METODE MEMBAYAR DOKTER LAYANAN PRIMER DALAM ERA JKN

PENGURUS BESAR IKATAN DOKTER INDONESIA JAKARTA, 2013

KATA PENGANTAR

Awal Januari tahun 2014 Indonesia akan mulai menerapkan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Penerapan JKN menyebabkan perubahan fundamental pada berbagai aspek yang terkait dengan industri kesehatan di tanah air. Pelayanan kesehatan akan menjadi hak penduduk, bukan lagi komoditas yang hanya bisa dinikmati oleh mereka yang mampu membayar. Tapi penduduk pun wajib membayar iuran, menggunakan fasilitas kesehatan secara berjenjang, dan mengadopsi perilaku hidup sehat. Iuran penduduk miskin dan tidak mampu akan dibayari Pemerintah. Dengan demikian seluruh penduduk dimanapun ia berdomisili diharapkan akan mendapat pelayanan kesehatan yang sama baiknya.

Profesi dokter sebagai tulang punggung sistem pelayanan kesehatan nasional juga akan memasuki era baru, era pembayaran mengikuti kaidah asuransi kesehatan sosial. Dokter tidak bisa lagi menentukan tarifnya secara sepihak, tarifnya akan ditentukan oleh BPJS setelah bernegosiasi dengan asosiasinya. Metode pembayaran ke fasilitas kesehatan telah pula ditetapkan, yaitu secara INA-CBG dan kapitasi. Kedua metode ini memiliki filosofi yang sama, yaitu mentransfer risiko ke fasilitas kesehatan yang berarti dokter ikut menanggung risiko biaya bila ia memberikan pelayanan tidak sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan. Hal ini akan mendorong terjadinya perubahan perilaku dan cara dokter menjalankan praktik kedokteran.

Metode membayar dokter seyogianya tidak hanya dipandang sebagai transaksi sederhana memberi imbalan atas kerja dokter mengobati pasien. Metode membayar dapat digunakan untuk mengubah perilaku dokter dalam menjalankan praktik, mendorong persebaran dan pemerataan dokter, memotivasi dokter untuk meningkatkan kompetensinya, dan mengurangi disparitas pendapatan antar dokter. Dengan kata lain, metode membayar dokter dapat digunakan sebagai kekuatan untuk menata ulang sistem pelayanan yang saat ini berberorientasi spesialis menjadi berorientasi pelayanan primer.

Dasar pemikiran ini yang mendorong IDI untuk mencari metode membayar yang lebih tepat guna dan berhasil guna dalam mencapai tujuan utama penerapan JKN. Peluang untuk membayar DLP dengan metode lain dimungkinkan oleh peraturan yang ada.

Dalam b uku “Metode Membayar Dokter Layanan Primer Dalam Era JKN” ini penulis mencoba menyajikan informasi ringkas tentang berbagai aspek yang terkait dengan membayar dokter. Tulisan diawali dengan sejarah pembayaran dokter yang sejak zaman Hipocrates sampai saat ini selalu menjadi dilemma, dan dalam palam pro-kontra ini disajikan pandangan dokter dan para penentu kebijakan publik. Menarik untuk menyimak berbagai isu dan kecenderungan sehingga dapat dipahami apa yang terjadi saat ini. Ada masalah mendasar dalam isu ini yang harus dicarikan jalan keluarnya bila kita ingin membangun sistem yang lebih baik.

Bab kedua menjelaskan Dokter Layanan Primer (DLP) yang akan menjadi tulang punggung program JKN. Pemahaman tentang peranan dan kedudukan, lingkup pelayanan, potensi produktivitas, dan bentuk entitas praktik DLP sangat diperlukan. Dalam setting pelayanan JKN, sebenarnya DLP mengemban fungsi baru yang tidak dikenal dalam sistem pelayanan yang berorientasi spesialis, yaitu sebagai gatekeeper. Banyak kebijakan yang masih simpang- siur tentang DLP, karena kita terperangkap dengan fungsi UKP dan UKM yang melekat di puskesmas. Diharapkan penjelasan ringkas di bab ini dapat membuka wacana untuk memahami DLP. Informasi lebih lengkap dapat dibaca di buku “ Membangun Praktik Dokter Layanan Primer Dalam Era JKN”.

Bab tiga menjelaskan metode membayar dokter yang lazim digunakan di berbagai negara agar pembaca memahami prinsip dasar serta kelebihan dan kekurangan setiap metode. Sebagai “binatang ekonomi” perilaku dokter mengikuti metode pembayaran sehingga kesalahan menerapkan metode membayar dokter dapat memberi dampak negatif bagi pasien dan masyarakat.

Bab terakhir berisi gagasan untuk menggabungkan tiga metode membayar dokter dalam upaya menyingkirkan segi negatif dan menonjolkan segi positif dari setiap metode tersebut. Metode campuran ini disebut sebagai metode Sandwich, sesuai dengan komponennya yang terdiri dari 3 lapis. Metode Sandwich ini dapat diterapkan dalam skala mikro di sebuah fasilitas kesehatan dan dapat pula dijadikan kebijakan nasional untuk membayar profesi dokter di seluruh tanah air.

Informasi yang disajikan dalam buku ini, diharapkan dapat membuka wacana para pemangku kepentingan untuk mengembangkan berbagai alternatif membayar dokter yang dapat diterima semua pihak, baik dokter, pasien maupun pembayar.

Kepada para pengguna buku ini, kami harapkan saran perbaikan untuk menyempurnakan buku ini. Semoga bermanfaat.

Jakarta, 1 Oktober 2013

Penyusun Dr. Gatot Soetono, MPH

Dr. Dien Kurtanty, MKM

I. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Dalam dua dekade terakhir ilmu dan teknologi kedokteran mengalami kemajuan yang sangat pesat, kemajuan ini memberi konstribusi yang besar pada deteksi dini, penegakan diagnosis, pengobatan dan penyembuhan pasien, juga peningkatan efisiensi dan mutu pelayanan. Namun, seiring dengan kemajuan itu pelayanan kesehatan telah tumbuh menjadi industri yang kompleks, membutuhkan investasi besar dan sumber daya manusia profesional dari berbagai spesialisasi. Di negara yang regulasinya lemah, sistem pelayanan kesehatan akan terdorong menjadi berorientasi spesialis dan menghasilkan komoditi mahal, konsumtif, terfragmentasi, dan tidak sepenuhnya berdasarkan evidence based medicine.

Kemajuan yang besar ini belum dapat dimanfaatkan sepenuhnya di Indonesia, mengingat keterbatasan infrastruktur, dana, sdm, dan manajemen yang mendukung ilmu dan teknologi tersebut. Fasilitas kesehatan di Indonesia belum memadai dari segi kualitas dan kuantitas, serta penyebarannya pun tidak merata. Rasio fasilitas kesehatan dengan jumlah penduduk masih jauh dari ideal yang menyebabkan terhambatnya akses masyarakat ke pelayanan kesehatan. Akses menjadi semakin terhambat dengan mahalnya biaya kesehatan saat ini. Keluhan masyarakat terhadap akses, mutu, dan biaya kesehatan menjadi berita sehari-hari. Bagi sebagian besar masyarakat, jatuh sakit berarti jatuh miskin.

Dalam sistem pelayanan kesehatan, dokter mempunyai peranan yang sangat strategis bukan saja karena keterampilan dan kompetensinya, tapi juga karena peranannya dalam menyerap dan mengeluarkan biaya kesehatan. Proporsi biaya untuk membayar dokter terhadap total biaya kesehatan relatif besar, misalnya di Canada biaya dokter tercatat 15% dari total biaya kesehatan di negara tersebut (Deber, 1998). Hal yang lebih bermakna adalah kinerja dan perilaku dokter terbukti memberi pengaruh besar terhadap total biaya kesehatan. Setiap tindakan dokter dapat diibaratkan dirigen yang menaikkan atau menurunkan nada (baca biaya). Berbagai penelitian membuktikan bahwa perilaku dokter dalam menjalankan praktik kedokteran sangat dipengaruhi oleh metode membayar dokter. Salah satu metode membayar dokter, yaitu fee for service (FFS), selama ini dianggap sebagai biang keladi peningkatan biaya kesehatan. Di banyak negara FFS mulai ditinggalkan dan digantikan dengan metode baru seperti pay for performance (PFP). Di Indonesia, FFS sangat dominan dan mewarnai mindset para dokter dan pemangku kepentingan lain.

Dalam situasi dan kondisi seperti tersebut di atas mulai awal tahun 2014 penyelenggaraan pelayanan kesehatan dan pembiayaan kesehatan di Indonesia akan memasuki era baru, era ketika pembiayaan kesehatan diwarnai oleh mekanisme asuransi kesehatan sosial dan pelayanan kesehatan diselenggarakan secara terpadu. Oleh sebab itu salah satu yang harus disiapkan adalah mencari metode membayar dokter yang sesuai dengan tujuan JKN, yaitu Dalam situasi dan kondisi seperti tersebut di atas mulai awal tahun 2014 penyelenggaraan pelayanan kesehatan dan pembiayaan kesehatan di Indonesia akan memasuki era baru, era ketika pembiayaan kesehatan diwarnai oleh mekanisme asuransi kesehatan sosial dan pelayanan kesehatan diselenggarakan secara terpadu. Oleh sebab itu salah satu yang harus disiapkan adalah mencari metode membayar dokter yang sesuai dengan tujuan JKN, yaitu

2. Sejarah Pembayaran Dokter

Konsep tentang kompensasi dokter sudah menjadi perdebatan beberapa filsuf seperti Hipokrates, Aristoteles, Plato, Aristopan, Sopoles dan Galen. Hal ini berasal dari perbedaan dalam mengartikan pekerjaan dokter sebagai seni ataukah teknik (keterampilan). Menurut Aristoteles, jika praktik kedokteran merupakan keterampilan seperti tukang, maka dia memiliki hak yang sama untuk mendapatkan kompensasi, sebagai sumber nafkah atas pelayanan yang telah diberikan. Namun jika praktik kedokteran adalah seni, maka pembayaran kompensasi dokter dianggap merendahkan profesinya. Bagi Hipokrates dan Galen, praktik kedokteran adalah seni dan kerja sosial, maka sebaiknya tidak menuntut pembayaran. Namun tidak semua dokter berasal dari keluarga kaya dan mulia seperti Hipokrates dan Galen, sehingga pada akhirnya banyak dokter yang menuntut pembayaran atas pelayanan yang diberikannya.

Pembayaran kompensasi terhadap dokter mulai diatur sejak berabad-abad yang lalu. Salah satu bukti pengaturan ini dituliskan pada kode Hammurabi, yaitu seperangkat hukum yang ditetapkan oleh Raja Hammurabi dari Babilonia (± 2000 SM). Pada buku tersebut terdapat beberapa pembahasan tentang dokter termasuk bagaimana dokter harus dibayar untuk pelayanan yang mereka berikan. Misalnya, pada kode 215-217 disebutkan bahwa seorang dokter yang telah menyembuhkan pasien yang luka parah atau melakukan bedah tumor maka dia akan menerima 10 uang perak, namun jika pasien tersebut orang miskin maka dia hanya menerima 5 uang perak, dan jika pasiennya adalah buruh maka dia akan menerima 2 uang perak dari majikannya.

Pengaturan kompensasi dokter juga terjadi pada berbagai negara di dunia. Pada abad pertengahan di Eropa, dokter bekerja dan dibayar oleh pihak istana untuk melayani istana, serta dibayar oleh pihak gereja untuk melayani masyarakat miskin. Di Amerika, ada banyak sumber yang mencatat bagaimana dokter dibayar dan apakah kompensasi itu diatur atau tidak. Salah satu contohnya adalah pengaturan kompensasi dokter di Boston yang dibuat oleh Boston Medical Society sejak tahun 1780. Hal ini dibuat untuk mengurangi perilaku persaingan yang tidak sehat diantara para dokter. Regulasi itu mengatur upah minimal yang dapat diterima dokter, dan upah ini dapat lebih besar. Selain itu pasien hanya akan membayar untuk pelayanan yang disertakan obat-obatan dan prosedur tindakan. Aturan ini berlaku untuk setiap kunjungan yang disebut sebagai fee for service. Dalam perkembangannya biaya pengobatan menjadi tidak terkendali, biaya ke dokter cenderung naik meskipun situasi ekonomi sedang sulit. Misalnya, pada tahun 1795 dan 1806 saat pertumbuhan ekonomi sangat lambat, biaya ke dokter justru meningkat 50-60%. Tetapi besarnya kompensasi dokter di Amerika saat itu tidak merata, bergantung pada kondisi ekonomi setempat. Jika di Boston biaya ke dokter mahal, di South Carolina justru Pengaturan kompensasi dokter juga terjadi pada berbagai negara di dunia. Pada abad pertengahan di Eropa, dokter bekerja dan dibayar oleh pihak istana untuk melayani istana, serta dibayar oleh pihak gereja untuk melayani masyarakat miskin. Di Amerika, ada banyak sumber yang mencatat bagaimana dokter dibayar dan apakah kompensasi itu diatur atau tidak. Salah satu contohnya adalah pengaturan kompensasi dokter di Boston yang dibuat oleh Boston Medical Society sejak tahun 1780. Hal ini dibuat untuk mengurangi perilaku persaingan yang tidak sehat diantara para dokter. Regulasi itu mengatur upah minimal yang dapat diterima dokter, dan upah ini dapat lebih besar. Selain itu pasien hanya akan membayar untuk pelayanan yang disertakan obat-obatan dan prosedur tindakan. Aturan ini berlaku untuk setiap kunjungan yang disebut sebagai fee for service. Dalam perkembangannya biaya pengobatan menjadi tidak terkendali, biaya ke dokter cenderung naik meskipun situasi ekonomi sedang sulit. Misalnya, pada tahun 1795 dan 1806 saat pertumbuhan ekonomi sangat lambat, biaya ke dokter justru meningkat 50-60%. Tetapi besarnya kompensasi dokter di Amerika saat itu tidak merata, bergantung pada kondisi ekonomi setempat. Jika di Boston biaya ke dokter mahal, di South Carolina justru

Di Kanada, kompensasi dokter pun mengalami peningkatan yang signifikan. Metode pembayaran kompensasi dilakukan dengan sistem gaji. Pada tahun 1653 seorang dokter bedah militer akan menerima total kompensasi sebesar 500 livre setahun untuk gajinya sebagai tentara, melayani 42 keluarga dan sebagai pengajar. Besarnya kompensasi ini adalah 17 kali lebih besar dibandingkan dengan upah minimal seorang pekerja saat itu. Kemudian pada pertengahan abad kedelapan belas, kompensasi dokter meningkat menjadi 2400 livre atau 60 kali lebih besar dibandingkan upah minimal pekerja.

Pengaturan kompensasi dokter juga dilakukan di Australia dimulai pada pertengahan abad kesembilan belas oleh The Port Philip Medical Association. Besarnya kompensasi diatur berdasarkan tiga kelas yang berbeda. Kelas pertama ditujukan bagi orang kaya yang membayar dua hingga lima kali lebih besar dibandingkan kelas 3 untuk orang miskin pada jenis layanan yang sama.

Sejak zaman Hipocrates sampai saat ini pelayanan kesehatan telah tumbuh dari pelayanan oleh individual dokter (healer) menjadi pelayanan oleh entitas yang melibatkan banyak orang, banyak disiplin, salah satunya dokter, dan kompleks. Metode membayar dokter pun turut berkembang dari metode tradisional seperti fee for service, salary dan kapitasi menjadi metode yang lebih modern seperti case mix, rbrvs dan pay for performance. Perkembangan metode pembiayaan dokter ini mengindikasikan bahwa perkembangan ilmu dan pelayanan kedokteran perlu diiringi dengan metode membayar dokter yang tepat agar peran strategis profesi dokter dapat diberdayakan untuk sebesar-besarnya kepentingan seluruh masyarakat.

Sejarah pembayaran dokter di Indonesia seumur dengan sejarah dokter Indonesia yang diawali oleh Dokter Jawa, yang awalnya dididik sebagai mantri cacar oleh Pemerintah Hindia Belanda. Selanjutnya pendidikan Dokter Jawa ditingkatkan dan dokter lulusan STOVIA digaji 150 gulden per bulan, suatu jumlah yang sangat besar pada zaman itu. Karena kebutuhan masyarakat, dokter diberi wewenang untuk praktik partikelir di luar jam kerja dengan cara pembayaran fee for service (FFS). Dengan dua sumber pendapatan ini profesi dokter memiliki tingkat sosial-ekonomi yang jauh di atas rata-rata penduduk, sehingga tidak mengherankan bila banyak orang tua memimpikan anaknya menjadi dokter.

Metode yang telah berlangsung lebih dari seratus tahun ini berlanjut sampai saat ini, tapi ada perbedaan yang mendasar. Saat ini sumber pendapatan dari kerja utama sebagai PNS tidak cukup untuk hidup layak, sehingga seorang dokter terpaksa harus melakukan kerja tambahan untuk mencukupi hidupnya. Tingginya demand pelayanan kesehatan dan adanya keterbatasan dokter menyebabkan tidak semua fasilitas kesehatan mempekerjakan dokter sebagai pegawai tetap. Kondisi ini menumbuhkan cara pembayaran baru, yaitu dokter bekerja paruh waktu di luar jam kerja utamanya dan diberi gaji setiap bulan yang besarnya ditentukan dari persentase tarif pelayanan medik.

3. Persepsi Tentang Pendapatan dan Kerja Dokter

Kita sering mendengar ungkapan ”Medicine is a science and an art”. Ungkapan ini menunjukkan bahwa seorang dokter dalam menjalankan profesinya dituntut tidak saja

menguasai pengetahuan dan keterampilan tinggi, tapi juga dapat memadukan nalar, rasa dan pemahaman yang mendalam tentang kondisi pasiennya. Sehingga cara ia menangani masalah kesehatan yang sama pada dua individu bisa berbeda, meskipun sebenarnya ia melayani kedua pasien tersebut dengan kompetensi/kewenangan yang sama, bahkan dengan peralatan medis dan obat-obatan yang sama. Hal ini karena ia memahami bahwa ia sedang mengobati seorang manusia yang sedang menderita penyakit, bukan mengobati penyakit yang ada di manusia. Ungkapan “medicine is an art” perlu dipahami dalam konteks di atas. Pekerjaan dokter sangat terukur, langkah demi langkah mengikuti prosedur yang disusun berdasarkan bukti ilmiah. Dengan demikian seorang dokter tidak bisa mengaku dirinya sebagai seorang artis, dan kemudian menghargai layanannya sebagai suatu karya seni layaknya produk seorang artis yang seakan nilainya sangat subjektif dan tidak bisa diukur. Sebaliknya, kerja dan imbalan jasa untuk kerja dokter dapat dinilai secara objektif.

Dokter dalam menjalankan profesinya dipayungi Undang-Undang Praktik Kedokteran. Ia diwajibkan mengikuti standar profesinya dan standar prosedur operasional yang berlaku. Standar prosedur operasional ini serba terukur dan karenanya setiap tindakan/prosedur medik dapat diperkirakan waktunya. Waktu untuk menjalankan profesinya mengikuti kaidah yang umum berlaku, 40 jam per minggu, dan mempertimbangkan keterbatasan seorang manusia. Tidak mungkin seorang dokter dapat bekerja nonstop 24 jam terus menerus tanpa istirahat, karena ini berdampak pada keselamatan pasien. Kerja profesi medik merupakan kerja profesional yang membutuhkan kerja fisik dan mental, harus membuat keputusan (judgement) dalam waktu cepat yang kadang kala menyangkut mati/hidup/kecacatan yang sering menimbulkan beban stres. (W. Shiao, 1988). Ia pun harus memiliki pengetahuan dan keterampilan tinggi sesuai dengan kompetensi dan kewenangannya. Dengan gambaran ini produktivitas dokter per satuan waktu (hari, bulan, tahun) dapat dihitung. Bila produktivitas dapat dihitung berarti potensi kompensasi (pendapatan) seorang dokter pun dapat pula dihitung.

Secara umum besarnya potensi pendapatan dokter setahun merupakan perkalian antara produktivitas dokter dengan jasa medik. Jasa medik adalah imbalan yang diberikan kepada dokter untuk suatu jenis layanan medik (dalam metode pembayaran FFS). Besarnya jasa medik seyogianya mempertimbangkan kemampuan dan kemauan masyarakat membayar (ability and willingness to pay). Pada hakekatnya kompensasi (pendapatan) dan jasa medik merupakan wujud dari tingkat penghargaan masyarakat pada profesi dokter dan bagaimana dokter sendiri menghargai profesinya. Idealnya jasa medik ini dapat memenuhi harapan kedua belah pihak. Pihak pasien/pembayar merasa puas dengan tarif layanan dan mutu layanan yang diterimanya, dan pihak pemberi layanan (dokter) merasa puas dengan penghargaan yang pantas untuk kerja profesionalnya (lihat gambar).

Dasar pemikiran ini yang dijadikan landasan untuk menjelaskan pasal 50 dan 53 Undang- undang Praktik Kedokteran tentang hak/kewajiban dokter dan pasien melalui gambar berikut ini.

UU Praktik Kedokteran Kerja Profesi Medik

Kerja fisik & mental, ketrampilan

Menerima

Memberi

imbalan jasa imbalan jasa

teknis, keputusan klinis, beban stress,

sesuai kompetensi & kewenangan

Waktu yang tersedia Pemberi Pasien

Untuk menjalankan praktik setahun

Kemampuan

Layanan

& Kemauan Kenyataan/ membayar

Potensi Produktivitas

Harapan

menyajikan layanan medic setahun setahun

Potensi Kompensasi

dari praktik kedokteran setahun

Rentang Jasa Medik

Masuk akal, layak & berkeadilan

Gambar 1-1. Produktivitas dokter integral dengan kompensasi dokter

Dengan melihat hubungan antara kerja dokter, waktu, produktivitas, kompensasi dan jasa medik, dapat dipahami bila produktivitas dokter merupakan bagian yang tak terpisahkan (integral) dari kompensasi, dan kompensasi dokter dirumuskan menjadi formula generik (Griffith, 2001) sebagai berikut.

Perspektif Dokter

Menarik untuk mengetahui perspektif dokter tentang bagaimana seharusnya dokter dibayar dan apa alasannya. Berikut ini berbagai pandangan para dokter tentang kompensasi yang dihimpun dari berbagai sumber:

1. Dokter seyogianya dibayar sepadan dengan pola pendidikannya yang lebih lama dari profesi lain, dan sepadan dengan kewajiban belajar sepanjang hayat untuk memelihara dan mengembangkan keterampilan dan pengetahuannya. Kewajiban ini tidak ada pada profesi lain.

2. Dokter seyogianya dibayar lebih tinggi karena jam kerja dokter umumnya lebih tinggi dari jam kerja profesi lain.

3. Dokter yang menghasilkan pelayanan bermutu tinggi seyogianya dibayar lebih banyak dibandingkan dokter yang menghasilkan layanan yang berkualitas rendah.

4. Dokter yang menghasilkan kuantitas layanan banyak seyogianya dibayar lebih banyak dibandingkan dokter yang menghasilkan pelayanan yang lebih sedikit.

5. Pelayanan berupa prosedur atau tindakan medis seyogianya bukan satu-satunya faktor penentu bahwa dokter dibayar lebih dari dokter lainnya.

6. Cara pembayaran profesi dokter seyogianya tidak mengurangi otonomi profesi dokter dan tidak membatasi kebebasan profesi dokter dalam memilih dan memberi layanan

medik yang dibutuhkan pasiennya.

7. Kompensasi yang diberikan pada profesi dokter seyogianya bukan bersadarkan status kepegawaian, kepangkatan atau institusi tempat dokter bekerja.

Perspektif Kebijakan Publik

1. Pembayaran dokter hendaknya tidak menjadi hambatan bagi individu pasien untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang dibutuhkannya.

2. Jasa profesi dokter seyogianya mempertimbangkan kemampuan masyarakat (ability to pay) dan kemauan masyarakat (willingness to pay) membayar pelayanan kesehatan, dan nilainya seyogianya wajar, masuk akal, dan berkeadilan.

3. Keseimbangan pendapatan antar-dokter dan antar-spesialisasi seyogianya dapat mendorong terwujudnya piramida pelayanan kesehatan (primary, secondary & tertiary care).

4. Keseimbangan pendapatan dokter antar-wilayah seyogianya dijaga agar pemerataan distribusi dokter di Indonesia dapat terwujud.

5. Kompensasi dokter integral dengan produktivitas dokter dan seyogianya dihitung berdasarkan kerja dokter dalam menjalankan praktik kedokteran dengan

mempertimbangkan karakteristik profesi dokter, waktu dan intensitas kerja dokter, dan kontribusi dokter dalam pembangunan kesehatan.

6. Metode pembayaran dokter seyogianya dapat mendorong peningkatan efisiensi dan efektivitas pelayanan kedokteran bagi sebesar-besarnya kepentingan individu pasien, dokter dan pembayar.

7. Metode untuk menentukan kompensasi dokter seyogianya mempertimbangkan produktivitas dan mutu layanan, mudah diterapkan, transparan dan akuntabel.

8. Kompensasi dokter dipengaruhi hukum ekonomi (supply and demand), sehingga harus dikawal dengan regulasi untuk menjamin ketersediaan dan distribusi dokter di seluruh wilayah Indonesia.

9. Dokter seyogianya menerima kompensasi yang seimbang dengan trias peran dokter (agent of change, angent of development & agent of treatment) yang sangat strategis dalam pembangunan nasional, khususnya pembangunan kesehatan nasional.

4. Isu Strategis dan Kecenderungan

Proporsi Pembiayaan Didominasi UKP

Pembiayaan kesehatan di Indonesia masih rendah, rata-rata 2,2% dari produk domestik bruto (PDB), masih jauh di bawah angka yang dianjurkan WHO maupun yang ditetapkan UU Kesehatan, yaitu paling sedikit 5% dari PDB setahun. Sebagian besar digunakan untuk belanja upaya kesehatan perorangan (UKP) yang didominasi upaya kuratif dan belanja obat, dan hanya sebagian kecil untuk upaya kesehatan masyarakat (UKM). Pembiayaan UKM yang rendah pada gilirannya menjadi bumerang dan membebani UKP, karena masalah kesehatan yang harusnya bisa dicegah kemudian menjadi penyakit yang harus diselesaikan di UKP.

Rendahnya alokasi dana UKM ini, salah satunya karena UKM hasilnya baru tampak dalam jangka panjang, sangat berbeda dengan UKP yang hasilnya bisa segera dirasakan. Bila kedua upaya ini dikelola oleh satu institusi, biasanya alokasi dana UKM selalu kalah bersaing dengan UKP. Dalam era JKN perencanaan kebutuhan dana UKP menjadi lebih mudah dan pasti, karena berdasarkan jumlah populasi dan besaran iuran, dan selanjutnya dana ini akan dikelola oleh BPJS. Di sini tampak ada kecenderungan peran Pemerintah sebagai pelaksana UKP menurun dan seyogianya penurunan kapasitas ini dikompensasi untuk meningkatkan kapasitas UKM. Dengan demikian pembangunan kesehatan nasional ditopang oleh UKP dan UKM yang sama kuatnya.

Pelayanan Kesehatan Jadi Komoditas

Pelayanan kesehatan telah menjadi komoditas, dalam arti hanya mereka yang memiliki uang yang bisa mendapatkan pelayanan kesehatan. Komoditas pun bukan komoditas biasa, tapi komoditas yang mahal dan harganya meningkat dari tahun ke tahun, sehingga membebani masyarakat, terutama masyarakat miskin dan masyarakat yang tidak mempunyai asuransi kesehatan. Biaya berobat telah menjadi penghalang (financial barrier) akses ke layanan kesehatan. WHO melaporkan 152 juta orang setahun yang bangkrut dan ekonomi keluarganya morat-marit karena mahalnya biaya kesehatan (financial catastrophy) dan 100 juta orang setahun yang jatuh miskin karena sakit (WHO, 2002). Munculnya gurauan SADIKIN (sakit sedikit jadi miskin) di masyarakat sebenarnya merepresentasikan kondisi yang dilaporkan WHO.

Penerapan JKN menunjukkan keberadaan Negara yang ingin mengembalikan pelayanan kesehatan menjadi hak penduduk, dan untuk itu dibutuhkan banyak rambu-rambu regulasi yang harus dibuat untuk mendukung penerapan JKN.

Moral Hazards

Dalam kondisi pelayanan kesehatan yang telah menjadi komoditas dan kentalnya konsumerisme, masyarakat dihadapkan pada pilihan yang tidak mudah dalam mencari pelayanan kesehatan yang sesuai dengan kebutuhannya, mengingat keterbatasan informasi yang dimilikinya (asimetry information). Seiring dengan itu masyarakat membayar secara out of pocket (OOP) dan fee for service (FFS) pada saat mereka membutuhkan pelayanan.

Asimetry information, OOP, dan FFS secara bersamaan berpotensi memicu moral hazards. Indikasi moral hazards ini sebenarnya kasat mata kalau dilihat dari tingginya angka secio caesaria dan meningkatnya penggunaan obat-obat mahal.

Dengan pembayaran secara praupaya dan kapitasi dalam JKN, kecenderungan moral hazards akan tetap ada, baik dari peserta JKN maupun dari pemberi layanan kesehatan. Oleh sebab itu penerapan JKN harus diiringi dengan kebijakan untuk menekan serendah mungkin terjadinya moral hazards ini.

Paradoks Pendapatan Dokter

Survei IDI tahun 2007 menunjukkan keadaan yang bertentangan dengan kelaziman (paradoks), yaitu kerja utama (40 jam per minggu) hanya menghasilkan 15-20% dari total pendapatan dokter. Lazimnya kerja utama menjadi sumber pendapatan utama untuk

memenuhi “kebutuhan hidup layak” (KHL), dan kerja tambahan hanya dilakukan bila seseorang ingin lebih dari cukup. Paradoks ini yang menyebabkan dokter terpaksa harus

bekerja tambahan (praktik) diluar jam kerja utamanya, yang awalnya hanya untuk menutupi kebutuhan hidup kemudian diterima seolah-olah sebagai kelaziman. Implikasi dari kondisi ini adalah profesi dokter harus bekerja lebih lama dari profesi lainnya (58-65 jam per minggu), dokter lebih loyal pada kerja yang memberikan pendapatan terbesar (bias loyalitas), dokter lebih memilih berpraktik di lokasi yang dapat menjamin pendapatannya (maldistribusi), dan institusi tempat dokter bekerja paruh waktu tidak bertanggung jawab untuk membina dokter sehingga pembinaan dokter terabaikan.

Dalam era JKN, fasilitas kesehatan (faskes) dilibatkan untuk menanggung risiko biaya kesehatan dan karena tidak mau merugi otomatis faskes akan mentransfer pula risiko ini ke dokter. Kondisi ini menumbuhkan kecenderungan dokter akan bekerja di satu institusi saja (monoloyalitas) yang berarti pula di masa depan pendapatan dokter berasal dari 1 sumber pendapatan saja.

Produktivitas Dokter Terabaikan

Saat ini, produktivitas dan pola pelayanan dokter Indonesia terabaikan karena sebagian besar dokter bekerja di beberapa institusi. Misalnya: berapa rerata pasien yang dilayani setahun? Berapa rerata waktu tatap mukanya? Data sederhana ini saja sulit diperoleh atau tidak ada data nasional. Padahal data produktivitas dokter sangat diperlukan untuk merencanakan kebutuhan dokter dan menyusun sistem remunerasi dokter. Kondisi ini menunjukkan kalau kebutuhan dokter belum direncanakan dengan baik, dan belum ada sistem kompensasi/pendapat dokter yang memperhitungkan produktivitas dokter, misalnya per 1 FTE (Full Time Equivalent).

Keberhasilan JKN diukur salah satunya dari akses penduduk ke faskes primer, artinya seluruh penduduk terbagi habis ke faskes primer. Jadi isu strategis dalam penerapan JKN adalah bagaimana mendorong pemerataan dan penyebaran dokter ke seluruh wilayah Indonesia. Kebijakan untuk menjawab isu ini tentunya membutuhkan dukungan data, dan salah satunya adalah data tentang produktivitas dan pola pelayanan dokter.

Fragmentasi Pelayanan Kesehatan

Perkembangan ilmu dan teknologi kedokteran telah mendorong tumbuhnya percabangan ilmu kedokteran dan berlanjut menjadi fragmentasi pelayanan kesehatan. Pelayanan tradisional diwarnai dengan model hubungan one to one, yang terjadi karena pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan pasien melekat pada diri seorang dokter. Kemajuan ilmu dan teknologi kedokteran telah mengubah model hubungan ini menjadi hubungan many to one, dalam arti beberapa spesialis yang memiliki kompetensi berbeda bersama-sama menangani masalah kesehatan seorang pasien.

Dalam pembayaran FFS fragmentasi pelayanan ini menguntungkan dokter namun membebani pasien, misalnya seorang pasien yang dirawat 4 spesialis biaya dokternya menjadi 4 kali lipat. Dalam era JKN karena faskes dilibatkan dalam menanggung risiko finansial, maka ada kecenderungan faskes akan menata ulang tata cara pelayanan pasiennya dan cara membayar dokternya. Kondisi ini akan mendorong faskes untuk membuat suatu sistem remunerasi untuk seluruh personilnya, termasuk sistem remunerasi dokter.

Status, Pendapatan, Dan Karir Dokter Tidak Jelas

Pada tahun 60an, masuk ke fakultas kedokteran gratis (malah sebagian mendapat uang saku/beasiswa). Setelah lulus semuanya ditampung menjadi dokter PNS/ABRI dan mendapat gaji plus fasilitas lain yang cukup untuk hidup layak. Karena punya ”privilege” menjalankan praktik pribadi untuk mendapat tambahan penghasilan secara resmi, maka tingkat ekonomi profesi dokter lebih tinggi dari PNS lainya.

Kini keadaan telah berubah! Untuk menjadi dokter dibutuhkan modal 200-300 juta. Begitu lulus para dokter baru menanggung beban finansial akibat proses pendidikannya dan ia dihadapkan pada pasar tenaga kerja yang tidak informatif, tidak jelas karir dan pendapatannya sebagai seorang dokter. Sekitar 10% dokter dari sekitar 5000 lulusan dokter yang direkrut sebagai PNS, gajinya tidak mencukupi untuk hidup layak sehingga praktik pribadi menjadi keharusan dan sumber pendapatan utama. Dalam ketidakpastian karir dan pendapatan ini, para dokter memilih menjadi spesialis sebagai pilihan untuk mengamankan pendapatan dan masa depannya.

Penerapan JKN membutuhkan sistem pelayanan kesehatan berorientasi pelayanan primer. Dalam sistem ini dapat dipastikan mayoritas dokter Indonesia adalah dokter layanan primer (DLP). Data dari tahun 60an sampai saat ini menunjukkan kecenderungan proporsi dokter PNS terus menurun dan saat ini mayoritas dokter adalah non-PNS. Kecenderungan menurunnya dokter yang menjadi PNS dapat dimengerti, karena sebenarnya dokter termasuk kategori self-employed profesion. Kecenderungan ini harus menjadi pertimbangan utama dalam mengembangkan model entitas praktik dokter di wilayah pekotaan, pedesaan dan daerah terpencil dalam era JKN.

Kesenjangan Pendapatan Antar-dokter

Kondisi carut-marutnya sistem pelayanan kesehatan dan pembayaran yang didominasi oleh FFS telah mendorong terjadinya persaingan yang tidak sehat antar-dokter. Bila pada tahun

60-70an kesenjangan antar-dokter tidak begitu besar, kini kesenjangan pendapatan antar- dokter dan antar-spesialisasi menjadi sangat besar, apalagi kesenjangan antara dokter spesialis (DSP) dengan dokter praktik umum. Survei IDI pada tahun 2007 menunjukkan pendapatan dokter spesialis 8-244 kali pendapatan dokter praktik umum. Di negara OECD kisarannya hanya 1.0 – 1.8 kali dan di USA kisarannya 1,5-3,8 kali.

Isu kesenjangan dokter ini merupakan isu krusial yang dapat menghambat keberhasilan penerapan JKN. Mengingat dalam era JKN dokter layanan primer (DLP) ditempatkan sebagai fondasi sistem pelayanan kesehatan dan harus tersedia merata di seluruh tanah air, maka harus ada kebijakan yang menjadikan DLP sebagai profesi yang atraktif dari segi karir, pendapatan, dan perannya di masyarakat. Salah satu kebijakan untuk menjamin eksistensi DLP adalah jaminan pendapatan yang relatif tidak jauh berbeda dengan dokter spesialis.

5. Istilah dan Batasan Kompensasi:

Adalah penghargaan berbentuk finansial (uang) dan non-finansial (bukan uang) yang langsung dan tidak langsung diberikan kepada seseorang sebagai imbalan untuk suatu pekerjaan, dengan mempertimbangkan nilai pekerjaaan tersebut serta kontribusi dan kinerja seorang dalam melaksanakan pekerjaan tersebut. Kompensasi langsung biasanya berbentuk pendapatan per periodik (pendapatan dasar plus insentif yang terkait dengan produktivitas), sedangkan kompensasi tidak langsung berbentuk manfaat/imbalan tambahan yang punya nilai ekonomi (fringe benefits), misalnya: tunjangan kesehatan, jamsostek, THR, bonus tahunan, mobil perusahaan, program kepemilikan rumah, tunjangan telepon seluler, dan lain-lain.

Manfaat tambahan (fringe benefits)

Adalah fasilitas tambahan yang diberikan kepada dokter, yang mempunyai nilai finansial, tetapi tidak dibayarkan secara langsung kepada dokter, seperti asuransi kesehatan, asuransi jiwa, asuransi malpraktik, biaya CPD, perumahan, kendaraan, dan lain lain. Fringe benefits biasanya diberikan untuk menjadi daya tarik dan untuk menahan dokter agar betah dan tidak pindah ke institusi lain.

Gaji

Adalah kompensasi bersifat pasti dan dibayarkan pada waktu yang tetap (mingguan, dua mingguan atau bulanan). Banyak gaji yang mencakup juga manfaat/imbalan tambahan seperti tunjangan transport, perumahan, kemahalan, dan kesehatan, dan tunjangan lainnyanya.

Honorarium

Adalah sejumlah uang (fee) yang diberikan kepada seorang profesional untuk suatu pelayanan, seperti pembicara seminar, pengajar tamu dan lain-lainnya yang biasanya pelaksanaannya hanya sesekali saja.

Jasa medik (medical fee):

Adalah imbalan yang diterima dokter untuk setiap layanan medis yang diberikan kepada pasiennya (pada cara pembayaran fee for service).

Insentif

Adalah sejumlah rupiah (fee) di luar gaji yang diberikan atas pencapaian seseorang dengan memakai indikator tertentu.

Sistem remunerasi/sistem kompensasi/sistem penggajian

Adalah tata cara suatu organisasi untuk membayar seseorang yang terikat ikatan kerja dengan organisasi tersebut. Tata cara ini umumnya menggabungkan beberapa metode pembayaran dengan tujuan meningkatkan kinerja dan produktivitas.

Dalam organisasi pemerintahan Indonesia, sistem remunerasi adalah tata cara memberikan imbalan tambahan di luar gaji PNS yang sudah diatur di PGPNS.

II. DOKTER LAYANAN PRIMER

1. Jaminan Kesehatan Nasional

Jaminan Kesehatan adalah perlindungan kesehatan agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan, yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayarkan oleh pemerintah berdasarkan prinsip asuransi kesehatan sosial. Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) harus ditopang oleh dua sistem, yaitu sistem pembiayaan kesehatan dan sistem pelayanan kesehatan. Kedua sistem ini harus dapat diintegrasikan untuk menjamin hak masyarakat memperoleh akses ke pelayanan kesehatan bermutu.

Sistem pembiayaan kesehatan

Sistem pembiayaan kesehatan memiliki 3 fungsi utama, yaitu: mengumpulkan dana dari peserta (collecting), menghimpun dana dan meminimalkan risiko (risk polling), dan membeli dan menyediakan layanan kesehatan untuk melayani peserta (purchasing). Ketiga fungsi ini dilaksanakan berlandaskan pada kaidah dan prinsip asuransi kesehatan sosial.

Gambar 2-1. Sistem pembiayaan kesehatan

Ketiga fungsi ini akan dilaksanakan oleh sebuah badan hukum publik, yaitu badan penyelenggara jaminan sosial bidang kesehatan (BPJS) yang merupakan transformasi PT Askes menurut amanat UU BPJS. BPJS berfungsi mengumpulkan dana dari pembayar (payor) dengan mekanisme tertentu, mengelola dana tersebut, serta menyeleksi dan mengontrak pemberi layanan kesehatan (provider) untuk melayani peserta JKN. Dengan mekanisme ini tidak ada hambatan akses finansial untuk memperoleh pelayanan kesehatan (Lihat gambar).

Adanya JKN tidak berarti peserta sama sekali terbebas dari hambatan finansial, karena peserta tetap harus menanggung biaya tidak langsung. Untuk meminimalkan pengeluarkan Adanya JKN tidak berarti peserta sama sekali terbebas dari hambatan finansial, karena peserta tetap harus menanggung biaya tidak langsung. Untuk meminimalkan pengeluarkan

Sistem pelayanan kesehatan berbasis pelayanan primer

Sistem pelayanan kesehatan berbasis pelayanan primer adalah sistem pelayanan kedokteran yang bertumpu pada konsep primary health care (PHC). Sistem ini ditata menjadi 3 strata sesuai dengan pola pencarian pelayanan kesehatan di masyarakat. Strata pertama berfungsi sebagai mitra masyarakat dalam menerapkan perilaku hidup sehat, memelihara kesehatan dan mengatasi sebagian besar masalah kesehatan sehari-hari. Karena fungsinya ini entitas strata pertama harus berada di tengah atau sedekat mungkin dengan masyarakat yang dilayani. Strata kedua berfungsi mendukung (back-up) strata pertama, untuk mengatasi masalah kesehatan yang tidak dapat diselesaikan di strata pertama. Strata ketiga merupakan pusat rujukan untuk mengatasi kasus-kasus langka yang membutuhkan pengetahuan, keterampilan dan peralatan medik yang sangat spesifik. Fungsi ini menjadikan strata ketiga sebagai pusat rujukan dan juga pusat penelitian dan pengembangan ilmu kedokteran (center of excellence).

Dalam fasilitas kesehatan yang tertata seperti ini masyarakat wajib mendaftarkan diri ke satu point of care strata pertama yang berada di wilayahnya dan selanjutnya memanfaatkan point of care tersebut bila ia membutuhkan pelayanan kesehatan. Sistem pelayanan kedokteran dengan ciri-ciri seperti di atas disebut sistem pelayanan kedokteran berorientasi pada pelayanan primer. Gambar berikut ini adalah visualisasinya.

Gambar 2-2. Kerangka konsep sistem pelayanan kesehatan berbasis pelayanan primer

2. Peranan Dan Kedudukan DLP Dalam Sistem Pelayanan Kesehatan

Dokter Layanan Primer (DLP) adalah dokter yang memiliki kompetensi luas tentang beragam disiplin ilmu kedokteran, tetapi tidak sedalam spesialis bidang tersebut, yang diperoleh melalui pendidikan setara spesialis dan ranah kerjanya di strata primer.

DLP berperan sebagai ujung tombak atau pintu masuk masyarakat ke sistem pelayanan kesehatan dan berfungsi menyelesaikan sebagian besar masalah kesehatan individu dan keluarga. Ia berperan sebagai mitra, pembina, pemberi layanan, dan koordinator segala kebutuhan pelayanan kesehatan dari komunitas yang dibinanya. Peran ini mengharuskan DLP berdomisili dan berpraktik di tengah masyarakat atau sedekat mungkin dengan masyarakat yang dilayaninya. Dengan kata lain, peranan dan kedudukan DLP adalah dokter yang ditempatkan di tengah masyarakat untuk melaksanakan trias peranan dokter, yaitu agent of change, agent of development, dan agent of treatment.

Saat ini yang disebut DLP adalah semua dokter non-spesialis yang berpraktik di strata pertama. Para dokter ini, yang jumlahnya + 80.000an bekerja di puskesmas, klinik, dan klinik 24, dan praktik sendiri. Kompetensi para dokter ini sangat heterogen dan belum sepenuhnya dapat menjalankan peranan sebagai gatekeeper program JKN.

3. Lingkup Pelayanan DLP

Pelayanan DLP merupakan pelayanan kontak pertama dalam arti pelayanan yang pertama kali dikunjungi masyarakat bila ia membutuhkan layanan kesehatan, baik untuk keperluan pemeliharaan dan pencegahan penyakit di kala sehat maupun keperluan pengobatan di kala sakit. Idealnya DLP dapat menyediakan 20 jenis pelayanan di bawah ini dengan mutu dan standar yang sama baiknya untuk melayani peserta JKN (Lihat lampiran 1).

1). Penilaian Status Kesehatan Pribadi (Wellnes Checkup) Penilaian faktor risiko, pemeriksaan fisik dan wellness setiap peserta JKN untuk memperoleh profil kesehatan pribadi guna merancang program proaktif yang spesifik bagi setiap peserta JKN.

2). Program Proaktif Pengendalian Penyakit/Kondisi Khusus Program promotif-preventif yang dilaksanakan secara proaktif untuk mengendalikan

penyakit atau kondisi khusus, seperti hipertensi, diabetes mellitus, hiperlipidemia, kegemukan, merokok, dan lain-lainnya.

3). Pendidikan Kesehatan Program pendidikan kesehatan untuk modifikasi gaya hidup, mengendalikan faktor risiko, seperti konseling individu, pembinaan keluarga, edukasi kelompok, mini seminar, brosur/e-brosur.

4). Pencegahan Kegiatan preventif untuk melindungi peserta dari penyakit yang dapat dicegah dengan

imunisasi, skrening dan detekni dini sebelum penyakit bergejala.

5). Pemeliharaan Kesehatan Bayi Dan Anak Balita Pemeriksaan rutin pada bayi dan anak balita, seperti memantau pertumbuhan, status imunisasi dan gizi, perkembangan motorik, dan memberikan nasehat tentang

perawatan, nutrisi, dan psikologi agar tercapai pertumbuhan yang optimal. 6). Pemeliharaan Kesehatan Anak Usia Sekolah

Bekerja sama dengan puskesmas dan sekolah yang berada di wilayah praktiknya untuk melaksanakan pemeriksaan rutin dan deteksi dini masalah kesehatan anak usia sekolah.

7) Pemeliharaan Kesehatan Wanita Dan Kesehatan Reproduksi Melaksanakan pemeriksaan rutin, deteksi dini, dan pengelolaan masalah kesehatan yang khusus ada pada wanita, seperti deteksi dini kanker mulut rahim, kanker

payudara, dan sindroma menopause, serta menyediakan pelayanan KB. 8). Pemeliharaan Kesehatan Lansia

Melaksanakan pemeriksaan rutin bagi mereka yang termasuk kelompok lansia untuk deteksi dini dan mengelola masalah kesehatan yang sering ditemui di usia lanjut, seperti pembesaran prostat, penyakit degeneratif, dan lain-lainnya.

9). Pemeriksan Antenatal/ Postnatal dan Persalinan Melakukan pemeriksaan rutin pada peserta yang hamil agar diperoleh kehamilan yang baik dan persalinan yang aman.

10). Konsultasi, Diagnosis, dan Pengobatan Memberikan layanan konsultasi dan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, menegakkan diagnosis, pengobatan, dan tindakan medis yang sesuai

dengan kompetensi dan kewenangan DLP.

11). Peresepan Obat Meresepkan obat-obatan secara rasional sesuai dengan kebutuhan medis peserta dan mengutamakan penggunaan obat esensial dan obat generik yang terdapat di dalam Formularium Obat Pelayanan Primer.

12). Tindakan Medis Melakukan tindak medis yang menjadi kompetensi dan kewenangannya, antara lain tindakan bedah kecil (ekstirpasi, insisi, sirkumsisi), injeksi, resusitasi.

13). Penunjang Diagnostik Melakukan pemeriksaan penunjang diagnostik seperti laboratorium untuk layanan strata pertama, elektrokardiografi, ultrasonografi, dan fasilitas penunjang lainnya.

14). Rehabilitasi Medik Menyediakan perawatan rehabilitasi medik bagi penderita pasca-stroke, pascabedah, dan kondisi lainnya. Perawatan rehabilitasi medik ini sebatas kompetensi DLP dan timnya dan dapat dilakukan di tempat praktik atau di rumah peserta.

15). Kunjungan Rumah Melakukan kunjungan rumah untuk memberikan layanan bila kondisi mitra, karena alasan medis, tidak memungkinkannya datang ke praktik DLP.

16). Perawatan di Rumah Peserta dapat minta dirawat di rumah karena pertimbangan ekonomi, kenyamanan, termasuk untuk akhir kehidupan, dan DLP akan menyetujui permintaan tersebut bila secara medis memungkinkan.

17). Kunjungan Ke Rumah Sakit DLP akan mengunjungi peserta yang dirawat di rumah sakit untuk menjelaskan riwayat penyakit mitra kepada dokter yang merawat dan memantau perawatan mitra.

18). Layanan Mendesak/Gawat Darurat DLP siap untuk memberikan layanan mendesak atau gawat darurat yang sewaktu-waktu terjadi di tempat praktik, seperti mengatasi syok atau asma akut.

19) Koordinasi dan fasilitasi rujukan DLP menyiapkan data, surat dan kondisi peserta, dan menghubungi dokter di fasilitas kesehatan rujukan untuk mengkoordinasikan kebutuhan pasiennya.

20) Ambulans Sesuai dengan kebutuhan dan kondisi setempat, praktik DLP dapat dilengkapi dengan layanan ambulans untuk kemudahan dan kenyamanan transportasi peserta yang memiliki kondisi khusus.

4. Potensi Produktivitas DLP

1 Full Time Equivalent DLP

Produktivitas DLP terkait langsung dengan waktu efektif yang tersedia untuk melayani pasien. Sebagaimana profesi lainnya, DLP bekerja 40 jam per minggu, atau 8 jam per hari sepanjang hari kerja setahun. Sebagaimana di banyak negara, karena sifat pekerjaannya, profesi dokter mempunyai jam kerja yang lebih panjang dari profesi lainnya. Dengan memperhitungkan jumlah hari libur nasional, Sabtu/Minggu, cuti tahunan, maka waktu kerja DLP adalah sekitar 2.268 jam/tahun (Lihat tabel).

Dengan acuan jam kerja tersebut, pada kajian yang dilakukan di satu klinik yang hasilnya dibandingkan data dari beberapa negara diperoleh gambaran bahwa idealnya alokasi waktu kerja DLP terbesar adalah untuk kegiatan tatap muka dengan pasiennya (face to face/F2F). Sisa waktunya digunakan untuk kegiatan pendukung, seperti CPD, dan administrasi.

Pada tabel berikut ini disajikan kegiatan rutin DLP dalam memanfaatkan 2.268 jam waktu kerjanya dengan proporsi waktu yang ideal, yaitu 80% untuk tatap muka melayani pasien (peserta baru, kasus baru, kasus lama, edukasi, tindakan medik, dan kunjungan rumah), dan 20% untuk kegiatan lain. Dengan proporsi waktu tersebut DLP dapat melayani 7.180 kunjungan atau sekitar 28 kunjungan per hari dengan variasi waktu tatap muka yang berbeda. Produktivitas ini dipengaruhi oleh keterampilan, cara kerja, standar sarana dan perangkat kerja, serta dukungan dari tim kerja DLP. Pada Tabel 2-1 di bawah ini, tampak bahwa potensi produktivitas seorang DLP dalam setahun adalah sekitar 7.180 kunjungan (dibulatkan menjadi 7.200 kunjungan). Angka ini disebut 1 full time equivalent atau 1 FTE.

Tabel 2-1 Potensi produktivitas seorang dokter layanan primer

Waktu tersedia Rerata tatap muka Produktivitas

Proporsi

Kegiatan Rutin DLP

per tahun

per kunjungan

per tahun

waktu

(kunjungan) 1. Melayani pasien (F2F) a. Peserta baru

(jam)

(menit)

30 272 b. Kasus baru

14 2,916 c. Kasus lama

8 3,062 d. Edukasi

30 544 e. Tindakan medik

40 204 f. Kunjungan rumah

Pemanfaatan layanan kesehatan peserta JKN