BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dunia usaha semakin berkembang di Indonesia, hal tersebut membuat perusahaan membutuhkan modal usaha untuk mengembangkan dan menjalankan
kegiatan usahanya. Modal perusahaan tersebut berasal dari berbagai sumber, seperti bersumber dari penanaman modal, kredit bank, maupun penerbitan
obligasi. Salah satu permasalahan hukum yang timbul dari perjanjian utang piutang adalah ketidakmampuan debitor untuk melunasi pinjamannya kepada
kreditor sesuai dengan kesepakatan yang telah diperbuat. Ketidakmampuan debitor tersebut dapat disebabkan oleh faktor internal seperti turunnya tingkat
produktifitas perusahaan maupun faktor eksternal yaitu naik-turunnya kondisi perekonomian nasional.
1
Gejolak moneter yang terjadi pada pertengahan Juli 1997, mengakibatkan dampak yang sangat luas terhadap perkembangan bisnis di Indonesia. Naiknya
nilai tukar dollar terhadap rupiah dengan sangat tinggi menyebabkan banyak perusahaan di Indonesia tidak mampu membayar utangnya yang umumnya
dilakukan dalam bentuk dollar.
2
Gejolak moneter juga menimbulkan kesulitan yang sangat besar bagi perekonomian terutama kemampuan dunia usaha dalam mengembangkan
usahaanya ataupun mempertahankan kelangsungan kegiatan usahanya, sehingga
1
Adrian Sutedi, Hukum Kepailitan, Bogor : Ghalia Indonesia, 2009, hal. 8-9.
2
Sunarmi, Hukum Kepailitan, Jakarta : Softmedia, 2010, hal.2.
berpengaruh besar terhadap kemampuan dunia usaha untuk memenuhi kewajiban pembayaran utang kepada para kreditor. Keadaan ini berjalan cukup lama,
sehingga secara akumulatif utang perusahaan menjadi besar dan akhirnya perusahaan tidak mampu lagi membayar kewajibannya kepada kreditor.
Debitor yang tidak dapat memenuhi kewajibannya dinyatakan melalukan “wanprestasi”. Penyelesaian wanprestasi dapat dilakukan dengan berbagai cara,
yaitu : 1.
Melalui permusyawaratan baik dalam bentuk negoisasi, mediasi dan konsoliasi.
2. Melalui suatu gugatan keperdataan.
3. Melalui penyelesaian arbitrase.
4. Dalam hal perjanjian utang-piutang pinjaman uang tersebut diikat
dengan jaminan, kreditor dapat menjual barang jaminan untuk memperoleh pelunasan.
5. Melalui Kepailitan.
3
Salah satu alternatif penyelesaian wanprestasi masalah utang-piutang suatu perusahaan adalah melalui kepailitan. Proses penyelesaian kepailitan perlu
dilakukan secara adil artinya memperhatikan kepentingan perusahaan sebagai debitor ataupun kepentingan kreditor secara seimbang.
Untuk mengatasi permasalahan yang timbul akibat dari kepailitan diperlukan instrumen hukum yang jelas untuk menfasilitasi masalah utang piutang
yang sangat diperlukan oleh dunia usaha sebagai suatu jaminan kepastian hukum
3
Bagir Manan, “Perlindungan Debitor dan Kreditor dalam Undang-Undang Kepailitan”, Makalah disampaikan pada Seminar Kepailitan tentang Perlindungan Debitor dan Kreditor dalam
Kepailitan Mengahadapi Era Globalisasi, Bandung, 17 Oktober 1998, hal. 7.
dalam pelaksanaannya. Oleh karena itu diperlukan suatu peraturan perundang- undangan yang lengkap dan sempurna agar proses kepalitan dapat berlangsung
secara cepat, terbuka dan efektif sehingga dapat memberikan kesempatan kepada kreditor dan debitor untuk mengupayakan penyelesaian yang adil.
Undang-Undang Kepailitan semula diatur dalam Staatsblad 1905 No. 217 dan Staatsblad 1906 No.348 dikenal dengan Peraturan tentang Kepailitan
Faillissements Verordening. F.V. tersebut terdiri dari 279 pasal dengan rincian : 1. Bab I mengatur perihal Kepailitan Pasal 1 sampai dengan Pasal 211.
2. Bab II mengatur perihal Pengunduran Pembayaran Pasal 212 sampai dengan Pasal 279.
Kemudian pada tanggal 22 April 1998 diberlakukannya Peraturan Pengganti Undang-Undang PERPU No. 1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-
Undang tentang Kepailitan. PERPU No. 1 Tahun 1998 telah ditetapkan sebagai Undang-Undang berdasarkan Undang-Undang No. 4 Tahun 1998. Dengan
demikian Peraturan Kepailitan yang berlaku adalah PERPU No. 1 Tahun 1998 Jo. Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 disebut Undang-Undang Kepailitan
UUK. Undang-Undang Kepailitan tersebut terdiri dari 289 pasal dengan rincian
sebagai berikut : 1.
Bab I tentang Kepailitan Pasal 1 sampai dengan Pasal 211. 2.
Bab II tentang Penundanan Kewajiban Pembayaran Utang PKPU Pasal 2121 sampai dengan Pasal 279.
3. Bab III mengenai Pengadilan Niaga Pasal 280 sampai dengan Pasal
289.
4
Dalam Pelaksanaanya Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan masih menemui banyak permasalahan. Hal ini mendorong disusunnya
Rancangan Undang-Undang Kepailitan. Pada tanggal 18 Oktober 2004 Undang- Undang No. 4 Tahun 1998 tentang kepailitan telah menjadi Undang-Undang
No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang PKPU.
Sejak berlakunya Undang-Undang tersebut maka Undang-Undang Kepailitan Faillissements Verordening Staatsblad 1905 No. 217 dan Staatsblad
1906 No.348 dan Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan dicabut dan tidak berlaku lagi kecuali peraturan pelaksana.
Menurut Undang-Undang Kepailitan dan PKPU, Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesannya
dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas.
5
Dengan ditetapkannya suatu perusahaan dalam keadaan pailit berarti bahwa kekayaan
debitor akan berada di bawah sita umum dan debitor demi hukum kehilangan hak untuk menguasai dan mengurus kekayaannya karena dianggap sudah tidak
mampu lagi mengurus dan menguasai harta kekayaan. Salah satu permasalahan yang timbul berkaitan dengan pengurusan dan
pemberesan harta pailit setelah penetapan pailit oleh Pengadilan Niaga adalah
4
Parwoto Wignjosumarto, Hukum Kepailitan Selayang Pandang Himpunan Makalah, Jakarta : Tatanusa, 2003, hal.1-2.
5
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Kepailitan dan PKPU.
pihak yang berhak untuk pengurusan dan pemberesan atas kekayaan debitor pailit. Di Indonesia pihak yang berhak melakukan hal tersebut adalah Kurator
yaitu Balai Harta Peninggalan dan Kurator swasta. Balai Harta Peninggalan atau sering disebut sebagai Kurator pemerintah berada pada lingkup Departemen
Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. Sedangkan kurator adalah Balai Harta Peninggalan orang perorangan yang diangkat oleh pengadilan
untuk mengurus dan membereskan harta Debitor Pailit di bawah pengawasan Hakim Pengawas yang telah terdaftar pada Departemen Kehakiman dan Hak
Asasi Manusia. Penulis hanya akan membahas mengenai kurator saja, karena di dalam proses kepailitan kurator memiliki peran utama dalam pengurusan dan
pemberesan harta pailit demi kepentingan kreditor dan debitor pailit. Dalam hal debitor yang dinyatakan pailit adalah Perseroan Terbatas
terdapat organ perseroan terbatas yang merupakan perwakilan perseroan terbatas dalam melakukan perbuatan hukum. Dengan adanya kepailitan maka akan terjadi
suatu peralihan wewenang dan tanggung jawab dalam bidang harta kekayaan dari organ perseoan terbatas kepada kurator. Organ Perseroan Terbatas yaitu Rapat
Umum Pemegang Saham RUPS, Direksi dan Dewan Komisaris. Penulis dalam skripsi ini hanya akan membahas mengenai Direksi Perseroan Terbatas saja.
Dalam menjalankan perusahaan Direksi memiliki tugas dan tanggung jawab penuh untuk menjalankan pengurusan perseroan untuk kepentingan
perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan dalam anggaran dasar.
Perseroan Terbatas tetap dapat bertindak secara hukum sekalipun telah dinyatakan pailit. Direksi masih tetap berfungsi karena kepailitan hanya
mencakup kekayaan dari perseroan sehingga Perseroan Terbatas sebagai subjek hukum tetap berfungsi.
Masuknya kurator dengan wewenangnya atas pengurusan dan pemberesan harta pailit perseroan menimbulkan pergeseran yang cukup signifikan atas sistem
kerja operasional direksi perseroan terbatas. Beralihnya wewenang atas pengurusan dan pemberesan harta pailit kepada kurator tidak berarti
menggantikan kedudukan direksi perseroan terbatas pailit, terlebih di kemudian hari diketahui bahwa terjadinya kepailitan disebabkan oleh kesalahan pribadi
direksi perseroan terbatas. Pengaturan tugas dan wewenang Direksi perseroan terbatas diatur dalam
UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, sedangkan tugas dan kewenangan kurator diatur dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan PKPU. Adanya peralihan kewenangan dari direksi perseroan terbatas kepada
kurator juga mengakibatkan adanya peralihan tanggung jawab sehubungan dengan harta kekayaan perseroan terbatas. Adanya putusan pailit menyebabkan kurator
bertanggung jawab atas tindakkannya terhadap harta pailit perseroan terbatas. Kurator bertanggung jawab atas kesalahan atau kelalaian dalam pelaksanaan
pemberesan harta pailit yang menyebabkan kerugian pada harta pailit perseroan terbatas.
Dari apa yang telah diuraikan diatas, maka penulis tertarik untuk
mengajukan penulisan skripsi dengan judul: Peralihan Kewenangan Direksi Perseroan Terbatas Kepada Kurator Dalam Pengelolaan PT Yang Pailit.
B. Perumusan Masalah