Perbandingan Reduplikasi Bahasa Jawa Ngoko Dengan Bahasa Indonesia

(1)

PERBA

NG

DEP

ANDING

GOKO D

PARTEM

UNI

GAN RE

DENGA

MEN BAH

FAKULT

IVERSITA

EDUPLIK

AN BAHA

SK

O

ANDRY

090

HASA DA

TAS ILM

AS SUMA

MEDA

2013

KASI BA

ASA IND

KRIPSI

OLEH

YANA SA

0701034

AN SASTR

MU BUDA

ATERA U

AN

AHASA

DONESI

ARI

RA INDO

AYA

UTARA

A JAWA

IA

ONESIA


(2)

PERBANDINGAN REDUPLIKASI BAHASA JAWA NGOKO DENGAN BAHASA INDONESIA

ANDRYANA SARI

ABSTRAK

Reduplikasi merupakan proses pembentukan kata dengan cara pengulangan pada kata dasar dan reduplikasi merupakan salah satu proses morfologis. Untuk menentukan bentuk reduplikasi terlebih dahulu menentukan bentuk dasarnya, misalnya kata wit (Jawa Ngoko) ‘pohon’ kemudian direduplikasi menjadi wit-wit ‘pohon-pohon’. Ataupun dengan adanya variasi fonem atau perubahan bunyi pada hasil pengulangan, misalnya pada kata mlayu ‘berlari’ menjadi mloya-mlayu ‘berlari-lari’. Selain itu juga pada kata tamu (Indonesia) menjadi tetamu karena pengulangan pada konsonan-vokal pada gugus pertama.

Untuk menentukan bahwa data-data yang terkumpul dapat diolah menjadi bentuk dan proses reduplikasi maka digunakan metode Sudaryanto (1993) dan Keraf (1997) dengan menggunakan metode agih, metode deskriptif,dan metode komparatif. Dalam penganalisisan data digunakan teori Podjosoedarmo (1981) dan Simatupang (1979).

Hasil penelitian yang dianalisis dari data yang terkumpul dapat diketahui bahwa bentuk redplikasi bahasa Jawa Ngoko terbagi atas empat golongan utama yaitu dwilingga, dilingga salin suara, dwipurwa dan dwiwasana. Dari keempat golongan ini terbagi lagi atas empat macam yaitu dwi dwipurwa, dwi dwiwasana, dwi dwipurwa salin suara, dan dwi dwiwasana salin suara. Sedangkan bentuk reduplikasi bahasa Indonesia terbagi atas empat golongan yaitu reduplikasi penuh, reduplikasi berimbuhan, reduplikasi perubahan fonem, dan reduplikasi parsial.


(3)

PRAKATA

Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak baik berupa dorongan moril dan materil, nasehat dan petunjuk. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih dengan setulus hati kepada :

1. Abi Eko Saryono dan Ummi Sufyana, kalian adalah orang tua yang luar biasa. Pengorbanan dan kasih sayang Abi dan Ummi takkan bisa ananda balas dengan apapun.

2. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A. sebagai Dekan Fakultas Ilmu Budaya USU. 3. Bapak Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si. sebagai Ketua Departemen Sastra

Indonesia yang telah memberikan bimbingan dan dukungan kepada penulis selama menajalankan perkuliahan di Departemen Sastra Indonesia.

4. Bapak Drs. Haris Sultan Lubis, M.S.P sebagai sekretaris Departemen Sastra Indonesia.

5. Bapak Drs. Hariadi Susilo, M.Si. selaku pembimbing I yang telah memberikan bimbingan dan petunjuk demi kesempurnaan penyusunan skripsi ini.

6. Bapak Drs. T. Aiyub Sulaiman selaku pembimbing II yang telah memberikan bimbingan dan petunjuk demi kesempurnaan penyusunan skripsi ini.

7. Bapak drs. Gustaf Sitepu, M.Hum.selaku dosem Pembimbing Akademik yang telah memberikan bimbingan dan petunjuk selama menjadi mahasiswa.


(4)

8. Bapak/Ibu staf pengajar Departemen Sastra Indonesia yang telah mendidik penulis selama menjadi mahasiswa serta seluruh pegawai Fakultas Ilmu Budaya USU.

9. Adik-adik saya Putri Nadhya dan Roni Iqsal Elani, jadikanlah apa yang telah kakak lakukan selama ini sebagai motivasi kalian dikedepannya.

10.Kakek saya M. Abbas yang telah memberikan bantuan dan dorongannya selama penulisan skripsi ini.

11.Teman-teman stambuk 2009 yang telah memberikan bantuannya dalam penyusunan skripsi.

12.Sahabat penulis Emma Marsella, Dita Wulandari, Riski Handayani, dan Siti Ayu Nurhidayati yang telah memberikan motivasi kepada penulis.

13.Para pengurus BTM Al-Iqbal Fakultas Ilmu Budaya USU yang telah memberikan motivasi dan bantuan kepada penulis.

14.Teman-teman Sofyan 52 Fitri, Annisa, Ria, Qoriah, Tari, Putri, Gita, Indah, dan Ika yang telah memberikan dorongan dan bantuannya selama penulisan skripsi ini.

Akhirnya penulis mengucapkan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca untuk menambah pengetahuan.

Medan, 15 Juni 2013

Penulis


(5)

DAFTAR ISI

ABSTRAK……… i

PRAKATA……… ii

DAFTAR ISI……… iv

DAFTAR SINGKATAN DAN SIMBOL………….………. viii

DAFTAR TABEL……… ix

BAB I PENDAHULUAN………. 1

1.1 Latar Belakan……….. 1

1.2 Rumusan Masalah……….. 6

1.3 Pembatasan Masalah……….. 7

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian……….. 7

1.4.1 Tujuan Penelitian………. 7

1.4.2 Manfaat Penelitia………... 8

1. Manfaat Teoritis……… 8


(6)

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

2.1Konsep………. 9

2.1.1 Reduplikasi Bahasa Jawa Ngoko.……… 9

2.1.2 Reduplikasi Bahasa Indonesia………. 10

2.1.3 Bahasa Jawa Ngoko……….. 12

2.1.4 Bahasa Indonesia……….. 13

2.2 Landasan Teori………. 15

2.2.1 Morfolologi.……….. 15

2.2.2 Reduplikasi Bahasa Indonesia……… 16

2.2.3 Reduplikasi Bahasa Jawa Ngoko……… 22

2.3 Tinjauan Pustaka………. 23

BAB III METODE PENELITIA………. 25

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian………. 25

3.1.1 Lokasi Penelitian……… 25

3.1.2 Waktu Penelitian……… 25

3.2 Sumber Data……….. 25

3.3 Metode dan Teknik Pengumpulan Data………... 26


(7)

BAB IV PEMBAHASAN……… 29

4.1 Bentuk Reduplikasi Bahasa Jawa Ngoko dan Bahasa Indonesia……. 29

4.1.1 Bentuk Reduplikasi Bahasa Jawa Ngoko……….. 29

4.1.1.1 Dwilingga……… 29

4.1.1.2 Dwilingga Salin Suara………. 32

4.1.1.3 Dwipurwa……… 34

4.1.1.4 Dwiwasana……….. 34

4.1.1.5 Dwi Dwipurwa……….. 35

4.1.1.6 Dwi Dwiwasana………. 36

4.1.1.7 Dwi Dwipurwa Salin Suara……… 36

4.1.1.8 Dwi Dwiwasana Salin Suara………. 37

4.1.2 Bentuk Reduplikasi Bahasa Indonesia……….. 38

4.1.2.1 Reduplikasi Penuh………. 38

4.1.2.2 Reduplikasi Parsial………. 39


(8)

4.2 Persamaan dan Perbedaan Bentuk Reduplikasi Bahasa Jawa Ngoko dan

Bahasa Indonesia………... 42

4.2.1 Persamaan Bentuk Reduplikasi Bahasa Jawa Ngoko dan Bahasa Indonesia……….. 42

4.2.2 Perbedaan Bentuk Reduplikasi Bahasa Jawa Ngoko dan Bahasa Indonesia……… 42

4.3 Proses Reduplikasi Bahasa Jawa Ngoko dan Bahasa Indonesia……… 45

4.3.1 Proses Reduplikasi Bahasa Jawa Ngoko……… 45

4.3.1.1 Dwilingga………. 45

4.3.1.2 Dwilingga Salin Suara………. 51

4.3.1.3 Dwipurwa………. 52

4.3.1.4 Dwiwasana……… 53

4.3.1.5 Dwi Dwipurwa……… 54

4.3.1.6 Dwi Dwiwasana……… 55

4.3.1.7 Dwi Dwipurwa Salin Suara……….. 55


(9)

4.3.2 Proses Reduplikasi Bahasa Indonesia………. 58

4.3.2.1 Tipe R-1 : (D + R)………. 58

4.3.2.2 Tipe R-2 : (D + Rperf)………... 59

4.3.2.3 Tipe R-3 : ((D + R) + ber-)……… 60

4.3.2.4 Tipe R-4 : ((D + R) + ber-/-an)……… 61

4.3.2.5 Tipe R-5 : (D + (R + ber-))………. 62

4.3.2.6 Tipe R-6 : ((D + R) + meN-)…..……… 63

4.3.2.7 Tipe R-7 : (D + (R + meN-))……… 64

4.3.2.8 Tipe R-8 : (D + (R + meN-/-i))……… 65

4.3.2.9 Tipe R-9 : ((D + R) + meN-/-kan)……… 65

4.3.2.10 Tipe R-10 : ((D + R) + meN-/-i)……… 66

4.3.2.11 Tipe R-11 : ((D + R) + se-)……… 67

4.3.2.12 Tipe R-12 ; ((D + R) + ke-/(-nya))……… 68

4.3.13 Tipe R-13 : ((D + R) + ke-/-an)………. 69


(10)

4.3.16 Tipe R-16 : (D + Rp)………. 72

4.4 Persamaan dan Perbedaan Proses Reduplikasi Bahasa Jawa Ngoko dan Bahasa Indonesia………. 73

4.4.1 Persamaan Proses Reduplikasi Bahasa Jawa Ngoko dan Bahasa Indonesia……… 73

4.4.2 Perbedaan Proses Reduplikasi Bahasa Jawa Ngoko dan Bahasa Indonesia………. 73

BAB V SIMPULAN DAN SARAN………. 77

5.1 Simpulan………... 77

5.2 Saran………. 80

DAFTAR PUSTAKA


(11)

DAFTAR SINGKATAN

D Bentuk Dasar

DL Dwilingga

DLS Dwilingga Salin Suara

DP Dwipurwa

DW Dwiwasana

DDP Dwi Dwipurwa

DDW Dwi Dwiwasana

DDPS Dwi Dwipurwa Salin Suara

DDWS Dwi Dwiwasana Salin Suara

K Konsonan

R Reduplikasi

V Vokal


(12)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Persamaan dan Perbedaan Bentuk Reduplikasi Bahasa Jawa Ngoko dan Bahasa

Indonesia……… 44

Tabel 2 Dwilingga Sebagian Berprefiks N-……… 48

Tabel 3 Dwilingga Sebagian Berprefiks di-………... 49

Tabel 4 Dwilingga Sebagian Berprefiks ke-……….. 50

Tabel 5 Tipe R-4 : ((D + R) + ber-/-an)……….. 61

Tabel 6 Tipe R-5 : (D + (R + ber-))………. 62

Tabel 7 Tipe R-6 : ((D + R) + meN-)……….. 63

Tabel 8 Tipe R-7 : (D + (R + meN-))………. 64

Tabel 9 Tipe R-8 : (D + (R + meN-/-i))………. 65

Tabel 10 Tipe R-9 : ((D + R) + meN-/-kan)………... 65

Tabel 11 Tipe R-10 : ((D + R) + meN-/-i)……….. 66

Tabel 12 Tipe R-14 : ((D + R)+ -an)……….. 70

Tabel 13 Persamaan dan Perbedaan Proses Reduplikasi Bahasa Jawa Ngoko dan Bahasa Indonesia……… 75


(13)

PERBANDINGAN REDUPLIKASI BAHASA JAWA NGOKO DENGAN BAHASA INDONESIA

ANDRYANA SARI

ABSTRAK

Reduplikasi merupakan proses pembentukan kata dengan cara pengulangan pada kata dasar dan reduplikasi merupakan salah satu proses morfologis. Untuk menentukan bentuk reduplikasi terlebih dahulu menentukan bentuk dasarnya, misalnya kata wit (Jawa Ngoko) ‘pohon’ kemudian direduplikasi menjadi wit-wit ‘pohon-pohon’. Ataupun dengan adanya variasi fonem atau perubahan bunyi pada hasil pengulangan, misalnya pada kata mlayu ‘berlari’ menjadi mloya-mlayu ‘berlari-lari’. Selain itu juga pada kata tamu (Indonesia) menjadi tetamu karena pengulangan pada konsonan-vokal pada gugus pertama.

Untuk menentukan bahwa data-data yang terkumpul dapat diolah menjadi bentuk dan proses reduplikasi maka digunakan metode Sudaryanto (1993) dan Keraf (1997) dengan menggunakan metode agih, metode deskriptif,dan metode komparatif. Dalam penganalisisan data digunakan teori Podjosoedarmo (1981) dan Simatupang (1979).

Hasil penelitian yang dianalisis dari data yang terkumpul dapat diketahui bahwa bentuk redplikasi bahasa Jawa Ngoko terbagi atas empat golongan utama yaitu dwilingga, dilingga salin suara, dwipurwa dan dwiwasana. Dari keempat golongan ini terbagi lagi atas empat macam yaitu dwi dwipurwa, dwi dwiwasana, dwi dwipurwa salin suara, dan dwi dwiwasana salin suara. Sedangkan bentuk reduplikasi bahasa Indonesia terbagi atas empat golongan yaitu reduplikasi penuh, reduplikasi berimbuhan, reduplikasi perubahan fonem, dan reduplikasi parsial.


(14)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang

Bahasa merupakan alat komunikasi yang digunakan manusia untuk menyampaikan pendapat, ide, gagasan, maupun perasaan. Bahasa sebagai satu-satunya alat komunikasi terbaik yang dimiliki manusia. Hal ini dapat dilihat dari ciri-ciri bahasa itu sendiri. Ciri-ciri bahasa menurut Chaer (2007: 56) bahwa bahasa itu adalah sistem lambang bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia, bersifat arbitrer, bermakna, dan produktif. Maka, dapat disimpulkan bahasa hanya dimiliki manusia karena hewan dalam berkomunikasi memang menggunakan alat komunikasi tetapi tidak sama dengan alat komunikasi yang dimiliki manusia. Lebah madu misalnya, menggunakan gerak tari tertentu untuk menyampaikan berita adanya sumber madu kepada kawan-kawannya.

Bahasa dapat dikaji dalam struktur internal dan struktur eksternal (Chaer, 1995: 1). Kajian bahasa secara internal, yaitu dengan pengkajian bahasa itu hanya dilakukan terhadap struktur intern bahasa itu saja, seperti struktur fonologisnya, struktur morfologisnya, atau struktur sintaksisnya. Kajian bahasa secara eksternal, berarti, kajian itu dilakukan terhadap hal-hal atau faktor-faktor yang berada di luar bahasa yang berkaitan dengan pemakaian bahasa itu oleh para penuturnya di dalam kelompok-kelompok sosial kemasyarakatan.


(15)

Bahasa Indonesia merupakan bahasa pemersatu bagi bangsa Indonesia. Dikatakan sebagai bahasa pemersatu karena sebelum bahasa Indonesia diproklamirkan pada kongres Pemuda Indonesia di Jakarta pada tanggal 28 Oktober 1928 dan kemudian dinyatakan sebagai bahasa negara (pasal 36 UUD 1945) rakyat Indonesia lebih suka menggunakan bahasa daerahnya masing-masing. Adanya kesepakatan untuk mempersatukan bahasa menjadi bahasa Indonesia karena adanya pemikiran beberapa organisasi kepemudaan, seperti Budi Utomo, Jong Jawa, Jong Jong Sumatera, dan Jong Ambon. Walaupun masing-masing dari organisasi kepemudaan ini lebih suka menggunakan bahasa daerahnya sendiri tetapi hal ini disadari sangat menghambat persatuan dan kesatuan bangsa yang hendak dicapai. Setelah disadari perlu adanya media penghubung segenap pemuda-pemuda Indonesia maka diputuskanlah bahasa Melayu digunakan sebagai bahasa pemersatu. Adanya saran tegas dari para pemuda di Sumatera yang menyatakan agar menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa pemersatu terutama bahasa Melayu Riau. Hal ini karena bahasa Melayu Riau disebut juga Melayu Tinggi sebagai bahasa pemersatu. Alasan lain diputuskannya bahasa Melayu sebagai bahasa pemersatu karena adanya beberapa surat kabar yang berjasa dalam menyebarluaskan bahasa Melayu, seperti Bianglala, Bintang Timur, Kaum Muda, Neratja, dan sebagainya.

Bahasa Indonesia yang kita gunakan sekarang merupakan bahasa Melayu yang sudah diperkaya dengan kosakata berbagai unsur bahasa baik bahasa nusantara maupun bahasa asing. Bahasa nusantara yang mempengaruhi kosakata bahasa Indonesia misalnya, bahasa Jawa, bahasa Sunda, bahasa Minang, bahasa Bali, dan bahasa Bugis,


(16)

sedangkan bahasa asing yang digunakan untuk menambah kosakata bahasa Indonesia, yaitu bahasa Inggris, bahasa Belanda, bahasa Cina, bahasa Arab, bahasa Portugal, bahasa Parsi, bahasa Tamil, dan juga bahasa Sanskerta.

Bahasa Jawa adalah bahasa yang digunakan oleh suku Jawa. Masyarakat ataupun suku Jawa sendiri pada masa sekarang telah tersebar di seluruh pelosok negeri ini. Banyak pendapat dan faktor yang menjelaskan mengapa suku Jawa dapat menyebar sampai kepelosok negeri. Salah satunya adalah pada saat penjajahan Belanda karena pada saat itu Belanda ingin membangun dan mengembangkan potensi yang ada di Indonesia maka Belanda pun mengirim suku Jawa yang pada saat itu adalah penduduk terbanyak ke seluruh pelosok negeri.

Geertz (dalam Purwoko, 2008: 57) membagi bahasa Jawa menjadi tiga perbedaan tingkat bahasa yakni: krama, madya, dan ngoko. Lain halnya dengan Poedjosoedarmo (1968: 59), memperkenalkan tiga sub-levels lagi yaitu membagi krama menjadi tiga sub-levels, yakni: mudha-krama, kramantara, dan wedha-krama. Tingkat bahasa madya dibagi menjadi tiga sub-levels lain lagi, yakni: madya-krama, madyantara, dan madya-ngoko.

Kemudian tingkat bahasa ngoko juga dibagi menjadi tiga sub-levels, yakni: basa-antya, antya-basa, dan ngoko-lugu. Pada tahun 1937, Purwoko (2008: 57) mengatakan dalam tingkat bahasa ngoko, dia membuat pembagian menjadi ngokolugu dan ngokoandhap, kemudian bagian kedua ini dibagi lagi menjadi antyabasa dan basaantya. Purwoko (2008: 58) membagi ngoko menjadi ngoko-lugu dan


(17)

ngoko-andhap, sedangkan madya menjadi madya-ngoko, madya-antara, dan madya-krama, dan tingkat bahasa karama menjadi mudha-krama, kramantara, wedha-krama, krama-inggil, dan krama-désa. Jadi paling tidak bahasa Jawa memiliki sembilan tingkat bahasa atau sepuluh tingkat bahasa yang berbeda satu sama lain.

Bahasa Jawa ngoko lebih sering dianggap sebagai media komunikasi yang berkonotasi “kasar”, “kurang sopan”, “langsung”, “terus terang”, “mentah”, “polos”, atau “lugu”, dari pada berkonotasi “netral” (Purwoko, 2008: 60). Hal ini terjadi karena pengguna bahasa Jawa ngoko adalah tiyang alit (rakyat kecil) atau sering dikatakan pula sebagai rakyat kebanyakan (Koentjaraningrat, dalam Purwoko, 2008: 8). Pada masa kini pengguna bahasa Jawa ngoko sudah banyak tersebar di Indonesia karena terjadinya persebaran penduduk yang dilakukan oleh Belanda kepada orang-orang Jawa atau suku Jawa untuk dipekerjakan pada masa penjajahan. Bahasa Jawa ngoko juga dianggap sebagai bahasa yang tidak formal karena biasanya bahasa Jawa ngoko digunakan pada saat berkomunikasi dengan teman ataupun orang yang lebih muda.

Reduplikasi (Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), 2007: 938) adalah proses atau hasil perulangan kata atau unsur kata. Reduplikasi menurut Kridalaksana (2008: 208), adalah proses dan hasil pengulangan satuan bahasa sebagai alat fonologis atau gramatikal. Proses pengulangan atau reduplikasi ialah pengulangan satuan gramatik, baik seluruhnya maupun sebagiannya, baik dengan variasi fonem maupun tidak (Ramlan, 2001: 63). Hasil pengulangan disebut kata ulang, sedangkan satuan satuan


(18)

yang diulang merupakan bentuk dasar. Misalnya kata ulang lemari-lemari dari bentuk dasar lemari, kata ulang berjalan-jalan dibentuk dari bentuk dasar berjalan.

Reduplikasi dalam bahasa Indonesia dapat digolongkan menjadi empat golongan yaitu, (1) pengulangan seluruh adalah pengulangan seluruh bentuk dasar tanpa perubahan fonem dan tidak adanya pembubuhan afiks, misalnya buku-buku, gelas-gelas,dan lain sebagainya; (2) pengulangan sebagian adalah pengulangan sebagian dari bentuk dasarnya, misalnya tersenyum-senyum dari bentuk dasar tersenyum, ditakut-takuti dibentuk dari bentuk dasar ditakuti; (3) pengulangan yang berkombinasi dengan proses pembubuhan afiks , maksudnya pengulangan itu terjadi bersama-sama dengan proses pembubuhan afiks dan bersama-sama pula mendukung satu fungsi, misalnya kata ulang sepeda-sepedaan, ada dua pilihan dalam menentukan bentuk dasarnya yaitu pilihan pertama yaitu bentuk dasar sepeda diulang menjadi sepeda-sepeda, lalu mendapat bubuhan afiks –an, menjadi sepeda-sepedaan dan pilihan kedua ialah bentuk dasar sepeda diulang dan mendapat bubuhan afiks –an; dan (4) pengulangan dengan perubahan fonem, misalnya bolak-balik, compang-camping (Ramlan, 2001: 69-75).

Reduplikasi dalam bahasa Jawa menurut Poedjosoedarmo (1979: 8) terbagi menjadi empat golongan yaitu pengulangan utuh (dwilingga), pengulangan utuh dengan dibarengi bunyi (dwilingga salin suara), pengulangan awal (dwipurwa), dan pengulangan akhir (dwiwasana). Pengulangan utuh (dwilingga) merupakan bentuk yang mempunyai frekuensi paling tinggi. Bentuk ini baik terdapat dengan kata kerja, kata benda, kata sifat, kata tambahan, kata bilangan maupun kata tugas (Wedhawati, 1981:


(19)

36). Misalnya takon-takon (bertanya-tanya), wong-wong (orang-orang), dan apik-apik (baik-baik). Pengulangan utuh dengan dibarengi bunyi (dwilingga salin suara) dapat terjadi pada semua jenis kata, misalnya celak-celuk (memanggil-manggil), monga-mengen (berkali-kali makan). Dwipurwa hanya dapat dibentuk dari dua suku kata saja, misalnya njejaluk (meminta-minta). Dwiwasana (pengulangan akhir), bentuk pengulangan ini jarang sekali dipakai, misalnya pada kata cekikikan (tertawa terkekeh-kekeh).

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya, maka yang menjadi masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Apa perbedaan dan persamaan bentuk reduplikasi di dalam bahasa Jawa ngoko dengan bahasa Indonesia?

2. Apa persamaan dan perbedaan proses reduplikasi bahasa Jawa ngoko dengan bahasa Indonesia?


(20)

1.3Pembatasan Masalah

Suatu penelitian harus dibatasi agar terarah dan tujuan penelitian tercapai dengan baik. Maka penelitian ini pun demikian, memiliki batasan masalah. Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya bahwa bahasa Jawa terbagi dalam tiga tingkatan Jawa krama, madya, dan ngoko tetapi dalam penelitian ini hanya membahas tentang proses pengulangan (reduplikasi) bahasa Jawa ngoko di desa Cimahi, Kecamatan Bangun Puba, Kabupaten Deli Serdang dan membandingkannya dengan proses pengulangan (reduplikasi) bahasa Indonesia.

1.4Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.4.1 Tujuan Penelitian

Berdasarkan masalah yang telah dipaparkan, adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mendeskripsikan persamaan dan perbedaan reduplikasi dalam bahasa Jawa ngoko dan bahasa Indonesia.

2. Mengetahui persamaan dan perbedaan proses reduplikasi dalam bahasa Jawa ngoko dan bahasa Indonesia.


(21)

1.4.2 Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis, manfaat dari hasil penelitian ini adalah:

1. Menambah pengetahuan peneliti tentang penerapan konsep dan teori penelitian persamaan dan perbedaan proses reduplikasi bahasa Indonesia maupun bahasa Jawa.

2. Menambah wawasan dan pengetahuan peneliti dan pembaca dalam memahami hasil dari penelitian reduplikasi bahasa Indonesia dan bahasa Jawa.

3. Menambah referensi bagi peneliti lain yang tertarik meneliti bahasa di bidang morfologi khususnya tentang reduplikasi bahasa Indonesia dan bahasa Jawa.

2. Manfaat Praktis

Adapun manfaat praktis dari penelitian ini adalah:

1. Sebagai masukan dalam bentuk referensi bagi peneliti maupun pengajar dan pelajar mengenai bahasa di bidang morfologi tentang reduplikasi bahasa Indonesia dan bahasa Jawa ngoko.

2. Sebagai informasi bagi pemerintah daerah mengenai hasil penelitian baru, yaitu kajian tentang reduplikasi bahasa Indonesia dan bahasa Jawa ngoko.


(22)

BAB II

KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

2.1Konsep

Konsep adalah gambaran mental dari objek, proses, atau apa pun yang ada di luar bahasa, yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain (KBBI, 2007:588). Tujuan adanya konsep dalam penulisan ilmiah yaitu untuk dijadikan sebagai dasar pengembangan penulisan selanjutnya. Penjabaran konsep ini dapat bersumber dari ahli, pengalaman peneliti, dokumentasi, dan nalar yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.

2.1.1 Reduplikasi Bahasa Jawa Ngoko

Telah banyak ahli bahasa Jawa yang menulis tentang kata ulang atau reduplikasi dalam bahasa Jawa. Uhlenbeck (dalam Poedjosoedarmo, 1981: 1) membagi reduplikasi bahasa Jawa menjadi tiga yaitu dwi lingga (DL), dwi purwa (DP), dan dwi wasana (DW). Selanjutnya Poedjosoedarmo (1979: 8) yang membagi reduplikasi bahasa Jawa dalam empat golongan, yaitu pengulangan utuh (dwilingga), pengulangan utuh dengan perubahan bunyi (dwilingga salin suara), pengulangan awal (dwipurwa), dan pengulangan akhir (dwiwasana). Kemudian Verhaar (1990: 64) juga memiliki pendapat yang sama dengan Poedjosoedarmo, beliau juga membagi reduplikasi bahasa Jawa


(23)

dalam empat golongan, yaitu dwilingga, dwilingga salin suara, dwipurwa, dan dwiwasana. Pembagian reduplikasi bahasa Jawa yang diungkapkan Poedjosoedarmo inilah yang sekaligus menjadi pembahasan dalam penelitian ini.

2.1.2 Reduplikasi Bahasa Indonesia

Proses reduplikasi banyak terdapat dalam berbagai bahasa di seluruh dunia. Sebagai contoh dalam bahasa Inggris pada kata lamps yang berarti lampu-lampu (banyak lampu), dan pada kata tables yang memiliki arti meja-meja. Selain itu reduplikasi juga terdapat dalam bahasa Moru (Papua Nugini) ada kata tau yang memiliki arti orang laki-laki diredulikasikan menjadi tatau ‘banyak orang laki-laki’; dan kata mero ‘anak laki-laki’ direduplikasikan menjadi memero ‘banyak anak laki-laki’, tetapi bila diulang penuh menjadi mero-mero bermakna ‘anak laki-laki kecil’ (Chaer, 2007:183).

Proses reduplikasi dapat dibagi atas dua sifat, yaitu paradigmatis (infleksional) dan derivasional. Reduplikasi yang bersifat paradigmatis artinya tidak mengubah indentitas leksikal, melainkan hanya memberi makna gramatikal. Misalnya, botol-botol ‘banyak botol’ dan besar-besar ‘banyak yang besar’. Reduplikasi yang bersifat derivasional yaitu membentuk kata baru atau kata identitas leksikalnya berbeda dengan bentuk dasarnya. Misalnya, laba-laba dari kata dasar laba dan pura-pura dari kata dasar pura dapat dianggap sebagai contoh reduplikasi derivasional (Chaer, 2007: 183-184).


(24)

Ramlan (2001: 63) berpendapat bahwa reduplikasi adalah pengulangan satuan gramatikal, baik seluruhnya maupun sebagian, baik dengan variasi fonem maupun tidak. Hasil pengulangan disebut kata ulang, sedangkan satuan yang diulang merupakan bentuk dasar. Bentuk reduplikasi dalam bahasa Indonesia sendiri menurut Ramlan (2001:68-75) terbagi atas empat macam, yaitu (1) pengulangan seluruh, (2) pengulangan sebagian, (3) pengulangan yang berkombinasi dengan proses pembubuhan afiks, dan (4) pengulangan dengan perubahan fonem. Pengulangan seluruh adalah pengulangan keseluruhan pada bentuk dasar tanpa adanya perubahan afiks.

Kemudian Simatupang (1979: 16) mengatakan bahwa reduplikasi adalah proses morfemis yang mengubah bentuk kata yang dikenainya. Simatupang juga membagi reduplikasi bahasa Indonesia dalam tiga kelompok utama, yaitu (1) reduplikasi penuh, (2) reduplikasi parsial, dan (3) reduplikasi berimbuhan (1979: 137). Teori reduplikasi menurut Simatupang ini yang akan digunakan pada penelitian ini dan hanya membahas reduplikasi bahasa Indonesia tipe-16.


(25)

2.1.3 Bahasa Jawa Ngoko

Bahasa Jawa adalah bahasa yang digunakan oleh suku Jawa. Menurut Geertz (dalam Purwoko, 2008: 57) membagi bahasa Jawa menjadi tiga perbedaan tingkat bahasa yakni: krama, madya, dan ngoko. Sedangkan Poedjosoedarmo (1968: 59), memperkenalkan tiga sub-levels lagi yaitu membagi krama menjadi tiga sub-levels, yakni: mudha-krama, kramantara, dan wedha-krama. Sedangkan tingkat bahasa madya dibagi menjadi tiga sub-levels lain lagi, yakni: madya-krama, madyantara, dan madya-ngoko. Kemudian tingkat bahasa ngoko juga dibagi menjadi tiga sub-levels, yakni: basa-antya, antya-basa, dan ngoko-lugu. Pada tahun 1937, Purwoko (2008: 57) mengatakan dalam tingkat bahasa ngoko, dia membuat pembagian menjadi ngokolugu dan ngokoandhap, kemudian bagian kedua ini dibagi lagi menjadi antyabasa dan basaantya. Purwoko (2008: 58) membagi ngoko menjadi ngoko-lugu dan ngoko-andhap, sedangkan madya menjadi madya-ngoko, madya-antara, dan madya-krama, dan tingkat bahasa karama menjadi mudha-krama, kramantara, wedha-krama, krama-inggil, dan krama-désa. Jadi paling tidak bahasa Jawa memiliki sembilan tingkat bahasa atau sepuluh tingkat bahasa yang berbeda satu sama lain.

Pengguna bahasa Jawa krama (atas) biasanya adalah para priyayi atau keturunan bangsawan, sedangkan bahasa Jawa madya (tengah) penggunanya adalah para abdi dalam dan pengguna bahasa Jawa ngoko (bawah) adalah para buruh , ataupun petani.


(26)

Bahasa Jawa ngoko lebih sering dianggap sebagai media komunikasi yang berkonotasi “kasar”, “kurang sopan”, “langsung”, “terus terang”, “mentah”, “polos”, atau “lugu”, dari pada berkonotasi “netral” (Purwoko, 2008:60). Hal ini terjadi karena pengguna bahasa Jawa ngoko adalah tiyang alit (rakyat kecil) atau sering dikatakan pula sebagai rakyat kebanyakan (Koentjaraningrat, dalam Purwoko, 2008:8). Dan pada masa kini pengguna bahasa Jawa ngoko sudah banyak tersebar di Indonesia karena terjadinya persebaran penduduk yang dilakukan oleh Belanda kepada orang-orang Jawa atau suku Jawa untuk dipekerjakan pada masa penjajahan. Bahasa Jawa ngoko juga dianggap adalah bahasa yang tidak formal karena biasanya bahasa Jawa ngoko digunakan pada saat berkomunikasi dengan orang yang seumuran, kawan akrab ataupun bawahan.

2.1.4 Bahasa Indonesia

Bahasa Indonesia sebagai alat pemersatu bahasa bagi bangsa Indonesia. Sebagaimana diketahui bahwa beranekaragamnya suku bangsa di Indonesia maka hal itu juga berpengaruh pada bahasa yang digunakan. Maka, bahasa Indonesia di sini bertugas sebagai alat pemersatu bahasa dan bahasa Indonesia sendiri berasal dari bahasa Melayu.

Kosakata bahasa Indonesia selain dari kosakata bahasa Melayu juga ada sumber lain kosakata bahasa Indonesia sperti bahasa Sanskerta. Bahasa Sanskerta merupakan bahasa yang datang bersama dengan penyebaran agama Hindu di Indonesia. Contoh kosakata bahasa Sanskerta dalam bahasa Indonesia dapat dilihat pada kata antara,asmara,


(27)

agama, bahtera, bumi, dan jaya. Bahasa Sanskerta juga digunakan untuk slogan, lambang, dan semboyan. Misalnya, Bhinneka Tunggal Ika (lambang negara Republik Indonesia), Jales Viva Jayamahe (slogan angkatan Laut), Jalesu Bhumyamcha Jayamahe (Slogan Korps Marinir Angkatan Laut) (Chaer, 2007:14).

Selain dari bahasa Sanskerta kosakata bahasa Indonesia juga bersumber dari bahasa-bahasa Nusantara seperti bahasa-bahasa Jawa, Sunda, Bali, Minangkabau, Banjar, dan lain sebagainya. Juga bahasa asing lain seperti bahasa Parsi, bahasa Tamil, bahasa Arab, bahasa Belanda, bahasa Inggris dan bahasa Cina (Chaer, 2007:15-19).

Selain itu bahasa Indonesia juga memiliki fungsi khusus sesuai dengan kepentingan bahasa Indonesia yaitu (1) sebagai bahasa resmi yang digunakan sebagai alat administrasi negara yang dapat dilihat dalam surat-menyurat resmi, peraturan-peraturan, undang-undang, pidato, dan pertemuan-pertemuan resmi, (2) sebagai bahasa persatuan, sseperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa bangsa Indonesia terdiri dari berbagai macam suku dan masing-masing memiliki bahasa dan dialeknya sendiri. Maka, dalam mengintegrasikan semua suku tersebut, bahasa Indonesia memiliki peranan penting, dan (3) sebagai bahasa kebudayaan, yakni bahasa Indonesia berperan sebagai wadah penampung kebudayaan. Maksudnya adalah bahasa Indonesia digunakan dalam ilmu pengetahuan dan kebudayaan yang harus diajarkan dan diperdalam.


(28)

2.2Landasan Teori 2.2.1 Morfologi

Morfologi (KBBI, 2007:755) adalah cabang linguistik tentang morfem dan kombinasinya. Sedangkan dalam kamus linguistik, morfologi, yaitu (1) bidang linguistik yang mempelajari morfem dan kombinasi-kombinasinya; (2) bagian dari struktur bahasa yang mencakup kata dan bagian-bagian kata, yakni morfem (Kridalaksana, 2008:159). Sedangkan menurut Ramlan (2001:21) morfologi adalah bagian dari ilmu bahasa yang membicarakan atau yang mempelajari seluk-beluk bentuk kata serta pengaruh perubahan-perubahan bentuk kata terhadap golongan dan arti kata, atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa morfologi mempelajari seluk-beluk bentuk kata serta fungsi perubahan-perubahan bentuk kata lain, baik fungsi gramatik maupun fungsi semantik. Seperti yang telah dijabarkan pada latar belakang bahwa morfologi merupakan kajian bahasa secara internal atau pengkajian bahasa itu hanya dilakukan terhadap struktur intern bahasa itu saja. Yang menjadi objek daripada morfologi yaitu soal-soal yang berhubungan dengan bentuk kata. Perubahan-perubahan bentuk kata menyebabkan adanya perubahan golongan dan arti kata. Misalnya saja golongan kata sepatu tidak sama dengan golongan kata bersepatu. Kata sepatu termasuk golongan kata nomina sedangkan kata bersepatu termasuk golongan kata verba.


(29)

2.2.2 Reduplikasi Bahasa Indonesia

Menurut Simatupang (1983:19-46) reduplikasi morfemis bahasa Indonesia dapat dibagi dalam beberapa tipe, yaitu:

1) Tipe R-1 (D + R)

R-1 ialah mengulang dasar yang monomorfemis ( sepeda-sepeda,besar-besar, dinding-dinding) dan bentuk yang polimorfemis (pendapat-pendapat, perdebatan-perdebatan).

2) Tipe R-2 (D + Rperf)

R-2 ialah pengulangan dasar yang diikuti dengan perubahan fonem pada konstituen ulang, dan fonem yang berubah dapat berupa hanya vokal, hanya konsonan atau konsonan dan vokal.

Contoh : gerak-gerik, tindak-tanduk, ramah-tamah.

3) Tipe R-3 ((D + R) + ber-)

Kata ulang hasil R-3 dapat terbentuk melalui dua poses yaitu,


(30)

Contoh : ((jalan + ber-) + R) berjalan-jalan

((gerak + ber-) + R) bergerak-gerak

(b) Pengimbuhan dan reduplikasi sekaligus

Contoh: ton (*berton) berton-ton

lembar (*berlembar) berlembar-lembar

4) Tipe R-4 ((D + R) + ber-/-an)

Tipe R-4 ialah pengulangan yang diturunkan dengan imbuhan ber-/-an, dan yang mengandung arti resiprokatif atau bersifat saling berbalasan.

Contoh : berjauh-jauhan

bersahut-sahutan

5) Tipe R-5 (D + (R + ber-))

Tipe R-5 ialah pengulangan yang hasil perulangan dari bentuk dasar dibubuhi dengan imbuhan ber-.


(31)

6) Tipe R-6 ((D + R) + meN-)

Tipe R-6 terdapat dengan kata kerja berprefiks meN- dapat diganti oleh di- atau ter- tergantung dari dapat tidaknya dasar diberi prefiks demikian.

Contoh : melempar-lempar, membawa-bawa, melihat-lihat.

7) Tipe R-7 (D + (R + meN-))

Tipe R-7 dapat dikenakan pada kata kerja yang dasarnya secara intrinsik merupakan kata kerja, dan R-7 dapat dihubungkan dengan arti resiprokatif atau kegiatan yang bertalian dengan D (bentuk dasar).

Contoh : pukul-memukul, tolong-menolong, bantu-membantu,

kait-mengait.

8) Tipe R-8 (D + (R + meN-/-i))

Tipe R-8 ialah pengulangan yang dikenakan pada kata kerja yang terdapat pada R-7 dengan arti resiprokatif dan kata ulang yang terjadi juga mengandung arti demikian.


(32)

9) Tipe R-9 ((D + R) + meN-/-kan)

Tipe R-9 ialah pengulanga yang terbentuk dengan mengulang bentuk dasar kemudian dibubuhi dengan imbuhan meN-/-kan.

Contoh : menggerak-gerakan, membagi-bagikan, mengayun-ayunkan.

10)Tipe R-10 ((D + R) + meN-/-i)

Tipe R-10 ialah pengulangan yang terbentuk dengan mengulang bentuk dasar kemudian dibubuhi dengan imbuhan meN-/-i.

Contoh : menghalang-halangi, menutup-nutupi, memukul-mukuli.

11)Tipe R-11 ((D + R) + se-)

Tipe R-11 ialah pengulangan yang diturunkan dengan prefiks se-.


(33)

12)Tipe R-12 ((D + R) + ke-/-(-nya))

Tipe R-12 ialah pengulangan yang diturunkan dengan prefiks ke-.

Contoh : ketiga-tiga(-nya), ketujuh-tujuh (-nya), kedua-dua (-nya).

13)Tipe R-13 ((D + R) + ke-/-an)

Tipe R-13 ialah pengulangan yang terbentuk dengan mengulang bentuk dasar kemudian dibubuhi dengan imbuhan ke-/-an.

Contoh : kemerah-merahan, kehitam-hitaman, keibu-ibuan.

14)Tipe R-14 ((D + R) + -an)

Tipe R-14 ialah pengulangan yang diturunkan dengan sufiks –an.

Contoh : mobil-mobilan, kartu-kartuan, untung-untungan.

15)Tipe R-15 (D + (R + -em-))

tipe R-15 ialah pengulangan yang diturunkan dengan infiks -em-.


(34)

16)Tipe R-16 (D + Rp)

Tipe R-16 ialah reduplikasi parsial dimana unsur yang diulang terdiri dari gugus konsonan vokal (KV) dari suku pertama dasar.

Contoh : tetamu, lelaki, tetangga.

17)Reduplikasi semantik, yaitu proses pengulangan arti melalui penggabungan dua bentuk yang bersinonim: cerdik-pandai, arif-bijaksana, tutur-kata, semak-belukar.

18) Bentuk-bentuk residu (bentuk yang sangat terbatas): hal-ihwal, adat-istiadat, alim-ulama, sebab-musabab.

Meskipun tipe reduplikasi bahasa Indonesia yang dikemukakannya cukup banyak tetapi pada dasarnya Simatupang (1983:137) membagi reduplikasi menjadi tiga kelompok utama, yaitu (1) reduplikasi penuh, (2) reduplikasi parsial, dan (3) reduplikasi berimbuhan.


(35)

2.2.3 Reduplikasi Bahasa Jawa Ngoko

Menurut bentuknya (Poedjosoedarmo, 1981:35) kata ulang dalam bahasa Jawa dapat dibedakan menjadi delapan macam yaitu:

(1) Kata ulang penuh atau dwilingga (DL) : siji-siji (satu-satu), nyangking-nyangking (membawa-bawa), lunga-lunga (bepergian).

(2) Kata ulang awal atau dwipurwa (DP) : tetuku (berbelanja), reresik (membersihkan), rerusuh (kekacauan).

(3) Kata ulang akhir atau dwiwasana (DW) : dithuthuk (dipukul), cekakak (tertawa-tawa).

(4) Kata ulang penuh dengan perubahan suara atau dwilingga salin suara (DLS) : celak-celuk (memanggil-manggil), mloya-mlayu (berlari ke sana ke mari), lingak-linguk (menoleh ke kanan kiri).

(5) Kata ulang penuh dengan lingga kata ulang akhir atau dwi dwipurwa (DDP) : gegaman-gegaman (senjata-senjata), wewadi-wewadi (rahasia-rahasia), tetuku-tetuku (membeli).

(6) Kata ulang penuh dengan lingga kata ulang akhir atau dwi dwiwasana (DDW) : pecicil-pecicil, cekikik-cekikik, pthentheng-pethentheng.

(7) Kata ulang penuh dengan lingga kata ulang awal dengan perubahan suara atau dwi dwipurwa salin suara (DDPS) : tetuka-tetuku (membeli-beli), nenongas-nenangis (menangis-nangis), cecowas-cecawis (sesajian).


(36)

(8) Kata ulang penuh dengan lingga kata ulang akhir dengan perubahan suara atau dwi dwiwasana salin suara(DDWS) : kela-keli (selalu hanyut), kola-kolu (selalu tertelan), kelang-kelingan (selalu teringat).

Sedangkan reduplikasi dalam bahasa Jawa menurut Poedjosoedarmo (1979:8) terbagi menjadi empat golongan yaitu pengulangan utuh (dwilingga), pengulangan utuh dengan dibarengi bunyi (dwilingga salin suara), pengulangan awal (dwipurwa), dan pengulangan akhir (dwiwasana).

2.3Tinjauan Pustaka

Tinjauan adalah hasil meninjau, pandangan, pendapat (sesudah menyelidiki, mempelajari dan sebagainya) (KBBI, 2007:1198). Pustaka adalah kitab, buku, buku primbon (KBBI, 2007:912). Maka tinjauan pustaka dapat diartikan sebagai hal-hal yang berhubungan dengan penelitian tersebut sebagai bahan referensi yang mendukung penelitian.

Penelitian tentang perbandingan reduplikasi sudah pernah dilakukan sebelumnya. Seperti Ronita Rita (1997) dalam skripsinya yang berjudul Perbandingan Reduplikasi antara Bahasa Sunda dengan Bahasa Indonesia dalam isi skripsinya tersebut beliau menjelaskan bahwa dalam bahasa Sunda reduplikasi dibagi atas tiga yaitu dwilingga, dwipurwa, dan dwimadya. Dan bentuk ulang bahasa Sunda tidak selamanya dapat diterjemahkan ke dalam bentuk ulang bahasa Indonesia.


(37)

Begitu juga Poedjosoedarmo (1981) dalam bukunya Sistem Perulangan dalam Bahasa Jawa membagi perulangan dalam bahasa Jawa ke dalam tiga kelas yaitu dwi lingga, dwi purwa dan dwi wasana. Dan dalam penelitian tersebut beliau meneliti semua tingkatan bahasa Jawa yaitu Jawa krama,madya, dan ngoko tidak terfokus pada satu tingkatan saja.

Sibuea (2000) juga pernah meneliti tentang reduplikasi dengan judul Reduplikasi dalam Bahasa Pesisir Sibolga dalam skripsinya tersebut beliau menjelaskan bahwa reduplikasi dalam bahasa Pesisir Sibolga dapat ditentukan dengan reduplikasi seluruh, reduplikasi sebagian, reduplikasi berimbuhan dan reduplikasi dengan perubahan fonem.

Selain itu juga Widyahardani (2010) meneliti tentang Perbandingan Reduplikasi Morfemis dalam Bahasa Korea dan Bahasa Indonesia. Beliau menjelaskan bahwa adanya persamaan reduplikasi penuh tanpa afiks antara bahasa Indonesia dan bahasa Korea, adanya persamaan reduplikasi penuh dengan perubahan fonem baik pada vokal, konsonan, maupun vokal dan konsonan, sedangkan perbedaannya yaitu di dalam bahasa Indonesia terdapat reduplikasi dengan penambahan afiks sedangkan di dalam bahasa Korea tidak, di dalam bahasa Korea tidak ada reduplikasi denngan perubahan fonem dan penambahan afiks sedangkan di dalam bahasa Indonesia ada, dan reduplikasi dalam bahasa Korea tidak selalu mempunyai arti, ada yang merupakan permainan kataagar diperoleh bunyi yang padu dan padan, sebaliknya reduplikasi dalam bahasa Indonesia merupakan pengulangan kata yang mempunyai arti.


(38)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1Lokasi dan Waktu Penelitian

3.1.1 Lokasi

Lokasi adalah letak atau tempat (KBBI, 2007:680). Lokasi penelitian ini adalah desa Sei Cimahi, Kecamatan Bangun Purba, Lubuk Pakam.

3.1.2 Waktu Penelitian

Waktu penelitian ini dilakukan pada bulan April – Mei 2013, tepatnya pada tanggal 29 April – 19 Mei 2013.

3.2Sumber Data

Data yang diperoleh dari penelitian ini adalah tuturan berupa kata ulang (reduplikasi) bahasa Jawa ngoko dari beberapa informan yang bertempat tinggal di desa Sei Cimahi, kecamatan Bangun Purba, Lubuk Pakam. Adapun jumlah informan tersebut adalah tiga orang yaitu Muhammad Abas (71 tahun), Rubinem (68 tahun), dan Trimorejo (71 tahun). Selain melakukan penelitian dengan bertanya langsung kepada


(39)

informan peneliti juga melakukan penelitian kepustakaan (library research) dengan mengumpulkan dari dari teks-teks ataupun wacana jawa.

3.3Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Metode adalah cara yang harus dilakukan dalam melakukan penelitian, sedangkan teknik adalah cara melaksanakan metode (Sudaryanto, 1993:9). Sebelum melakukan pengumpulan data terlebih dahulu dilakukan observasi. Hal ini dilakukan untuk mengetahui kosakata bahasa Jawa yang diucapkan oleh informan. Kemudian, untuk pengumpulan datanya dilakukan dengan metode simak atau “penyimakan” yaitu penyimakan penggunaan bahasa (Sudaryanto, 1933:133). Selain menggunakan metode simak, peneliti juga menggunakan teknik catat. Teknik catat ini digunakan untuk mencatat data-data yang terkumpul untuk selanjutnya diklasifikasikan ke dalam proses pengulangan atau reduplikasi dalam bahasa Jawa kemudian menganalisisnya. Selain menyimak percakapan informan, peneliti juga mencari data melalui buku yaitu berupa teks narasi yang menggunakan bahasa Jawa.


(40)

3.4Metode dan Teknik Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode agih. Metode agih adalah metode yang digunakan alat penentunya justru bagian dari bahasa yang bersangkutan itu sendiri (Sudaryanto, 1993:15). Untuk memperjelas penelitian reduplikasi anatara bahasa Jawa ngoko dan bahasa Indonesia maka digunakan juga dua metode tambahan yaitu metode deskriptif dan metode komparatif. Metode deskriptif yaitu meneliti bahasa berdasarkan data yang diperoleh pada masa kini. Keraf (dalam Rita, 1997:7) mengatakan bahwa metode deskriptif adalah pencatatan yang nyata atas struktur bahasa pada suatu lingkungan masa tertentu. Sedangkan metode komparatif adalah metode yang digunakan dalam penelitian bahasa dengan mengadakan perbandingan. Keraf (dalam Rita,1997:7) mengatakan metode komparatif ialah membicarakan perkembangan struktur bahasa dengan mengadakan perbandingan antara struktur bahasa yang satu dengan struktur bahasa yang lain. Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahawa reduplikasi bahasa Indonesia terbagi atas pengulangan seluruh, pengulangan sebagian, pengulangan kombinasi dengan proses pembubuhan afiks, dan pengulangan dengan perubahan fonem. Sedangkan reduplikasi bahasa Jawa yaitu terbagi atas pengulangan utuh (dwilingga), pengulangan utuh dengan dibarengi bunyi (dwilingga salin suara), pengulangan awal (dwipurwa), dan pengulangan akhir (dwiwasana). Contoh pengulangan dalam bahasa indonesia yaitu sebagai berikut:

1. Pengulangan penuh


(41)

2. Pengulangan parsial

Contoh : tetamu, tetangga 3. Pengulangan berimbuhan

Contoh : kehitam-hitaman, orang-orangan, semurah-murahnya, berjalan-jalan, mengais-kais, meminta-minta

Sedangkan untuk contoh pengulangan dalam bahasa Jawa yaitu sebagai berikut

1. Pengulangan utuh (dwilingga)

Contoh : alang-alang (ilalang), ilat-ilat (lidah-lidah), ali-ali (cincin) 2. Pengulangan utuh dengan dibarengi bunyi (dwilingga salin suara)

Contoh : mloya-mlayu (berlari ke sana ke mari), celak-celuk (memanggil-manggil), gelam-geleme ((mengapa) mau)

3. Pengulangan awal (dwipurwa)

Contoh : tetuku (berbelanja), njejaluk (meminta-minta), rerusuh (kekacauan) 4. Pengulangan akhir (dwiwasana)

Contoh : cekikik (tertawa terkekeh-kekeh), cengenges (mengejek), pethentheng (berdiri bertelekan pinggang)


(42)

BAB IV

PEMBAHASAN

4.1Bentuk Reduplikasi Bahasa Jawa Ngoko dan Bahasa Indonesia 4.1.1 Bentuk Reduplikasi Bahasa Jawa Ngoko

Telah dipaparkan pada bab sebelumnya bahwa di dalam bahasa Jawa terdapat empat bentuk reduplikasi yaitu, dwilingga, dwilingga salin suara, dwipurwa, dan dwiwasana (Poedjosoedarmo, 1979:8) dan ditambah dengan empat macam bentuk reduplikasi lainnya yaitu, dwi dwipurwa, dwi dwiwasana, dwi dwipurwa salin suara, dan dwi dwiwasana salin suara (Poedjosoedarmo, 1979:35).

4.1.1.1Dwilingga

Dwilingga adalah bentuk perulangan dengan mengulang seluruh bentuk dasar kata. Bentuk perulangan ini terdapat pada kata kerja, kata benda, kata sifat, kata bilangan, dan kata keterangan.

Contoh dwilingga pada kata kerja yaitu,

lunga-lunga ‘bepergian’

nyeluk-nyeluk ‘memanggil-manggil’


(43)

Contoh dwilingga pada kata benda yaitu,

omah-omah ‘rumah-rumah’

wit-wit ‘pohon-pohon’

kali-kali ‘sungai-sungai’

Contoh dwilingga pada kata sifat yaitu,

atos-atos ‘keras-keras’

lemu-lemu ‘gemuk-gemuk’

apik-apik ‘bagus-bagus’

Contoh dwilingga pada kata bilangan yaitu,

siji-siji ‘satu-satu’

pitu-pitu ‘tujuh-tujuh’

nyewu-nyewu ‘seribu-seribu’

Contoh dwilingga pada kata keterangan yaitu,

cepet-cepet ‘cepat-cepat’


(44)

Selain dengan pengulangan penuh, dwilingga juga merupakan pengulangan sebagian dan hal ini tergantung kepada imbuhan dan bentuk dasarnya. Misalnya saja pada awalan, sisipan maupun akhiran.

Contoh dwilingga pada awalan yaitu,

nyangking-nyangking ‘membawa-bawa’

ngiris-iris ‘memotong-motong’

nguyak-uyak ‘mengejar terus’

diidak-idak ‘diinjak-injak’

kethuthuk-thuthuk ‘terpukul-pukul’

Contoh dwilingga pada sisipan yaitu,

pedhang-pinedhang ‘saling berpedang’

antem-ingantem ‘saling menghantam’


(45)

Contoh dwilingga pada akhiran yaitu,

wong-wongan ‘orang-orangan’

wit-witan ‘pohon-pohonan’

omah-omahan ‘rumah-rumahan’

nakon-nakoni ‘menanyai berulang kali’

Jadi, dapat disimpulkan bahwa bentuk perulangan dwilingga merupakan perulangan penuh dan perulangan sebagian dengan penambahan pada awalan, sisipan maupun akhiran.

4.1.1.2Dwilingga Salin Suara

Dwilingga salin suara adalah proses perulangan penuh dengan adanya perubahan fonem. Perubahan fonem pada perulangan selain pada vokal awal juga terdapatnya penambahan fonem diakhir kata.

Contoh :

mloya-mlayu ‘berlari ke sana ke mari’

lora-lara ‘berkali-kali sakit’


(46)

gelam-geleme ‘(mengapa) mau’

lora-lara ‘berkali-kali sakit’

mongan-mengen ‘berkali-kali makan’

tuka-tuku ‘selalu saja membeli’

Selain dalam bentuk perulangan penuh ataupun perulangan murni bentuk perulangan dwilingga salin suara juga dapat merupakan perulangan semu. Misalnya pada kata kolang-kaling ‘isi buah enau’, dan pada kata ngothak-atik ‘mengerjakan atau berfikir dengan teliti’.

Perulangan semu adalah kata ulang yang sulit menentukan bentuk dasarnya atau dapat dikatakan bahwa kata ulang yang merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.

Dwilingga salin suara merupakan kata ulang yang menunjukkan arti negatif yaitu pembicara ingin menunjukkan perasaan tidak suka atau mungkin kemarahannya kepada lawan bicara. Hal ini biasanya disebabkan suatu tindakan atau keadaan atau objek yang terjadi atau muncul berulang kali, atau karena ketidaktentuan tindakan, keadaan atau objek tersebut.


(47)

4.1.1.3Dwipurwa

Dwipurwa merupakan bentuk perulangan pada bahasa Jawa ngoko dimana unsur yang diulang adalah gugus konsonan dan vokal (KV) pada suku kata pertama.

Contoh :

tuku tetuku ‘membeli’

resik reresik ‘membersihkan’

geni gegeni ‘memanaskan diri di dekat api’

reged rerged ‘barang-barang kotor’

tamba tetamba ‘berobat’

4.1.1.4Dwiwasana

Dwiwasana merupakan perulangan yang memiliki perbedaan dengan perulangan dwilingga dan dwipurwa karena bentuk dasar dari perulangan dwiwasana sulit untuk ditentukan bahkan ada kecenderungan bahwa bentuk perulangan dengan bentuk dasar merupakan satu kata utuh.


(48)

Contoh:

cekikik ‘tertawa terkekeh-kekeh’

cekakak ‘tertawa-tawa’

pethuthuk ‘membesar’

4.1.1.5Dwi Dwipurwa

Dwi dwipurwa merupakan perulangan dimana dwipurwa sebagai bentuk dasarnya. Dwi dwipurwa dapat pula disebut sebagai dwi dwilingga karena hasil dari pengulangan ini menjadi pengulangan utuh (penuh).

Contoh:

reresik-reresik ‘membersihkan’

tetuku-tetuku ‘membeli’


(49)

4.1.1.6Dwi Dwiwasana

Bentuk perulangan dwi dwisana yaitu bentuk perulangan dimana bentuk dasarnya berupa dwiwasana. Jadi, dapat dikatakan bahwa bentuk perulangan dwi dwisana sama dengan dwi dwipurwa hanya saja bentuk dasarnya berbeda.

Contoh:

pethenteng-pethentheng ‘berlagak’

cekikik-cekikikan ‘tertawa terbahak-bahak’

sethithik-sethithik ‘sedikit-sedikit’

4.1.1.7Dwi Dwipurwa Salin Suara

Bentuk perulangan dwi dwipurwa salin suara sama dengan bentuk perulangan dwi dwipurwa hanya saja yang membedakannya adalah adanya perubahan bunyi pada hasil perulangan.

Contoh :

tetuka-tetuku ‘berulang kali belanja’

gegena-gegeni ‘berulang kalli berdiang’


(50)

4.1.1.8Dwi Dwiwasana Salin Suara

Dwi dwiwasana salin suara merupakan bentuk perulangan dimana bentuk dasarnya merupakan dwi dwiwasana hanya saja adanya perubahan bunyi pada hasil perulangan.

Contoh:

pethenthang-pethentheng ‘berlagak’

cekikak-cekikik ‘tertawa kecil’


(51)

4.1.2 Bentuk Reduplikasi Bahasa Indonesia 4.1.2.1Reduplikasi Penuh

Reduplikasi penuh merupakan bentuk perulangan dimana kata dasar diulang secara keseluruhan. Bentuk dasar yang diulang dapat berupa kata dasar maupun kata berimbuhan.

Contoh reduplikasi penuh kata dasar

meja meja-meja

botol botol-botol

sapu sapu-sapu

rumah rumah-rumah

kayu kayu-kayu

Contoh reduplikasi penuh berimbuhan

pengertian pengertian-pengertian

pertemuan pertemuan-pertemuan


(52)

4.1.2.2Reduplikasi Parsial

Reduplikasi parsial merupakan bentuk reduplikasi di mana unsur yang dulang terdiri dari gugus KV dari suku kata pertama dasar.

Contoh:

tangga tetangga

tamu tetamu

laki lelaki

sajian sesajian

runtuhan reruntuhan

Pada reduplikasi penuh apabila kata tangga diulang maka akan menghasilkan kata tangga-tangga yang mengandung arti yang sama, sedangkan di dalam reduplikasi parsial apabila kata tangga direduplikasikan makan akan menghasilkan kata tetangga yang mengandung arti ‘tak tunggal’ atau memiliki arti yang berbeda dari bentuk dasarnya.


(53)

4.1.2.3Reduplikasi Berimbuhan

Reduplikasi berimbuhan merupakan reduplikasi dengan tambahan imbuhan baik awalan, akhiran maupun awalan dan akhiran yang kemudian direduplikasikan dan hasil reduplikasi ini dapat pula dikatakan sebagai reduplikasi sebagian.

Contoh:

lari berlari-lari

batu berbatu-batu

bersalaman bersalam-salaman

bawa membawa-bawa

pukul pukul-memukul

membesar membesar-besarkan


(54)

4.1.2.4Reduplikasi Perubahan Fonem

Reduplikasi dengan perubahan fonem juga terdapat di dalam bahasa Indonesia yaitu dengan adanya oerubahan fonem pada konstituen ulang, dan fonem yang berubah dapat berupa hanya vokal, hanya konsonan, atau vokal dan konsonan.

Contoh:

gerak-gerik kedap-kedip

sayur-mayur kelap-kelip

cerai-berai serba-serbi

tindak-tanduk basa-basi


(55)

4.2Persamaan dan Perbedaan Bentuk Reduplikasi Bahasa Jawa Ngoko dan Bahasa Indonesia

4.2.1 Persamaan Bentuk Reduplikasi Bahasa Jawa Ngoko dan Bahasa Indonesia

Adapun persamaan bentuk reduplikasi pada bahasa Jawa Ngoko dengan bahasa Indonesia yaitu pada bentuk dwilingga pada bahasa Jawa Ngoko dan reduplikasi penuh pada bahasa Indonesia. Keduanya sama-sama membahas tentang pengulangan utuh pada bentuk dasar. Selain itu juga terdapat pada dwipurwa dengan reduplikasi parsial yaitu sama-sama membahas tentang adanya pengulangan dengan adanya perubahan pada gugus KV pada pada posisi awal kata. Dwilingga salin suara dengan reduplikasi perubahan fonem juga menunjukkan hal yang sama yaitu membahas tentang adanya perubahan bunyi pada konstituen ulang. Persamaan bentuk reduplikasi bahasa Jawa Ngoko dan bahasa Indonesia dapat dilihat pada tabel 1.

4.2.2 Perbedaan Bentuk Reduplikasi Bahasa Jawa Ngoko dan Bahasa Indonesia

Selain adanya persamaan adapula perbedaan bentuk reduplikasi pada kedua bahasa ini yaitu dapat dilihat pada dwilingga dengan reduplikasi penuh. Pada bentuk ulang dwilingga dalam bahasa Jawa Ngoko adanya bentuk perulangan sebagian yang dapat dilihat pada kata diidak-idak, dan ngiris-iris, sedangkan di dalam bahasa Indonesia hal seperti ini tidak ada. Selain itu juga di dalam bahasa Jawa Ngoko adanya bentuk ulang


(56)

dwiwasana yang diketahui sebagai bentuk ulang dengan adanya penambahan KV pada bentuk dasar yang diletakkan pada tengah kata dan bentuk ulang ini dapat dikatakan sebagai kata penuh (utuh) karena sulit ditentukan bentuk dasarnya misalnya pada kata cekikik sedangkan dalam bahasa Indonesia bentuk ulang seperti ini tidak ada. Perbedaan bentuk reduplikasi bahasa Jawa Ngoko dan bahasa Indonesia dapat dilihat pada tabel 1.


(57)

Tabel 1 Persamaan dan Perbedaan Bentuk Reduplikasi Bahasa Jawa Ngoko dan Bahasa Indonesia

Bahasa Jawa Ngoko Bahasa Indonesia Persamaan Perbedaan

Bentuk Kata Bentuk Kata

Dwilingga lunga-lunga Reduplikasi Penuh

meja-meja 

ngiris-iris Reduplikasi

Berimbuhan

berlari-lari  Dwi

Dwipurwa

reresik-reresik

botol-botol 

Dwi Dwiwasana

sethithik-sethithik

rumah-rumah 

Dwilingga Salin Suara

mloya-mlayu Reduplikasi Perubahan Fonem

gerak-gerik 

Dwipurwa tetuku Reduplikasi Parsial

tetamu 

Dwiwasana cekikik  

Dwi Dwipurwa Salin

Suara

tetuka-tetuku  

Dwi Dwisana Salin Suara cekikak-cekikik  


(58)

4.3Proses Reduplikasi Bahasa Jawa Ngoko dan Bahasa Indonesia 4.3.1 Proses Reduplikasi Bahasa Jawa Ngoko

4.3.1.1Dwilingga

Bentuk reduplikasi dwilingga (DL) pada bahasa Jawa ngoko dapat berupa kata dasar, kata berimbuhan baik berupa awalan, sispan, maupun akhiran dan perulangan sebagian.

4.3.1.1.1 Dwilingga Kata Dasar

Contoh:

lunga ‘pergi’ lunga-lunga ‘bepergian’

omah ‘rumah’ omah-omah ‘berumah tangga’

wit ‘pohon’ wit-wit ‘pohon-pohon’

apik ‘bagus’ apik-apik ‘bagus-bagus’

siji ‘satu’ siji-siji ‘satu-satu’

adoh ‘jauh’ adoh-adoh ‘jauh-jauh’

elek ‘jelek’ elek-elek ‘jelek-jelek’

mlayu ‘lari’ mlayu-mlayu ‘berlari-lari’


(59)

Dari contoh yang telah dipaparkan sebelumnya dapat dilihat bahwa ada beberapa kata dasar yang apabila direduplikasikan secara dwilingga maka akan membentuk kata yang baru. Misalnya, pada kata seger (KS) ‘segar’ menjadi seger-seger (KB) ‘penyegar’, begitu pula dengan kata omah (KB) ‘rumah’ menjadi omah-omah (KK) ‘berumah tangga’. Maka, dapat disimpulakan bahwa tidak semua hasil reduplikasi dwilingga sama dengan bentuk dasarnya.

4.3.1.1.2 Dwilingga Berimbuhan

Dwilingga berimbuhan pada bahasa Jawa ngoko terdapat pada proses penambahan awalan N+DL, sa+DL, penambahan akhiran DL+an, dan penambahan awalan dan akhiran N+DL+ake, dan N+DL+i.

Contoh:

N-idaq ‘injak’ ngidak ‘mengijak’ ngidaq-ngidaq

N-iris ‘iris’ ngiris ‘mengiris’ ngiris-ngiris

N-ombe ‘minum’ ngombe ‘minum’ ngombe-ngombe

N-pacul ‘cangkul’ macul ‘mencangkul’ macul-macul

N-thuthuq ‘pukul’ nuthuq ‘memukul’ nuthuq-nuthuq


(60)

sa-kilo ‘kilo’ sakilo ‘satu kilo’ sakilo-sakilo

sa-beseq ‘besek’ sabeseq ‘satu besek’ sabeseq-sabeseq

sa-gajah ‘gajah’ sagajah ‘sebesar gajah’ sagajah-sagajah

wit-an ‘pohon’ witan ‘pepohonan’ wit-witan

N-towo-ake ‘menawar’ nawaqake ‘menawarkan’ nawaq-nawaqake

N-jupoq-ake ‘ambil’ njupoqake ‘mengambilkan’ njupoq-njupoqake

N-tuku-i ‘beli’ nukoni ‘membeli’ nukon-nukoni

N-moro-i ‘datang’ marani ‘mendatangi’ maran-marani

Pada contoh yang telah dipaparkan terlihat bahwa proses reduplikasi dwilingga (DL) berimbuhan ada beberapa kata yang memiliki arti ‘seperti’ yaitu pada kata gajah ‘gajah’ ketika diikuti dengan imbuhan sa menjadi sagajah-sagajah yang memiliki arti sebesar gajah-sebasar gajah. Maksud dari kata tersebut adalah mengibaratkan sebuah benda yang memiliki besar seperti gajah. Ada pula kata yang apabila diawali dengan fonem t maka akan menjadi fonem n misalnya pada kata tuku ‘beli’ direduplikasikan dengan penambahan imbuhan N dan akhiran i maka menjadi nukon-nukoni.


(61)

4.3.1.1.3 Dwilingga Sebagian

Kata yang mengalami DL sebagian biasanya adalah yang mendapatkan awalan N-, di-, dan ke-.

4.3.1.1.3.1Dwilingga Sebagian Berprefiks

N-Tabel 2 Dwilingga Sebagian Berprefiks

N-Kata Dasar Bentuk Dasar DL Sebagian Berprefiks N-

iris ‘iris’ ngiris ‘memotong’ ngiris-iris ‘memotong-motong’

uyak ‘kejar’ nguyak ‘mengejar’ nguyak-uyak ‘mengejar terus’

ajak ‘mengajak’ ngajak ‘mengajak’ ngajak-ajak

‘berulang kali mengajak’

olo ‘ejek’ ngolo ‘mengejek’ ngolo-olo ‘mengejek-ejek’

idaq ‘injak’ ngidaq ‘menginjak’ ngidaq-idaq ‘menginjak-injak’

Khusus pada kata iris, uyak, ajak, dan idak dapat diulang secara penuh ataupun sebagian.


(62)

4.3.1.1.3.2Dwilingga Sebagian Berprefiks

di-Adanya penambahan pada kata dasar yaitu berupa awalan di- menimbulkan dua kemungkina proses perulangan. Pertama, bentuk dasar diulang secara penuh ataupun kedua, bentuk dasar hanya diulang sebagian.

Tabel 3 Dwilingga Sebagian Berprefiks

di-Kata Dasar Bentuk Dasar DL Sebagian Berprefiks di-

idaq ‘injak’ diidaq ‘diinjak’ diidaq-idaq ‘diinjak-injak’

thuthuk ‘pukul’ dithuthuk ‘dipukul’ dithuthuk-thuthuk

‘dipukul berulang kali’

pacul ‘cangkul’ dipacul ‘dicangkul’ dipacul-pacul

‘dicangkul-cangkul’

uyak ‘kejar’ diuyak ‘dikejar’ diuyak-uyak


(63)

4.3.1.1.3.3Dwilingga Sebagian Berprefiks ke-

Dwilingga sebagian yang mendapat awalan ke- juga mengalami hal yang sama dengan DL sebagian yang berprefiks di- yaitu memiliki dua kemungkinan dalam proses perulangan, yaitu perulangan penuh ataupun perulangan sebagian.

Tabel 4 Dwilingga Sebagian Berprefiks

ke-Kata Dasar Bentuk Dasar DL Sebagian Berprefiks ke-senggol ‘sentuh’ kesenggol ‘tersentuh’ kesenggol-senggol

‘tersentuh-sentuh’ thuthuk ‘pukul’ kethuthuk ‘terpukul’ kethuthuk-thuthuk ‘terpukul-pukul’ banting ‘pelanting’ kebanting

‘terpelanting’

kebanting-banting ‘terpelanting-pelanting’ pacul ‘cangkul’ kepacul ‘tercangkul’ kepacul-pacul

‘tercangkul-cangkul’ cekel ‘tangkap’ kecekel ‘tertangkap’ kecekel-cekel

‘tertangkap-tertangkap’ seret ‘seret’ keseret ‘terseret’ keseret-keseret


(64)

4.3.1.2 Dwilingga Salin Suara

Dwilingga salin suara (DLS) merupakan pengulangan penuh pada kata dasar dengan adanya perubahan bunyi pada vokal kata dasar tersebut.

Contoh:

mlayu ‘lari’ mloya-mlayu ‘berlari-lari’

cokot ‘gigit’ kecokat-kecokot ‘berkali-kali tergigit’

takon ‘bertanya’ tokan-takon ‘berkali-kali bertanya’

mangan ‘makan’ mongan-mengen ‘berkali-kali makan’

tubruq ‘tabrak’ ketubraq-tubroq ‘tertabrak-tabrak’

njaluk ‘minta’ njolak-njaluk ‘meminta-minta’

nangis ‘menangis’ nongas-nangis ‘berkali-kali menangis’

Reduplikasi DLS merupakan reduplikasi yang memiliki arti merupakan ungkapan perasaan pembicara seperti marah ataupun tidak suka terhadap suatu perbuatan yang dilakukan secara terus-menerus.

Contoh dalam kalimat:

1. Bocah iku kawit mau mongan-mangan wae.


(65)

2. Wis ta meneng, aja nongas-nangis wae.

‘Sudahlah diam, jangan (berkali-kali) menangis saja’.

3. Bocah iku mloya-mlayuwae nang latar.

‘Anak itu berlari-lari saja di halaman’.

Terlihat pada contoh di atas bahwa rasa tidak suka si pembicara terhadap perilaku seseorang yang dilakukan berulang kali.

4.3.1.3 Dwipurwa

Reduplikasi dwipurwa (DP) merupakan pengulangan KV pada gugus pertama kata dasar. Pengulangan ini sangat jarang digunakan dalam bahasa Jawa ngoko.

Contoh:

resik reresik ‘membersihkan’

lara lelara ‘penyakit’

reged rereged ‘kotoran’

tombo tetombo ‘berobat’


(66)

Reduplikasi DP tidak memiliki arti khusus tetapi hanya ada perubahan pada jenis kata. Misalnya, pada kata tombo ‘obat’ (KB) tetombo ‘berobat’ (KK), resik ‘bersih’ (KS) reresik ‘membersihkan’ (KK), dan lara ‘sakit’ (KS) lelara ‘penyakit’ (KB).

4.3.1.4 Dwiwasana

Dwiwasana (DW) merupakan proses perulangan yang dibentuk dengan mengulang suku akhir kata dasar. Akan tetapi DW yang sebenarnya sulit sekali ditemukan, karena sulit untuk membedakan DW dengan kata ulang semu. Hal ini terjadi karena tidak ada batasan antara DW dengan kata ulang semu.

Contoh:

cengenges ‘tertawa sinis’

cekikik ‘tertawa terkekeh-kekeh’

cekakak ‘tertawa-tawa’


(67)

Adapun pola dalam DW yaitu K1V1K2V2K2V2(K3) atau dapat pula berpola K1V1K2V2K3V3 V2K4.

Contoh:

pethentheng ‘tiba-tiba bertolak pinggang’

pethunthung ‘tiba-tiba agak membesar’

4.3.1.5 Dwi Dwipurwa

Dwi dwipurwa (DDP) merupakan perulangan penuh dengan bentuk dasar berupa dwipurwa. Perulanag ini dapat pula digolongkan kedalam perulangan dwilingga (DL).

Contoh:

tetuku tetuku-tetuku ‘berbelanja’


(68)

4.3.1.6 Dwi Dwiwasana

Dwi dwiwasana (DDW) merupakan perulangan dengan bentuk dasar dwiwasana (DW) dengan mengulangnya secara penuh (utuh).

Contoh:

pecicil pecicil-pecicil ‘tidak biasa diam’

pethentheng pethentheng-pethentheng ‘berlagak’

cekikik cekikik-cekikik ‘tertawa-tawa’

sethithik sethithik-sethithik ‘sedikit-sedikit’

Makna dalam perulangan ini sama dengan DL dan DDP karena melihat hasil dari perulangan sama dengan dua perulangan tersebut.

4.3.1.7 Dwi Dwipurwa Salin Suara

Dwi dwipurwa salin suara (DDPS) merupakan perulangan dengan bentuk dasar dwi dwipurwa dengan adanya pergantian atau perubahan suara.


(69)

Contoh:

tetuku-tetuku tetuka-tetuku ‘berbelanja’

teturu-teturu tetura-teturu ‘berkali-kali tidur’

beburu-beburu bebura-beburu ‘berburu terus-menerus’

gegeni-gegeni gegena-gegeni ‘berdiang-diang’

njenjaluk-njejaluk njenjulak-njejaluk ‘meminta-minta’

Makna dalam perulangan DDPS adalah rasa jengkel pembicara terhadap suatu perbuatan yang dilakukan berulang kali oleh seseorang.

Contoh dalam kalimat:

1. Bocah kok kawit mau tetura-teturu wae

‘Anak itu sejak tadi tidur-tidur saja’

2. Aja mung gegena-gegeni wae, iki wis awan. ‘Jangan berdiang-diang saja, ini sudah siang ’

3. Wiwit mau kok njenjulak-njenjaluk kalmbi anyar wae. ‘Sejak tadi meminta-minta baju baru saja’


(70)

4.3.1.8 Dwi Dwiwasana Salin Suara

Sama halnya dengan DDPS, dwi dwiwasana salin suara (DDWS) juga merupakan perulangan yang dibentuk dasar bentuk dasar dwi dwiwasana akan tetapi dengan adanya perubahan bunyi.

Contoh:

pethentheng-pethentheng pethenthang-pethentheng ‘berlagak’

cekikik-cekikik cekikak-cekikik ‘tertawa kecil’

sethithik-sethithik sethithak-sethithik ‘sedikit-sedikit’

Makna dari perulangan DDWS merupakan sebuah penekanan, yaitu penekanan terhadap suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang.


(71)

4.3.2 Proses Reduplikasi Bahasa Indonesia

Adapun proses reduplikasi dalam bahasa Indonesia menurut Simatupang (1979: 19-46) terbagi atas 18 tipe, tetapi di dalam penelitian ini hanya dibahas sampai dengan 16 tipe saja.

4.3.2.1 Tipe R-1 : (D+R)

Tipe R-1 ini dapat pula disebut sebagai reduplikasi penuh karena proses dari reduplikasi mengalami pengulangan penuh. Selain itu juga R-1 mengulang dasar yang monomorfemis dan polimorfemis. Yang dimaksud dengan D disini adalah dasar yang dikenai oleh reduplikasi (R).

Contoh:

rumah rumah-rumah

sepatu sepatu-sepatu

pendapat pendapat-pendapat

perdebatan perdebatan-perdebatan

hitam hitam-hitam


(72)

melihat melihat-lihat

berhenti berhenti-berhenti

seperempat seperempat-seperempat

Makna yang terkandung dari reduplikasi ini adalah suatu tindakan yang dilakukan berulang-ulang, menyatakan suatu benda yang banyak, ukuran suatu benda ataupun sifat benda tersebut.

4.3.2.2 Tipe R-2 : (D+Rperf)

Tipe R-2 meruakan proses pengulangan dimana adanya perubahan bunyi pada konstituen ulang dan fonem yang berubah dapat berupa vokal, konsonan, atau konsonan dan vokal.

Contoh:

gerak gerak-gerik

balik bolak-balik

sayur sayur-mayur

cerai cerai-berai


(73)

Terlihat pada contoh di atas bahwa bentuk dasar dari reduplikasi dengan perubahan fonem ada kalanya terdapat pada posisi pertama dan konstituen ulangnya terdapat pada posisi kedua, dan ada kalanya bentuk dasar terdapat pada posisi kedua dan konstituen pada posisi pertama. Tetapi jika perubahan fonem terdapat pada gugus konsonan maka bentuk dasar terdapat pada posisi pertama sedangkan jika perubahan fonem terdapat pada vokal atau konsonan makan bentuk dasar tidak dapat diperkirakan.

4.3.2.3 Tipe R-3 : ((D + R) + ber-)

Ada dua kemungkinan dalam proses reduplikasi tipe R-3. Pertama, dengan proses ((D + ber-) + R ) dan kedua dengan proses (D + (R+ber-)).

Contoh proses ((D + ber-) + R):

((sepeda + ber-) + R) bersepeda-sepeda

((hektar + ber-) + R) berhektar-hektar

((pasang + ber-) + R) berpasang-pasang

((bulan + ber-) + R) berbulan-bulan

((teman + ber-) + R) berteman-teman


(74)

Contoh proses (D + (R + ber-)):

ton (berton) berton-ton

lembar (berlembar) berlembar-lembar

hektar (berhektar) berhektar-hektar

warna (berwarna) berwarna-warna

Makna yang terkandung dalam tipe R-3 yaitu menyatakan keadaan tanpa benefaktif misalnya, pada kata berwarna-warna, berbukit-bukit. Selain itu juga menyatakansuatu tindakan yang tidak serius atau melakukan secara main-main atau untuk bersenang-senang misalnya pada kata berteman-teman.

4.3.2.4 Tipe R-4 : ((D + R) + ber-/-an)

Tabel 5 Tipe R-4 : ((D + R) + ber-/-an)

Kata Dasar Bentuk Dasar Tipe R-4 : ((D + R) + ber-/-an)

salam salam-salam bersalam-salaman

hadap hadap-hadap berhadap-hadapan

sahut sahut-sahut bersahut-sahutan


(75)

sebelah sebelah-sebelah bersebelah-sebelahan

jauh jauh-jauh berjauh-jauhan

dekat dekat-dekat berdekat-dekatan

Tipe R-4 mengandung arti resiprokatif atau bersifat saling berbalasan. Dalam tipe ini ada dua jenis keresiprokatifan, yaitu yang perwujudannya berupa tindakan (yang dilakukan berulang kali) misalnya, bersalam-salaman, bersahut-sahutan, dan yang perwujudannya bukan berupa tindakan tetapi berupa keadaan, misalnya berdekat-dekatan, berjauh-jauhan, bersebelah-sebelahan.

4.3.2.5 Tipe R-5 : (D + (R +ber-))

Tabel 6 Tipe R-5 : (D + (R +ber-))

Kata Dasar Bentuk Dasar Tipe R-5 : (D + (R +ber-))

anak beranak anak-beranak

adik beradik adik-beradik

balas berbalas balas-berbalas


(76)

Dari contoh di atas dapat dilihat bahwa beberapa kata ada yang dasarnya terdapat dengan R tipe lain yang sulit untuk membedakan arti masing-masing R-nya:

i ii iii iv v

a. ganti- berganti- ganti-

berganti ganti gantian

b. balas- balas- berbalas- berbalas- balas- berbalas membalas balas balasan balasan

4.3.2.6 Tipe R-6 : ((D + R) + meN-)

Tipe R-6 terdapat dengan KK berprefiks meN- dimana meN- dapat diganti oleh di-atau ter- tergantung dapat tidaknya dasar diberi prefiks demikian.

Tabel 7 Tipe R-6 : ((D + R) + meN-)

Kata Dasar Bentuk Dasar Tipe R-6 : ((D + R ) + meN-)

lompat lompat-lompat melompat-lompat

minta minta-minta meminta-minta

bawa bawa-bawa membawa-bawa

baca baca-baca membaca-baca


(77)

Adapun makna dalam reduplikasi tipe R-6 ini adalah suatu tindakan yang dilakukan terus-menerus, misalnya pada kata meminta-minta, dan melakukan sesuatu tanpa tujuan sebenarnya, misalnya pada kata melihat-lihat.

4.3.2.7 Tipe R-7 : (D + (R + meN-))

Tabel 8 Tipe R-7 : (D + (R + meN-))

Kata Dasar Bentuk Dasar Tipe R-7 : (D + (R + meN-))

tulis menulis tulis-menulis

rajut merajut rajut-merajut

karang mengarang karang-mengarang

pukul memukul pukul-memukul

tolong menolong tolong-menolong

bantu membantu bantu-membantu

Ada dua makna yang terkandung di dalam reduplikasi tipe R-7 ini, yaitu pertama makna suatu kegiatan yang berkaitan dengan kata dasarnya terlihat pada kata tuli-menulis, rajut-merajut, dan karang-mengarang, dan makna kedua yaitu resiprokatif atau bersifat saling berbalasan, pada kata bantu-membantu, tolong-menolong, dan pukul-memukul.


(78)

4.3.2.8 Tipe R-8 : (D + (R + meN-/-i))

Tabel 9 Tipe R-8 : (D + (R + meN-/-i))

Kata Dasar Bentuk Dasar Tipe R-8 : (D + (R + meN-/-i))

kasih mengasihi kasih-mengasihi

saing menyaingi saing-menyaingi

bohong membohongi bohong-membohongi

hormat menghormati hormat-menghormati

dahulu mendahului dahulu-mendahului

Adapun makna dalam reduplikasi R-8 ini sama dengan R-7 yaitu resiprokatif atau saling berbalasan.

4.3.2.9 Tipe R-9 : ((D + R) + meN-/-kan)

Tabel 10 tipe R-9 : ((D + R) + meN-/-kan)

Kata Dasar Bentuk Dasar Tipe R-9 : ((D + R) + meN-/-kan)

ayun ayun-ayun mengayun-ayunkan

harap harap-harap mengharap-harapkan

lempar lempar-lempar melempar-lemparkan


(79)

rendah rendah-rendah merendah-rendahkan

bangga bangga-bangga membangga-banggakan

dewa dewa-dewa mendewa-dewakan

kabar kabar-kabar mengabar-ngabarkan

Makna dari reduplikasi tipe R-9 adalah iteratif dan/atau terus-menerus.

4.3.2.10Tipe R-10 : ((D + R) + meN-/-i)

Tabel 11 Tipe R-10 : ((D + R) + meN-/-i)

Kata Dasar Bentuk Dasar Tipe R-10 : ((D + R) + meN-/-i)

halang halang-halang menghalang-halangi

lindung lindung-lindung melindung-lindungi

tutup tutup-tutup menutup-nutupi

takut takut-takut menakut-nakuti

hantu hantu-hantu menghantu-hantui


(80)

Makna dalam reduplikasi tipe R-10 yaitu iteratif dan/atau terus-menerus. Selain itu , kata yang dikenai 10 mempunyai ciri suatu tindakan tetapi tindakan yang dikenai R-10 tidak mencapai hasil yang dimaksudkan, dan kata ini dipakai secara metaforis (tidak secara harfiah). Misalnya, pada kalimat Dia menutup-nutupi kesalahannya. Dari contoh kalimat tersebut tampak bahwa kesalahan orang tersebut masih tampak dan ada usaha dari orang tersebut untuk menutupi kesalahannya.

4.3.2.11Tipe R-11 : ((D + R) + se-)

Kata yang digunakan sebagai kata dasar dalam R-11 terutama KS, jenis KB tertentu dan beberapa partikel.

Contoh:

tinggi setinggi-tinggi(nya)

dekat sedekat-dekat(nya)

biru sebiru-biru(nya)

pandai sepandai-pandai(nya)

jawa sejawa-jawa(nya)

akan seakan-akan


(81)

R-11 pada KS memiliki makna yang dapat dihubungkan dengan arti superlatif dan/atau konsesif sedangkan dengan KB, R-11 hanyalah KB yang menyatakan bangsa atau suku bangsa, dan kata ulang mempunyai nilai konsesif.

4.3.2.12Tipe R-12 : ((D + R) + ke-/(-nya))

Tipe R-12 hanya terdapat pada Kbil yang tampaknya hanya terbatas pada bilangan-bilangan kecil saja.

Contoh:

dua kedua-dua(nya)

tiga ketiga-tiga(nya)

empat keempat-empat(nya)

lima kelima-lima(nya)

Dalam bahasa Indonesia kata ulang hasil R-12 lebih sering digunakan secara anaforis dan biasanya kata ulang terdapat dengan sufiks –nya. Anaforis merupakan pengulangan bunyi, kata, atau struktur sintaksis pada kalimat-kalimat untuk memperoleh efek tertentu.


(82)

4.3.2.13Tipe R-13 : ((D + R) + ke-/-an)

Tipe R-13 hanya terdapat pada KS dan KB.

Contoh pada KS:

biru kebiru-biruan

hitam kehitam-hitaman

merah kemerah-merahan

putih keputih-putihan

KS yang digunakan sebagai kata dasar dalam R-13 hanyalah KS yang tidak memiliki antonim, seperti kata-kata warna pada contoh di atas. Sedangkan KS yang memiliki antonim tidak ditemukan muncul dengan R-13.

Misalnya:

*kegelap-gelapan gelap X (X = antonim dengan) terang

*kebaru-baruan baru X lama

*ketua-tuaan tua X muda


(83)

Contoh pada KB:

ibu keibu-ibuan

anak ke(k)anak-(k)anakan

belanda kebelanda-belandaan

Kata-kata ulang hasil R-13 pada KB memiliki makna yang mewakili sifat-sifat khas yang manusiawi yang diasosiasikan dengan yang disebut oleh KB itu.

4.3.2.14Tipe R-14 : ((D + R) + -an)

Tabel 12 Tipe R-14 : ((D + R) + -an)

Kata Dasar Bentuk Dasar Tipe R-14 : ((D + R) + -an)

mobil mobil-mobil mobil-mobilan

rumah rumah-rumah rumah-rumahan

kucing kucing-kucing kucing-kucingan

koboi koboi-koboi koboi-koboian

Kayu kayu-kayu kayu-kayuan

pohon pohon-pohon pohon-pohonan

mudah mudah-mudah mudah-mudahan


(84)

Tidur tidur-tidur tidur-tiduran Habis habis-habis habis-habisan

Makna dalam reduplikasi tipe R-14 adalah pertama, mengacu kepada benda mainan yang mirip dengan yang disebut pada kata dasar, dan kedua adalah cara melakukan sesuatu dan cara yang dimaksud mirip dengan kata dasar. Selain itu juga kata-kata dalam tipe R-14 adanya kemungkinan pengaruh bahasa Jawa, misalnya pada kata tidur-tiduran.

4.3.2.15Tipe R-15 : (D + (R + -em-))

Contoh:

gilang gilang-gemilang

cerlang cerlang-cemerlang

turun turun-temurun

jari jari-jemari

tali tali-temali


(85)

Adapun makna dalam R-15 yaitu memiliki arti intensif, dan juga terus-menerus atau tidak putus.

4.3.2.16Tipe R-16 : (D + Rp)

Tipe R-16 merupakan reduplikasi parsial (Rp) dimana adanya perubahan unsur yang diulang berupa gugus KV- dari suku kata pertama.

Contoh:

tamu tetamu

sajian sesajian

tangga tetangga

laki lelaki

runtuhan reruntuhan

Contoh kata di atas pada kata dasar dapat pula dimasukkan ke dalam tipe R-1 tetapi akan memiliki arti yang berbeda dengan kata ualng hasil R-16. Misalnya, pada kata tangga apabila direduplikasi melalui proses tipe R-1 maka akan menghasilkan kata tangga-tangga yang memiliki makna banyak tangga, sedangkan apabila direduplikasikan melalui proses tipr R-16 maka akan menghasilkan kata tetangga yang memiliki makna orang yang berada tidak jauh dari tempat tinggal kita.


(86)

4.4 Persamaan dan Perbedaan Proses Reduplikasi Bahasa Jawa Ngoko Dan Bahasa Indonesia

4.4.1 Persamaan Proses Reduplikasi Bahasa Jawa Ngoko dan Bahasa Indonesia

Adapun persamaan proses reduplikasi dalam bahasa Jawa Ngoko dengan bahasa Indonesia yaitu adanya kata dasar yang diulang secara penuh, berimbuhan, sebagian, dan perubahan fonem. Hal ini terlihat pada reduplikasi bahasa Jawa Ngoko yaitu dwilingga, dwilingga sebagian, dwilingga berimbuhan, dwilingga salin suara, dwipurwa, dan dwi dwipurwa. Sedangkan dalam bahasa Indonesia terlihat pada proses tipe R-1, R-2, dan R-16. Persamaan proses reduplikasi bahasa Jawa Ngoko dan bahasa Indonesia dapat dilihat pada tabel 13.

4.4.2 Perbedaan Proses Reduplikasi Bahasa Jawa Ngoko dan Bahasa Indonesia

Adanya persamaan dalam proses reduplikasi bahasa Jawa Ngoko dan bahasa Indonesia bukan berarti tidak adanya perbedaan. Adapun perbedaan dalam proses reduplikasi bahasa Jawa Ngoko dengan bahasa Indonesia yaitu, di dalam bahasa Jawa ngoko ada proses reduplikasi dwiwasana yang merupakan proses perulangan dengan adanya penambahan pada akhir kata dan terkadang sulit untuk ditentukan bentuk dasarnya karena sering dianggap sebagai pengulangan semu. Selain itu juga proses perulangan dwi dwiwasana, dwi dwipurwa salin suara, dan dwi dwiwasana salin suara. Sedangkan dalam bahasa Indonesia adanya proses perulangan dengan tipe 4, 5, R-6, R-7, R-8, R-9, R-10, R-11, R-12, R-13, R-14, dan R-15 yaitu adanya sisipan dalam


(87)

pada hasil pengulangan dan proses itu tidak ditemukan dalam bahasa Jawa Ngoko. Perbedaan proses reduplikasi bahasa Jawa Ngoko dan bahasa Indonesia dapat dilihat pada tabel 13.


(1)

Purwoko, Herudjati. 2008. Jawa Ngoko Ekspresi Komunikasi Arus Bawah. Jakarta:

Indeks.

Ramlan, M. 2001. Morfologi Suatu Tinjauan Deskriptif cetakan ke-12. Yogyakarta:

Karyono.

Rusydi, dkk. 1985. Kosa Kata Bahasa Jawa. Jakarta : Pusat Pembinaan dan

Pengembangan Bahasa.

Simatupang, M.D.S. 1979. Reduplikasi Morfemis Bahasa Indonesia. Jakarta:

Djambatan.

Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa Pengantar Penelitian

Wahana Kebudayaan secara Linguis. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.

Suwadji, dkk. 1986. Morfosintaksis Bahasa Jawa. Jakarta: Pusat Pembinaan dan

Pengembangan Bahasa.

Verhaar, J.W.M. 1990. Pengantar Linguistik. Yogyakarta: Gadjah Mada University


(2)

Skripsi

Rita, Ronita. 1997. Perbandingan Reduplikasi antara Bahasa Sunda dengan Bahasa

Indonesia. Skripsi Sarjana. Medan: Universitas Sumatera Utara, Fakulats

Sastra.

Sibuea, Rosnauli. 2000. Reduplikasi Dalam Bahasa Pesisir Sibolga. Skripsi Sarjana.

Medan:Universitas Sumatera Utara, Fakultas Sastra.

Widyahardani, Aswa Fitriyanti.2010. Perbandingan Reduplikasi Morfemis dalam

Bahasa Korea dan Bahasa Indonesia. Skripsi Sarjana. Jakarta: Universitas

Indonesia, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya.

Internet

http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/34570 

www.garuda.dikti.go.id 

http://lontar.ui.ac.id/opac/themes/green/dataIdentifier.jsp?id=20160932  


(3)

Lampiran :

Daftar Kosakata Reduplikasi

A. Keterangan Tentang Informan

a. 1. Nama : Muhammad Abbas 2. Jenis Kelamin : Laki-laki

3. Umur : 71 tahun

4. Agama : Islam

5. Pekerjaan : Peternak

6. Alamat : Desa Sei Cimahi, Kecamatan Bangun Purba, Lubuk Pakam

7. Pendidikan Terakhir : SD

b. 1. Nama : Rubinem

2. Jenis Kelamin : Perempuan 3. Umur : 68 tahun

4. Agama : Islam

5. Pekerjaan : Peternak

6. Alamat : Desa Sei Cimahi, Kecamatan Bangun Purba, Lubuk Pakam

7. Pendidikan Terakhir : SD

c. 1. Nama : Trimorejo 2. Jenis Kelamin : Laki-laki

3. Umur : 71 tahun

4. Agama : Islam

5. Pekerjaan : Petani


(4)

B. Terjemahkan reduplikasi/kata ulang di bawah ini kedalam bahasa Jawa Ngoko 1. bepergian 2. memanggil-manggil 3. minta-minta 4. rumah-rumah 5. pohon-pohon 6. sungai-sungai 7. keras-keras 8. gemuk-gemuk 9. bagus-bagus 10.satu-satu 11.tujuh-tujuh 12.seribu-seribu 13.cepat-cepat 14.pelan-pelan 15.merunduk-merunduk 16.membawa-bawa 17.memotong-motong 18.mengejar terus 19.diinjak-injak 20.terpukul-pukul 21.saling berpedang 22.saling menghantam 23.saling berhantam 24.orang-orangan 25.pohon-pohonan 26.rumah-rumahan

27.menanyai berulang kali 28.‘berlari ke sana ke mari’ 29.berkali-kali sakit


(5)

30.kesembilan-sembilannya 31.(mengapa) mau

32.berkali-kali sakit 33.berkali-kali makan 34.selalu saja membeli 35.membeli

36.membersihkan

37.memanaskan diri di dekat api 38.barang-barang kotor

39.berobat

40.tertawa terkekeh-kekeh 41.tertawa-tawa

42.membesar 43.membersihkan 44.membeli

45.berbagai macam penyakit 46.berlagak

47.tertawa terbahak-bahak 48.sedikit-sedikit

49.berulang kali belanja 50.berulang kalli berdiang 51.berulang kali makan


(6)

C. Terjemahkan kalimat-kalimat di bawah ini kedalam bahasa Jawa Ngoko 52.Anak itu (berkali-kali) makan saja

53.Sudahlah diam, janga (berkali-kali) menangis saja 54.Anak itu berlari-lari saja di halaman.

55.Anak itu sejak tadi tidur-tidur saja.

56.Jangan berdiang-diang saja, ini sudah siang. 57.Sejak tadi meminta-minta baju baru saja.