[Type text] UU 141970
KUHAP
UU HAM UU Perlindungan Anak
UU Advocat UU Kekuasaan Kehakiman
Paket UU Peradilan Setelah periode tersebut, konsep mengenai bantuan hokum diatur dalam beberapa peraturan
perundang-undangan. Dalam tingkat peraturan perundang-undangan di bawah UUD 1945, materi muatan tentang bantuan hokum terdapat dalam berbagai peraturan. Dalam level UU, ada dua kelompok besar UU
yang memasukkan bantuan hokum sebagai salah satu materi muatannya, yaitu undang-undang yang berkaitan dengan hak asasi manusia. Undang-undang yang memuat materi muatan yang berkaitan dengan
hokum acara pidana adalah seperti Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana KUHAP, Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advocat, Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Paket Undang-Undang peradilan yang terdiri dari
Undang-Undang No.49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 2 tahun 1986 tentang Peradilan Umum, Undang-undang No. 50 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-undang
No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, dan Undang-Undang No.51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Sedangkan peraturan-
peraturan yang materi muatannya berkaitan dengan Hak Asasi Manusia adalah seperti Undang-Undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia UU HAM dan Undang-Undang No.23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak UU Perlindungan Anak. UUD 1945
Pra Amandemen
UUD 1945 Pra
Amandemen
[Type text] Selain itu, undang-undang yang mrengatur mengenai bantuan hokum dapat pula dibagi menjadi dua
kelompok berdasarkan rezim konstitusi yang digunakan, yaitu berdasarkan UUD 1945 pra amandemen dan UUD 1945 pasca amandemen. Undang-undang yang dibentuk berdasarkan UUD 1945 pra
amandemen adalah Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 dan KUHAP. Sedangkan Undang-undang yang dibentuk berdasarkan UUD 1945 pasca amandemen adalah Undang-undang Advocat, Undang-Undang
Kekuasaan Kehakiman, paket Undang-undang bidang peradilan, Undang-undang Hak Asasi Manusia, dan Undang-undang Perlindungan Anak.
UNDANG-UNDANG KEKUASAAN KEHAKIMAN 1 .Undang-Undang No. 14 Tahun 1970
Dalam unang-undang hak equality before the law yang tercantum dalam Pasal 27 UUD 1945 diterjemahkan dalm bentuk pemberian bantuan hokum bagi setiap orang yang tersangkut perkara, dalam
hal ini perkara pidana. Pengaturan bantuan hokum dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 diatur secara khusus dalam Bab VII tentang bantuan hokum, yang terdiri dari 4 pasal, yaitu Pasal 35, 36, 37, dan
38. Keempat pasal itu mengatur hal umum dari pelaksanaan bantuan hokum. Pasal 35 mengatur jaminan hak memperoleh bantuan hokum bagi setiap orang yang berperkara. Pasal
36 mengatur hak setiap orang untuk mendapatkan bantuan hokum sejak saan dilakukan penangkapan danatau penahanan. Pasal 37 menentukan sebegai pemberi bantuan hokum, penasehat hokum harus
menjunjung tinggi Pancasila, hokum, dan keadilan. Pasal 38 mengatur bahwa ketentuan lebih lanjut dari Pasal 35, 36, dan 37 diatur dalam suatu undang-undang tersendiri. Pentingnya ketentuan mengenai
bantuan hokum berkaitan erat dengan asas presumption of innocence, yang juga diatur dalam Pasal 8 Undang-Undang No. 14 Tahun 1970.
Dalam Undang-undang No. 14 Tahun 1970 pihak penerima bantuan hokum adalah semua orang yang berperkara Pasal 35, sedangkan pemberi bantuan hokum adalah penasehat hokum Pasal 37. Namun
[Type text] penanggung jawab atau penjamin pemenuhan hak atas bantuan hokum tidak disebutkan dengan jelas
dalam undang-undang kekuasaan Kehakiman 1970 tersebut.
2. Undang-Undang No. 48 Tahun 2009
Undang-Undang No. 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sempat derivisi dengan Undang-Undang No. 35 Tahun 1999. Namun undang-undang itu hanya mengubah
sebagian kecil dari materi muatan dari Undang-Undang No.14 Tahun 1970. Perubahan yang dibawa oleh Undang-Undang No. 35 Tahun 1999 tidak mengubah ketentuan tentang bantuan hokum.
Pada Tahun 2009, Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 dan Undang-Undang No. 35 Tahun 1999 resmi dicabut oleh undang-undang baru,yaitu Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman UU No. 48 Tahun 2009. Undang-Undang itu membawa banyak perubahan, walaupun tidak mengubah secara mendasar prinsip=prinsip yang ada dalam undang-undang sebelumnya. Dalam Undang-
undang No. 48 tahun 2009 pengaturan mengenai bantuan hokum tetap ada, bahkan tidak sebatas sebagai jaminan pemenuhan hak equality before the law dan presumption of innocence semata, tetapi juga
mencangkup tanggung jawab Negara dalam menanggung biaya perkara psrs pencari keadilan yang tidak mampu, dan penyediaan layanan pos bantuan hokum di pengadilan.
Dalam ketentuan mengenai jaminan pemeberian bantuan hokum dan pembentukan pos bantuan hokum tidak jelas diatur siapa pengemban tanggung jawab pelaksanaannya. Dengan kata lain, ketentuan
itu tidak menyebutkan dengan jelas siapa yang akan menjamin pemberian bantuan hokum dan siapa yang berkewajiban mendirikan pos bantuan hokum. Ketidak jelasan itu berpotensi menimbulkan kesalah
pahaman pada saat pelaksanaan di lapangan.
Kitab Undang- Undang Hukum Acara PidanaKUHAP
Amanat Undang_undang No. 14 Tahun 1970 untuk membentuk undang-undang khusus tentang bantuan hokum ternyata tidak diwujudkan dalam waktu singkat, sampai akhirnya ketentuan-ketentuan
[Type text] dalam undang-undang itu diatur lebih lanjut dalam KUHAP Prinsip yang tercantum dalam Pasal 35
Undang-undang No. 14 Tahun 1970 dianut juga dalam Pasal 54 KUHAP, yang menyatakan bahwa: “guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hokum dari
seorang atau lebih penasehat hokum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan, menurut tatacara yang ditentukan dalam undang-
undang ini”. Selain Pasal 35, pengaturan dalam Pasal 36 Undang-Undang No.14 Tahun 1970 pun diatur kembali
dalam KUHAP. Namun berbeda dengan undang-undang Undang-undang No. 14 Tahun 1970. KUHAP mengatur lebih teknis mengenai pelaksanaan bantuan hokum dalam perkara pidana.
Pengaturan mengenai aktor dalam KUHAP pada dasarnya sama dengan yang diatur dalam Undang- Undang No. 14 Tahun 1970. Penerima bantuan hokum adalah semua orang yang berperkara, baik dalam
status sebagai tersangka atau terdakwa. Sedangkan untuk pemberi bantuan hokum adalah penasehat hokum. Untuk pengaturan mengenai penganggung jawab pemenuhan hak, KUHAP mengaturnya lebih
lengkap. Pada Pasal 54 KUHAP menyatakan bahwa penunjukkan penasehat hokum merupakan tanggung jawab dar
i pejabat yang bersangkutan. Makna “pejabat yang bersangkutan” itu adalah bagian dari pemerintah yang melaksanakan tugas dari Negara, yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan,
dalam hal ini bisa pihak kepolisian, kejaksaan atau pengadilan, tergantung kepada tahapan proses yang sedang dilalui.
Tanggungjawab Negara memberikan bantuan hokum memiliki batasan-batasan. Pada Pasal 56 ayat1 disebutkan bahwa tersangka atau terdakwa yang pemenuhan hak bantuan hokumnya menjadi
tanggungjawab Negara adalah mereka yang disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih, atau mereka yang tidak
mampu dan tidak mempunyai penasehat hokum sendiri yang diancam dengan pidana lima belas tahun atau lebih. Selain itu dalam penjelasan Pasal 56 ayat 1 ada pembatasan lain atas tanggungjawab Negara
dalam menyediakan penasehat hokum, yaitu penunjukkan penasehat hokum disesuaikan dengan perkembangan keadaan tersedianya tenaga penasehat hokum di tempat berperkara, apabila mereka yang
diancam dengan pidana 5 tahun atau lebih, tetapi kurang dari 15 tahun.
[Type text]
Undang-Undang Advokat dan PP No. 83 Tahun 2008
Peran Advokat sebagai penasehat hokum memiliki peran yang strategis dalam pelaksanaan bantuan hokum, terutama untuk mewujudkan prinsip equality before the law dan presumption of innocence.
Pasal 37 UU N. 14 Tahun 1970 dan Pasal 56 ayat 2 KUHAP mengatur bahwa penasehat hokum sebagai pihak yang memberikan bantuan hokum, Oleh karena itu, materi muatan mengenai bantuan hokum
menjadi sangat penting untuk diatur dalam Undang-undang yang khusus mengatur tentang advocate, yaitu Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 UU Advocat.
Bab VI Advocat mengatur secara khusus mengenai bantuan hokum Cuma-Cuma. Walaupun diatur dalam satu bab tersendiri, ketentuan mengenai bantuan hokum hanya ada satu pasal yang terdiri dari dua
ayat, yaitu mengatur mengenai prinsipnya dan mengenai pengaturan lebih lanjut dal Peraturan Pemerintah. Padsal 22 ayat 1 menyatakan bahwa advocate wajib memberikan bantuan hokum secara
Cuma-Cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu. Ketentun itu menjadi sangat penting dalam pelaksanaan bantuan hokum karena menjadi pijakan kuat kewajiban advocate. Sayangnya, kewajiban itu
tidak disertai dengan mekanisme pengawasan yang jelas dan tegas, sehingga kewajiban itu tidak pernah berjalan dengan maksimal.
Lima tahun sejak pengesahan Undang-Undang Advocat, peraturan pelaksanaannya baru disahkan, yaitu Peraturan Pemerintah PP no. 38 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata cara Pemberian
Bantuan Hukum secara Cuma-Cuma. Dalam PP itu diatur tata cara atau mekanisma untuk mendapatkan bantuan hokum. Namun, seperti UU Advocat, mekanisma pengawasan pelaksanaan bantuan hokum masih
lemah. Pengawasan atas pelaksanaan bantuan hokum menjadi tanggungjawab dari organisasi advocate, dan tidakada tanggungjawab dari Negara. Semangat korps yang tinggi membuat pengawasan dan
penindakan terhadap advocate yang tidak menjalankan kewajiban menjadi lemah, disamping pelaksanaan bantuan hokum tidak cukup menguntungkan bagi para advokat.
[Type text]
Paket Undang-Undang Peradilan dan SEMA No.10 Tahun 2010
Pada tahun 2009, DPR dan Pemerintah sepakat melakukan revisi terhadap sejumlah Undang-Undang di bidang peradilan, yaitu Undang-Undang No.49 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang No.2 tahun 1986 tentang Peradilan Umum, Undang- Undang No.50 tahun 2009 tentang Perubahan kedua Undang-Undang No 7 tahun 1989 tentang
Peradilan Agama, dan Undang-Undang No.51 Tahun 2009 tentang Perubahan kedua Undang- Undang No.5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Ketiga undang-undang itu
seluruhnya mengatur tentang bantuan hukum, yang mencangkup jaminan bagi yang berperkara untuk mendapatkan bantuan hukum, tanggung jawab negara dalam menanggung biaya perkara
para pencari keadilan yang tidak mampu, dan penyediaan layanan pos bantuan hukum di Pengadilan. Pengesahan paket Undang-Undang peradilan itu dilakukan pada tahun yang sama
dengan Undang-Undang No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dan Undang- Undang No.3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung. Materi paket undang-Undang peradilan itu
berkaitan satu sama lain Undang-Undang peradilan memuat jaminan bahwa setiap orang yang tersangkut perkara
berhak memperoleh bantuan hukum. Selain itu jaminan yang diberikan adalah kepada pencari keadilan yang tidak mampu ditanggung biaya perkaranya oleh negara. Ketentuan lain yang diatur
adalah pembentukan pos bantuan hukum di setiap pengadilan. Sama seperti dalam Undng- Undang No.48 tahun 2009 aturan mengenai penanggung jawab pemberian bantuan hukum dan
pembentukan pos bantuan hukum dalam Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara, UU Peradilan Umum, dan UU Peradilan Agama tidak dijelaskan secara tegas. Ketidak jelasan ini
berpotensi menimbulkan kesalahpahaman dalam ranah pelaksanaan, terutama jika tidak ada peraturan pelaksanaan yang mengatur lebih lanjut mengenai ketentuan itu secara teknis.
[Type text] Mahkamah Agung mencoba membuat aturan teknis dimaksud lewat Surat Edaran
Mahkamah Agung SEMA No.10 Tahun 2010 tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum.
12
SEMA ini mengatur lebih jelas dan tegas prihal pelaksanaan bantuan hukum di pengadilan. SEMA terdiri daru dua lampiran, yaitu Lampiran A tentang Pedoman Pemberian Bantuan
Hukum di Lingkungan Peradilan Umum dan Lampiran B tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum di Lingkungan Peradilan Agama.
Dalam SEMA No.10 Tahun 2010 diatur lebih jelas mengenai para aktor penannggung jawan penyedia layanan, yang sebelumnya belum ditegaskan dalam undang-Undang. Dalam Pasal 1
ayat 1 desebutkan bahwa penyelenggara bantuan hukum meliputi Pos Bantuan Hukum, bantuan jasa Advocat, Pembebasan Biaya Perkara Pidana dan Perdata, dan Biaya Sidang di Tempat
Sidang Tetap zit ngplaatz. pelaksanaan keempat layanan itu melibatkan tiga aktor utama, yaitu penanggung jawab penyelenggara bantuan hukum, pemberi bantuan hukum, dan penerima
bantuan hukum. Pada pembentukan pos bantuan hukum, penanggungjawab penyediaannya adalah seluruh
pengadilan umum, sesuai dengan ketentuan Pasal 6 ayat 1 lampiran A SEMA No. 10 Tahun 2010. Berdasarkan SEMA ini, pembentukan pos bantuan hukum dilakukan secara bertahap.
Pemberi bantuan hukum untuk layanan Pos bantuan Hukum, Bantuan Jasa Advokat, Pembebasan Biaya perkara adalah advokat piket. Khusus untuk zit ngplaatz, pemeberi bantuan hukum adalah
pengadilan, khususnya para hakim dan panitera. Penerima bantuan hukum adalah pencari keadilan yang terdiri dari orang perorangan atau sekelompok orang yang secara ekonomis tidak
mampu atau memiliki kreteria miskin atau memenuhi syarat sebagaimana diatur lebih lanjut
12
Pada saat penelitian ini dilakukan Mahkamah agung sudah mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung N0.1 Tahun 2014 sebagai pengganti SEMA No.10 Tahun 2010.
[Type text] dalam pedoman ini, yang memerlukan bantuan untuk menangani dan menyelesaikan masalah
hukum di Pengadilan Pasal 1 ayat2 SEMA No.10 Tahun 2010. Pemetaan aktor pada Lampiran A hampir sama dengan Lampiran B, namun ada perbedaan
dalam pemeberian bantuan hukum dalam layanan Pos bantuan Hukum. Dalam Lampiran B disebutkan khusus dalam Pasal 18 yang menyatakan bahwa pemberi jasa bantuan hukum di Pos
bantuan Hukum tidak hanya advokat, tetapi bisa juga sarjana hukum dan sarjana syariah. Selain Pos Bantuan Hukum, layanan bantuan hukukm di Pengadilan Agama juga meliputi sidang
keliling dan pelayanan perkara prodeo.
Undang-Undang Hak Asasi Manusia
Selain pengaturan bantuan hukum yang berkaitan dengan hukum acara pidana, pengaturan bantuan hukum juga menjadi materi muatan peraturan yang berkaitan dengan HAM, Undang-
Undang khusus tentang HAM pertama yang dimiliki Indonesia adalah Undang-undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia UU HAM, UU itu hadir atas dasar desakan dan
pemenuhan tuntutan reformnasi pada tahun 1999. Selain itu, UU HAM juga merupakan pengaturan lebih lanjut dari asas jaminan HAM yang sebelumnya telah diatur dalam UUD 1945.
Ada dua pasal utama dalam UU HAM yang menyinggung bantuan hukum, yaitu Pasal 18 ayat4 dan Pasal 66 ayat 6. Pasal 18 ayat 4 menyebutkan bahwa setiap orang yang diperiksa
berhak mendapatkan bantuan hukum sejak saat penyidikan sampai adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Pengaturan itu senada dengan apa yang diatur
dalam UU No. 14 tahun 1970, dan tidak membatasi hak memperoleh bantuan hukum berdasarkan hukuman yang diancamkan kepada sang tersangka atau terdakwa tersebut, seperti
yang diatur dalam KUHAP.Meskipun demikian, Pasal 18 ayat 4 tersebut tidak menyebutkan