15
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. KARAKTERISTIK JAHE
Rimpang jahe yang digunakan pada penelitian ini ada tiga jenis, yaitu jahe gajah Zingiber officinale var. Roscoe, jahe emprit Zingiber officinale var. Amarum, dan jahe
merah Zingiber officinale var. Rubrum. Ketiga jenis jahe tersebut merupakan jahe lokal yang berasal dari Indonesia yang memiliki perbedaan morfologi yang jelas Gambar 6. Jahe
gajah berukuran sangat besar dengan panjang antara 18-21 cm, kulitnya berwarna coklat muda, dengan kandungan serat sedikit. Bila diiris, memberikan aroma yang sangat kuat khas
aroma jahe. Jahe emprit berukuran kecil antara 5-8 cm, berwarna coklat muda namun lebih
gelap dari jahe gajah, seratnya banyak lebih sulit diiris dibandingkan jahe gajah. Bila diiris, aroma jahe emprit tidak sekuat aroma jahe gajah. Jahe merah berukuran hampir sama dengan
jahe emprit, namun warna kulitnya lebih coklat. Bila diiris, aroma jahe merah tidak begitu kuat, seratnya lebih banyak daripada jahe gajah.
Perbedaan jahe merah dan jahe emprit adalah pada warna kulitnya, yaitu ketika diiris jahe merah terlihat berwarna merah jambu pada bagian tepi kulitnya, sementara pada
jahe emprit berwarna coklat muda. Masing-masing jenis jahe yang digunakan dalam penelitian ini berusia antara 8-9 bulan dimana jahe telah mencapai tingkat kematangan yang
cukup tua dan memiliki aroma, flavor, dan kepedasan yang utuh. Bila jahe yang digunakan berusia lebih dari 9 bulan, menghasilkan produk dengan kandungan serat yang tinggi
Purseglove et al., 1981.
Gambar 6. Rimpang jahe a gajah, b emprit, dan c merah yang digunakan dalam penelitian
Pembuatan oleoresin jahe diawali dengan pembuatan bubuk jahe. Bubuk jahe dibuat dari jahe segar yang dikeringkan dalam oven. Mulanya, jahe segar dicuci dan disikat untuk
menghilangkan sisa tanah yang menempel setelah pemanenan. Jahe kemudian dikeringkan di bawah sinar matahari selama 2-3 jam. Setelah kering, jahe diiris-iris tipis dan dikeringkan
dengan oven vakum pada suhu 50-55
o
C selama 40-48 jam. Pengirisan jahe dilakukan tanpa pengupasan kulit karena pada bagian kulit jahe mengandung komponen minyak atsiri yaitu
pada bagian korteks jahe sehingga dapat mengurangi hilangnya minyak atsiri Koswara, 1995. Begitu pula dengan pemilihan oven vakum untuk pengeringan dan penggunaan suhu
oven pada kisaran 50-55
o
C, yaitu untuk meminimalisasi kehilangan minyak atsiri akibat penguapan selama pengeringan pada suhu tinggi.
a c
b
16 Menurut Richardson 1966 yang diacu dalam Purseglove et al., 1981, suhu
optimum untuk pengeringan jahe yang menggunakan pengering rak dengan irisan satu lapis pada tiap rak pada suhu 48.5-81
o
C menunjukkan tidak ada perbedaan signifikan dari sampel jahe dalam hal kandungan minyak atsiri dan oleoresin jahe. Tetapi pada suhu 65
o
C atau lebih, terjadi perubahan warna menjadi lebih gelap. Pengeringan jahe untuk perdagangan rempah
sebaiknya pada suhu dibawah 57
o
C, namun untuk keperluan ekstraksi, suhu hingga 81
o
C dapat digunakan.
Jahe yang telah dikeringkan kemudian dihaluskan dengan blender. Penghalusan jahe menggunakan blender dilakukan selama 2 menit dengan kecepatan sedang-tinggi. Jahe yang
diperoleh adalah jahe bubuk. Jahe segar yang belum dikeringkan dan jahe bubuk yang diperoleh diukur kadar airnya menggunakan metode destilasi azeotropik SNI 01- 3181-1992
yang dimodifikasi. Ekstraksi jahe dilakukan dengan metode maserasi perendaman pada suhu ruang.
Jahe bubuk direndam dalam pelarut etanol 95 dengan perbandingan bubuk jahe : etanol = 1:4. Penggunaan pelarut etanol karena pelarut ini bersifat aman Somaatmaja, 1981,
polaritas tinggi, larut dalam air, dapat mengekstrak komponen polar lebih banyak dibandingkan aseton dan heksan Purseglove et al., 1981, dan memiliki titik didih 78.4
o
C. Penggunaan pelarut dengan titik didih rendah dapat menyebabkan kehilangan loss pada saat
evaporasi, sementara penggunaan pelarut dengan titik didih tinggi akan mempersulit pemisahan sehingga dapat menyebabkan kerusakan oleoresin pada saat pemisahan Kirk dan
Othmer, 1952. Ekstraksi dilakukan selama 72 jam, setiap 24 jam ekstrak jahe-etanol dipisahkan
dari bubuk jahe. Bubuk jahe yang telah dipisahkan dari etanol tersebut kemudian ditambah kembali dengan etanol dengan perbandingan 1:4. Pengulangan ekstraksi sebanyak tiga kali
ini bertujuan memperoleh komponen-komponen fenolik yang bersifat pungent pada oleoresin jahe terekstrak secara sempurna. Penggantian etanol setiap 24 jam bertujuan
mempertahankan minyak atsiri selama proses maserasi agar tidak terlalu banyak yang menguap dan mengalami oksidasi sehingga berbau tengik Ariviani, 1999.
Hasil ekstrak jahe-etanol yang berwarna coklat muda hingga coklat gelap disaring menggunakan pompa vakum. Selanjutnya ekstrak ini dipisahkan dengan rotari evaporator
pada suhu 50
o
C hingga tidak ada lagi etanol yang menetes. Hasil yang diperoleh adalah oleoresin jahe yang berwarna coklat gelap dan bersifat lengket Lampiran 4. Oleoresin jahe
ini kemudian disimpan dalam vial gelap untuk mengurangi oksidasi akibat cahaya serta disimpan dalam freezer untuk digunakan kemudian. Secara ringkas, kadar air dan rendemen
hasil olahan ketiga jenis jahe dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Kadar air dan rendemen hasil olahan ketiga jenis jahe
Karakteristik Jahe gajah
Jahe emprit Jahe merah
Kadar air jahe segar bb 89.15
88.17 85.50
Kadar air jahe kering bb 8.26
7.70 7.03
Rendemen bubuk jahe 8.99
17.15 18.21
Rendemen oleoresin jahe dalam bubuk jahe
2.02 12.52
11.35
17 1.
Kadar air jahe Jahe merupakan komoditas yang kadar airnya cukup tinggi. Berdasarkan hasil
pengukuran diperoleh kadar air jahe gajah segar 89.15 bb, jahe emprit segar 88.17 bb, dan jahe merah segar 85.50 bb. Kadar air jahe segar mempengaruhi rendemen
bubuk jahe dan rendemen oleoresin yang dihasilkan, semakin tinggi kadar airnya, rendemen bubuk jahe dan rendemen oleoresin semakin rendah begitu pula sebaliknya.
Kadar air bubuk jahe basis basah yang diperoleh, yaitu jahe gajah bubuk 8.26, jahe emprit bubuk 7.70, dan jahe merah bubuk 7.03. Kadar air bubuk jahe
simplisia ini telah memenuhi syarat standar mutu simplisia, yaitu maksimum 12.0 bb Materia Medika Indonesia; BS 4593: 1970 diacu dalam Purseglove, 1981.
Menurut Guenther 1952, selama pengeringan terjadi pergerakan air beserta zat-zat yang mudah menguap dari jaringan ke permukaan bahan yang menyebabkan
kehilangan zat-zat seperti komponen minyak atsiri dan resin. Kerusakan dinding sel selama pengeringan memudahkan pengeluaran minyak dan resin sehingga waktu proses
ekstraksi menjadi lebih singkat.
Gambar 7. Kadar air jahe segar dan jahe bubuk basis basah 2.
Rendemen bubuk jahe dan oleoresin jahe Rendemen bubuk jahe yang diperoleh berturut-turut mulai dari yang terbesar
hingga terkecil adalah jahe merah 18.21, jahe emprit 17.15, dan jahe gajah 8.99. Menurut Nour 1996, rendemen jahe yang dikeringkan dengan sistem tray pada suhu
antara 45-55
o
C berkisar antara 13.23-18.07, sementara Purseglove 1981 menyebutkan bahwa rendemen jahe kering berkisar antara 13-15.
Jahe gajah memiliki rendemen jahe bubuk yang paling rendah diantara ketiga jenis jahe karena jahe gajah segar memiliki kadar air yang paling tinggi. Rendemen
bubuk jahe ini mempengaruhi rendemen oleoresin jahe. Bubuk jahe diperoleh dari jahe kering yang telah dihaluskan. Bubuk jahe yang
digunakan untuk ekstraksi oleoresin sebaiknya ukurannya seragam agar antara bahan dan pelarut mudah terjadi kontak sehingga ekstraksi lebih sempurna Purseglove et
al.,1981. Menurut Guenther 1952, kehalusan bubuk yang diekstraksi merupakan faktor yang harus diperhatikan. Kehalusan yang sesuai menghasilkan ekstraksi yang
sempurna dalam waktu yang singkat.
89.15 88.17
85.50
8.26 7.70
7.03 20
40 60
80 100
Gajah Emprit
Merah
Kad ar
A ir
Jenis Jahe
Segar Bubuk
18 Gambar 8. Rendemen bubuk jahe dan oleoresin jahe basis basah
Rendemen oleoresin jahe berturut-turut dari yang terbesar hingga yang terkecil adalah jahe emprit 12.52, jahe merah 11.35, dan jahe gajah 2.02. Rendemen
oleoresin jahe gajah paling rendah diantara ketiga jenis jahe karena rendemen jahe gajah bubuk sangat rendah Gambar 8.
Menurut Purseglove et al. 1981, rendemen oleoresin jahe yang dihasilkan dan kandungannya tergantung pada bahan baku dan pelarut yang digunakan serta kondisi
ekstraksi. Rendemen oleoresin jahe juga mempengaruhi kadar gingerol dan shogaol yang dikandungnya. Semakin tinggi rendemen oleoresin yang dihasilkan, maka semakin
tinggi pula kadar gingerol dan shogaol jahe. Begitu pula sebaliknya, semakin rendah rendemen oleoresin yang dihasilkan, maka kadar gingerol dan shogaol jahe yang
dihasilkan semakin rendah. Ekstraksi oleoresin menggunakan pelarut etanol menghasilkan rendemen
oleoresin 3.1-6.9 Pursglove et al.,1981, sementara menurut Fakhrudin 2008, rendemen oleoresin yang diperoleh dengan ekstraksi menggunakan pelarut etanol adalah
8-14.5. Semakin tinggi waktu ekstraksi dan semakin kecil ukuran bahan akan memberikan nilai rendemen yang semakin besar. Hasil penelitian Risfaheri dan
Anggraeni 1994 menunjukkan rendemen oleoresin jahe kualitas rendah berkisar antara 8.50-8.69, sementara jahe kualitas ekspor yaitu 10.13.
Oleoresin jahe mengandung berbagai komponen diantaranya minyak atsiri, lemak, beberapa asam lemak bebas, resin, dan karbohidrat Guenther, 1952. Selain itu,
rendemen oleoresin juga ditentukan oleh umur jahe ketika dipanen Baranowski, 1986 diacu dalam Ravindran et al., 2005.
B. KADAR GINGEROL DAN SHOGAOL