam pelaksanaan, baik dalam sosialisasi, pelatihan penggerakan massal serta kegiatan-kegiatan lain yang menunjang pelaksanaan kegiatan Pekan Imunisasi Nasional (Depkes RI, 2004).


(54)

54

2.5. Kerangka Konsep Penelitian

Variabel Independen

Variebel Dependen

Karakteristi Ibu

- Pendidikan

- Pekerjaan

- Pengetahuan

- Sikap

Strategi Pelaksanaan Imunisasi

- Sosialisasi Imunisasi - Petugas Kesehatan - Peran Serta

Masyarakat Kecamatan

Kasus

Imunisasi Polio

Kecamatan Kontrol


(55)

55

BAB 3

METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan studi analitik obsevasional dengan desain kasus kontrol (case control study) atau restropective study merupakan penelitian epidemiologi analitik observasional yang menelaah hubungan antara efek (penyakit atau kondisi kesehatan) tertentu dengan faktor risiko tertentu (Sastroasmoro dan Ismael, 2002).

3.2. Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian

3.2.1. Lokasi penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di tiga kecamatan yaitu Kecamatan Juli yang didapatkan penyakit polio sebagai kasus, Kecamatan Kota Juang dan Kecamatan Jeumpa sebagai kontrol.

3.2.2. Waktu penelitian

Penelitian ini dimulai dengan penelusuran pustaka, mempersiapkan proposal penelitian, penelitian lapangan untuk pengumpulan, pengolahan dan analisa data, serta penyusunan laporan penelitian yang dilaksanakan selama 7 (tujuh) bulan dimulai dari bulan Juni sampai dengan Desember 2007.


(56)

56

3.3. Populasi dan Sampel Penelitian

3.3.1. Populasi

a. Kasus adalah ibu yang memiliki bayi berusia antara 0 – 24 bulan di Kec. Juli yang merupakan kecamatan dengan kasus penyakit polio sebanyak 588 ibu. b. Kontrol adalah ibu yang memiliki bayi berusia antara 0 – 24 bulan di kecamatan

yang berdekatan dengan kecamatan ditemukan kasus penyakit polio yaitu Kecamatan Kota Juang sebanyak 653 ibu dan Kecamatan Jeumpa sebanyak 625 ibu.

3.3.2. Sampel

Besarnya sampel dihitung berdasarkan rumus Lemeshow (1997) dalam buku terjemahan Pramono, 2000).

2 2 1 2 / ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎦ ⎤ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢ ⎣ ⎡ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ −+ = P PQ Z Z

n

α

β

) 1 ( R R P + =

(

)

98

7

,

97

5

,

0

66

,

0

34

,

0

66

,

0

28

,

1

2

/

96

,

1

2

=

+

=

n

x

n

Keterangan :

R = Perkiraan odds rasio = 2 (hasil penelitian terdahulu)

α = Tingkat kemaknaan (0,05)


(57)

57

Zα = Deviat baku normal untuk α (1,96) Zβ = Deviat baku normal untuk β (1,28) Q = Proporsi (1 – P) 0,34

P = Dugaan insiden dalam populasi (0,66)

Setelah digunakan rumus di atas, untuk penentuan besar sampel, maka sampel yang akan diambil akan dibagi kedalam sampel kasus dan sampel kontrol. a. Sampel kasus

Kasus adalah ibu-ibu yang memiliki anak yang berusia antara 0 – 24 bulan dengan cara systematic sampling pada setiap desa di Kecamatan Juli, pengambilan sampel sebanyak 98 ibu.

b. Sampel kontrol

Kontrol adalah ibu-ibu yang memiliki anak yang berusia antara 0 – 24 bulan pada setiap desa di Kecamatan Kota Juang diambil 98 ibu dan Kecamatan Jeumpa diambil 98 ibu sesuai dengan jumlah kasus yaitu 98 ibu dengan perbandingan 1 kasus 2 kontrol dan dilakukan metching umur, jenis kelamin balita, pengambilan sampel dilakukan secara systematic sampling.

3.4. Metode Pengumpulan Data

3.4.1. Data primer

Data primer dikumpulkan dengan cara wawancara yaitu dengan menggunakan kuesioner


(58)

58

3.4.2. Data sekunder

Data sekunder yang diperoleh di Dinas Kesehatan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Dinas Kesehatan Kabupaten Bireuen dan di Puskesmas, seperti profil kesehatan Propinsi, profil kesehatan kabupaten, profil kesehatan puskesmas serta dari berbagai literatur-literatur pendukung lainnya.

3.4.3. Pengujian validitas

Pengujian validitas instrumen diperlukan untuk mendapatkan instrumen sebagai alat ukur penelitian yang dapat mengukur apa yang ingin diukur dan sejauhmana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam mengukur suatu data, koofisien korelasi dikatakan valid jika nilai r hasil hitung > dari r tabel, dan berdasarkan tabel dengan taraf kepercayaan 95% dengan responden 30 orang nilai r tabel adalah 0,351 (df = n - 2). Berdasarkan hasil hitung dapat disimpulkan semua pertanyaan dalam intrumen penelitian ini valid karena semua hasil dari nilai r hitung > 0,351. Nilai r dapat dilihat pada lampiran colom corrected item-total correlation.

3.4.4. Pengujian reliabilitas

Pengujian reliabilitas instrumen diperlukan untuk mendapatkan instrumen penelitian yang tetap konsisten bila dilakukan pengukuran dua kali atau lebih terhadap gejala yang sama dan dengan alat ukur yang sama, koofisien korelasi dikatakan valid dan reliabel jika nilai r hasil hitung > dari r tabel, dan berdasarkan tabel pada taraf kepercayaan 95% dengan responden 30 orang nilai r tabel adalah 0,351 (df = n - 2). dapat disimpulkan semua pertanyaan dalam intrumen penelitian


(59)

59

ini reliabel karena nilai r hitung > 0,351. Nilai r dapat dilihat pada lampiran colom

cronbach’s alpha.

3.5. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional

3.5.1. Variabel penelitian

Penelitian ini terdapat dua variabel yaitu variabel independen dan variabel dependen. Variabel independen terdiri dari karakteristik (pendidikan, pekerjaan, pengetahuan dan sikap) dan startegi pelaksanaan (sosialisasi imunisasi, petugas kesehatan dan peran serta masyarakat), sedangkan variabel dependen adalah imunisasi polio.

3.5.2. Definisi operasional

1. Imunisasi polio adalah imunisasi yang didapatkan oleh seorang anak yang baru dilahirkan sampai dengan umur dua tahun.

2. Pendidikan adalah jenjang pendidikan terakhir yang ditempuh ibu dengan mendapatkan sertifikat kelulusan/ ijazah.

3. Pekerjaan adalah kegiatan rutin ibu lakukan selain dari ibu rumah tangga.

4. Pengetahuan adalah pemahaman ibu tentang program pelaksanaan

imunisasi untuk mencegah timbulnya penyakit polio.

5. Sikap adalah respon melibatkan fakor pendapat dan emosi ibu terhadap imunisasi polio yang bersifat positif maupun negatif.


(60)

60

6. Sosialisasi adalah sampainya informasi tentang kegiatan imunisasi ke masyarakat sehingga masyarakat tahu dan mau ikut membawa balita ke pos pelayanan imunisasi.

7. Petugas kesehatan adalah peran petugas dalam melaksanakan program imunisasi di lapangan yang ditunjuk oleh Puskesmas untuk memberikan imunisasi kepada balita.

8. Peran serta masyarakat adalah partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan program imunisasi sehingga semua balita dapat diimunisasi.

3.6. Metode Pengukuran

Metode pengukuran dilakukan secara langsung pada responden. Sebagai alat untuk pengumpulan data (instrumen penelitian), peneliti menggunakan daftar kuesioner yaitu :

3.6.1. Pendidikan, dikategori :

1. Tinggi : Apabila responden telah menamatkan pendidikan,

SLTA/sederajat, Akademi, Sarjana, Pasca Sarjana dan Doktor

2. Rendah : Apabila responden telah menamatkan pendidikan


(61)

61

3.6.2. Pekerjaan, dikategori :

1. Bekerja : Apabila responden memiliki pekejaan tetap selain

ibu rumah tangga

2. Tidak Bekerja : Apabila responden hanya sebagai ibu rumah tangga 3.6.3. Pengetahuan, dikategori :

1. Baik : Responden menjawab seluruh pertanyaan terhadap

hal-hal yang berkaitan dengan imunisasi polio, dengan nilai bobot diatas rata-rata ≥ 50%.

2. Kurang : Responden menjawab seluruh pertanyaan yang

berkaitan dengan imunisasi polio dengan nilai bobot dibawah nilai rata-rata < 50%.

3.6.4 Sikap, dikategori :

1. Positif : Responden menjawab seluruh pertanyaan terhadap

respon terhadap hal-hal yang berkaitan dengan program imunisasi polio, dengan nilai bobot di atas rata-rata ≥ 50%

2. Negatif : Responden menjawab seluruh pertanyaan terhadap

respon terhadap hal-hal yang berkaitan dengan program imunisasi polio, dengan nilai bobot dibawah rata-rata < 50%.


(62)

62

3.6.5. Sosialisasi imunisasi, dikategori :

1. Mendukung : Responden menjawab seluruh pertanyaan terhadap hal-hal yang berkaitan dengan sosialisasi program imunisasi polio dengan nilai bobot diatas nilai rata-rata ≥ 50%

2. Kurang mendukung : Responden hanya mampu menjawab sebahagian pertanyaan yang berkaitan dengan sosialisasi program imunisasi polio dengan nilai bobot dibawah nilai rata-rata < 50%.

3.6.6. Petugas Kesehatan, dikategori :

1. Baik : Responden menjawab seluruh pertanyaan terhadap

hal-hal yang berkaitan dengan peran petugas kesehatan dalam pelaksanaan program imunisasi dengan nilai bobot diatas nilai rata-rata ≥ 50%

2. Kurang : Responden menjawab seluruh pertanyaan terhadap

hal-hal yang berkaitan dengan peran petugas kesehatan dalam pelaksanaan program imunisasi dengan nilai bobot dibawah nilai rata-rata < 50%. 3.6.7. Peran Serta masyarakat, dikategori :

1. Mendukung : Responden menjawab seluruh pertanyaan terhadap hal-hal yang berkaitan dengan peran serta


(63)

63

masyarakat dengan nilai bobot diatas nilai rata-rata

≥ 50%

2. Kurang mendukung: Responden menjawab seluruh pertanyaan terhadap hal-hal yang berkaitan dengan peran serta masyarakat dengan nilai bobot dibawah nilai rata-rata < 50%.

3.7. Metode Analisis Data

Keseluruhan variabel dibuat standarisasi dengan pemberian kode disetiap item pertanyaan, data diolah dan dianalisis secara univariat, bivariat dan multivariat dengan regresi logistik ganda (multiple logistic regression). Jelasnya adalah sebagai berikut :

3.7.1. Analisi univariat

a. Untuk menjelaskan variabel independen yaitu menilai karakteristik ibu (pendidikan, pekerjaan, pengetahuan, sikap) dan strategi pelaksanaan imunisasi polio (sosialisasi imunisasi, petugas kesehatan, peran serta masyarakat) yang dibuat dalam bentuk tabel dan dideskripsikan.

b. Untuk menjelaskan variabel dependen yaitu imunisasi polio yang dibuat dalam bentuk tabel dan dideskripsikan.

3.7.2. Analisa bivariat

Penelitian ini ingin mengetahui adalah hubungan variabel independen dengan variabel dependen serta menguji perbedaan proporsi/persentase antara


(1)

116

Model Summary

Step

-2 Log likelihood

Cox & Snell R Square

Nagelkerke R Square

1 373.835(a) .001 .002

a Estimation terminated at iteration number 3 because parameter estimates changed by less than .001.

Variables in the Equation

95.0% C.I.for EXP(B)

B S.E. Wald df Sig. Exp(B)

Lower Upper Step

1(a)

PSM

.163 .248 .435 1 .510 1.178 .725 1.914 Constant .613 .172 12.679 1 .000 1.846 a Variable(s) entered on step 1: PSM.


(2)

117

Lampiran 6

HASIL UJI MULTIVARIAT LOGISTIC REGRESSION

1.

Variabel Pendidikan, Pengetahuan, Sikap, Sosialisasi Imunisasi dan

Petugas Kesehatan

Omnibus Tests of Model Coefficients

Chi-square df Sig.

Step 117.977 5 .000

Block 117.977 5 .000

Step 1

Model 117.977 5 .000

Model Summary

Step

-2 Log likelihood

Cox & Snell R Square

Nagelkerke R Square

1 256.293(a) .331 .459

a Estimation terminated at iteration number 5 because parameter estimates changed by less than .001.

Classification Table(a)

Observed Predicted

POLIO Percentage Correct

Kasus Kontrol Kasus

Step 1 POLIO Kasus 58 40 59.2

Kontrol 26 170 86.7

Overall Percentage 77.6

a The cut value is .500

Variables in the Equation

95.0% C.I.for EXP(B)

B S.E. Wald df Sig. Exp(B)

Lower Upper

Step 1(a)

PENDIDIKAN(1)

-.555 .338 2.704 1 .100 .574 .296 1.112

PENGETAHUAN 1.853 .325 32.564 1 .000 6.381 3.376 12.060

SIKAP .119 .317 .140 1 .708 1.126 .605 2.097

SOSPIN .826 .330 6.257 1 .012 2.285 1.196 4.366

PETUGAS 2.264 .325 48.470 1 .000 9.620 5.086 18.194

Constant -1.840 .407 20.482 1 .000 .159

a Variable(s) entered on step 1: PENDIDIKAN, PENGETAHUAN, SIKAP, SOSPIN, PETUGAS.

Muhammad Yusuf : Analisis Karakteristik Ibu Dan Strategi Pelaksanaan Imunisasi Dengan Imunisasi…, 2008

102


(3)

118

2. Variabel Pendidikan, Pengetahuan, Sosialisasi Imunisasi dan Petugas

Kesehatan

Omnibus Tests of Model Coefficients

Chi-square df Sig.

Step 117.837 4 .000

Block 117.837 4 .000

Step 1

Model 117.837 4 .000

Model Summary

Step

-2 Log likelihood

Cox & Snell R Square

Nagelkerke R Square

1 256.433(a) .330 .459

a Estimation terminated at iteration number 5 because parameter estimates changed by less than .001.

Classification Table(a)

Observed Predicted

POLIO Percentage Correct

Kasus Kontrol Kasus

Step 1 POLIO Kasus 58 40 59.2

Kontrol 26 170 86.7

Overall Percentage 77.6

a The cut value is .500

Variables in the Equation

95.0% C.I.for EXP(B)

B S.E. Wald df Sig. Exp(B)

Lower Upper

Step 1(a)

PENDIDIKAN

.560 .337 2.753 1 .097 1.750 .904 3.391 PENGETAHUAN(1) -1.869 .322 33.581 1 .000 .154 .082 .290

SOSPIN .819 .330 6.164 1 .013 2.267 1.188 4.326

PETUGAS 2.263 .325 48.521 1 .000 9.610 5.084 18.166

Constant -1.040 .576 3.267 1 .071 .353 a Variable(s) entered on step 1: PENDIDIKAN, PENGETAHUAN, SOSPIN, PETUGAS.


(4)

119

3. Variabel Pengetahuan, Sosialisasi Imunisasi dan Petugas Kesehatan

Omnibus Tests of Model Coefficients

Chi-square df Sig.

Step 115.058 3 .000

Block 115.058 3 .000

Step 1

Model 115.058 3 .000

Model Summary

Step

-2 Log likelihood

Cox & Snell R Square

Nagelkerke R Square

1 259.212(a) .324 .450

a Estimation terminated at iteration number 5 because parameter estimates changed by less than .001.

Classification Table(a)

Observed Predicted

POLIO Percentage Correct

Kasus Kontrol Kasus

Step 1 POLIO Kasus 60 38 61.2

Kontrol 24 172 87.8

Overall Percentage 78.9

a The cut value is .500

Variables in the Equation

95.0% C.I.for EXP(B)

B S.E. Wald df Sig. Exp(B)

Lower Upper

Step

1(a) PENGETAHUAN 1.838 .319 33.207 1 .000 6.287 3.364 11.748

SOSPIN(1) -.988 .314 9.916 1 .002 .372 .201 .689

PETUGAS 2.192 .317 47.679 1 .000 8.956 4.807 16.686

Constant -1.069 .321 11.061 1 .001 .343 a Variable(s) entered on step 1: PENGETAHUAN, SOSPIN, PETUGAS.


(5)

120

Lampiran 7

HASIL UJI INTERAKSI LOGISTIC REGRESSION

Variabel Pengetahuan, Sosialisasi Imunisasi dan Petugas Kesehatan

Omnibus Tests of Model Coefficients

Chi-square df Sig.

Step 1 Model 115.058 3 .000

Model Summary

Step -2 Log likelihood Cox & Snell R Square Nagelkerke R Square

1 259.212(a) .324 .450

a Estimation terminated at iteration number 5 because parameter estimates changed by less than .001.

Classification Table(a)

Observed Predicted

POLIO Percentage Correct

Kasus Kontrol Kasus

Step 1 POLIO Kasus 60 38 61.2

Kontrol 24 172 87.8

Overall Percentage 78.9

a The cut value is .500

Variables in the Equation

95.0% C.I.for EXP(B)

B S.E. Wald df Sig. Exp(B)

Lower Upper

Step

1(a) PENGETAHUAN 1.838 .319 33.207 1 .000 6.287 3.364 11.748 SOSPIN .988 .314 9.916 1 .002 2.687 1.452 4.970 PETUGAS 2.192 .317 47.679 1 .000 8.956 4.807 16.686 Constant -2.057 .351 34.445 1 .000 .128


(6)

121

Lampiran 8

Muhammad Yusuf : Analisis Karakteristik Ibu Dan Strategi Pelaksanaan Imunisasi Dengan Imunisasi…, 2008

106