Kapasitas Akses Petani Pola Kerja Sama Penjualan Kayu Petani Anggota Koperasi

sawmill merupakan manfaat yang sangat signifikan dalam konteks kemudahan akses pemanfaatannya. Gambar 3.5 Sawmill koperasi Wana Lestari Menoreh. Kehadiran sawmill ini merupakan manfaat dari adanya bantuan dari pemerintah Jepang dalam membangun koperasi pada tahun 2013. Bantuan dana hibah tersebut merupakan bagian dari program Fasilitasi Pengembangan Usaha Pengolahan Kayu Rakyat Bersertifikat Eco Label di Kabupaten Gunungkidul. Program ini merupakan proyek bantuan hibah grassroots senilai USD 89,821 yang diberikan Pemerintah Jepang kepada Perhimpunan SHOREA. Proyek tersebut telah ditandatangani oleh Pemerintah Jepang dan Perhimpunan SHOREA pada bulan Maret 2013. Pada proyek ini, dilaksanakan pembangunan sebuah bengkel kerja pengolahan kayu dan penyediaan mesin gergaji serta pelatihan untuk meningkatkan sumber daya manusia di bidang kehutanan dalam upaya untuk meningkatkan kehidupan masyarakat setempat, khususnya petani anggota koperasi. Gambar 3.6 Sawmill koperasi Manunggal Lestari. Fakta bahwa koperasi Wana Manunggal Lestari mampu membangun sawmill milik koperasi tidak dapat dipandang sebagai keunggulan koperasi dalam membangun relasi. Latar belakang desain pembangunan koperasi menjadi poin penting dalam menilai peforma koperasi. Pembangunan sawmill yang dimiliki koperasi Wana Manunggal Lestari merupakan hasil dari bangunan relasi lembaga pendamping dengan jaringan pendanaan. Hal tersebut seperti yang diutarakan oleh ketua koperasi. “Bantuan pembangunan koperasi sepenuhnya dilakukan oleh lembaga pendamping. Termasuk saat pengerjaan konstruksinya, kami pengurus dan anggota hanya terima jadi.” Sawmill yang dimiliki koperasi memberikan kemudahan bagi petani anggota dalam mengolah kayu. Sawmill milik koperasi tidak memiliki aturan yang rumit bagi petani anggota. Sawmill pada umumnya mengharuskan petani untuk menggunakan sawmill dengan jumlah tertentu. Selain itu petani terkendala dengan sistem antrian yang lebih mendahulukan pengusaha besar pada sawmill umum. Setelah koperasi memiliki lokasi dan fasilitas yang memadai kemudian koperasi mampu membangun relasi dengan investor untuk membangun sawmill menggunakan sistem bagi hasil. “Meskipun harganya sama, tapi kalau di koperasi jumlah yang bisa di gesek diolah bebas dan ngantrinya tidak lama.” AR, anggota koperasi “Koperasi berhasil membawa investor untuk membangun gesekan sawmill. Ada bantuan dari pemerintah Jepang melalui lembaga Shorea pendamping. Alhamdulillah gesekan ini sangat membantu petani anggota karena bisa dianggap ini juga milik anggota.” Ketua koperasi Akses terhadap tenaga kerja Pengaruh kehadiran koperasi terhadap ketersediaan akses petani kepada sumber tenaga kerja secara umum tidak terlalu signifikan. Namun manfaat adanya koperasi, selain dari munculnya alternatif pilihan, adalah tersedianya tenaga kerja yang berkualitas. Kualitas tenaga kerja dalam konteks ini adalah kemampuan dalam melakukan proses pemanenan sesuai dengan metode yang tepat. Kendala yang dihadapi petani anggota sebelum adanya koperasi adalah proses pemanenan yang kurang efisien karena tidak menggunakan sistem penebangan dan pembagian batang bucking secara tepat. Namun ketersediaan tenaga kerja dari koperasi tersebut pada dasarnya memiliki beban yang sama dengan tenaga kerja dari tengkulak. Beban tersebut berupa biaya produksi yang pada akhirnya akan dibebankan pada petani melalui harga penjualan. Meskipun demikian, apabila petani menggunakan tenaga kerja dari koperasi maka besaran biaya tersebut dihitung dan disepakati secara transparan. Proses tersebut merupakan bagian dari tujuan koperasi dalam memberikan pengetahuan bagi anggotanya. Besaran biaya tenaga kerja yang ditawarkan oleh tengkulak pada umumnya sudah termasuk di dalam harga penawaran. Perhitungan biaya tenaga kerja yang tidak transparan tersebut mem- pengaruhi keuntungan yang diterima petani pada masa sebelum koperasi berdiri. Petani anggota koperasi Wana Lestari Menoreh memiliki akses penggunaan tenaga kerja yang lebih mapan established dibandingkan petani anggota koperasi Wana Manunggal Lestari. Kondisi tersebut merupakan dampak dari tidak optimalnya aktivitas produksi kayu koperasi Wana Manunggal Lestari. Pembiayaan tenaga kerja yang ditanggung oleh petani anggota koperasi Wana Lestari Menoreh akan memperoleh kompensasi dari adanya premium price. Sedangkan bagi anggota koperasi wana manunggal lestari, kompensasi tersebut belum muncul. Akses terhadap pengetahuan dan informasi Manfaat yang dirasakan paling signifikan adalah adanya akses pengetahuan dan informasi Nurrochmat et al. 2013. Kehadiran koperasi dirasakan oleh petani mampu menambah akses dalam mencari pengetahuan dan informasi. Pengetahuan yang diberikan koperasi kepada petani terkait pada metode penaksiran potensi pohon dan standar kualitas kayu. Sebelum mengenal metode yang tepat dalam penaksiran potensi, petani menghadapi kendala dalam melakukan transaksi penjualan kayu. Tengkulak melakukan penaksiran dengan metode perkiraan tanpa ada pengukuran secara nyata dan petani dipaksa untuk menerima harga penawaran dari tengkulak tanpa ada kejelasan mengenai potensi kayu yang akan ditebang. Metode tersebut dirasakan sangat merugikan petani karena mempengaruhi jumlah keuntungan yang diterima. Selain metode penaksiran, petani juga telah mampu memperoleh pengetahuan dalam rangka memaksimalkan nilai jual melalui pengetahuan dalam hal bucking pembagian batang dan grading standar kualitas kayu. Pengetahuan penaksiran potensi, bucking dan grading akan membantu petani dalam memperkirakan nilai keuntungan yang akan diterima. Pengetahuan teknis budidaya dan informasi dinamika pasar kayu akan diberikan oleh koperasi secara aktual kepada petani. Relasi yang terbangun antara koperasi dan industri kayu, baik pasar bersertifikat maupun non-sertifikat, mampu memberikan pilihan kepada petani untuk menjual kayu. Hal ini akan memberikan keleluasaan bagi petani untuk membuat keputusan yang sesuai dengan kebutuhan. Meskipun koperasi memiliki aturan yang melarang anggotanya menjual kayu kepada pihak lain, namun kondisi karakteristik kebutuhan rumah tangga petani subsisten yang memaksa untuk melonggarkan aturan tersebut. Pilihan tersebut menyebabkan petani untuk membuat sebuah rencana bisnis. Penjualan kayu kepada tengkulak dapat dilakukan apabila terjadi momen kebutuhan yang mendesak, sedangkan penjualan kepada koperasi digunakan untuk memenuhi kebutuhan yang dapat direncanakan. Fakta tersebut menggambarkan bahwa premium price merupakan faktor utama yang mempengaruhi petani untuk menjual kayu kepada koperasi. Mudahnya petani untuk mengakses pengetahuaninformasi dan pilihan pasar mampu memberikan iklim pengusahaan hutan rakyat yang relatif sehat Tabel 3.7. Iklim pengusahaan yang sehat tersebut mencatat bahwa terdapat penyesuaian oleh tengkulak terhadap tingkat harga penawaran. Harga penawaran yang dilakukan tengkulak sebelum hadirnya koperasi menggunakan sistem penaksiran per pohon, yang berkisar Rp 800,000 – Rp 1,000,000pohon. Penaksiran tersebut hanya dilakukan berdasarkan besar atau kecilnya pohon. Setelah petani memiliki kemampuan untuk mengukur dan menilai potensi pohon, maka penaksiran yang dilakukan tengkulak saat ini juga dengan menggunakan pengukuran fisik. Harga pasar juga menjadi patokan dalam negosiasi transaksi penjualan pohon dengan menggunakan harga per meter kubik. Tabel 3.7 Dampak meningkatnya pengetahuan dan informasi pengelolaan hutan rakyat kepada iklim usaha. Perubahan Sebelum Setelah Dampak Sistem penaksiran potensi Perkiraan subyekif dari tengkulak. Menimbulkan ketidaksesuaian antara keuntungan dan potensi kayu. Petani mampu me- naksir potensi pohon sebelum dilakukan proses negosiasi. Tengkulak melakukan pengukuran potensi tebangan dengan metode yang sesuai. Sistem penjualan kayu Tengkulak melaku- kan penawaran harga dengan satuan per pohon atau per kebun. Petani mampu mela- kukan negosiasi untuk melakukan transaksi berdasarkan harga per kubik dan kualitas log. Keuntungan petani diperoleh sesuai ku- bikasi dan kualitas kayu yang dimiliki- nya. Perhitungan harga kini berda- sarkan kelas mutu kayu grading Tingkat harga penawaran Penawaran dilakukan atas dasar perhi- tungan tengkulak yang tidak diketahui petani. Menciptakan gap antara harga penawaran dan harga pasar. Petani mampu mela- kukan negosiasi harga karena memi- liki patokan terhadap harga pada setiap kualitas kayu. Meminimalisir gap harga penawaran Harga yang ditawarkan oleh tengkulak mendekati harga pasar. Sebelum ada koperasi harga Rp 900rbm 3 dan setelah ada koperasi + 1.8 Jutam 3 Akses terhadap permodalan Salah satu alasan petani bergabung menjadi anggota koperasi adalah faktor ekonomi. Petani memiliki harapan yang tinggi bahwa koperasi mampu memberikan alternatif solusi dalam permasalahan finansial. Petani menyadari bahwa relasi antara petani dan rentenir merupakan solusi yang memiliki resiko tinggi. Resiko yang dihadapi petani adalah tingginya bunga pinjaman meskipun sistem pencairan uang pinjaman sangat mudah. Petani berharap bahwa dengan adanya koperasi, maka resiko tersebut dapat ditekan. Koperasi Wana Lestari Menoreh dan koperasi Wana Manunggal Lestari memiliki fasilitas peminjaman uang bagi para anggotanya. Namun diantara kedua koperasi tersebut terdapat perbedaan yang mendasar dalam mekanisme organisasinya. Koperasi Wana Lestari Menoreh memiliki relasi dengan koperasi simpan pinjam CUKATA. Syarat utama untuk dapat melakukan peminjaman adalah harus menjadi anggota CUKATA. Maka dari itu koperasi memiliki aturan yang menyatakan bahwa anggota koperasi Wana Lestari Menoreh juga merupakan anggota CUKATA. Peminjaman yang dilakukan anggota koperasi dibebankan bunga rendah 5 sesuai dengan aturan yang berlaku. Namun kondisi tersebut justru menimbulkan permasalahan yang kompleks. Permasalahan muncul saat konteks ketersediaan dan kepemilikan anggaran uang pinjaman. Perbedaan aset antara koperasi CUKATA dan koperasi Wana Manunggal Lestari menimbulkan perdebatan terkait jaminan agunan yang digunakan untuk melakukan peminjaman. Kondisi yang kini terjadi adalah besarnya hutang koperasi wana lestari menoreh kepada koperasi cukata, yang pada akhirnya terjadi kredit macet. CUKATA kemudian melakukan penyesuaian terhadap persyaratan peminjaman. Dampak dari penyesuaian tersebut membuat petani tidak lagi dapat menggunakan pohon sebagai agunan. Kondisi yang kurang kondusif juga terjadi karena keterbatasan koperasi Wana Lestari Menoreh dalam penyediaan uang kas yang dapat di pinjam oleh anggota. Koperasi Wana Manunggal Lestari memiliki fasilitas simpan pinjam yang langsung dikelola koperasi tidak terpisah. Sistem yang digunakan merupakan adaptasi dari sistem tengkulak pada umumnya, yaitu ijon. Petani anggota koperasi dapat menggunakan pohon sebagai agunan. Besaran pinjaman disesuaikan dengan potensi pohon agunan dan lamanya pinjaman tersebut. Namun berbeda dengan kondisi koperasi menoreh yang terkendala dengan berbedanya lembaga pinjaman, kendala yang dihadapi koperasi Wana Manunggal Lestari terletak pada gagal produksinya kayu bersertifikat. Dampak dari tidak bersedianya koperasi untuk melakukan produksi kayu non sertifikat menyebabkan status koperasi menjadi idle . Status koperasi yang tidak berjalan berimplikasi pada tidak tersedianya uang kas yang siap digunakan ready stock.

3.2.2 Biaya Transaksi

Efisiensi dalam pengusahaan hutan rakyat dipengaruhi oleh desain kelembagaan. Sebuah proses transaksi harus mengandung tiga prinsip, yaitu konflik, saling menguntungkan, dan ketertiban Commons 1932 dalam Yustika 2008. Ketiga prinsip tersebut pada dasarnya sangat tergantung dari bagaimana pola hubungan diantara pihak-pihak yang terlibat dalam sebuah transaksi. Pihak- pihak tersebut memiliki keterbatasan informasi bounded rationality dan perilaku oportunis sehingga menimbulkan biaya transaksi yang tinggi. Besaran biaya transaksi akan berbeda pada masing-masing konteks dan lokasi transaksi Lampiran 1 dan Lampiran 2. Analisis biaya transaksi dilakukan dalam aspek biaya pencarian informasi searching cost, biaya pelaksanaan kerjasama coordination cost, dan biaya penegakan perjanjian kontrak enforcement cost. Biaya pencarian informasi dan coordination cost merupakan biaya ex ante, sedangkan enforcement cost merupakan biaya ex post. Petani memiliki dua alternatif dalam bekerja sama untuk menjual kayu, yaitu dengan koperasi atau tengkulak. Kedua koperasi ini memiliki perbedaan mendasar dalam jenis sertifikasi yang digunakan. Kedua jenis ini juga memiliki iklim pasar yang berbeda. Koperasi Wana Lestari Menoreh menggunakan sertifikasi FSC dan Koperasi Wana Manunggal Lestari manggunakan PHBML – LEI dan VLK mandatory. Pilihan kerjasama penjualan kayu ini akan memberikan biaya transaksi yang berbeda. Anggota koperasi memiliki kewajiban untuk mengikuti segala peraturan dan harus berkoordinasi secara intensif. Beban tanggung jawab anggota koperasi pada dasarnya terdiri dari kewajiban untuk mengikuti rapatkegiatan koperasi dan pemenuhan administrasi dalam satu tahun. Petani anggota koperasi Wana Lestari Menoreh harus mengeluarkan biaya sebesar Rp 282,450, sedangkan petani Wana Manunggal Lestari Rp 138,750. Biaya transaksi yang harus ditanggung oleh petani terdiri dari tiga variabel biaya, yang mana biaya tersebut memiliki proporsi yang berbeda-beda untuk setiap variabel biaya Tabel 3.8 dan Tabel 3.9. Tabel 3.8 Proporsi biaya transaksi petani dalam bekerja sama dengan koperasi. Jenis Biaya Wana Lestari Menoreh Wana Manunggal Lestari Jumlah Rp Proporsi Jumlah Rp Proporsi Information Cost 68,250.00 24.16 45,150.00 32.54 Coordination Cost 187,550.00 66.40 66,300.00 47.78 Enforcement Cost 26,650.00 9.44 27,300.00 19.68 TrC 282,450.00 100 138,750.00 100 Sumber: data primer. Hasil observasi lapangan menunjukan bahwa dalam satu tahun kegiatan koperasi, sebagian besar petani anggota hanya melakukan satu kali transaksi penjualan kayu ke koperasi. Kondisi tersebut terjadi karena rata-rata jumlah tegakan yang dimiliki petani hanya terletak di areal pekarangan rumah. Selain itu momen kebutuhan yang terencana tidak mendesak sangat jarang terjadi. Hasil analisis dari kedua pola kerja sama petani dengan koperasi menunjukan bahwa beban biaya terbesar merupakan biaya operasional, 66.40 untuk petani anggota koperasi Wana Lestari Menoreh dan 47.78 untuk petani anggota koperasi Wana Manunggal Lestari. Biaya ini merupakan biaya yang harus dikeluarkan petani sebagai konsekuensi menjadi anggota koperasi. Petani anggota koperasi Wana Lestari Menoreh harus mengeluarkan biaya operasional sebesar Rp 187,550, sedangkan beban biaya operasional petani anggota koperasi Wana Manunggal Lestari sebesar Rp 66,300. Perbedaan ini terjadi karena faktor iklim bisnis kayu bersertifikat. Sedangkan biaya transaksi yang harus dikeluarkan oleh petani dalam bekerja sama dengan tengkulak hanya sebesar 4.62 21 kali dari biaya kerja sama petani dengan koperasi dan untuk anggota koperasi Wana Manunggal Lestari sebesar 3.82 26 kali dari biaya kerja sama petani dengan koperasi . Tabel 3.9 Proporsi biaya transaksi petani anggota koperasi dalam bekerja sama dengan tengkulak. Jenis Biaya Anggota Wana Lestari Menoreh Anggota Wana Manunggal Lestari Jumlah Rp Proporsi Jumlah Rp Proporsi Information Cost 9,600.00 73.56 1,150.00 21.70 Coordination Cost 2,150.00 16.48 2,000.00 37.74 Enforcement Cost 1,300.00 9.96 2,150.00 40.57 TrC 13,050.00 100 5,300.00 100 Koperasi Wana Lestari Menoreh pada tahun 2013 mampu memproduksi kayu bersertifikat sebanyak 757.939 m 3 . Produksi kayu jati bersertifikat sendiri sebesar 493.956 m 3 atau 65.17 dari total produksi. Sedangkan koperasi Wana Manunggal Lestari belum melakukan produksi kayu bersertifikat. Perbedaan iklim tersebut tejadi karena faktor iklim pasar kayu bersertifikat PHBML dan VLK yang belum seoptimal FSC milik koperasi Wana Lestari Menoreh. Coordination Cost merupakan biaya yang keluar untuk melaksanakan kerjasama, dalam hal ini dapat dipahami juga sebagai biaya operasional dengan koperasi. Biaya koordinasi pelaksanaan kejasama menjadi biaya terbesar karena adanya unsur iuran wajib bulanan dan share keuntungan penjualan kayu kepada koperasi. Unsur biaya tersebut menjadi salah satu bagian utama bagi koperasi dalam rangka menjalankan manajemen koperasi dan pelaksanaan sertifikasi hutan. Sistem yang harus dijalankan dalam sertifikasi kayu memiliki share distribusi pembiayaan mulai dari tahap persiapan hingga penilikan. Sertifikasi FSC yang dimiliki oleh koperasi Wana Lestari Menoreh berlaku untuk lima tahun. Pembiayaan sertifikasi ini berasal dari dua sumber, yaitu dari lembaga pendamping beserta donor dan hasil dari keuntungan bisnis koperasi. Termasuk di dalam keuntungan koperasi adalah iuran anggota, potongan hasil penjualan kayu oleh petani share sebesar satu persen dan keuntungan produksi kayu baik kayu bulat maupun olahan. Tabel 3.10 Biaya sertifikasi FSC oleh koperasi Wana Lestari Menoreh. Tahapan Kisaran Biaya Rp Masa Berlaku Thn Biaya per tahun RpThn Persiapan 416,667,000.00 - 83,333,400.00 Penilaian 156,250,000.00 5 31,250,000.00 Penilikan 78,125,000.00 1 78,125,000.00 Jumlah 651,042,000.00 192,708,400.00 Pembiayaan sertifikasi yang berasal dari lembaga pendamping beserta donor dilakukan secara penuh dalam tahap persiapan. Tahap ini membutuhkan biaya terbesar dibandingkan dengan tahap yang lain Tabel 3.10. Pembiayaan pada tahap persiapan tersebut hanya berlaku saat pertama kali sertifikasi, sedangkan tahap persiapan berikutnya setelah masa berlaku sertifkasi habis akan ditanggung secara mandiri oleh koperasi. Sebagian sumber pembiayaan sertifikasi hutan oleh koperasi Wana Lestari Menoreh dilakukan secara swadaya Tabel 3.11. Share produksi petani anggota sebesar satu persen dari setiap transaksi penjualan kayu. Biaya sertifikasi secara keseluruhan mencapai Rp 192,708,400 per tahun. Biaya tersebut menjadi beban yang ditanggung oleh koperasi dengan share kepada petani. Petani berperan dalam pembiayaan sertifikasi melalui bagi hasil produksi, Iuran pokok anggota, dan Iuran wajib bulanan. Share terbesar yang dilakukan oleh petani adalah Iuran wajib bulanan sebesar Rp 10,000. Iuran wajib tersebut mampu memberikan pendapatan koperasi sebesar Rp 137,880,000 per tahun atau 71.55 dari total kebutuhan biaya sertifikasi. Pembiayaan yang dibutuhkan koperasi untuk sertifikasi hutan dalam jumlah yang besar memberikan dampak yang signifikan terhadap biaya transaksi. Meskipun pada prinsipnya hasil dari iuran dan keuntungan koperasi akan masuk dalam perhitungan Sisa Hasil Usaha SHU, namun pada prakteknya petani belum menerima hasil SHU tahunan yang proporsial. SHU yang diterima petani pada tahun 2012 sebesar Rp 61,514.41Orang. Optimalisasi pembagian SHU terkendala pada minimnya partisipasi anggota dalam melakukan iuran sukarela dan masih tingginya hutang koperasi kepada salah satu rekanan koperasi dalam pengolahan kayu. Tabel 3.11 Sumber pembiayaan sertifikasi koperasi Wana Lestari Menoreh. Share pembiayaan sertifikasi hanya dapat dilakukan secara mandiri oleh koperasi apabila koperasi telah dirasakan mampu. Kondisi ini terjadi pada koperasi Wana Manunggal Lestari. Selama ini beban biaya pelaksanaan sertifikasi ditanggung oleh lembaga donor melalui lembaga pendamping. Pasar kayu bersertifkat PHBML dan VLK merupakan faktor utama belum berproduksinya koperasi Wana Manunggal Lestari. Koperasi sangat keberatan bila harus melakukan penjualan kayu tanpa ada premium price. Tanpa premium price, koperasi akan sangat kesulitan jika harus menanggung beban biaya pelaksanaan sertifikasi. “Kami tidak akan menjual kayu apabila sertifikasi yang kami miliki tidak dihargai sebagaimana mestinya. Jika kami menjual kayu tanpa ada premium price, maka kami hanya akan meraskan kerugian. Proses sertifikasi sangat memakan tenaga dan biaya.” Ketua Koperasi Wana Manunggal Lestari Tabel 3.12 Rincian biaya sertifikasi koperasi Wana Manunggal Lestari. Tahapan PHBML SVLK Kisaran Biaya IDR Masa Berlaku Thn Kisaran Biaya IDR Masa Berlaku Thn Persiapan 120,000,000.00 15 60,000,000.00 3 Penilaian 35,000,000.00 15 30,000,000.00 3 Penilikan 20,000,000.00 5 15,000,000.00 1 Adanya biaya transaksi akan memberikan pengaruh terhadap keuntungan riil yang akan diterima oleh petani. Setiap pilihan, baik koperasi maupun tengkulak, mempunyai biaya transaksi. Pilihan petani untuk bekerja sama dengan tengkulak akan memberikan biaya transaksi sebesar Rp 282,450 untuk anggota koperasi Wana Lestari Menoreh dan Rp 138,750 untuk anggota koperasi Wana Manunggal Sumber Besaran Jumlah RpThn Share untuk FSC RpThn Share produksi anggota 1 25,278,000.00 13.12 Iuran pokok 50,000.00 8,500,000.00 4.41 Iuran wajib 120,000.00 137,880,000.00 71.55 Jumlah 171,658,000.00

89.08 Kekurangan

21,050,400.00 10.92

Dokumen yang terkait

Model pengembangan pembelajaran petani dalam pengelolaan hutan rakyat lestari (Kasus di kabupaten Gunung Kidul, provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan kabupaten Wonogiri, provinsi Jawa Tengah)

0 4 2

Model pengembangan pembelajaran petani dalam pengelolaan hutan rakyat lestari (Kasus di kabupaten Gunung Kidul, provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan kabupaten Wonogiri, provinsi Jawa Tengah)

0 3 499

Potensi Serapan Karbon di Hutan Rakyat Desa Dlingo Daerah Istimewa Yogyakarta

1 8 140

PUSAT REHABILITASI BAGI PENGGUNA NARKOBA DI PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA LANDASAN KONSEPTUAL PERENCANAAN DAN PERANCANGAN PUSAT REHABILITASI BAGI PENGGUNA NARKOBA DI PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA.

0 3 12

SERTIFIKASI HUTAN RAKYAT (Studi Evaluasi Dampak Sertifikasi Hutan Rakyat Terhadap Petani Hutan Rakyat di Kelurahan Selopuro Kecamatan Batuwarno Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah).

0 0 20

Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta UU NO 13 2012

0 0 23

LPSE Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

0 0 6

NOTA KESEPAKATAN ANTARA PEMERINTAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA DENGAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR : 9KSPVII2012 NOMOR : 36KDPRD2012

0 7 390

NOTA KESEPAKATAN ANTARA PEMERINTAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA DENGAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR : 8KSPVII2012 NOMOR : 35KDPRD2012

0 0 61

Prosedur Sertifikasi Benih di BPSBP (Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih Pertanian) Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta - UNS Institutional Repository

0 0 14