Proses Fermentasi HASIL DAN PEMBAHASAN

39 Peningkatan konsentrasi gula pereduksi disebabkan oleh adanya sinergi antara selulase, α-amilase, AMG dan adanya penambahan pektinase dapat mengurangi kekentalan substrat sehingga kinerja enzim lebih efektif. Srinorakutara et al. 2004 menyatakan bahwa hidrolisis onggok ubi kayu dengan menggunakan H 2 SO 4 0,6 M pada suhu 120 o C selama 30 menit menghasilkan gula pereduksi maksimum 6,09 bv. Hidrolisis dengan menggunakan enzim α- amilase dan AMG menghasilkan konsentrasi gula pereduksi 4,23 bv. Hidrolisis dengan kombinasi enzim selulase, α-amilase dan AMG menghasilkan konsentrasi gula pereduksi 4,74 bv. Hidrolisis dengan menggunakan enzim pektinase, selulase, α- amilase dan AMG menghasilkan 4,98 bv gula pereduksi.

4.4 Proses Fermentasi

Pembuatan etanol pada umumnya dilakukan melalui proses fermentasi. Fermentasi merupakan proses untuk mengkonversi glukosa menjadi etanol dan CO 2 . Fermentasi etanol adalah perubahan 1 mol gula menjadi 2 mol etanol dan 2 mol CO 2 . Pada proses fermentasi etanol, khamir terutama akan memetabolisme glukosa dan fruktosa membentuk asam piruvat melalui tahapan reaksi pada jalur Embden-Meyerhof- Parnas EMP, sedangkan asam piruvat yang dihasilkan akan didekarboksilasi menjadi asetaldehida yang kemudian mengalami dehidrogenasi menjadi etanol. Khamir yang sering digunakan dalam fermentasi etanol adalah S. cerevisiae, karena jenis ini dapat berproduksi tinggi, toleran terhadap etanol yang cukup tinggi 12- 18 vv, tahan terhadap kadar gula yang tinggi dan tetap aktif melakukan fermentasi pada suhu 4-32 o C Harrisson dan Graham 1970. Proses produksi etanol ini dilakukan melalui fermentasi secara batch atau nir sinambung dengan tujuh perlakuan alternatif tahapan proses produksi. Proses fermentasi menggunakan erlenmeyer 1000 ml dengan volume substrat 500 ml. Kondisi fermentasi dilakukan pada suhu ruang, dimana pada 24 jam awal dilakukan proses agitasi dengan kecepatan 150 rpm. Proses ini bertujuan untuk mempermudah difusi oksigen ke dalam medium sehingga kontak antara substrat dan inokulum makin banyak dan homogen. Menurut Hollaender 1981, agitasi dapat memperlancar difusi oksigen sehingga kadar oksigen terlarut dalam medium akan cukup mendukung untuk 40 pertumbuhan sel secara aerobik. Setelah jam ke-24 agitasi dihentikan untuk memperoleh kondisi anaerob, sehingga proses produksi etanol dapat berjalan lebih optimal. Substrat diatur pH awalnya sampai mencapai 5,0 dengan menggunakan HCl 1N. Proses fermentasi dilakukan selama 96 jam dan diamati perubahan total gula dan pH secara periodik. Pada akhir fermentasi dianalisis kandungan serat kasar sisa, total gula sisa dan kadar etanol yang dihasilkan. Etanol yang dihasilkan akan dihitung efisiensi fermentasinya berdasarkan jumlah substrat yang dikonsumsi oleh khamir untuk menghasilkan etanol secara teorits. Perhitungan didasarkan pada metabolisme glukosa menjadi etanol melalui jalur EMP. Secara sederhana proses fermentasi alkohol dari bahan baku glukosa terlihat pada persamaan reaksi berikut: C 6 H 12 O 6 2C 2 H 5 OH + 2CO 2 + 2 ATP + 5 Kkal Dari reaksi diatas, secara teoritis 100 karbohidrat diubah menjadi 51,1 etanol dan 48,9 menjadi CO 2 . Efisiensi fermentasi merupakan persentase perbandingan antara konsentrasi etanol yang diperoleh aktual dengan konsentrasi etanol secara teoritis. Yield atau rendemen produk adalah persentase etanol yang terbentuk per substrat tepung ubi kayu yang dipergunakan. Efisiensi pemanfaatan substrat dss merupakan perbandingan jumlah substrat glukosa yang dikonsumsi dengan substrat awal yang tersedia. Perlakuan pertama P 1 , proses hidrolisis dilakukan dengan menggunakan asam yaitu H 2 SO 4 0,4 M selama10 menit. Hasil hidrolisis berupa hidrolisat glukosa yang masih bercampur dengan serat. Hidrolisat kemudian didetoksifikasi dan dinetralisasi dengan cara menambahkan NH 4 OH 10 hingga pH mencapai 10,0 dan dibiarkan selama 30 menit, setelah itu diatur pH-nya menjadi 5,0 dengan menambahkan HCl 1 N Alriksson et al. 2005 . Hidrolisat ini kemudian ditambahkan kultur T. viride 1,58 x 10 9 ml sebanyak 10 dari volume substrat dan diinkubasi selama 48 jam. Setelah inkubasi dilakukan proses fermentasi dengan menambahkan kultur S. cerevisiae sebanyak 10 dari volume substrat. Penambahan kultur T. viride dimaksudkan untuk menghidrolisis fraksi serat yang terdapat pada hidrolisat terlebih dahulu untuk menghasilkan glukosa, kemudian glukosa yang terbentuk dimanfaatkan oleh S. 41 cerevisiae untuk memproduksi etanol. Perubahan total gula dan pH substrat selama fermentasi disajikan pada Gambar 9. 0,00 1,00 2,00 3,00 4,00 5,00 6,00 6 12 18 24 36 48 72 96 Lama fermentasi Jam p H 100 200 300 400 500 T o ta l G u la g L pH Total gula Gambar 9 Perubahan pH dan total gula selama fermentasi P 1 Perlakuan kedua P 2 , proses hidrolisis dan netralisasi dilakukan sama halnya seperti pada perlakuan P 1 , hanya saja hidrolisat asam yang masih mengandung serat setelah dinetaralisasi dan diatur pH-nya sampai 5,0 kemudian ditambahkan kultur campuran T. viride 1,58 x 10 9 ml dan S. cerevisiae secara simultan dengan perbandingan 1:1 yaitu masing-masing 10 dari volume substrat. Penambahan kultur campuran ini dimaksudkan agar T. viride dapat menghidrolisis serat dan hasilnya langsung dimanfaatkan oleh S. cerevisiae untuk memproduksi etanol. 0,00 1,00 2,00 3,00 4,00 5,00 6,00 6 12 18 24 36 48 72 96 Lama fermentasi Jam p H 100 200 300 400 500 T o ta l G u la g L pH Total gula Gambar 10 Perubahan pH dan total gula selama fermentasi P 2 42 Selama proses fermentasi pada perlakuan P 2 Gambar 10 terjadi penurunan konsentrasi total gula dan pH. Penurunan konsentrasi total gula terjadi dari 383,08 ± 3,70 gL menjadi 277,94 ± 17,29 gL, sedangkan penurunan pH awal terjadi dari 5,01 ± 0,01 menjadi 4,27 ± 0,02. Penurunan total gula dan pH terjadi secara cepat pada awal fermentasi sampai jam ke-24 Gambar 14. Pada fase ini diduga mikroba lebih banyak mengkonsumsi substrat untuk menghasilkan etanol dibandingkan dengan waktu setelah jam ke-24 sampai jam ke-96. Selama proses fermentasi diperoleh etanol dengan konsentrasi 3,92 ± 0,31 bv dan rendemen 15,99 vb. Efisiensi fermentasi dan penggunaan substrat masing-masing 49,48 dan 40,49 . Perlakuan ketiga P 3 menggunakan proses SFS, dimana pada tahap awal dilakukan proses hidrolisis enzimatik melalui proses likuifikasi menggunakan enzim α- amilase. Enzim ini hanya berfungsi untuk mencairkan pati yang telah tergelatinisasi dan hanya menghidrolisis fraksi amilosa yang mempunyai ikatan pada pati α-1,4 glikosidik, sedangkan fraksi amilopektin yang juga mempunyai ikatan α-1,6 glikosidik dan fraksi serat terutama selulosa yang mempunyai ikatan β-1,4 glikosidik tidak akan terhidrolisis. Setelah likuifikasi dilakukan proses sakarifikasi dan fermentasi secara simultan dengan menambahkan kultur campuran A. niger 1,33 x 10 9 ml, T. viride 1,58 x 10 9 ml dan S. cerevisiae dengan perbandingan 1:1:1 yaitu masing-masing 10 dari volume substrat. Pemberian kultur campuran dilakukan dengan menambahkan supernatan dan miselium yang telah diproduksi selama 7 hari Kovacs et al. 2009. 0,00 1,00 2,00 3,00 4,00 5,00 6,00 6 12 18 24 36 48 72 96 Lama fermentasi Jam p H 50 100 150 200 250 300 350 400 T o ta l G u la g L pH Total gula Gambar 11 Perubahan pH dan total gula selama fermentasi P 3 43 Penambahan kultur A. niger dimaksudkan agar enzim AMG yang dihasilkan oleh A. niger akan langsung menghidrolisis fraksi amilopektin untuk menghasilkan glukosa, begitu juga dengan penambahan T. viride diharapkan enzim selulase yang dihasilkan akan mampu menghidrolisis fraksi selulosa pada fraksi serat kasar untuk menghasilkan glukosa. Glukosa yang dihasilkan dari kultur campuran ini secara simultan dimanfaatkan oleh S. cerevisiae untuk memproduksi etanol. Selama proses fermentasi pada perlakuan P 3 terjadi penurunan konsentrasi total gula dari 340,29 ± 10,49 gL menjadi 24,81 ± 7,09 gL dan penurunan pH awal dari 5,01 ± 0,01 menjadi 3,93 ± 0,10 terjadi sampai jam ke-48. Setelah jam ke-48, terjadi peningkatan pH akhir fermentasi menjadi 4,01 ± 0,170. Penurunan konsentrasi total gula secara cepat terjadi mulai jam ke-18 sampai jam ke-24, setelah itu, penurunan konsentrasi total gula relatif lambat Gambar 11. Selama proses fermentasi diperoleh etanol dengan konsentrasi 7,41 ± 1,79 bv dan rendemen 32,76 vb. Efisiensi fermentasi dan penggunaan substrat masing-masing 46,05 dan 92,709 . Perlakuan keempat P 4 , Proses hidrolisis dilakukan secara enzimatik melalui proses likuifikasi dengan enzim α-amilase dan proses sakarifikasi menggunakan campuran enzim AMG dan filtrat enzim selulase kasar dari hasil produksi menggunakan kultur T.viride. Setelah proses sakarifikasi dilakukan fermentasi dengan penambahan S. cerevisiae 10 dari volume substrat. 0,00 1,00 2,00 3,00 4,00 5,00 6,00 6 12 18 24 36 48 72 96 Lama fermentasi Jam p H 50 100 150 200 250 300 350 400 T o ta l G u la g L pH Total gula Gambar 12 Perubahan pH dan total gula selama fermentasi P 4 44 Perubahan total gula dan pH juga terjadi pada perlakuan P 4 . Pada Gambar 12 terlihat bahwa selama proses fermentasi terjadi penurunan konsentrasi total gula dari 377,74 ± 4,67 gL menjadi 20,69 ± 2,78 gL. Penurunan pH awal dari 4,96 ± 0,05 menjadi 3,05 ± 0,39 terjadi sampai jam ke-24. Setelah itu, terjadi peningkatan pH akhir fermentasi menjadi 3,17 ± 0,42. Penurunan konsentrasi total gula secara cepat terjadi mulai jam ke-6 sampai jam ke-24, setelah melewati jam ke-24 penurunan konsentrasi total gula relatif lambat. Penurunan pH awal terjadi sangat cepat dari awal fermentasi sampai jam ke-18. Setelah melewati jam ke-18 pH substrat relatif konstan. Dengan menggunakan perlakuan ini, konsentrasi etanol yang diperoleh sebesar 9,29 ± 1,76 bv dengan rendemen 34,77 vb. Efisiensi fermentasi dan penggunaan substrat masing-masing 51,03 dan 94,52 . Perlakuan kelima P 5 , proses hidrolisis dilakukan secara enzimatik. Hasil hidrolisis pada tahap likuifikasi berupa hidrolisat glukosa yang masih bercampur dengan serat, kemudian ditambahkan kultur A. niger 1,33 x 10 9 ml dan T. viride 1,58 x 10 9 ml dengan perbandingan 1:1 yaitu masing-masing sebanyak 10 dari volume substrat dan diinkubasi selama 48 jam. Setelah inkubasi dilakukan proses fermentasi dengan menambahkan kultur S. cerevisiae sebanyak 10 dari volume substrat. 0,00 1,00 2,00 3,00 4,00 5,00 6,00 6 12 18 24 36 48 72 96 Lama fermentasi Jam p H 100 200 300 400 T o ta l G u la g L pH Total gula Gambar 13 Perubahan pH dan total gula selama fermentasi P 5 Selama proses fermentasi pada perlakuan P 5 , terjadi penurunan konsentrasi total gula dari 335,76 ± 12,85 gL menjadi 32,05 ± 4,51 gL, sedangkan penurunan pH dari 5,10 ± 0,10 menjadi 4,12 ± 0,12. Penurunan konsentrasi total gula secara cepat terjadi 45 mulai dari jam ke-18 sampai jam ke-24 dan penurunan pH terjadi pada jam ke-6 sampai jam ke-18 Gambar 13. Konsentrasi etanol yang dihasilkan dari perlakuan ini sebesar 6,38 ± 0,66 bv dengan rendemen 28,21 vb. Efisiensi fermentasi dan penggunaan substrat masing-masing 41,18 dan 90,45 . Perlakuan keenam P 6 pada dasarnya dilakukan dengan cara yang sama dengan perlakuan P 4 . Perbedaan hanya terjadi pada proses sakarifikasi, dimana perlakuan P 6 menggunakan campuran AMG dengan selulase komersial. 0,00 1,00 2,00 3,00 4,00 5,00 6,00 6 12 18 24 36 48 72 96 Lama fermentasi Jam p H 100 200 300 400 T o ta l G u la g L p H Total gula Gambar 14 Perubahan pH dan total gula selama fermentasi P 6 Penurunan total gula selama proses fermentasi P 6 terjadi dari konsentrasi 380,21 ± 17,03 gL menjadi 22,75 ± 0,69 gL dan penurunan pH terjadi dari 5,01 ± 0,09 menjadi 3,40 ± 0,65. Penurunan konsentrasi total gula secara cepat terjadi mulai pada jam ke-12 sampai jam ke 24, sedangkan penurunan pH terjadi mulai awal sampai jam ke-18 Gambar 14. Konsentrasi etanol yang dihasilkan dari proses fermentasi ini 8,92 ± 0,56 bv dengan rendemen 33,36 vb. Efisiensi fermentasi dan penggunaan substrat masing-masing 48,80 dan 94,210 . Perlakuan kontrol P 7 , proses hidrolisis dilakukan secara enzimatik melalui proses likuifikasi dengan enzim α-amilase dan proses sakarifikasi menggunakan enzim AMG. Hasil hidrolisat yang masih mengandung serat kemudian difermentasi selama 96 jam dengan menambahkan S. cerevisiae sebanyak 10 dari volume substrat. Selama proses fermentasi pada perlakuan kontrol terjadi penurunan konsentrasi total gula dari 376,91 ± 15,17 gL menjadi 24,11 ± 1,42 gL, sedangkan penurunan pH terjadi mulai 4,91 ± 0,11 menjadi 3,07 ± 0,59 Gambar 15. Penurunan konsentrasi total gula tejadi 46 secara cepat mulai jam ke-12 sampai jam ke- 36 , sedangkan penurunan pH mulai terjadi dari awal fermentasi sampai jam ke-24. Konsentrasi etanol yang dihasilkan dari perlakuan ini 5,34 ± 0,63 bv dengan rendemen 20,05 vb. Efisiensi fermentasi dan penggunaan substrat masing-masing 30,05 dan 93,603 . 0,00 1,00 2,00 3,00 4,00 5,00 6,00 6 12 18 24 36 48 72 96 Lama fermentasi Jam p H 50 100 150 200 250 300 350 400 T o ta l G u la g L pH Total gula Gambar 15 Perubahan pH dan total gula selama fermentasi P 7 Diskusi Pada semua perlakuan menunjukkan adanya korelasi searah antara penurunan total gula dengan pH yaitu penurunan konsentrasi total gula diikuti dengan penurunan pH substrat. Hal ini berkaitan dengan adanya konsumsi glukosa melalui proses glikolisis dan akumulasi senyawa asam-asam organik yang terbentuk selama proses fermentasi. Senyawa asam-asam organik dapat berupa asam asetat, laktat dan asam piruvat. Asam piruvat merupakan senyawa yang terbentuk selama proses glikolisis pada siklus EMP. Selama proses glikolisis, setiap satu mol glukosa akan dipecah menjadi dua mol asam piruvat dan melepaskan dua mol ion H + . Adanya ion H + ini diduga dapat menurunkan pH larutan fermentasi. Secara keseluruhan proses glikolisis dapat dilihat dari persamaan reaksi berikut ini: Glukosa + 2 ADP + 2 NAD + + 2 Pi  2 Piruvat + 2 ATP + 2 NADH + 2 H + Asam piruvat yang terbentuk kemudian dirubah menjadi asetaldehid dan CO 2 oleh enzim piruvat dekarboksilase yang selanjutnya dirubah menjadi alkohol oleh enzim alkohol dehidrogenase. Adanya penumpukan asam diduga karena S. cerevisiae kurang 47 mampu untuk mengubah asam piruvat menjadi etanol sehingga terjadi penumpukan asam. Penurunan pH selama proses fermentasi dapat juga disebabkan oleh adanya proses ionisasi H + dan penggunaan NH 4 2 SO 4 sebagai sumber nitrogen untuk pertumbuhan sel. NH 4 2 SO 4 jika berada di dalam larutan akan terionisasi menjadi ion NH 4 + dan SO 4 2- . Dalam proses pembentukan massa sel, mikroba akan mengkonsumsi NH 4 + untuk membentuk R-NH 3 + . Pembentukan R-NH 3 + oleh NH 4 + yang semakin banyak akan meningkatkan pelepasan ion H + ke dalam larutan substrat, sehiggan pH menjadi semakin menurun. Pada fermentasi menggunakan substrat hidrolisat asam, laju fermentasi lebih lambat dari pada fermentasi menggunakan substrat hidrolisat enzim. Hal ini dilihat dari laju konsumsi glukosa yang berlangsung secara lambat pada tahap awal dan mulai menurun secara cepat setelah jam ke-18 P 1 dan P 2 . Lambatnya laju fermentasi diduga disebabkan oleh adanya senyawa-senyawa penghambat yang terbentuk selama proses hidrolisis asam seperti senyawa furfural, HMF, asam karboksilat dan komponen- komponen fenol Mussatto dan Roberto 2004. Fase awal yang lambat menunjukkan mikroorganisme memerlukan fase adaptasi lag phase yang lebih lama. Kondisi ini diduga disebabkan oleh adanya proses sintesis enzim atau koenzim baru oleh mikroorganisme untuk menguraikan furfural Boyer et al. 1992. Palvist dan Hagerdal 2000b menyatakan bahwa adanya fase adaptasi berkaitan dengan adanya sintesis enzim baru untuk merubah furfural menjadi furfural alkohol, dan proses ini melibatkan enzim alkoholdehidrogenase ADH yang sebenarnya berfungsi untuk merubah asetaldehid menjadi etanol. Sanchez dan Bautista 1988 menyatakan bahwa HMF pada konsentrasi 2 gL akan memperpanjang waktu lag fase pada kultivasi mikroba. Taherzadeh et al. 1999 melaporkan bahwa furfural dapat menyebabkan lambatnya laju pertumbuhan spesifik dan laju produksi etanol baik pada kondisi anaerob maupun aerob pada sistem kultivasi dan fermentasi menggunakan kultur S. cerevisiae CBS 8066 secara batch. Pada konsentrasi furfural 4 gL dapat menurunkan laju pembentukan CO 2 sekitar 35 . Penurunan laju pembentukan CO 2 ini terjadi secara cepat pada fase awal kultivasi dan fermentasi. Laju pertumbuhan spesifik mikroba menurun dari 0,4 sampai 0,03 ± 0,02 jam, sedangkan laju produktivitas etanol menurun dari 1,6 ± 0,1 gg jam menjadi 0,5 ± 0,2 gg jam. Laju pertumbuhan spesifik dan 48 produktivitas akan segera meningkat setelah furfural dikonversi menjadi furfural alkohol dengan laju konversi 0,6 ± 0,03 g furfural g biomassa jam. Kondisi fermentasi menggunakan hidrolisat enzim menunjukkan pola penurunan konsentrasi total gula dan pH yang berbeda dengan fermentasi menggunakan hidrolisat asam. Pada fermentasi hidrolisat enzim, laju fermentasi yang ditandai dengan laju penurunan konsentrasi gula terjadi lebih cepat pada fase-fase awal sampai memasuki jam ke-24 dan umumnya setelah jam ke-24 laju penurunan konsentrasi gula relatif lambat. Hal ini diduga disebabkan oleh adanya akumulasi etanol, asam yang cukup tinggi dan semakin terbatasnya konsentrasi substrat. Etanol dapat menghambat proses fermentasi dengan mekanisme penghambatan produk, sedangkan asam dapat menurunkan pH substrat sehingga khamir tidak dapat tumbuh dengan optimal You et al. 2003; Pampulha dan Dias 1989 . Clark dan Mackie 1984 melaporkan bahwa pada konsentrasi etanol 1-2 bv sudah cukup menghambat pertumbuhan dan pada konsentrasi etanol 10 bv laju pertumbuhan hampir berhenti. Berdasarkan hasil produksi etanol dari masing-masing perlakuan, setelah dilakukan analisis ragam diperoleh bahwa perlakuan jenis proses fermentasi berpengaruh nyata terhadap konsentrasi etanol yang dihasilkan p-value 0,05 dan dari uji lanjut Duncan terlihat bahwa konsentrasi etanol tertinggi diperoleh dari perlakuan P 4 yaitu 9,29 ± 1,76 bv, namun konsentrasi etanol yang dihasilkan tidak berbeda nyata dengan konsentrasi etanol dari perlakuan P 6 Lampiran 10. 20 40 60 80 100 P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 Perlakuan R e n d e m e n v b E f. p e m a n fa a ta n s u b s tr a t K o n s e n tr a s i e ta n o l b v Rendemen efisiensi substrat konsentrasi etanol Gambar 16 Pengaruh jenis perlakuan fermentasi terhadap konsentrasi etanol, rendemen dan efisiensi substrat 49 Rendemen pembuatan etanol dari tepung ubi kayu tertinggi juga diperoleh dari perlakuan P 4 yaitu sebesar 34,77 vb. Hal ini berarti untuk menghasilkan 1 liter etanol dibutuhkan sekitar 2,88 Kg tepung ubi kayu Lampiran 9. Nurdyastuti 2005 melaporkan bahwa konversi bahan baku pati ubi kayu menjadi bioetanol menghasilkan rendemen sekitar 16, 67 . Hal ini diduga disebabkan oleh adanya penambahan enzim selulase pada perlakuan P 4 dan P 6 mampu melonggarkan dan menghidrolisis ikatan- ikatan selulosa, sehingga S. cerevisiae lebih mudah memanfaatkan glukosa hasil hidrolisis untuk menghasilkan etanol. Zhang dan Lynd 2004; Reezey et al. 1996 melaporkan bahwa selulase dapat menghidrolisis selulosa dengan adanya sinergisme 3 komponen enzim selulase yang terdiri dari endoglukonase, selobiohidrolase dan β- glukosidase. Efisiensi pemanfaatan substrat pada proses P 3 dan P 5 yang menggunakan kultur campuran memberikan nilai yang relatif tinggi yaitu masing-masing 92,71 dan 90,45 , namun memberikan konsentrasi etanol yang lebih rendah dibandingkan dengan proses P 4 dan P 6 yang hanya menggunakan kultur tunggal S. cerevisiae. Hal ini diduga disebabkan oleh semakin banyaknya mikroba yang dipergunakan, maka semakin besar jumlah kubutuhan glukosa sebagai sumber karbon yang diperlukan untuk pembentukan biomassa sel. Adanya efisiensi pemanfaatan substrat dss yang tinggi, sedangkan efisiensi fermentasi yang relatif kecil dapat juga disebabkan oleh konsentrasi total gula dalam substrat tidak sepenuhnya terkonversi menjadi etanol, melainkan dipergunakan untuk pertumbuhan sel mikroba, atau asam piruvat yang terbentuk pada proses glikolisis belum mampu sepenuhnya dirubah menjadi etanol oleh S. cerevisiae. Adanya penumpukan asam piruvat ini ditandai dengan adanya penurunan pH selama proses fermentasi. Secara umum hasil-hasil fermentasi dari hidrolisat enzimatik menghasilkan konsentrasi etanol yang lebih tinggi dibandingkan dengan konsentrasi etanol dari hidrolisat asam. Hal ini diduga disebabkan oleh adanya senyawa-senyawa inhibitor sebagai hasil samping dari proses hidrolisis asam yang menggunakan suhu dan tekanan yang relatif tinggi yaitu sekitar 121 o C dan 15 Psi. Pada suhu dan tekanan yang tinggi komponen-komponen gula hasil hidrolisis akan terdegradasi lebih lanjut. Gula-gula dari golongan pentosa seperti xilosa dan arabinosa didegradasi menjadi furfural, sedangkan gula dari golongan heksosa seperti glukosa akan terdegradasi menjadi HMF Sjostrom 50 2003. Hidroksimetil furfural akan dapat terus bereaksi untuk membentuk asam-asam organik seperti asam levulinat dan asam format yang dapat berpengaruh terhadap penurunan pH substrat. Furfural dan HMF dapat bersifat toksik bagi mikrooganisme fermentatif baik pada kapang, khamir maupun bakteri Chandel et al. 2007; Horvarth et al. 2003. Furfural juga dilaporkan bersifat lebih toksik dari pada HMF dalam metabolisme S. cerevisiae. Konsentrasi furfural 1 gL dapat menurunkan laju metabolisme CO 2 dan menurunkan laju pertumbuhan sel pada fase awal pertumbuhan Purwadi 2006; Taherzadeh et al. 2000; Modig 2002. Dari Gambar 16 dapat diketahui bahwa penggunakan kultur campuran T. viride, A. niger dan S. cerevisiae terhadap hidrolisat enzimatik pada perlakuan P 3 dan P 5 menghasilkan konsentrasi etanol dan rendemen yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan kontrol P 7 . Penggunaan proses SFS pada perlakuan P 3 dapat meningkatkan hasil etanol 38,26 terhadap kontrol P 7 , sedangkan dengan menggunakan kultur campuran yang ditambahkan secara bertahap P 5 ada kecenderungan meningkatkan hasil fermentasi hingga 19,056 terhadap kontrol. Hal sebaliknya terjadi pada penggunakan kultur campuran T. viride dan S. cerevisiae pada hidrolisat asam P 1 dan P 2 yang menunjukkan hasil produksi etanol yang relatif lebih kecil dari pada perlakuan kontrol, namun mempunyai rendemen yang lebih besar dari pada kontrol. Hal ini disebabkan oleh masih banyaknya sisa substrat yang tidak bisa dikonversi oleh mikroba menjadi etanol dan kemungkinan adanya senyawa-senyawa inhibitor sebagai hasil samping dari proses hidrolisis asam yang menyebabkan proses konversi menjadi lambat. Keadaan ini dapat dilihat dari penurunan total gula yang terjadi secara cepat pada masa-masa akhir proses fermentasi. Penggunaan kultur campuran Fusarium oxisporum dan S. cerevisiae melalui proses SFS untuk memproduksi etanol dengan menggunakan substrat hidrolisat sorgum menghasilkan 33,2 gL etanol dengan efisiensi fermentasi 68,60 dari etanol teoritis Christakopoulus et al . 1993. Produksi etanol selama 48 jam menggunakan kultur campuran khamir amilolitik S. diastaticus dan S. cerevisiae pada substrat pati mampu meningkatkan rendemen 48 dibandingkan dengan menggunakan kultur tunggal S. diastaticus dengan efisiensi fermentasi 93 dari etanol teoritis Verma 2000. Dalam proses SFS, kamir secara langsung memfermentasi produk gula yang dihasilkan dari proses hidrolisis oleh kompleks enzim selulolitik, sehingga laju 51 sakarifikasi dan rendemen etanol yang dihasilkan akan lebih tinggi. Selain itu, efek penghambatan selobiosa dan glukosa pada enzim dapat diminimalkan dengan mengurangi konsentrasi gula pada media Koesnandar 2001. Konsentrasi glukosa yang terlalu tinggi dapat menyebabkan depresi pada sistem metabolisme mitokondria dan sintesis enzim sel atau sering disebut dengan glucose effect Petrik et al. 1982. Gaur 2006 menyatakan bahwa pertumbuhan biomassa S. cerevisiae mengalami peningkatan sampai konsentrasi glukosa 20 bv dan pada konsentrasi 25 bv biomassa sel mengalami penurunan sekitar 30 . Menurut Ballesteros et al. 2004, proses SFS dapat lebih banyak menghasilkan rendemen etanol dibandingkan dengan proses hidrolisis dan fermentasi secara terpisah serta lebih sedikit membutuhkan enzim untuk hidrolisis. Resiko kemungkinan terjadinya kontaminasi dalam proses SFS lebih rendah dibandingkan dengan hidrolisis dan fermentasi terpisah karena adanya etanol yang langsung dihasilkan dari proses SFS Ohgren et al. 2006. Penggunaan enzim selulase baik filtrat kasar maupun komersial yang ditambahkan secara simultan pada tahap sakarifikasi ternyata dapat meningkatkan produksi etanol. Penggunaan filtrat enzim selulase kasar pada perlakuan P 4 dapat meningkatkan konsentrasi etanol dari 5,36 ± 0,63 bv menjadi 9,29 ± 1,76 bv atau meningkat 73,45 terhadap kontrol, sedangkan dengan penambahan selulase komersial konsentrasi etanol meningkat dari 5,36 ± 0,63 bv menjadi 8,92 ± 0,73 bv atau meningkat 66,42 terhadap kontrol. Sree et al. 2000 menyebutkan bahwa pada proses produksi etanol pada suhu 30 o C selama 48 jam menggunakan S. cerevisiae US 3 dengan konsentrasi glukosa yang berbeda-beda, diperoleh konsentrasi etanol tertinggi 9,30 bv dari substrat glukosa 20 , sedangkan pada konsentrasi glukosa 15 dan 25 diperoleh konsentrasi etanol masing-masing sebesar 7,25 bv dan 8,3 bv. Pada kondisi fermentasi yang sama, Gaur 2006 melaporkan bahwa kondisi terbaik untuk produksi etanol dari substrat molases dilakukan pada konsentrasi glukosa 20 dengan konsentrasi etanol 9,15 bv. Berdasarkan analisis ragam pengaruh perlakuan proses fermentasi terhadap konsentrasi serat kasar sisa, diperoleh bahwa perlakuan jenis proses fermentasi berpengaruh nyata terhadap konsentrasi serat kasar sisa p-value 0,05. Dari uji lanjut Duncan terlihat bahwa perlakuan P 1 dengan menggunakan hidrolisis asam yang 52 ditambahkan T. viride dan S. cerevisiae secara bertahap memberikan konsentrasi serat kasar terkecil yaitu 0,50 ± 0,03 bv. Perlakuan ini berbeda nyata dengan semua perlakuan yang lainnya Gambar 17, Lampiran 11. Konsentrasi serat kasar sisa tertinggi dihasilkan dari perlakuan P 7 yaitu 1,04 ± 0,04 bv. Hal ini disebabkan oleh perlakuan P 7 dalam proses hidrolisis dan fermentasinya hanya menggunakan enzim-enzim amilolitik tanpa penambahan enzim dan mikroba-mikroba selulolitik. Adanya penambahan enzim selulase kasar P 4 dan komersial P 6 memberikan pengaruh nyata terhadap penurunan kadar serat kasar sisa hidrolisis dan fermentasi. Ini diduga serat kasar telah dapat didegradasi oleh enzim selulolitik untuk meningkatkan konsentrasi glukosa sebagai substrat fermentasi Gambar 17. Penggunaan kultur campuran melalui proses SFS pada perlakuan P 3 menghasilkan konsentrasi serat kasar sisa yang tidak berbeda nyata dengan kontrol pada proses P 7 . Hal ini diduga mikroba selulolitik belum mampu menghasilkan selulase secara maksimal karena kondisi fermentasinya berubah dari kondisi aerob menjadi anaerobik melalui proses agitasi setelah fermentasi selama 24 jam. Jenie 1990 melaporkan bahwa untuk sintesis selulase diperlukan kondisi. Aktivitas enzim selulase T. reesei QM9414 sangat dipengaruhi oleh intensitas agitasi. Aktivitas maksimum dari enzim-enzim FP-ase, CMC-ase dan beta glukosidase diperoleh dibawah kondisi yang berbeda, yaitu masing-masing pada kecepatan agitasi 200, 300 dan 400 rpm. Agitasi intensif menyebabkan terjadinya reduksi semua komponen selulase. Pada perlakuan P 5, dimana penambahan kultur campuran dilakukan secara bertahap menunjukkan konsentrasi serat kasar sisa berbeda nyata dengan kontrol P 7 . Hal ini diduga pada proses sakarifikasi yang dilakukan selama 48 jam dan disertai proses agitasi, menyebabkan T. viride mampu menghasilkan selulase karena kondisi bersifat aerob. Pada proses fermentasi, ketika terjadi perubahan kondisi aerob menjadi anaerob setelah fermentasi 24 jam, enzim kasar selulase mampu menghidrolisis selulosa menjadi glukosa. 53 0.00 0.50 1.00 1.50 2.00 2.50 3.00 P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 Perlakuan K o n s e n tr a s i s e ra t k a s a r b v T o t. g u la 1 x b v Serat kasar sisa Tot. gula sisa Gambar 17 Pengaruh perlakuan jenis fermentasi terhadap konsentrasi serat kasar sisa dan total gula sisa Pada Gambar 17 terlihat bahwa perlakuan hidrolisis asam P 1 dan P 2 mempunyai konsentrasi serat kasar sisa relatif rendah yaitu masing-masing 0,50 ± 0,03 bv dan 0,77 ± 0,04 bv, namun mempunyai konsentrasi total gula sisa tertinggi. Ini menunjukkan bahwa substrat fermentasi belum dimanfaatkan secara maksimal yang diduga disebabkan oleh adanya senyawa-senyawa inhibitor pada proses fermentasi sebagai hasil dari hidrolisis asam. Adanya hidrolisis asam memungkinkan terjadinya pemecahan secara acak terhadap fraksi-fraksi serat seperti hemiselulosa. Dalam konsentrasi yang tidak terlalu tinggi hemiselulosa lebih mudah terhidrolisis dari pada selulosa. Untuk mengurangi terbentuknya senyawa-senyawa penghambat yang terbentuk pada hidrolisis asam karena adanya perbedaan karakteristik hidrolisis antara hemiselulosa dengan selulosa, maka dapat dilakukan hidrolisis asam secara bertahap yaitu : pertama, tahap yang melibatkan asam encer untuk menghidrolisis gula dari golongan pentosa yang terdapat pada fraksi hemiselulosa. Tahapan ini biasanya menggunakan 1 H 2 SO 4 pada suhu 80-120 o C selama 30-240 menit. Tahap kedua menggunakan asam dengan konsentrasi yang lebih tinggi untuk menghidrolisis gula yang berasal dari golongan heksosa seperti selulosa menjadi glukosa, biasanya dilakukan dengan konsentrasi H 2 SO 4 5-20 dengan suhu mendekati 180 o C. Dengan menggunakan hidolisis bertahap ini, maka diperoleh kondisi optimum untuk memaksimalkan hasil glukosa dan miminimumkan hasil samping yang tidak diinginkan Purwadi 2006; Soderstrom et al. 2003. 54 Taherzadeh dan Karimi 2007 juga melaporkan bahwa hidrolisis limbah lignoselulosik pada tahap awal dapat menggunakan H 2 SO 4 0,1-1 selama 5 menit pada suhu 180 o C atau 30-90 menit pada suhu 120 o C akan dapat menghidrolisis fraksi hemiselulosa dan hanya akan melonggarkan ikatan-ikatan selulosa. Pada tahap kedua hidrolisis fraksi selulosa dapat dilakukan pada suhu yang lebih tinggi yaitu 230 o C Hidrolisis bahan-bahan berlignoselulosik juga dapat dilakukan dengan menggunakan H 2 SO 4 0,75 pada suhu awal 50 o C dan kemudian ditingkatkan sampai suhu 190 o C menyebabkan 80 hemiselulosa terhidrolisis Chandel et al. 2007.

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5. 1 Kesimpulan

Alternatif terbaik teknologi bioproses pembuatan bioetanol dari ubi kayu dihasilkan dari proses fermentasi secara bertahap melalui proses likuifikasi dengan α-amilase, sakarifikasi dengan AMG dan selulase kasar, serta fermentasi menggunakan S. cerevisiae. Dengan proses ini mampu meningkatkan konsentrasi etanol dari 5,36 ± 0,63 bv menjadi 9,29 ± 1,76 bv atau meningkat 73,45 terhadap kontrol. Rendemen yang dihasilkan 34,77 vb atau untuk menghasilkan 1 liter etanol dibutuhkan sekitar 2,88 kg tepung ubi kayu, sedangkan efisiensi fermentasi dan pemanfaatan substrat masing-masing 51,03 dan 94,52 . Penggunaan kultur campuran T. viride, A. niger dan S. cerevisiae pada proses proses fermentasi substrat hidrolisat enzim secara SFS selama 4 hari dapat meningkatkan konsentrasi etanol etanol dari 5,36 ± 0,63 bv menjadi 7,41 ± 1,79 bv atau meningkat 38,29 dibandingkan dengan menggunakan kultur tunggal S. cerevisiae, sedangkan penggunaan kultur campuran yang ditambahkan secara bertahap pada proses fermentasi hanya mampu meningkatkan konsentrasi etanol dari 5,36 ± 0,63 bv menjadi 6,38 ± 0,8 3 bv atau meningkat 19,06 terhadap penggunaan kultur tunggal S. cerevisiae. Penggunaan kultur campuran T. viride dan S. cerevisiae pada proses fermentasi substrat hidrolisat asam baik yang dilakukan secara bertahap maupun secara sakarifikasi fermentasi simultan belum mampu meningkatkan konsentrasi etanol jika dibandingkan dengan kontrol. Adanya penambahan AMG komersial pada tahap sakarifikasi dapat meningkatkan konsentrasi etanol dari 5,36 ± 0,63 bv menjadi 8,92 ± 0,73 bv atau meningkat 64,42 terhadap kontrol.

5.2 Saran

Pada proses fermentasi menggunakan kultur campuran untuk substrat hidrolisat asam perlu dikaji waktu fermentasi yang lebih lama untuk memaksimalkan hidrolisis fraksi serat menjadi glukosa.