Heterogenitas Kota Medan 1930-2000-an

BAB II LATAR BELAKANG BERDIRINYA IPTR DI KOTA MEDAN

2.1 Heterogenitas Kota Medan 1930-2000-an

Kota Medan secara geografis terletak pada 3° 30 – 3° 43 Lintang Utara dan 98° 35 - 98° 44 Bujur Timur. Untuk itu topografi Kota Medan cenderung miring ke utara dan berada pada ketinggian 2,5 - 37,5 meter di atas permukaan laut. Medan dengan Pelabuhan Belawan, pada awalnya merupakan pusat pemerintahan Keresidenan Sumatera Timur bagi usaha-usaha dagang perkebunan dan bagi pemerintahan Kolonial Belanda. Pada kedatangan bangsa Eropa yang pertama, Medanmerupakan sebuah desa kecil di dalam wilayah Kesultanan Deli yang terletak di persimpangan Sungai Babura dan Deli.Menurut Tengku Lukman Sinar Kota Medan didirikan oleh Guru Patimpus, seorang Batak Karo yang mendirikan Medan pada 1 Juni 1590. 18 18 Luckman Sinar, Sejarah Medan Tempoe Doeloe, Medan, tanpa penerbit, 1994.,hlm.11-13. Dengan pertumbuhan ekonomi perkebunan, Medan dengan cepat berubah secara menyeluruh menjadi Kota Kolonial. Sejak pergantian abad, penduduk Medan tumbuh terus menerus dari 14.000 ada tahun 1905 menjadi 75.000 pada tahun 1930.Ketika Kota Medan semakin berkembang, Kota Medan meluas ke tanah perkebunan dengan izin Sultan Deli, yang harus menerima bahwa wilayahnya memiliki sistem hukum ganda dari koloni, Sultan tidak memiliki kekuasaan formal atas Kota Medan. Konsekuensinya Sultan tidak memiliki kekuasaan resmi atas penduduk yang hidup di dalam kota, apa pun latar belakang etnisnya. Dengan demikian jelaslah bahwa di Medan ada tekanan kuat pada kelompok-kelompok etnis pribumi untuk menjadi Melayu selama dua atau tiga dekade pertama pada abad ke-20. Tampak bahwa keberadaan Sultan di dekat Medan, dan Universitas Sumatera Utara kekuasaan komunitas Melayu berimplikasi bahwa mereka bisa menentukan kondisi-kondisi interaksi etnis dimasa lalu . 19 Pada tahun 1920-an, tatanan etnis di Medan mulai berubah, perkembangan perkebunan sebagai faktor pendorong utama menarik sejumlah etnis untuk bermigrasi ke Kota Medan. Statistik komposisi etnis penduduk di Medan pada tahun 1930 menunjukkan bahwa Medan adalah sebuah mikrokosmo dari masyarakat multikultural dan hal ini merupakan karakteristik sebuah mikrokosmos dengan fitur-fiturnya sendiri. Medan merupakan kota yang terkotak-kotak dimana bangsa Eropa, Cina, India, dan pribumi menempati daerah kediaman yang terpisah. 20 Sebelum tahun 1942, pemerintah kolonial mendaftar identitas-identitas etnis rakyatnya.Contoh yang paling terkenal adalah sensus 1930.Dalam Indonesia yang merdeka, statistik etnis bagi warga Negara Indonesia belum secara umum belum dihimpun, karena komposisi etnis pada suatu daerah secara umum merupakan hal yang sensitif. Akan tetapi setidaknya di Medan, para pejabat ditingkat administratif kelurahan dalam sensus tahun 1980- an masih mendata identitas etnis seseorang. Pada tahun 1980, antropolog dan sejarawan, Usman Pelly memanfaatkan data ini untuk menyusun statistik etnis pertama tentang Kota Medan setelah perang.Meskipun survey menunjukkan populasi penduduk berdasarkan etnis, terjadi suatu perubahan yang signifikan terjadi pada penumpukan etnis dalam populasi yang terjadi setelah tahun 1930.Etnis Cina merupakan kelompok etnis terbesar dalam tahun 1930. Kondisi demikian berlanjut sampai kejatuhan Hindia Belanda ke tangan Jepang tahun 1942. 19 Usman Pelly.,op.cit., hlm. 77. 20 JohanHasselgren,Batak Toba Di Medan: Perkembangan Identitas Etno-Religius Batak Toba di Medan 1912-1965, Medan: Bina Media Perintis, 2008, hlm 47-48. Universitas Sumatera Utara Tetapi meskipun mereka bertambah secara signifikan dalam jumlah yang absolut, persentase populasi mereka pada tahun 1980 adalah 14 , kurang dari separuh angka pada tahun 1930. 21 Orang Jawa kelompok terbesar kedua pada tahun 1930.Setelah menjadi satu-satunya kelompok etnis terbesar. Mereka mewakili sekitar duakali lipat jumlah kelompok lain atau hampir mencapai 30 dari populasi total. Karena kebanyakan Orang Jawa adalah bekas pekerja perkebunan, maka mereka secara umum kurang berpendidikan, mereka tidak mendapatkan pekerjaan yang bermutu.Seperti halnya pada masa kolonial mereka adalah para pekerja disektor informal. 22 Terlepas dari kenyataan bahwa Orang Jawa merupakan kelompok etnis terbesar di Kota Medan setelah tahun 1950, mereka tidak dapat mentransformasi ukuran jumlah mereka menjadi kekuatan politik dan sosial yang setara. 23 TABEL 1 Perbandingan Komposisi Penduduk Kota Medan berdasarkan tahun dalam persen. 21 Lihat Tabel 1. 22 Pelly.,op.cit.,hlm. 128-136 dan 162. 23 Johan Helsselgren,op.cit.,hlm. 384. Suku Bangsa Tahun 1930 76.584 1980 1.294.132 2000 1.904.273 Jawa 25.5 31.3 33.03 Batak Toba 1.1 14.1 19.21 Cina 35.6 12.8 10.65 Mandailing dan Angkola 6.4 11.9 9.36 Minang 7.3 10.9 8.6 Melayu 7.1 8.6 6.69 Karo 0.2 4.0 4.1 Aceh 0.5 1.9 2.78 Simalungun 0.7 1.8 0.69 Pakpak 2.3 0.2 0.34 Nias - 0.2 0.69 Lainnya 14.3 3.0 3.95 Universitas Sumatera Utara Sumber : Johan Hasselgren, Batak Toba Di Medan: Perkembangan Identitas Etno-Religius Batak Toba di Medan 1912-1965. Lihat juga Usman Pelly, Urbanisasi dan Adaptasi: Peranan Misi Budaya Minangkabau dan Mandailing. Berdasarkan tabel 1 kelompok Muslim Sumatra yaitu etnis Mandailing dan etnis Minangkabau pada tahun 1980 telah meningkat persentase mereka dalam populasi menjadi sekitar 11,9 untuk etnis Mandailing dan 10,9 untuk etnis Minangkabau. Sementara suku Melayu hanya meningkat sedikit, dari 7 pada tahun 1930 menjadi 8 pada tahun 1980. Akan tetapi etnis Aceh menunjukkan peningkatan, pada data statistik resmi tahun 1930 populasi etnis Aceh mencapai 0.5. Akan tetapi berdasarkan literatur sejarah, etnis Aceh sudah sejak lama bermukim di Medan, dimana wilayah kerajaan-kerajaan Sumatera Timur dalam masa awal abad ke 8-18 merupakan wilayah taklukan Kerajaan Aceh. Kemudian dalam fase-fase selanjutnya orang Aceh bermigrasi ke Medan mengalami peningkatan yakni 1,9 dari populasi tahun 1980. Pertumbuhan populasi ini didukung oleh berbagai faktor dalam sejarah Aceh selain itu, prestise Orang Aceh sebagai kelompok kelas pengusaha di Kota Medan juga mendorong pertembahan penduduk ini. Tetapi padatahun 2000 jumlahnya telah mencapai sekitar 2,78. Setelah tahun 1950, terdapat beberapa kelompok etnis utama di Kota Medan yakni Jawa, yang jumlahnya banyak tetapi relatif tidak berdaya, Batak Toba, China, Mandailing, Minangkabau,Melayu, Aceh dan suku lainnya. Kelompok Melayu mewakili 8-15 populasi. Dibanding dengan kelompok-kelompok etnis ini, kelompok lain yang telah bermigrasi dari bagian pulau Sumatera dan Indonesia masih secara signifikan lebih kecil jumlahnya. Apa yang ditunjukkan oleh statistik ini adalah bahwa Kota Medan setelah tahun 1950, telah menjadi Universitas Sumatera Utara sebuah kota yang lebih plural dibandingkan dengan zaman kolonial. Berkenaan dengan struktur kekuatan etnis, tidak satu kelompokpun bisa berhasil mengklaim hak untuk mendominasi kelompok lain. Periode Melayu-Muslim sebagai sebuah budaya lokal dominan sebelum tahun 1920 telah berlalu. Setelah tahun 1950 Kota Medan menurut E.burner adalah sebuah “kota para minoritas”, sebuah tempat yang sangat kompetitif di mana ketegangan dan konflik etnis sering muncul, dan indentitas memainkan peranan yang penting dalam kehidupan sehari-hari. 24 Berkenaan dengan agama data statistik Kota Medan Tahun 2000 menunjukkan bahwa 67 dari populasi Kota Medan merupakan pemeluk Agama Islam, banyak etnis pemeluk agama Islam di Kota Medan antara lain adalah etnis Aceh lihat tabel dibawah. Sejak kedatangan masyarakat Aceh di Kota Medan mereka telah berusaha untuk beradaptasi dengan pola kehidupan masyarakat kota yang majemuk. Perbedaaan kebudayaan antara orang Aceh yang dikenal cukup dekat dengan nilai-nilai agama Islam agak sedikit berbeda dengan pola kehidupan masyarakat Medan yang lebih terbuka dalam mempraktekkan kehidupan agamanya. Perbedaan ini terlihat dari sikap masyarakat Aceh yang lebih suka berinteraksi dengan masyarakat yang beragama Islam, namun bukan berarti etnis Aceh tidak memiliki simpati terhadap masyarakat lain. 25 Sementara etnis lainnya yang berada di Kota Medan tidak lagi menggangap masalah keagamaan sebagai masalah yang harus memisahkan tali kekerabatan. Hal ini dapat dilihat dari daerah pemukiman, bahwa etnis Aceh lebih suka tinggal di daerah pemukiman yang mayoritas penduduknya beragama Islam, misalnya di daerah pemukiman Minangkabau, Mandailing dan 24 Ibid. hlm.108. JohanHasselgren mengutip dari Bruner. 25 Lucki Armanda, op.cit., hlm 28. Universitas Sumatera Utara Jawa. Akan tetapi keadaan ini tidak menjadi hambatan bagi orang-orang Aceh untuk berkembang di daerah perantauannya.Nilai-nilai agama yang dikenal dekat dengan masyarakat Aceh tidak ditinggalkan mereka walaupun mereka berada di daerah perantauan. Hal ini ditandai dengan kegiatan-kegiatan masyarakat Aceh di Kota Medan yang tidak terlepas dari budaya asli mereka. Usaha tersebut adalah dengan mendirikan pusat pendidikan agama seperti Pondok Pesantren yang ditujukan untuk mengembangkan pendidikan agama Islam di Kota Medan. Pusat pendidikan yang dibangun tidak hanya diperuntukan bagi etnis Aceh saja, melainkan dapat digunakan semua etnis. Di dalam data tersebut juga di jelaskan bahwa pemeluk agama Kristen mencapai 21,02, dan 10 orang Buddis. Dua kelompok terakhir ini hampir terdiri dari orang China dan Orang Batak serta suku lain Indonesia yang bermigrasi ke Kota Medan. 26 TABEL 2 Persentase Penduduk Kota Medan Menurut Agama Tahun 2000. Agama Jumlah dalam persent n= 1.904.273 Islam Khatolik Protestan Hindu Budha Lainnya 67,83 2,89 18,13 0,68 10,40 0,07 Sumber : Usman Pelly, Urbanisasi dan Adaptasi: Peranan Misi Budaya Minangkabau dan Mandailing. Masuknya para migran ke Kota Medan secara umum merupakan orang-orang dari berbagai kelompok etnis, penting untuk dicatat bahwa mereka tidak tersebar secara homogeni di seluruh kota. Dibandingkan dengan zaman Kolonial, Kota Medan tidak lagi terbagi secara 26 Lihat Tabel 2. Universitas Sumatera Utara formal diantara kelompok etnis yang berlainan. Setiap orang pada prinsipnya boleh bermukim dimana ia suka. 27 Akan tetapi kelompok-kelompok etnis cenderung menyukai wilayah tertentu dan membentuk kampung-kampung etnis, dimana sebuah proporsi signifikan dari tetangga mereka merupakan bagian dari kelompok etnis yang sama. Dinamika etnis ini pada umumnya merupakan fakta yang sudah dikenal di Kota Medan tetapi yang dibuktikan oleh data sensus penduduk Kota Medan Tahun 2000. Usman Pelly menunjukkan bahwa penghidupan utama kelompok etnis memainkan peranan dalam menentukan di mana mereka memilih untuk bermukim. Misalnya, orang Batak Karo, yang pada tahun 1980 hanya mencapai 5 dari populasi total, tersebar dibagian selatan distrik Kecamatan Medan Baru, sebelah barat Bandara Polonia. Dalam tiga kelurahan, Beringin, Titi Rante dan Padang Bulan, populasi pada tahun 1980 mencapai 65 Orang Karo. Mengikuti tradisi dari masa Kolonial, banyak Orang Karo mengeluti usaha suplai makanan, utamanya sayuran dan buah-buahan, ke Kota Medan. 28 Etnis Cina masih mendominasi bagian timur kota, para anggota komunitas Cina bergerak menuju wilayah ini. Mereka diikuti oleh etnis Minangkabau, yang berpencaharian sebagai seniman dan pemilik toko-toko kecil. 29 Kecamatan-kecamatan yang ditambah pada tahun 1973 di dominasi oleh etnis Jawa dan Melayu. 30 27 JohanHasselgren., op.cit., hlm. 385. Salah satu contoh adalah Kecamatan Deli dan Labuhan, sekitar 70 dari populasinya adalah etnis Jawa dan Melayu.Setelah Tahun 1950, batas-batas administratif secara prinsip ditarik tanpa memandang batas-batas kampung etnis.Kebijakan ini pada taraf tertentu 28 Usman Pelly, op.cit.,hlm. 42 dan 310. 29 Ibid., hlm.23. 30 Kota Medan telah mengalami tiga kali perluasan untuk menampung laju perkembangan kota Medan dari luas awal 5.130 Ha menjadi 26.510 Ha dengan memasukkan beberapa bagian dari wilayah Kabupataen Deli Serdang. Kantor Secretariat Kotamadya Medan 1992. Universitas Sumatera Utara diambil dalam upaya menghilangkan arti penting kampung etnis.Oleh karena itu, orang bisa menjumpai wilayah-wilayah dengan konsentrasi kelompok etnis tertentu yang lebih tinggi, meskipun hal ini tidak muncul dalam statistik yang ada. Meskipun keragaman dan komposisi etnis merupakan aspek yang penting dari perkembangan Kota Medan setelah tahun 1950, akan tetapi terdapat juga beberapa tendensi sebaliknya yang menjembatani kesenjangan antar kelompok etnis. Dalam angakatan bersenjata dan birokrasi sipil yang tengah berkembang loyalitas bersama terhadap negara dipupuk, meskipun faktor-faktor etnis masih memiliki arti penting dalam perjungan mencapai kedudukan. Bahasa nasional Bahasa Indonesia, yang secara kuat dianjurkan dalam pendidikan dan media setelah tahun 1950, merupakan faktor yang lain. Di Kota Medan transisi ini berlangsung secara lebih mudah dan menentukan ketimbang di bagian Indonesia lainnya. Hal ini dikarenakan oleh Bahasa Melayu yang secara umum merupakan cikal-bakal Bahasa Indonesia telah merupakan Lilingua francadiantara orang-orang pribumi selama masa Kolonial di Kota Medan. Tidak adanya kelompok etnis yang mendominasi setelah tahun 1950-an juga menyiratkan bahwa tidak ada bahasa etnis tertentu yang bisa mengkalim lebih diatas yang lain. Bahasa Indonesia dipandang modern dan netral dalam batasan etnis, sedangkan pengunaan bahasa etnis hanya terbatas di rumah atau di kampung etnis tertentu. 31 Adaptasi kebudayaan yang dilakukan masyarakat Aceh di Kota Medan adalah dengan proses perkawinan. Hal ini ditujukan untuk memperluas tali silaturahmi dan hubungan kekeluargaan antara masyarakat Aceh dan masyarakat lainnya di Kota Medan. Hal ini menunjukan bahwa orang-orang Aceh berusaha untuk memperkenalkan budaya mereka 31 Ibid.,hlm. 386. Universitas Sumatera Utara terhadap masyarakat luar, tetapi mereka juga tidak menutup diri untuk mempelajari budaya masyarakat lain yang masih dianggap relevan dengan nilai-nilai agama. Secara aktifitas masyarakat Aceh di Kota Medan mampu berinteraksi dengan baik dengan keadaan sosial di Kota Medan. 32 Heterogenistas yang tercipta sejak masa Kolonial di Kota Medan menciptakan sebuah kondisi kota yang plural. Dalam kerangka masyarakat yang prural di Kota Medan didalamnya terdapat unsur-unsur etnis yang tetap hidup dan mempertahankan identitasnya dalam bentuk asosiasi-asosiasi etnis yang hidup berdampingan.Salah satu asosiasi etnis yang berkembang di Kota Medan adalah IPTR sebagai asosiasi etnis Aceh yang bertujuan untuk mempertahankan identitas kesukuan Aceh di tengah-tengah kemajemukan masyarakat Kota Medan.

2.2 Kompetisi Dalam Membentuk Dinasti Etnik