78
menimbulkan ketidakseimbangan,
mengagungkan kemampanan dan harmoni. Karena aspek fungsional
mempertahankan kemapanan dan status quo, maka adanya reliata perempuan sebagai guru dan laki-laki
sebagai kepala sekolah cenderung dianggap merupakan suatu pengaturan yang paling baik dan bermanfaat
bagi harmoni bidang pendidikan. Realita
kesenjangan keberadaan
perempuan dalam kepemimpinan kepala sekolah terjadi bukan
secara alaminature
melainkan terbentuk
dari pemahamanan yang dilatari oleh budaya yang pada
akhirnya meragukan eksistensi perempuan. Gender di bidang kepemimpinan pendidikan, di satu sisi telah
menempatkan laki-laki sebagai standar dan norma dalam
kepemimpinan, pada
saat yang
sama menyisihkan, mendiskriminasikan dan mengorbankan
perempuan yang seharusnya memang tidak boleh terjadi.
4.6.2 Kesenjangan Keberadaan Kepala Sekolah Perempuan Dalam Proses Pemilihan Kepala
Sekolah.
Pemilihan kepala sekolah memang mengikuti standar dan prosedur yang telah ditentukan. Prosesnya
cukup panjang, melibatkan berbagai instansi, birokrasi
79
pemerintahan setempat, dan memakan waktu yang cukup lama. Sejak dari awal pencalonan dan pemilihan
oleh satuan pendidikan rupanya sudah mulai kelihatan guru perempuan tidak terlalu tertarik memanfaatkan
akses pemilihan kepala sekolah karena pengalaman selama ini perempuan jarang atau tidak pernah
berhasil dalam mencoba menjadi kepala sekolah. Mereka merasa sudah kalah sebelum memasuki
proses, adanya perasaan rendah diri dan ragu-ragu, apalagi karena proses pemilihan tidak transparan dan
adanya diskriminasi yang dialami perempuan. Proses penyisihan terhadap perempuan seperti demikian yang
oleh Cliwniak,1997
disebut sebagai
“individual perspektive or meritocrasy model
”. Pandangan ini menekankan aspek psikologis, dimana yang dianggap
menjadi penyebab
kesenjangan gender
adalah perempuan itu sendiri. Sifat, sikap, kepribadian
perempuan dan asumsi perempuan tidak menginginkan kekuasan
diidentifikasikan sebagai
penyebab. Berkaitan
dengan kekuasaan,
bukan berarti
perempuan tidak menginginkan kekuasaan namun cara perempuan memandang kekuasaan bukan terutama
untuk menguasi
orang lain,
tetapi untuk
memberdayakan. Faktor lain yang dapat dilihat mempunyai peran
yang signifikan dalam pemilihan kepala sekolah adalah
80
proses yang diduga dilakukan oleh Badan Kepegawaian Daerah BKD, secara khusus dalam TIM Baperjakat
dari pemerintah kota Ambon. Dugaan adanya sikap yang tidak transparan terhadap hasil tes LPMP, adanya
pengalaman masa lalu yang tidak adil terhadap perempuan, prasangka negatif terhadap kepemimpinan
perempuan, berperannya partai politik, adanya politik uang,
kedekatan dengan
pemerintah misalnya
walikota dan kepala dinas dianggap telah menjadi penyebab perempuan selama ini tereliminasi dan
didiskriminasi. Terdapat banyak cara dan kesempatan untuk
menyisihkan perempuan dan lebih memilih laki-laki dalam proses yang panjang dan melibatkan banyak
pihak. Lembaga yang memiliki peran kunci penentu pemilihan ternyata tidak netral, lebih mengutamakan
laki-laki daripada
perempuan serta
melakukan ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender. Menurut
Cliwniak,1997, realita
ini disebut
sebagai “organizational prespective or discrimination model
”
di mana lembaga yang telah ditunjuk melakukan
penyisihan dan diskriminasi kepada perempuan dan kurang menyadari pentingnya kesetaraan dan keadilan
gender.
81
4.6.3. Kesenjangan Keberadaan Kepala Sekolah Perempuan