DOKTER LAYANAN PRIMER

Occupancy rate DLP

Occupancy rate atau angka okupansi DLP adalah persentase jumlah kunjungan yang dilayani DLP dalam 1 tahun terhadap potensi produktivitasnya dalam kerja penuh waktu selama 1 tahun (1 FTE). Sebagai contoh, seorang DLP mempunyai 2500 peserta JKN. Dengan asumsi angka kunjungan populasi tersebut adalah 3 kali/peserta-tahun, maka perkiraan kunjungan setahun adalah 2500 x 3 = 7.500 kunjungan. Sementara itu, pada Tabel 2-1, tampak bahwa 1 FTE untuk seorang DLP adalah 7.200 kunjungan, maka angka kesibukan DLP adalah 7.500/7.200 = 104%.

Angka okupansi DLP tersebut menunjukkan bahwa bila rerata kontak 3 kali/peserta/tahun maka beban kerja yang ditimbulkan komunitas binaan DLP telah melampaui kapasitas DLP. Kelebihan 4% ini masih bisa diterima mengingat proporsi tatap muka DLP adalah 80% (lihat Tabel 2-1). Jadi DLP masih bisa menyerap kelebihan kunjungan ini dengan mengurangi Angka okupansi DLP tersebut menunjukkan bahwa bila rerata kontak 3 kali/peserta/tahun maka beban kerja yang ditimbulkan komunitas binaan DLP telah melampaui kapasitas DLP. Kelebihan 4% ini masih bisa diterima mengingat proporsi tatap muka DLP adalah 80% (lihat Tabel 2-1). Jadi DLP masih bisa menyerap kelebihan kunjungan ini dengan mengurangi

Contoh ini menunjukkan bahwa seorang DLP yang mempunyai 2.500 peserta, seluruh jam kerjanya sudah habis terpakai untuk melayani komunitas binaannya. Tidak tersedia waktu untuk melayani pasien nonpeserta. Hal ini berarti DLP hanya mempunyai 1 sumber pendapatan, yaitu kapitasi dari peserta yang terdaftar di komunitas binaannya. Jadi ada hubungan langsung antara FTE, jam kerja DLP, dan jumlah komunitas binaan DLP seperti tabel berikut ini.

Tabel 2-3. Hubungan antara produktivitas DLP dan jumlah komunitas binaannya

FTE Jam Kerja DLP Per Minggu Jumlah Komunitas Binaan

5. Entitas Praktik DLP

Praktik dokter pada hakekatnya memiliki banyak dimensi, yaitu:  tempat bertemunya ilmu kedokteran dengan masyarakat yang selalu diwarnai

ketidakpastian (uncertainty), dominasi pemberi layanan (asymmetry information), dan eksternalitis

 tempat dokter berkarya dan mengabdikan ilmu dan keterampilannya untuk memberikan pelayanan terbaik bagi pasiennya  suatu entitas bisnis tempat pengetahuan, keterampilan, dan waktu dokter dimanfaatkan dalam bentuk jasa pelayanan kesehatan.  sarana pelayanan yang mengandung muatan sosial dan kemanusian, serta sering diberi muatan politik yang menggiring persepsi seolah-olah pelayanan kesehatan adalah suatu

kegiatan pengabdian dan dapat diselenggarakan secara gratis.  merupakan sumber nafkah bagi dokter dan timnya, dan dimensi ini sering dibenturkan

dengan dimensi lain sehingga seolah-olah pemberi pelayanan tidak perlu dibayar. Berbagai dimensi ini menyebabkan pelayanan kesehatan tidak mengikuti hukum pasar dan

oleh sebab itu dibutuhkan campur tangan negara untuk mengaturnya. Dalam tatanan kapitalis seperti situasi sekarang, suatu praktik dokter memerlukan izin usaha, modal, biaya operasional dan personil, mempunyai pelanggan, bisa untung atau merugi, bisa berkembang atau ditutup bila tidak diminati pelanggan. Dengan demikian tampak bahwa walaupun mengandung muatan sosial dan kemanusiaan, praktik dokter bukan sesuatu yang dapat diselenggarakan tanpa biaya.

DLP menjadi business owner dari praktiknya

Bentuk praktik DLP pada hakekatnya ditentukan oleh karakteristik yang melekat pada DLP itu sendiri, yaitu:

1. DLP atau dokter termasuk kategori self-employed profession atau profesi yang dapat mempekerjakan dirinya sendiri karena jasa pelayanan yang dibutuhkan masyarakat pada dasarnya adalah pengejawantahan pengetahuan, ketrampilan, etika dan waktu yang dimiliki oleh DLP.

2. Waktu tatap muka DLP sangat menentukan pendapatan entitas praktik DLP. Oleh sebab lazimnya DLP akan merekrut profesi lain menjadi tim kerjanya agar ia dapat memperluas lingkup pelayanan dan waktu tatap muka dengan pasiennya.

3. Peranan DLP sebagai ujung tombak pelayanan mengharuskan dirinya berdomisili dan berpraktik di tengah masyarakat dan menjadi bagian dari masyarakat yang dilayaninya.

Karakteristik DLP di atas yang menjadi landasan regulasi di banyak negera yang menetapkan praktik DLP, apakah berbentuk medical group atau klinik, harus dimiliki oleh DLP yang menjalankan praktik. Dengan kata lain, DLP adalah business owner dari entitas praktiknya. Di Indonesia pun, harus diupayakan kebijakan yang mengatur bentuk praktik DLP sesuai karakteristik di atas.

DLP dapat memilih 3 bentuk praktik yang sesuai dengan kondisi tempat ia akan berpraktik, yaitu praktik sendiri, praktik bersama, atau praktik bersama dengan jejaring. Mengingat praktik dokter adalah sumber nafkah, tentunya ada ekspektasi pendapatan yang akan diterimanya. Oleh sebab itu bentuk praktik manapun yang dipilih, ada 4 komponen biaya yang selalu harus diperhitungkan, yaitu:

1. Biaya operasional praktik (ruangan, personil, material habis pakai, prasarana gedung (telpon, listrik, air), rumah tangga kantor, marketing, dan lain-lain)

2. Biaya untuk memelihara dan meningkatkan kompetensi profesi dokter dan tim kerjanya (asuransi malpraktek, lisensi, sertifikasi, registrasi, seminar/pelatihan, jurnal, iuran profesi, dan lain-lain)

3. Biaya jaminan sosial (tabungan hari tua/pensiun, asuransi jiwa, asuransi kesehatan, tabungan pendidikan)

4. Biaya hidup untuk dirinya dan keluarga. Berbagai komponen biaya ini sangat penting karena menjadi dasar untuk menghitung

kapitasi dan tarif layanan. Pengetahuan tentang komponen biaya ini serta pengetahuan tentang peranan dan kedudukan DLP, lingkup pelayanan DLP dan potensi produktivitas DLP, sangat diperlukan untuk memahami mengapa entitas praktik DLP seharusnya tidak melibatkan investor.

DLP menjadi pegawai pemerintah

Pilihan menjadi business owner dari praktiknya berarti DLP harus menyediakan segala kebutuhan termasuk modal kerja untuk memulai praktiknya, mempunyai kemampuan manajemen untuk mengelola praktiknya, dan mau menyediakan waktu untuk pekerjaan Pilihan menjadi business owner dari praktiknya berarti DLP harus menyediakan segala kebutuhan termasuk modal kerja untuk memulai praktiknya, mempunyai kemampuan manajemen untuk mengelola praktiknya, dan mau menyediakan waktu untuk pekerjaan

6. Hubungan Praktik DLP dengan UKM

DLP bertanggung jawab memelihara kesehatan komunitas binaannya. Bila ada peserta yang menderita penyakit menular, DLP akan mengobati pasien hingga sembuh dan ia akan melakukan tindakan pencegahan dan penyuluhan kepada penderita dan keluarganya agar penyakit menular tidak menyebar ke lingkungan keluarga dan masyarakat. DLP pun wajib melaporkan kejadian penyakit menular tersebut ke penanggung jawab UKM setempat (puskesmas). Puskesmas akan mengolah informasi ini dan selanjutnya melaksanakan upaya promotif dan preventif yang diperlukan untuk melindungi masyarakat di wilayahnya dari kemungkinan tertular penyakit tersebut. Untuk memperjelas peran DLP dan puskesmas disajikan ilustrasi kasus penyakit menular dan penyakit tidak menular berikut ini sebagai contoh:

Selagi menjalankan praktik, DLP menemukan seorang pasien yang menderita demam berdarah. Karena kondisi pasien membutuhkan perawatan yang intensif, ia memutuskan untuk mengirim pasien ke rumah sakit untuk mendapat perawatan yang baik. Selanjutnya ia memberi laporan ke puskesmas yang wilayah kerjanya mencakup domisili pasiennya. Segera setelah menerima laporan dari DLP tersebut petugas puskesmas meninjau rumah pasien dan lingkungannya. Dari pengamatan di lapangan kemudian petugas puskesmas memutuskan untuk melakukan fogging terbatas di lingkungan sekitar rumah pasien.

Dalam mekanisme ini Puskesmas dan DLP bersinergi meningkatkan derajat kesehatan masyarakat sesuai dengan peranannya masing-masing.