Kompetisi Dalam Membentuk Dinasti Etnik Pekerjaan Masyarakat Aceh di Kota Medan

terhadap masyarakat luar, tetapi mereka juga tidak menutup diri untuk mempelajari budaya masyarakat lain yang masih dianggap relevan dengan nilai-nilai agama. Secara aktifitas masyarakat Aceh di Kota Medan mampu berinteraksi dengan baik dengan keadaan sosial di Kota Medan. 32 Heterogenistas yang tercipta sejak masa Kolonial di Kota Medan menciptakan sebuah kondisi kota yang plural. Dalam kerangka masyarakat yang prural di Kota Medan didalamnya terdapat unsur-unsur etnis yang tetap hidup dan mempertahankan identitasnya dalam bentuk asosiasi-asosiasi etnis yang hidup berdampingan.Salah satu asosiasi etnis yang berkembang di Kota Medan adalah IPTR sebagai asosiasi etnis Aceh yang bertujuan untuk mempertahankan identitas kesukuan Aceh di tengah-tengah kemajemukan masyarakat Kota Medan.

2.2 Kompetisi Dalam Membentuk Dinasti Etnik

Antara tahun 1950 dan 1960, terjadi persaingan yang terlihat jelas antara pedangang Minangkabau dan Cina di pusat Pasar Sentral. Pedangang Cina mulai menguasai Pasar Sentral setelah terjadi kebakaran. Pedagang Cina mampu membeli tempat yang baru dibangun kembali sedangkan pedagang Minangkabau hanya mampu menguasai 10 - 15 nya saja. Tidak hanya di Pusat Pasar saja, pada tahun 1950an Pajak Ikan lama di kuasai oleh pedagang-pedagang Aceh, tetapi berhasil juga di geser oleh dominasi etnis keturunan Cina. Masyarakat etnis keturunan Cina mulai menguasai perdagangan Kota Medan dan mengeser pedagang-pedagang pribumi seperti Pedagang Minangkabau dan Aceh. Pedagang Aceh khususnya mulai 32 Lucki Armanda, op.cit., hlm. 29. Universitas Sumatera Utara mengalami kemunduran yang cukup besar, bahkan sangat banyak perusahaan milik Aceh terpaksa gulung tikar. 33

2.3 Pekerjaan Masyarakat Aceh di Kota Medan

Terdapat beberapa kelompok etnis di Kota Medan antara lain Mandailing, Minangkabau, Aceh, Jawa, Karo, Cina, Sunda, Nias dan lain sebagainya. Tetapi terdapat 2 kelompok etnis terbesar yaitu Mandailing dan Batak Toba. Kelompok etnis Mandailing dan Batak Toba bersaing dalam mendominasi lapangan kerja kepegawaian.Walaupun orang Mandailing telah menegakkan suatu dinasti dalam bidang itu selama periode Kolonial. Sejumlah besar orang Toba yang dididik sekolah-sekolah gereja berpindah ke kota dan merupakan tantangan bagi posisi Mandailing. Orang Batak Toba yang berpendidikan itu memperoleh pekerjaan-pekerjaan di Kota sebagai pegawai negeri, dan pekerja setengah terampil untuk bisnis dan perkebunan. Demikian juga diberbagai kantor pemerintah, terutama Kantor Gubernur, Agraria, ABRI, Industri, Keuangan, Pekerjaan Umum, Kesehatan, Pendidikan dan kantor-kantor pemerintahan lainnya.diberbagai kantor-kantor pemerintah dan perusahaan-perusahaan swasta, suku Mandailing termasuk Sipirok, Angkola dan Padang Lawas jumlah melebihi kelompok- kelompok etnis lain dan mereka berusaha bersatu menghadapi masuknya orang Batak Toba keposisi-posisi yang mereka kuasai. Mereka juga berusaha membentuk persekutuan yang 33 Wawancara, dengan Usman Pelly, Medan, 19 September 2013, dalam wawancara tersebut Usman Pelly juga mengatakan bahwa ketika pedagang-pedagang Aceh masih jaya, mereka sering memberikan bantuan kepada organisasi-organisasi Islam yang melaksanakan kegiatan di Kota Medan. Bahkan mereka menjadi donatur utama. Universitas Sumatera Utara didasarkan solidaritas Islam dengan kelompok-kelompok etnis lain seperti Melayu dan Minangkabau. 34 Dari kelompok etnis Muslim yang bermigrasi ke kota setelah kemerdekaan Mandailing, Minangkabau, Aceh, Sunda, dan Jawa, suku Mandailing berada pada posisi paling menguntungkan untuk memperoleh pekerjaan-pekerjaan bagus dalam dinas kepegawaian negeri tanpa memperoleh hambatan-hambatan sosial atau politis. Berbeda dengan orang Melayu, akibat dari sebagian besar elit mereka yang terlibat dalam membentuk dan memimpin Negara Sumatera Timur yang dianggap anti republik, mereka sangat sulit memperoleh jabatan-jabatan ditingkat tinggi. Orang Minangkabau dan Jawa tidak dianggap di Sumatera Utara sebagai penduduk asli, dan sukar untuk memperoleh jabatan-jabatan politis tertinggi. Kebijakan ‘Putera Daerah” ini di dasarkan pada perasaan anti Jawa pusat yang berkembang permulaan 1957 sebelum peristiwa PRRI. Ketika itu daerah- daerah luar Jawa meminta bagian yang lebih banyak dalam Anggaran Nasional untuk pembangunan dan kesempatan bagi bukan suku Jawa untuk memegang jabatan kepemimpinan nasioanal. Pergolakan ini dikenal sebagai “ Pergolakan Daerah” memiliki suatu efek psikologis yang positif bagi orang Mandailing AngkolaSipirok di Sumatera Utara. Sebab berbeda dengan orang Minangkabau, orang Mandailing merupakan penduduk asli Sumatera Utara. Karena itu, situasi politis dan sosial tersebut memberi mereka alasan untuk mempertahankan kedudukan sentral mereka atas posisi-posisi tinggi dalam pemerintahan daerah.Walau terdapat banyak orang Minangkabau yang berpendidikan, hanya lulusan universitas yang memiliki kecenderungan kuat untuk menjadi pegawai negeri. 34 Usman Pelly. op.cit., hlm122-123. Universitas Sumatera Utara Kebanyakan orang Minangkabau lulusan SMA sederajat mencari pekerjaan dalam bidang perdagangan, dan menghindari pekerjaan seperti pesuruh, juru ketik di kantor-kantor pemerintah. Sebab orang Minangkabau tidak menganggap pekerjaan-pekerjaan terakhir ini cukup bergengsi bagi mereka. Hanya sedikit sekali dari kelompok etnis Aceh yang memegang jabatan-jabatan tinggi di Kota Medan, karena kebanyakan dari orang mereka telah pulang ke Aceh setelah pemberontakan Darul Islam DI dalam tahun 1958. Tahun 1958 terdapat pesetujuan “Pemulihan Keamanan” antara gerakan DI pimpinan Daud Beureueh dengan pemerintah pusat di Jakarta. Para pemberontak Darul Islam kembali kepangkuan republik dan memperoleh amnesti umum, dan diizinkan kembali memasuki dinas militer dan pemerintahan. Lebih jauh, Aceh menjadi sebuah Provinsi terpisah dari Sumatera Utara dalam otonomi khusus dalam bidang pendidikan dan agama. Status ini disebut sebagai Daerah Istimewa. Sejak saat itu, banyak orang Aceh yang berpendidikan dari Medan dan kota-kota lain kembali ke Aceh. Sebagai putera-putera daerah, mereka bisa memperoleh posisi-posisi yang lebih baik di Aceh, terutama mereka yang berpendidikan universitas. 35 Kelompok Etnis Aceh, tersebar di berbagai tempat di Kecamatan Kota Medan. Kebanyakan pedagang, pegawai, dan pekerja harian. Orang Aceh pada tahun 1950-1960an banyak yang menguasai perdagangan besar, terutama perdagangan hasil bumi, ekspor dan impor, serta perbankan. Tahun 1981, terdapat empat macam bank di Medan, yaitu Bank Negara, Bank Swasta Nasional, Bank Swasta Cina, dan Bank Asing. Sebelum 1972, dua dari enam bank swasta 35 Ibid., hlm. 127. Universitas Sumatera Utara adalah milik pengusaha pribumi Indonesia dan selebihnya milik pedagang keturunan Cina. Bank Sumatera Bank of Sumatera yang dimiliki pedagang-pedagang Aceh mengalami kerugian besar ketika beberapa peminjam kreditornya yaitu pengusaha-pengusaha Cina kabur keluar negeri dengan membawa sejumlah uang bank tersebut, akhirnya bank tersebut ditutup. 36 Bank Dagang Nasional Indonesia BDNI pemiliknya yang pertama adalah orang Mandailing, hampir bangkrut karena mismanajemen, penguasaan atas bank beralih kepada pengusaha keturunan Cina yang berhasil mengambil alih dan menyelamatkan bank. 37

2.4 Berdirinya Ikatan Pemuda Pelajar Tanah Rencong IPTR