Faktor Kebutuhan Praktis terhadap Varian Partisipan dalam Social Media Faktor Kebutuhan Progresif terhadap Pendekatan “Problem Solving” Internal Umat Islam

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id 157 ketiga dan selanjutnya komponen keempat. Sumber inspirasi konseptual komponen kedua adalah Seyyed Hossein Nasr tentang tasawuf sebagai nafas semangat kehidupan dan Ibrahim Madkour tentang kedudukan tasawuf sebagai penyeimbang hubungan antara kecenderungan duniawi dan ukhrawi. c. Komponen ketiga manifestasi akhlak mulia befungsi sebagai manifestasi nilai- nilai sufisme ke dalam bentuk keperilakuan individual sufi dalam konteks dakwah. Sumber inspirasi konseptualnya adalah ‘Abd al-H}alim Mah}mud tentang doktrin dasar tasawuf dan indikator sufi; Ibn ‘At}a’ Allah tentang doktrin dasar tasawuf dan indikator sufi; Abu Muh}ammad al-Jariri dan Abu Husayn al- Nuri tentang tasawuf sebagai akhlak; dan Ibn Taymiyah tentang ih}san sebagai indikator derajat tertinggi keterlibatan muslim dalam sistem Islam. d. Komponen keempat berfungsi sebagai ekspresi dan aktualisasi keterkaitan tiga komponen sebelumnya ke dalam perilaku praksis dakwah dalam konteks relasi sufi dengan kehidupan secara luas. Pada era kontemporer, sufisme dakwah memperlihatkan perannya secara utama melalui komponen keempatnya, yakni orientasi praksis. Di antara enam poin substansinya, terdapat tiga poin substansi yang merepresentasikan eksistensi sufisme dakwah era kontemporer, yaitu: a kemampuan merespons berbagai kesulitan atau masalah dalam kehidupan peran problems solving, b tasawuf mendorong wawasan hidup menjadi moderat dan tidak bersikap sombong pada orang lain peran motivasi, c kontribusi penciptaan rahmat Islam bagi seluruh alam semesta peran kontribusi universal. Eksistensi ini dapat dilacak realitasnya dalam fenomena-fenomena sufisme dakwah era kontemporer di beberapa belahan digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id 158 dunia dari Asia Tenggara ke Afrika Barat, dan dari pusat-pusat Islam Timur Tengah ke Barat sebagaimana penjelasan berikut. Peran pertama, kemampuan sufisme merespons berbagai kesulitan atau masalah dalam kehidupan peran problems solving. Peran ini dapat ditemui pada tiga fakta: 1 sufisme sebagai basis masyarakat sipil untuk mobilisasi politik di Afrika Barat dan Asia Tenggara, 2 sikap solutif sufisme dalam keterjebakan politik di Indonesia, dan 3 penggabungan sufisme dengan semangat salafi dan aktivisme politik di India dan Timur Tengah. Pada fakta pertama, sufi memainkan peran sosial dan pemimpin politik terkemuka dengan keterlibatan shaykh sufi sebagai penasihat spiritual. Leonardo Villalon mencatat bahwa tarekat di Senegal, dengan kepatuhan terhadap tarekat Sufi, bertindak secara independen sebagai basis masyarakat sipil untuk mobilisasi politik yang demokratis dan komunikasi dengan negara. 224 Pada fakta kedua, Bruinessen menjelaskan fenomena sufisme di Indonesia selama era Suharto. Pada periode ini terdapat perjuangan antara versi sinkretis dan lebih puritan Islam. Sufi ortodoks, dalam keterjebakan di tengah dua kelompok tersebut, menetapkan asosiasi politik mereka untuk membela kepentingan mereka dan bersaing untuk patronase pemerintah dalam produksi kebijakan. 225 Pada fakta ketiga, sebagaimana kajian Weismann, jaringan ulama dan pemikir Suriah dan India menggabungkan sufisme ortodoks dengan semangat Salafi dan aktivisme politik. Peran kunci dalam penghubungan lingkaran reformis 224 Villalón, “Sufi Modernities in Contemporary Senegal:…,” 172-191. 225 Bruinessen, “Saints, Politicians and Sufi Bureaucrats: Mysticism and Politics in Indonesia’s New Order,” 92-112. digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id 159 India dan Timur Tengah dimainkan oleh Abu al-H}asan `Ali Nadwi yang memiliki latar belakang keluarga Naqshbandi, tetapi eksistensinya adalah sebagai wakil dari Jama`at Tabligh gerakan reformis inspirasi Sufi. Gerakan ini mendidik masyarakat marginal dan mereformasi praktik agama dan secara tegas menolak model tasawuf yang mengultuskan orang-orang suci marabouts, saint. 226 Peran kedua, sufisme mendorong wawasan hidup menjadi moderat dan tidak bersikap sombong pada orang lain peran motivasi. Peran ini dapat ditemui pada dua fakta: 1 sikap akomodatif sufisme terhadap rezim baru di Iran dan 2 pengembangan bentuk unik asosiasi sukarela lokal di Mesir dan Mali Afrika Barat. Pada fakta pertama, sebagaimana dijelaskan oleh Matthijs van den Bos, tarekat-tarekat sufi di bawah rezim revolusioner Islam di Iran saat ini dan di bawah modernisasi Pahlavi telah menemukan berbagai cara untuk mengakomodasi rezim baru dan mayoritas sufi Iran mempertahankan sikap zuhd. Di sisi lain, ditemukan oleh van den Bos bahwa sufi Iran menampilkan sikap responsip dalam Sosiologi Spiritual karya Tanhai terhadap Sosiologi Islam militan karya Ali Shari`ati yang memberikan dorongan intelektual untuk revolusi Iran pada akhir tahun 1970. 227 Pada fakta kedua, sebagaimana kajian Rachida Chih, tarekat Muridiyah, tarekat Tijaniyah, dan tarekat-tarekat lainnya telah mengembangkan bentuk unik dari asosiasi sukarela lokal dairah di kota-kota Mesir 228 yang saling terkait untuk para anggota perkotaan. Di Mali Afrika Barat, sebagaimana catatan 226 Itzchak Weismann, “Sufi Fundamentalism between India and the Middle East,” dalam Bruinessen dan Howell eds., Sufism and the ‘Modern’ in Islam, 115-128. 227 Matthijs van den Bos, “Elements of Neo-traditional Sufism in Iran,” dalam Bruinessen dan Howell eds., Ibid., 61-76. 228 Chih, “What is a Sufi Order?…” dalam Bruinessen dan Howell eds., Ibid., 21-38.