Bentuk Reduplikasi Bahasa Jawa Ngoko

41

BAB IV PEMBAHASAN

4.1 Bentuk Reduplikasi Bahasa Jawa Ngoko dan Bahasa Indonesia

4.1.1 Bentuk Reduplikasi Bahasa Jawa Ngoko

Telah dipaparkan pada bab sebelumnya bahwa di dalam bahasa Jawa terdapat empat bentuk reduplikasi yaitu, dwilingga, dwilingga salin suara, dwipurwa, dan dwiwasana Poedjosoedarmo, 1979:8 dan ditambah dengan empat macam bentuk reduplikasi lainnya yaitu, dwi dwipurwa, dwi dwiwasana, dwi dwipurwa salin suara, dan dwi dwiwasana salin suara Poedjosoedarmo, 1979:35.

4.1.1.1 Dwilingga

Dwilingga adalah bentuk perulangan dengan mengulang seluruh bentuk dasar kata. Bentuk perulangan ini terdapat pada kata kerja, kata benda, kata sifat, kata bilangan, dan kata keterangan. Contoh dwilingga pada kata kerja yaitu, lunga-lunga ‘bepergian’ nyeluk-nyeluk ‘memanggil-manggil’ njaluk-njaluk ‘minta-minta’ Universitas Sumatera Utara 42 Contoh dwilingga pada kata benda yaitu, omah-omah ‘rumah-rumah’ wit-wit ‘pohon-pohon’ kali-kali ‘sungai-sungai’ Contoh dwilingga pada kata sifat yaitu, atos-atos ‘keras-keras’ lemu-lemu ‘gemuk-gemuk’ apik-apik ‘bagus-bagus’ Contoh dwilingga pada kata bilangan yaitu, siji-siji ‘satu-satu’ pitu-pitu ‘tujuh-tujuh’ nyewu-nyewu ‘seribu-seribu’ Contoh dwilingga pada kata keterangan yaitu, cepet-cepet ‘cepat-cepat’ rindhik-rindhik ‘pelan-pelan’ mundhuk-mundhuk ‘merunduk-merunduk’ Universitas Sumatera Utara 43 Selain dengan pengulangan penuh, dwilingga juga merupakan pengulangan sebagian dan hal ini tergantung kepada imbuhan dan bentuk dasarnya. Misalnya saja pada awalan, sisipan maupun akhiran. Contoh dwilingga pada awalan yaitu, nyangking-nyangking ‘membawa-bawa’ ngiris-iris ‘memotong-motong’ nguyak-uyak ‘mengejar terus’ diidak-idak ‘diinjak-injak’ kethuthuk-thuthuk ‘terpukul-pukul’ Contoh dwilingga pada sisipan yaitu, pedhang-pinedhang ‘saling berpedang’ antem-ingantem ‘saling menghantam’ jotos-jinotos ‘saling berhantam’ Universitas Sumatera Utara 44 Contoh dwilingga pada akhiran yaitu, wong-wongan ‘orang-orangan’ wit-witan ‘pohon-pohonan’ omah-omahan ‘rumah-rumahan’ nakon-nakoni ‘menanyai berulang kali’ Jadi, dapat disimpulkan bahwa bentuk perulangan dwilingga merupakan perulangan penuh dan perulangan sebagian dengan penambahan pada awalan, sisipan maupun akhiran.

4.1.1.2 Dwilingga Salin Suara

Dwilingga salin suara adalah proses perulangan penuh dengan adanya perubahan fonem. Perubahan fonem pada perulangan selain pada vokal awal juga terdapatnya penambahan fonem diakhir kata. Contoh : mloya-mlayu ‘berlari ke sana ke mari’ lora-lara ‘berkali-kali sakit’ songa-sangane ‘kesembilan-sembilannya’ Universitas Sumatera Utara 45 gelam-geleme ‘mengapa mau’ lora-lara ‘berkali-kali sakit’ mongan-mengen ‘berkali-kali makan’ tuka-tuku ‘selalu saja membeli’ Selain dalam bentuk perulangan penuh ataupun perulangan murni bentuk perulangan dwilingga salin suara juga dapat merupakan perulangan semu. Misalnya pada kata kolang-kaling ‘isi buah enau’, dan pada kata ngothak-atik ‘mengerjakan atau berfikir dengan teliti’. Perulangan semu adalah kata ulang yang sulit menentukan bentuk dasarnya atau dapat dikatakan bahwa kata ulang yang merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Dwilingga salin suara merupakan kata ulang yang menunjukkan arti negatif yaitu pembicara ingin menunjukkan perasaan tidak suka atau mungkin kemarahannya kepada lawan bicara. Hal ini biasanya disebabkan suatu tindakan atau keadaan atau objek yang terjadi atau muncul berulang kali, atau karena ketidaktentuan tindakan, keadaan atau objek tersebut. Universitas Sumatera Utara 46

4.1.1.3 Dwipurwa

Dwipurwa merupakan bentuk perulangan pada bahasa Jawa ngoko dimana unsur yang diulang adalah gugus konsonan dan vokal KV pada suku kata pertama. Contoh : tuku tetuku ‘membeli’ resik reresik ‘membersihkan’ geni gegeni ‘memanaskan diri di dekat api’ reged rerged ‘barang-barang kotor’ tamba tetamba ‘berobat’

4.1.1.4 Dwiwasana

Dwiwasana merupakan perulangan yang memiliki perbedaan dengan perulangan dwilingga dan dwipurwa karena bentuk dasar dari perulangan dwiwasana sulit untuk ditentukan bahkan ada kecenderungan bahwa bentuk perulangan dengan bentuk dasar merupakan satu kata utuh. Universitas Sumatera Utara 47 Contoh: cekikik ‘tertawa terkekeh-kekeh’ cekakak ‘tertawa-tawa’ pethuthuk ‘membesar’

4.1.1.5 Dwi Dwipurwa

Dwi dwipurwa merupakan perulangan dimana dwipurwa sebagai bentuk dasarnya. Dwi dwipurwa dapat pula disebut sebagai dwi dwilingga karena hasil dari pengulangan ini menjadi pengulangan utuh penuh. Contoh: reresik-reresik ‘membersihkan’ tetuku-tetuku ‘membeli’ lelara-lelara ‘berbagai macam penyakit’ Universitas Sumatera Utara 48

4.1.1.6 Dwi Dwiwasana

Bentuk perulangan dwi dwisana yaitu bentuk perulangan dimana bentuk dasarnya berupa dwiwasana. Jadi, dapat dikatakan bahwa bentuk perulangan dwi dwisana sama dengan dwi dwipurwa hanya saja bentuk dasarnya berbeda. Contoh: pethenteng-pethentheng ‘berlagak’ cekikik-cekikikan ‘tertawa terbahak-bahak’ sethithik-sethithik ‘sedikit-sedikit’

4.1.1.7 Dwi Dwipurwa Salin Suara

Bentuk perulangan dwi dwipurwa salin suara sama dengan bentuk perulangan dwi dwipurwa hanya saja yang membedakannya adalah adanya perubahan bunyi pada hasil perulangan. Contoh : tetuka-tetuku ‘berulang kali belanja’ gegena-gegeni ‘berulang kalli berdiang’ memangan-memengeni ‘berulang kali makan’ Universitas Sumatera Utara 49

4.1.1.8 Dwi Dwiwasana Salin Suara

Dwi dwiwasana salin suara merupakan bentuk perulangan dimana bentuk dasarnya merupakan dwi dwiwasana hanya saja adanya perubahan bunyi pada hasil perulangan. Contoh: pethenthang-pethentheng ‘berlagak’ cekikak-cekikik ‘tertawa kecil’ sethithak-sethithik ‘sedikit-sedikit’ Universitas Sumatera Utara 50

4.1.2 Bentuk Reduplikasi Bahasa Indonesia