3.Kriteria pengujian a.
Apabila signifikan ≤
0,05 maka
H
o
ditolak H
1
diterima, artinya secara simultan variabel bebas berpengaruh terhadap variabel terikat.
b.Apabila signifikan ≥ 0,05
maka H
o
diterima dan H
1
ditolak, artinya secara silmutan variabel bebas tidak berpengaruh terhadap variabel
terikat.
3.5.3 Asumsi Klasik
Persamaan regresi tersebut harus bersifat BLUE Best Linear Unbiased Estimatot, artinya pengambilan keputusan uji F tidak boleh bias.
Untuk menghasilkan keputusan yang BLUE , maka harus dipenuhi tiga asumsi dasar yang boleh dilanggar oleh regresi linier, yaitu :
1. Tidak boleh ada Autokolerasi
2. Tidak boleh ada Multikorelasi
3. Tidak boleh ada Heterokesdastisitas
Apabila salah satu dari tiga asumsi dasar tersebut dilanggar maka persamaan regresi yang diperoleh tidak lagi bersifat BLUE , sehingga
pengmbilan keputusan melalui uji F dan uji T menjadi bias. Gujarati,1999 : 157.
1. Autokorelasi
Autokorelasi dapat didefinisikan sebagai korelasi antara data observasi yang diurutkan berdasarkan urut waktu data time service atau data yang
diambil pada waktu tertentu data cross sectional. Jadi dalam model regresi linear diasumsikan tidak terdapat gejala autokorelasi.
Identitifikasi ada tidaknya gejala autokorelasi dapat dilihat dengan menghitung nilai Durbin Watson, dengan persamaan:
t=N
∑ e
t
-
e
t-1
²
t=2
d=
t=N
∑e
t²
t=1
Keterangan : Dd
= Nilai Durbin Watson Et
= Residual pada waktu ke t Et-1
= Residual pada waktu ke t-1 N
= Banyaknya data Gujarati,1999 :215
2. Multikolinearitas
Multikolinearitas berarti adanya multikolinearitas dapat mengakibatkan hasil estimasi menjadi kurang tepat karena adanya korelasi
antar variabel-variabel independen. Hubungan antara variabel bebas yang dikatakan memilki nilai
multikolinearitas jika memliki VIF tidak sekitar angka satu dan angka
toleransi tidak mendekati angka atau serta memilki nilai koefisien korelasi diatas 0,5. pada model regresi linear yang baik tidak boleh terdapat
multikolinearitas. Syarat utama model yang regresi linear tidak terdapat multikolinearitas adalah nilai VIF disekitar angka satu dan angka tolenransi
mendekati angka satu serta koefisien korelasi antara variabel bebas dibawah nilai 0,5.Gujarati,1999 :157.
3. Heteroskedastisitas
Heteroskedastisitas artinya jika variabel penganggu memiliki varians yang berbeda. Mengikuti Glejser test, nilai absolut dari variabel penganggu
diregresikan terhadap Xi masing-masing variabel independen. Dengan tingkat signifikansi 5, jika dari hasil regresi tersebut diperoleh probabilitas
0,05 maka dikatakan varians yang diuji adalah sama. Adanya gejala heteroskedastisitas mengakibatkan estimator yang diperoleh tidak efisien,
baik dalam sampel kecil maupun sampel besar, walaupun etimator yang diperoleh menggambarkan populasi tidak bias dan bertambahnya sampel
yang digunakan akan mendekati nilai besarnya, ini disebabkan oleh variansnya tidak minimum, untuk mengetahui ada tidaknya gejala
heteroskedastisitas. Hal ini bisa di identifikasi dengan cara menghitung Rank Spearman antara residual dengan seluruh variabel bebas.
Rumus Rank Spearman adalah sebagai berikut :
∑
di²
rs = 1 - i
NN²-1
Dimana : di = Selisih ranking standar deviasi S dan nilai ranking nilai
mutlak error N
= Banyaknya sampel Gujarati,1999 :188
Apabila koefisien korelasi Rank Spearman untuk seluruh variabel bebas terhadap residual lebih kecil dari 0,05 maka dapt disimpulkan bahwa dalam
persamaan regresi terhadap heteroskedastisitas. Pengujian hipotesis dalam penelitian ini terlebih dahulu dilakukan uji asumsi klasik. Adapun asumsi itu
adalah multikolinearitas, heteroskedastisitas dan autokorelasi yang dilakukan dengan menggunakan program SPSS metode enter dengan memasukkan
semua variabel dan menganalisa dengan menggunakan metode regresi linear berganda. Dengan degre of freedom df 95 tingkat error sebesar 5
100df.
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Deskripsi Obyek Penelitian 4.1.1 Gambaran Umum PT. Bursa Efek Indonesia
Secara historis, pasar modal telah hadir jauh sebelum Indonesia merdeka. Pasar modal atau bursa efek telah hadir sejak jaman kolonial Belanda
dan tepatnya pada tahun 1912 di Batavia. Pasar modal ketika itu didirikan oleh pemerintah Hindia Belanda untuk kepentingan pemerintah kolonial atau VOC.
Meskipun pasar modal telah ada sejak tahun 1912, perkembangan dan pertumbuhan pasar modal tidak berjalan seperti yang diharapkan, bahkan pada
beberapa periode kegiatan pasar modal mengalami kevakuman. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor seperti perang dunia ke I dan II, perpindahan
kekuasaan dari pemerintah kolonial kepada pemerintah Republik Indonesia, dan berbagai kondisi yang menyebabkan operasi bursa efek tidak dapat berjalan
sebagimana mestinya.
Pemerintah Republik Indonesia mengaktifkan kembali pasar modal pada tahun 1977, dan beberapa tahun kemudian pasar modal mengalami
pertumbuhan seiring dengan berbagai insentif dan regulasi yang dikeluarkan pemerintah.