3 HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Karakteristik Koperasi
Koperasi Wana Lestari Menoreh dan Koperasi Wana Manunggal Lestari memiliki dua kondisi manajemen yang sangat berbeda. Perbedaan tersebut
terletak pada kondisi produksi kayu, kapasitas SDM, permodalan, dan dukungan lembaga pendamping Tabel 3.1.
Tabel 3.1 Perbandingan kondisi manajemen di dua koperasi.
Kondisi Koperasi
Wana Lestari Menoreh Wana Manunggal Lestari
Produksi Kayu
Menggunakan sertifikat FSC yang notabene lebih memiliki
permintaan pasar yang relatif baik. Sudah melakukan produksi
kayu bersertifikat sebesar 757.939 m
3
tahun. Belum melakukan produksi kayu.
Tidak adanya pasar kayu yang membutuhkan kayu bersertifikat
PHBML atau VLK menjadi faktor utama tidak berproduksinya
koperasi. Kemampuan
SDM Pengurus koperasi secara rutin
mendapatkan pelatihan manajemen, selain itu aktifnya
produksi menciptakan iklim kerja yang kondusif. Kondisi
tersebut sangat dimungkinkan karena optimalnya jaringan
kerja. Meskipun juga dilakukan
pelatihan manajemen, namun tidak aktifnya produksi koperasi
menciptakan iklim kerja yang tidak kondusif. Kondisi tersebut
sangat mempengaruhi performa pengurus dalam proses learning by
doing .
Permodalan Memiliki jaringan permodalan
dengan pihak pendamping dan koperasi simpan pinjam CU-
KATA dengan baik. Faktor kesamaan latar belakang pendir-
ian koperasi CUKATA menjadi poin utama dalam memperoleh
bantuan permodalan. Koperasi tidak memiliki jaringan
permodalan yang kuat. Kondisi itu terjadi karena desain pembentukan
koperasi tidak disertai fondasi bisnis yang baik menjadi.
Pemasukan koperasi sejauh ini hanya berupa program-program
yang diberikan lembaga pendamping dan berasal dari iuran
wajib anggota. Dukungan
Pendamping Lembaga pendamping koperasi
memiliki fokus yang sangat besar terhadap keberlangsungan
koperasi. Hal tersebut ditunjuk- kan dengan aktifnya pengurus
lembaga pendamping melaku- kan diskusi terkait operasional
koperasi. Lembaga pendamping koperasi
masih memandang koperasi sebagai site dalam sebuah
pelaksanaan program kegiatan lembaga pendamping.
Permasalahan mendasar yang dihadapi koperasi adalah bagaimana desain koperasi di awal pendirian bukan berdasarkan bisnis, namun bertujuan untuk
mengikuti program sertifikasi hutan rakyat. Fakta tersebut berimplikasi pada
proses produksi koperasi secara keseluruhan. Minimnya pasar kayu bersertifikat pada akhirnya mempengaruhi kondisi aliran uang kas koperasi. Kondisi itu
berdampak pada tidak maksimalnya peran koperasi bagi kemajuan bisnis hutan rakyat para anggota.
Gambar 3.1 Sketsa wilayah penelitian.
3.1.1 Koperasi Wana Lestari Menoreh
Sejarah Koperasi ini awalnya di bentuk melalui program Community Logging yang
di kembangkan oleh Yayasan Telapak. Kemudian pada bulan April tahun 2007, pihak Telapak bersama-sama lembaga lokal setempat yaitu Yayasan Bina Insan
Mandiri YABIMA dan lembaga Credit Union CU Kharisma bersepakat untuk melakukan sosialisasi Community Logging di desa dengan melibatkan
perangkatpemerintahan desa. Langkah awal berupa simulasi tentang materi pelatihan, penetapan lokasi sosialisasi di kecamatan Kalibawang dan Samigaluh
yang terdiri dari 11 desa yang dilakukan selama delapan bulan. Inisiasi ini berawal dari adanya kedekatan secara sosial, berupa kesamaan tempat tinggal, antara
anggota Telapak dan masyarakat.
Gambar 3.2 Peta wilayah pengelolaan KWLM dan lokasi sebaran anggota serta kondisi tutupan lahan.
Anggota Jumlah perkembangan anggota koperasi menunjukkan perkembangan yang
signifikan dalam kurun waktu tahun 2011 hingga 2013. Tahun 2011 koperasi memiliki jumlah anggota sebanyak 809 orang, kemudian pada tahun 2012
meningkat menjadi 1,088 anggota, dan pada akhir 2013 mendapatkan tambahan anggota sebanyak 605 orang menjadi 1,149 orang anggota. Tahun 2013 terdapat
anggota yang dinyatakan keluar dari keanggotaan karena meninggal dunia sebanyak empat orang. Pertambahan anggota tersebut juga secara langsung
menambah jumlah luasan areal pengelolaan. Sertifikasi Forest Stewardship Council FSC
Pengelolaan hutan rakyat yang dilakukan untuk proses menuju sertifikasi diprioritaskan di tiga kecamatan yaitu Kecamatan Samigaluh, Kalibawang, dan
Giripurwo, yang terdiri dari 15 desa dengan total potensi luas hutan rakyatnya 8,300 ha Tabel 6. Meskipun demikian sampai dengan lima tahun kedepan 2009
– 2013 KWLM hanya menargetkan capaian 5,000 ha. Koperasi KWLM
mendapatkan sertifikasi FSC dari The Rainforest Alliance pada tanggal 16 Maret 2011 dan berlaku hingga 16 Maret 2016. Saat ini koperasi telah melakukan
pengembangan pengelolaan hutan rakyat, yang awalnya seluas 280 ha tahun 2011 hingga kini mancapai 700.36 ha akhir tahun 2013. Koperasi Wana Lestari
Menoreh KWLM telah menyepakati pengelolaan hutan dan pengolahan kayunya untuk sertifikasi FSC yang terdiri dari empat jenis pohon yaitu Jati,
Mahoni, Sengon dan Sonokeling.
Tabel 3.2 Daftar desa anggota KWLM.
No Kecamatan Samigaluh
Kecamatan Kalibawang Kecamatan Girimulyo
1 Desa kebonharjo
Desa Banjaroya Desa Giripurwo
2 Desa Banjarsari
Desa Banjarharjo Desa Jatimulyo
3 Desa Pagerharjo
Desa Banjarasri Desa Pendoworejo
4 Desa Ngargosari
Desa Banjararum Desa Purwasari
5 Desa Gerbosari
6 Desa Sidoharjo
7 Desa Purwoharjo
Sejak tahun 2012 hingga 2013 terjadi penambahan anggota yang juga berarti penambahan luasan areal pengelolaan. Penambahan tersebut juga disertai
dengan penambahan areal yang disertifikasi. Maka dari itu apabila luasan penambahan tersebut memenuhi syarat untuk dilakukan sertifikasi, maka pihak
auditor akan kembali melakukan verifikasi. Syarat minimum dilakukan verifikasi tambahan pada umumnya disesuaikan melalui perhitungan antara nilai potensial
calon lahan dan biaya verifikasi. Apabila dirasa tidak mencukupi, maka anggota baru harus menunggu hingga terjadi akumulasi jumlah anggota baru dan lahan
yang cukup. Proses menunggu akumulasi jumlah tersebut dapat terjadi hingga satu tahun.
Pelaksanaan usaha kayu bersertifikat memilliki aturan main yang cukup ketat. Selain syarat terhadap jenis juga diberlakukan syarat minimum diameter di
masing-masing jenis dan kepastian legalitas kepemilikan lahan. Terkait batas minimum diameter kayu FSC, diameter minimum untuk jenis selain Jati Mahoni,
Sengon, dan Sonokeling yaitu sebesar 25 cm sedangkan untuk jenis Jati sebesar 10 cm. Kayu dengan besaran diameter yang tidak memenuhi syarat akan dijual
sebagai kayu non-sertifikasi. Secara keseluruhan, dengan adanya sertifikasi FSC maka jumlah produksi koperasi juga dibatasi. Jumlah produksi kayu koperasi
harus sesuai dengan Jatah Tebang Tahunan JTT. Jatah tebang JTT tersebut hanya berlaku pada produksi kayu bersertifikat Tabel 3.3.
Tabel 3.3 Jatah Tebang Tahunan JTT dan realisasi produksi kayu bersertifikat tahun 2013.
Jenis Kayu JTT m
3
Realisasi m
3
Jati 550
493.956 Mahoni
468 230.806
Sengon 62
30.769 Sonokeling
67 2.408
Total 757.939
Hingga tahun 2013, luas lahan yang telah diinventarisasi sejumlah 700.36 hektar. Dari seluruh areal, produksi pemanenan yang telah dilakukan sebanyak
937 pohon jati dengan volume 493.956 m
3
, mahoni sebanyak 433 pohon 230.806 m
3
, dan sengon albasia sebanyak 36 pohon 30.769 m
3
. Sesuai dengan peraturan koperasi yang berdasarkan pada ketentuan dari FSC, maka setiap
dilakukan penebangan harus disertai dengan penanaman kembali. Jumlah bibit yang telah ditanam oleh petani anggota pada tahun 2013 sebanyak 8,955 bibit.
3.1.2 Koperasi Wana Manunggal Lestari
Sejarah Permintaan kayu jati yang tinggi sejak tahun 1998 menyebabkan banyak
industri besar yang langsung mendatangi petani. Hal ini menyebabkan adanya penurunan kualitas kayu jati di Kabupaten Gunung Kidul. Melihat potensi
kerusakan tersebut maka, PKHR, ARUPA, dan Shorea mencoba menginisiasi sebuah alternatif dalam rangka mencapai hutan lestari. Momen tersebut
dimanfaatkan bersamaan dengan program pendampingan Gerakan Penghijauan Gerhan pada tahun 2004.
Gambar 3.3 Peta wilayah pengelolaan KWML. Program Gerhan tersebut dilaksanakan secara serentak pada tiga lokasi,
yaitu Desa Girisekar, Desa Dengok, dan Desa Kedungkeris. Kemudian secara efektif, pengelolaan hutan rakyat lestari dimulai pada tahun 2004 dengan program
Rancang Bangun Unit Manajemen Hutan Rakyat Lestari RB – UMHRL. Koperasi memperoleh sertifikat PHBML LEI pada September 2006 dan juga
sertifikat SVLK pada tahun 2011. Sertifikasi Verifikasi Legalitas Kayu VLK pada Hutan Hak yang diperoleh koperasi KWML seluas 594.15 hektar oleh
Lembaga Verifikasi Legalitas Kayu LVLK PT. Sucofindo. Wilayah tersebut meliputi tiga desa, yaitu Dengok, Girisekar, dan Kedungkeris. Pada tahun 2013
telah dilakukan penilikan pertama sekaligus dilakukan perluasan areal hutan rakyat yang disertifikasi seluas 642,10 hektar di tiga desa, meliputi Banyusoca,
Tepus, dan Nglegi. Sampai saat ini, total luas hutan rakyat VLK seluas 1,236.25 hektar yang meliputi enam desa, yaitu Dengok, Girisekar, Kedungkeris,
Banyusoca, Tepus, dan Nglegi.