3.1.2 Koperasi Wana Manunggal Lestari
Sejarah Permintaan kayu jati yang tinggi sejak tahun 1998 menyebabkan banyak
industri besar yang langsung mendatangi petani. Hal ini menyebabkan adanya penurunan kualitas kayu jati di Kabupaten Gunung Kidul. Melihat potensi
kerusakan tersebut maka, PKHR, ARUPA, dan Shorea mencoba menginisiasi sebuah alternatif dalam rangka mencapai hutan lestari. Momen tersebut
dimanfaatkan bersamaan dengan program pendampingan Gerakan Penghijauan Gerhan pada tahun 2004.
Gambar 3.3 Peta wilayah pengelolaan KWML. Program Gerhan tersebut dilaksanakan secara serentak pada tiga lokasi,
yaitu Desa Girisekar, Desa Dengok, dan Desa Kedungkeris. Kemudian secara efektif, pengelolaan hutan rakyat lestari dimulai pada tahun 2004 dengan program
Rancang Bangun Unit Manajemen Hutan Rakyat Lestari RB – UMHRL. Koperasi memperoleh sertifikat PHBML LEI pada September 2006 dan juga
sertifikat SVLK pada tahun 2011. Sertifikasi Verifikasi Legalitas Kayu VLK pada Hutan Hak yang diperoleh koperasi KWML seluas 594.15 hektar oleh
Lembaga Verifikasi Legalitas Kayu LVLK PT. Sucofindo. Wilayah tersebut meliputi tiga desa, yaitu Dengok, Girisekar, dan Kedungkeris. Pada tahun 2013
telah dilakukan penilikan pertama sekaligus dilakukan perluasan areal hutan rakyat yang disertifikasi seluas 642,10 hektar di tiga desa, meliputi Banyusoca,
Tepus, dan Nglegi. Sampai saat ini, total luas hutan rakyat VLK seluas 1,236.25 hektar yang meliputi enam desa, yaitu Dengok, Girisekar, Kedungkeris,
Banyusoca, Tepus, dan Nglegi.
Anggota Jumlah petani anggota pada saat berdirinya koperasi hingga tahun 2010
sebanyak 635 orang. Jumlah anggota tersebut terbagi menjadi tiga kelompok tani pada tiga wilayah pengelolaan Tabel 3.4, yaitu KTHR Sekar Pijer Zona selatan
sebanyak 324 orang, KTHR Ngudi Lestari zona tengah sebanyak 209 orang, dan KTHR Margomulyo 119 zona utara sebanyak orang. Seiring berjalannya waktu,
koperasi KWML mampu menjaring lebih banyak anggota hingga mencapai 652 petani pada tahun 2013.
Tabel 3.4 Jumlah anggota berdasarkan wilayah pengelolaan masing-masing kelompok tani.
Zona Pengelolaan
Lokasi KTHR
Jumlah orang
Selatan Desa Giri Sekar,
Kecamatan Panggang KTHR Sekar Pijer
324
Tengah Desa Dengok,
Kecamatan Playen KTHR Ngudi Lestari
209 Utara
Desa Kedungkeris, Kecamatan Nglipar
KTHR Margomulyo 119
Jumlah
652
Sertifikasi Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Lestari PHBML Inisiasi lembaga pendamping Gerhan dalam menciptakan pilot project
pengelolaan hutan lestari diapresiasi oleh masyarakat. Kegiatan tersebut kemudian diawali dengan membangun sebuah wacana dan praktek Rancang Bangun Unit
Manajemen Hutan Rakyat Lestari RB-UMHRL. Program ini bertujuan untuk menggambarkan satuan kelola hutan rakyat dalam basis unit manajemen dan
aspek pengelolaan hutan rakyat yang sesuai dengan SFM. Kemudian pada tahun 2006, koperasi KWML secara resmi mendapatkan sertifikat PHBML dengan
Lembaga sertifikasi adalah TUV International Indonesia. Unit pengelolaan yang termasuk dalam areal sertifikasi terdiri dari tiga zona dengan total luas sebesar
815 hektar, yaitu: 1.
Zona selatan dengan luas 401.83 ha. Terletak pada Desa Giriksekar, Kecamatan Panggang. Zona ini dikelola oleh KTHR Sekar Pijer yang
meliputi dusun Pijenan, Jeruken, dan Blimbing. 2.
Zona tengah dengan luas 229.10 ha. Terletak pada Desa Dengok, Kecamatan Playen. Zona ini dikelola oleh KTHR Ngudi Lestari yang
meliputi dusun Dengok IV, Dengok V, dan Dengok VI. 3.
Zona utara dengan luas 184.25 ha. Terletak pada Desa Kedungkeris, Kecamatan Nglipar. Zona ini dikelola oleh KTHR Margomulyo yang
meliputi dusun Kedungkeris, Pringsurat, dan Sendowo Kidul.
3.2 Pola Kerja Sama Penjualan Kayu Petani Anggota Koperasi
Karakteristik dalam pengusahaan hutan rakyat di lingkungan Gunung Kidul dan Kulonprogo masih sangat dipengaruhi oleh momen kebutuhan tertentu. Pola
tebang butuh masih dipertahankan sebagai pola yang lebih efisien dalam pemenuhan kebutuhan besar. Sedangkan pertanian masih menjadi tumpuan dalam
pemenuhan hidup sehari-hari. Pola tebang butuh dipandang sebagai bentuk tabungan yang lebih baik dibandingkan tabungan dalam konsep perbankan
Nurrochmat et al. 2013. Menurut pemahaman petani, ketersediaan uang dalam bentuk tunai tabungan akan mendorong pola hidup yang konsumtif, sehingga
dengan menebang pohon untuk memenuhi kebutuhan penting dalam jumlah yang besar, dirasa akan mampu mengendalikan konsumsi yang berlebihan.
Petani anggota memiliki dua alternatif dalam menjual kayu, yaitu koperasi dan tengkulak. Meskipun pada dasarnya pihak koperasi memliki aturan yang
melarang anggota untuk menjual kayu kepada pihak lain selain koperasi, namun pada prakteknya preferensi personal petani lah yang menentukan tujuan penjualan
kayu. Secara umum, pertimbangan petani dalam menentukan pilihan kerjasama penjualan kayu sangat dipengaruhi apakah kebutuhan tersebut mendesak atau
tidak Gambar 3.4.
Gambar 3.4 Pola pengambilan keputusan pilihan kerjasama oleh petani anggota.
Setiap pilihan kerjasama tujuan penjualan kayu akan memberikan manfaat dan atau korbanan yang berbeda. Masing-masing pilihan kerjasama akan
memberikan biaya transaksi yang berbeda. Biaya transaksi akan menjadi sebuah beban besar apabila tidak disertai dengan manfaat yang cukup, sehingga akan
terjadi pola pengusahaan yang efisien dan efektif Williamson 1985. Biaya transaksi tambahan muncul seiring kewajiban petani dalam melaksanakan atau
mengikuti program koperasi. Namun petani juga mendapatkan manfaat berupa semakin luasnya akses yang dapat dimanfaatkan petani dalam rangka
memaksimalkan nilai lahan dan kayu.
3.2.1 Kapasitas Akses Petani
Pengelolaan hutan rakyat membutuhkan iklim usaha yang mampu mendukung seluruh proses pengelolaan enabling condition. Sebuah relasi
diantara kelompok masyarakat, institusi, atau organisasi dapat diartikan sebagai sebuah kemampuan sosial social power, yang mana bertujuan untuk pemenuhan
kebutuhan masing-masing pihak Clegg 1989; Lukes 1974; Wrong 1979. Proses penjualan kayu oleh petani harus dilakukan melalui relasi kepada aktor yang
memiliki kapasitas dalam pemasaran kayu. Kondisi yang dihadapi oleh petani hutan rakyat pada umumnya adalah keterbatasan dalam hal informasi harga, suplai
dan demand dari pasar kayu, serta pengetahuan dalam konteks sistem penjualan kayu penaksiran dan satuan penjualan kayu. Keterbatasan tersebut merupakan
salah satu faktor yang menyebabkan ketidakjelasan tingkat harga penawaran yang dilakukan tengkulak. Tabel 3.5 memperlihatkan bagaimana penguasaan masing-
masing aktor dalam pengelolaan hutan rakyat pada konteks pasar kayu. Tabel 3.5 Kapasitas akses para aktor pada pengelolaan hutan rakyat.
Unsur Petani
Koperasi Tengkulak
Teknologi +
+ +
Tenaga Kerja +
+ +
Pengetahuaninformasi -
+ +
Permodalan -
+ +
Sumberdaya kayu +
- -
Ket: - lemah; + kuat Petani pada dasarnya memiliki kelemahan yang mendasar dalam hal
permodalan dan pengetahuaninformasi. Kemampuan petani untuk memperoleh tenaga kerja dan teknologi dalam rangka penebangan kayu sangat besar, namun
tidak dapat memanfaatkan karena lemahnya permodalan. Relasi yang dapat dibangun oleh petani dalam rangka mengusahakan hutan rakyat dapat dilakukan
bersama koperasi dan tengkulak. Kedua pihak tersebut secara umum memiliki kekuatan akses yang memadai dibandingkan akses yang dimiliki petani. Fakta
tersebut dapat bermakna bahwa sumberdaya hutan kayu yang dimiliki petani akan memiliki nilai manfaat yang lebih besar bila mempunyai akses yang kuat dalam
pemanenan dan pemasaran. Terdapatnya kadar pengetahuan informasi yang berbeda-beda akan membentuk sebuah pola relasi kekuasaan power dalam
sebuah skema transaksi Williamson 1985. Kehadiran koperasi mampu memberikan tambahan akses yang dapat dimanfaatkan oleh petani. Tambahan