38 c.
Perkembangan sosial Permanarian Somad dan Tati Hernawati 1996: 36-39
berpendapat bahwa “Anak tunarungu biasanya memiliki karakteristik seperti: egosentrisme, rasa takut terhadap lingkungan yang lebih luas,
ketergantungan pada orang lain, polos, mudah marah dan cepat tersinggung”. Anak tunarungu dalam perkembangan sosialnya,
memasuki sekolah dan pada usia tertentu telah siap untuk memulai pendidikannya secara formal di sekolah-sekolah. Di sekolah anak
tunarungu memasuki lingkungan yang baru dan lebih beragam. Orang- orang yang baru, cara bersikap dan peraturan-peraturan yang dibuat
oleh sekolah terkadang membuat anak tunarungu sulit untuk beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya.
Lingkungan tidak hanya sebatas dimana anak tunarungu tinggal dan belajar, namun lingkungan itu sendiri akan mempengaruhi
pola perilaku dan sosialnya. Lingkungan harus dimodifikasi sedemikian rupa agar dampak dari ketunarunguannya lebih kecil
sehingga anak tunarungu akan belajar memahami lingkungannya dengan baik.
E. Kerangka Pikir
Anak tunarungu adalah seseorang yang karena sesuatu sebab indera pendengarannya kurang atau tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya
sehingga membutuhkan layanan khusus dalam proses pendidikan. Gangguan pendengaran yang dialami menyebabkan anak tunarungu mengalami
39 keterbatasan dalam pemerolehan informasi sehingga siswa hanya mampu
memperolehnya melalui visual. Keterbatasan yang dimiliki menjadikan pemahaman konsep konkret dan abstrak pada siswa tunarungu kelas II di SLB
Wiyata Dharma 1 menjadi rendah. Sebagian siswa mampu mengenali benda konkret namun belum mampu menyebutkan nama secara baik dan benar.
Pemahaman konsep konkret dan abstrak yang rendah lainnya dibuktikan dengan siswa tunarungu belum mampu mengenali, menyebutkan,
menunjukkan, dan menjodohkan benda konkret maupun memahami konsep abstrak. Hal ini menyebabkan siswa tunarungu belum mampu untuk
mendeskripsikan benda konkret di sekitarnya. Perlakuan yang akan dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut yaitu pemberian tindakan berupa
pendekatan pembelajaran berbasis proyek. Pendekatan pembelajaran berbasis proyek sebagai suatu pendekatan
yang komprehensif yang melibatkan siswa dalam kegiatan penyelidikan kooperatif dan berkelanjutan. Pendekatan ini memberikan fasilitas kegiatan
belajar siswa untuk mencari, mengolah, dan menemukan pengalaman belajar yang lebih bersifat konkret terkait dengan kehidupan nyata melalui
keterlibatan aktivitas siswa dalam mencoba, melakukan dan mengalami sendiri. hal ini sesuai dengan menggunakan lingkungan sekitar sebagai sumber
belajar. Pembelajaran akan dikaitkan dengan sistuasi yang nyata yang dialami siswa tunarungu dalam kehidupan sehari-harinya. Tujuannya yakni siswa
tunarungu mampu memahami pembelajaran yang diberikan dengan penerapan langsung pada kehidupan nyata kesehariannya. Pendekatan pembelajaran
40 berbasis proyek ini berguna untuk meningkatkan kebiasaan belajar siswa yang
khas serta praktik pembelajaran yang baru. Para siswa harus berpikir secara orisinal sampai akhirnya mereka dapat memecahkan suatu masalah dalam
kehidupan nyata. Produk yang dibuat siswa selama proyek memberikan hasil yang secara otentik dapat diukur oleh guru atau instruktur di dalam
pembelajarannya. Siswa tunarungu yang memiliki hambatan dalam indera pendengaran,
mengoptimalkan indera-indera yang lain untuk membantu dalam proses pembelajaran. Pendekatan pembelajaran berbasis proyek cocok untuk siswa
tunarungu karena dalam pembelajaran berbasis proyek terdapat berbagai indera yang digunakan siswa. Pada saat proses mengamati dan mengeksplorasi
lingkungan, siswa tunarungu mengoptimalkan indera penglihatan, penciuman dan perasa yang dimana siswa menangkap objek dan mengasah rasa ingin
tahunya terhadap benda-benda yang belum diketahuinya. Pembuatan tugas proyek, siswa tunarungu mengoptimalkan dan melatih indera perabaan untuk
membuat berbagai produk yang nyata. Pendekatan pembelajaran berbasis proyek mampu menarik minat dan perhatian siswa tunarungu dalam kegiatan
pembelajaran. Perhatian siswa akan meningkat dan pemahaman belajar menjadi lebih baik sehingga kemampuan pemahaman konsep konkret dan
abstrak siswa tunarungu dalam pembelajaran akan meningkat.
41
F. Hipotesis