Kapasitas Akses Petani Pola Kerja Sama Penjualan Kayu Petani Anggota Koperasi
sawmill merupakan manfaat yang sangat signifikan dalam konteks kemudahan
akses pemanfaatannya.
Gambar 3.5 Sawmill koperasi Wana Lestari Menoreh. Kehadiran sawmill ini merupakan manfaat dari adanya bantuan dari
pemerintah Jepang dalam membangun koperasi pada tahun 2013. Bantuan dana hibah tersebut merupakan bagian dari program Fasilitasi Pengembangan Usaha
Pengolahan Kayu Rakyat Bersertifikat Eco Label di Kabupaten Gunungkidul.
Program ini merupakan proyek bantuan hibah grassroots senilai USD 89,821 yang diberikan Pemerintah Jepang kepada Perhimpunan SHOREA. Proyek
tersebut telah ditandatangani oleh Pemerintah Jepang dan Perhimpunan SHOREA pada bulan Maret 2013. Pada proyek ini, dilaksanakan pembangunan sebuah
bengkel kerja pengolahan kayu dan penyediaan mesin gergaji serta pelatihan untuk meningkatkan sumber daya manusia di bidang kehutanan dalam upaya
untuk meningkatkan kehidupan masyarakat setempat, khususnya petani anggota koperasi.
Gambar 3.6 Sawmill koperasi Manunggal Lestari.
Fakta bahwa koperasi Wana Manunggal Lestari mampu membangun sawmill
milik koperasi tidak dapat dipandang sebagai keunggulan koperasi dalam membangun relasi. Latar belakang desain pembangunan koperasi menjadi poin
penting dalam menilai peforma koperasi. Pembangunan sawmill yang dimiliki koperasi Wana Manunggal Lestari merupakan hasil dari bangunan relasi lembaga
pendamping dengan jaringan pendanaan. Hal tersebut seperti yang diutarakan oleh ketua koperasi.
“Bantuan pembangunan koperasi sepenuhnya dilakukan oleh lembaga pendamping. Termasuk saat pengerjaan konstruksinya, kami
pengurus dan anggota hanya terima jadi.”
Sawmill yang dimiliki koperasi memberikan kemudahan bagi petani
anggota dalam mengolah kayu. Sawmill milik koperasi tidak memiliki aturan yang rumit bagi petani anggota. Sawmill pada umumnya mengharuskan petani untuk
menggunakan sawmill dengan jumlah tertentu. Selain itu petani terkendala dengan sistem antrian yang lebih mendahulukan pengusaha besar pada sawmill umum.
Setelah koperasi memiliki lokasi dan fasilitas yang memadai kemudian koperasi mampu membangun relasi dengan investor untuk membangun sawmill
menggunakan sistem bagi hasil. “Meskipun harganya sama, tapi kalau di koperasi jumlah yang bisa di
gesek diolah bebas dan ngantrinya tidak lama.” AR, anggota koperasi
“Koperasi berhasil membawa investor untuk membangun gesekan
sawmill. Ada bantuan dari pemerintah Jepang melalui lembaga Shorea pendamping. Alhamdulillah gesekan ini sangat membantu
petani anggota karena bisa dianggap ini juga milik anggota.” Ketua koperasi
Akses terhadap tenaga kerja Pengaruh kehadiran koperasi terhadap ketersediaan akses petani kepada
sumber tenaga kerja secara umum tidak terlalu signifikan. Namun manfaat adanya koperasi, selain dari munculnya alternatif pilihan, adalah tersedianya tenaga kerja
yang berkualitas. Kualitas tenaga kerja dalam konteks ini adalah kemampuan dalam melakukan proses pemanenan sesuai dengan metode yang tepat. Kendala
yang dihadapi petani anggota sebelum adanya koperasi adalah proses pemanenan yang kurang efisien karena tidak menggunakan sistem penebangan dan pembagian
batang bucking secara tepat. Namun ketersediaan tenaga kerja dari koperasi tersebut pada dasarnya
memiliki beban yang sama dengan tenaga kerja dari tengkulak. Beban tersebut berupa biaya produksi yang pada akhirnya akan dibebankan pada petani melalui
harga penjualan. Meskipun demikian, apabila petani menggunakan tenaga kerja dari koperasi maka besaran biaya tersebut dihitung dan disepakati secara
transparan. Proses tersebut merupakan bagian dari tujuan koperasi dalam memberikan pengetahuan bagi anggotanya. Besaran biaya tenaga kerja yang
ditawarkan oleh tengkulak pada umumnya sudah termasuk di dalam harga penawaran.
Perhitungan biaya tenaga kerja yang tidak transparan tersebut mem- pengaruhi keuntungan yang diterima petani pada masa sebelum koperasi berdiri.
Petani anggota koperasi Wana Lestari Menoreh memiliki akses penggunaan tenaga kerja yang lebih mapan established dibandingkan petani anggota koperasi
Wana Manunggal Lestari. Kondisi tersebut merupakan dampak dari tidak optimalnya aktivitas produksi kayu koperasi Wana Manunggal Lestari.
Pembiayaan tenaga kerja yang ditanggung oleh petani anggota koperasi Wana Lestari Menoreh akan memperoleh kompensasi dari adanya premium price.
Sedangkan bagi anggota koperasi wana manunggal lestari, kompensasi tersebut belum muncul.
Akses terhadap pengetahuan dan informasi Manfaat yang dirasakan paling signifikan adalah adanya akses pengetahuan
dan informasi Nurrochmat et al. 2013. Kehadiran koperasi dirasakan oleh petani mampu menambah akses dalam mencari pengetahuan dan informasi. Pengetahuan
yang diberikan koperasi kepada petani terkait pada metode penaksiran potensi pohon dan standar kualitas kayu. Sebelum mengenal metode yang tepat dalam
penaksiran potensi, petani menghadapi kendala dalam melakukan transaksi penjualan kayu. Tengkulak melakukan penaksiran dengan metode perkiraan tanpa
ada pengukuran secara nyata dan petani dipaksa untuk menerima harga penawaran dari tengkulak tanpa ada kejelasan mengenai potensi kayu yang akan ditebang.
Metode tersebut dirasakan sangat merugikan petani karena mempengaruhi jumlah keuntungan yang diterima. Selain metode penaksiran, petani juga telah mampu
memperoleh pengetahuan dalam rangka memaksimalkan nilai jual melalui pengetahuan dalam hal bucking pembagian batang dan grading standar kualitas
kayu. Pengetahuan penaksiran potensi, bucking dan grading akan membantu petani dalam memperkirakan nilai keuntungan yang akan diterima. Pengetahuan
teknis budidaya dan informasi dinamika pasar kayu akan diberikan oleh koperasi secara aktual kepada petani. Relasi yang terbangun antara koperasi dan industri
kayu, baik pasar bersertifikat maupun non-sertifikat, mampu memberikan pilihan kepada petani untuk menjual kayu. Hal ini akan memberikan keleluasaan bagi
petani untuk membuat keputusan yang sesuai dengan kebutuhan. Meskipun koperasi memiliki aturan yang melarang anggotanya menjual kayu kepada pihak
lain, namun kondisi karakteristik kebutuhan rumah tangga petani subsisten yang memaksa untuk melonggarkan aturan tersebut. Pilihan tersebut menyebabkan
petani untuk membuat sebuah rencana bisnis. Penjualan kayu kepada tengkulak dapat dilakukan apabila terjadi momen kebutuhan yang mendesak, sedangkan
penjualan kepada koperasi digunakan untuk memenuhi kebutuhan yang dapat direncanakan. Fakta tersebut menggambarkan bahwa premium price merupakan
faktor utama yang mempengaruhi petani untuk menjual kayu kepada koperasi. Mudahnya petani untuk mengakses pengetahuaninformasi dan pilihan
pasar mampu memberikan iklim pengusahaan hutan rakyat yang relatif sehat Tabel 3.7. Iklim pengusahaan yang sehat tersebut mencatat bahwa terdapat
penyesuaian oleh tengkulak terhadap tingkat harga penawaran. Harga penawaran yang dilakukan tengkulak sebelum hadirnya koperasi menggunakan sistem
penaksiran per pohon, yang berkisar Rp 800,000 – Rp 1,000,000pohon.
Penaksiran tersebut hanya dilakukan berdasarkan besar atau kecilnya pohon. Setelah petani memiliki kemampuan untuk mengukur dan menilai potensi pohon,
maka penaksiran yang dilakukan tengkulak saat ini juga dengan menggunakan pengukuran fisik. Harga pasar juga menjadi patokan dalam negosiasi transaksi
penjualan pohon dengan menggunakan harga per meter kubik. Tabel 3.7 Dampak meningkatnya pengetahuan dan informasi pengelolaan hutan
rakyat kepada iklim usaha.
Perubahan Sebelum
Setelah Dampak
Sistem penaksiran
potensi Perkiraan subyekif
dari tengkulak. Menimbulkan
ketidaksesuaian antara keuntungan
dan potensi kayu. Petani mampu me-
naksir potensi pohon sebelum dilakukan
proses negosiasi. Tengkulak
melakukan pengukuran potensi
tebangan dengan metode yang sesuai.
Sistem penjualan
kayu Tengkulak melaku-
kan penawaran harga dengan satuan per
pohon atau per kebun.
Petani mampu mela- kukan negosiasi
untuk melakukan transaksi berdasarkan
harga per kubik dan kualitas log.
Keuntungan petani diperoleh sesuai ku-
bikasi dan kualitas kayu yang dimiliki-
nya. Perhitungan harga kini berda-
sarkan kelas mutu kayu grading
Tingkat harga
penawaran Penawaran dilakukan
atas dasar perhi- tungan tengkulak
yang tidak diketahui petani. Menciptakan
gap antara harga penawaran dan harga
pasar. Petani mampu mela-
kukan negosiasi harga karena memi-
liki patokan terhadap harga pada setiap
kualitas kayu. Meminimalisir gap
harga penawaran Harga yang
ditawarkan oleh tengkulak mendekati
harga pasar. Sebelum ada koperasi harga
Rp 900rbm
3
dan setelah ada koperasi
+ 1.8 Jutam
3
Akses terhadap permodalan Salah satu alasan petani bergabung menjadi anggota koperasi adalah faktor
ekonomi. Petani memiliki harapan yang tinggi bahwa koperasi mampu memberikan alternatif solusi dalam permasalahan finansial. Petani menyadari
bahwa relasi antara petani dan rentenir merupakan solusi yang memiliki resiko tinggi. Resiko yang dihadapi petani adalah tingginya bunga pinjaman meskipun
sistem pencairan uang pinjaman sangat mudah. Petani berharap bahwa dengan adanya koperasi, maka resiko tersebut dapat ditekan.
Koperasi Wana Lestari Menoreh dan koperasi Wana Manunggal Lestari memiliki fasilitas peminjaman uang bagi para anggotanya. Namun diantara kedua
koperasi tersebut terdapat perbedaan yang mendasar dalam mekanisme organisasinya. Koperasi Wana Lestari Menoreh memiliki relasi dengan koperasi
simpan pinjam CUKATA. Syarat utama untuk dapat melakukan peminjaman adalah harus menjadi anggota CUKATA. Maka dari itu koperasi memiliki aturan
yang menyatakan bahwa anggota koperasi Wana Lestari Menoreh juga merupakan
anggota CUKATA. Peminjaman yang dilakukan anggota koperasi dibebankan bunga rendah 5 sesuai dengan aturan yang berlaku.
Namun kondisi tersebut justru menimbulkan permasalahan yang kompleks. Permasalahan muncul saat konteks ketersediaan dan kepemilikan anggaran uang
pinjaman. Perbedaan aset antara koperasi CUKATA dan koperasi Wana Manunggal Lestari menimbulkan perdebatan terkait jaminan agunan yang
digunakan untuk melakukan peminjaman. Kondisi yang kini terjadi adalah besarnya hutang koperasi wana lestari menoreh kepada koperasi cukata, yang
pada akhirnya terjadi kredit macet. CUKATA kemudian melakukan penyesuaian terhadap persyaratan peminjaman. Dampak dari penyesuaian tersebut membuat
petani tidak lagi dapat menggunakan pohon sebagai agunan. Kondisi yang kurang kondusif juga terjadi karena keterbatasan koperasi Wana Lestari Menoreh dalam
penyediaan uang kas yang dapat di pinjam oleh anggota. Koperasi Wana Manunggal Lestari memiliki fasilitas simpan pinjam yang
langsung dikelola koperasi tidak terpisah. Sistem yang digunakan merupakan adaptasi dari sistem tengkulak pada umumnya, yaitu ijon. Petani anggota koperasi
dapat menggunakan pohon sebagai agunan. Besaran pinjaman disesuaikan dengan potensi pohon agunan dan lamanya pinjaman tersebut. Namun berbeda dengan
kondisi koperasi menoreh yang terkendala dengan berbedanya lembaga pinjaman, kendala yang dihadapi koperasi Wana Manunggal Lestari terletak pada gagal
produksinya kayu bersertifikat. Dampak dari tidak bersedianya koperasi untuk melakukan produksi kayu non sertifikat menyebabkan status koperasi menjadi
idle . Status koperasi yang tidak berjalan berimplikasi pada tidak tersedianya uang
kas yang siap digunakan ready stock.