Tool yang digunakan TINJAUAN PUSTAKA

autonomation prevention, jidoka limit switches, check sheets, appropriated automated assistance, template Informasi information Planning, scheduling, execution Teknologi informasi berfokus proses process focused information technology Plan, schedule, track, anticipate, optimize Queue analyze, dynamic scheduling of orderjob status by process element, timingcompletion Sumber : Kaufman consulting group, 1999

2.5 Tool yang digunakan

Dalam mencari penyebab terjadinya waste ada beberapa tools yang digunakan, yaitu :

1. Big Picture Mapping

Big picture mapping adalah pemetaan proses pada level tinggi yang melingkupi proses secara luas namun dengan tingkat kedetailan yang masih rendah. Peta gambar besar atau Big Picture Mapping merupakan sebuah alat yang diadopsi dari sistem produksi Toyota. Alat ini sangat membantu dalam mengidentifikasi terjadinya pemborosan waste. Pemborosan dapat diketahui dengan mengetahui aliran fisik dan aliran informasi dari perusahaan dan menggambarkannya dalam satu kesatuan. Selain itu peta gambar besar atau Big Picture Mapping sangat berguna untuk dilakukan sebelum membuat detailed mapping dari proses manapun. Dengan membuat Big Picture Mapping maka dapat membantu untuk menggambarkan aliran yang ada, membantu menemukan lokasi waste, menyatukan penerapan dari kelima prinsip Lean, membantu untuk memutuskan siapa yang menjadi anggota tim untuk implementasi, memperlihatkan hubungan antara sistem informasi dengan aliran fisik. Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber. Ada lima langkah yang perlu dilakukan untuk membentuk Big Picture Mapping yaitu : 1. Fase pertama, mengidentifikasikan kebutuhan pelanggan. Beberapa perlu dijawab pada fase ini. Misalnya, seberapa banyak pelanggan membutuhkan barang tertentu tiap tahun, bagaimana pola pemesanannya, berapa ukuran pesanan biasanya, berapa banyak pelanggan biasanya menyimpan persediaan, berapa sering pengiriman dilakukan, serta hal-hal lain yang relevan. 2. Fase kedua, Information flows Pada fase ini, ditambahkan aliran informasi yang melintasi proses yang ditinjau. Untuk melengkapi fase ini perlu dicari tahu apakah informasi yang diberikan pelanggan ke perusahaan ramalan, call-off, dan sebagainya, ke bagian mana informasi-informasi tersebut disampaikan, berapa lama menunggu sebelum informasi tersebut diproses, pihak mana saja atau siapa saja yang dilewati sampai informasi tersebut mengalir ke bagian hulu perusahaan supplier, serta informasi-informasi apa yang perusahaan berikan ke supplier. 3. Fase ketiga adalah menambahkan aliran fisik pada peta tersebut. Aliran fisik yang berasal dari luar dan ke luar perusahaan maupun yang ada di dalam perusahaan harus sama-sama ditambahkan. Informasi seperti pola pengiriman dari supplier, ukuran pengiriman, rata-rata waktu tunggu sebelum pesanan dikirim,. Selanjutnya, untuk aliran internal perlu diidentifikasikan langkah-langkah kunci yang terlibat, di mana saja persediaan biasanya disimpan, dimana saja biasanya terjadi inspeksi Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber. kualitas, berapa lama masing-masing kegiatan tersebut dilakukan, titik mana merupakan bottleneck, dan sebagainya. 4. Hubungkan aliran fisik dan aliran informasi. Di sini diperlukan informasi di mana informasi seperti rencana material atau rencana produksi turun menjadi pemicu adanya aliran fisik dan sebaliknya. Sebagai contoh, rencana produksi diuraikan menjadi jadwal produksi harian sehingga dapat menjadi pedoman untuk memindahkan material dari gudang ke lantai produksi dan menjadi instruksi kerja operator di lantai produksi untuk mengerjakan suatu produk. Sebaliknya, ada aliran dari bagian bawah ke bagian atas dari peta yang dibuat. Misalnya, hasil kegiatan inspeksi material akan memberikan informasi tentang reject rate. Informasi ini akan masuk ke bagian perencanaan material sehingga bisa digunakan sebagai dasar untuk memperbaiki atau membuat rencana baru. 5. Fase terakhir adalah melengkapi peta di atas dengan informasi lead time dan value adding time dari keseluruhan proses. Informasi ini ditempatkan di bagian bawah dari peta. Berikut ini adalah simbol-simbol yang digunakan dalam Big Picture Mapping BPM : Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber. Sumber : Hines, P. D. Taylor, 2000. ”Going Lean”. Gambar 2.2 Icon Big Picture Mapping Untuk menggambarkan peta gambar besar atau Big Picture Mapping terlebih dahulu tentukan lambang dari tiap komponen yang ada antara lain : pemasokkonsumen suppliercustomer, kotak informasi information box, kotak waktu timing box, kotak pengerjaan ulang rework box, titik persediaan inventory point, titik inspeksi quality check point, stasiun kerja dengan waktu work station with timing, aliran informasi information flow, aliran fisik physical flow, kotak proses stasiun kerja work station process box, aliran fisik antar perusahaan inter company physical flow. Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber. Sumber : Budi Utomo Rachman, 2010 Gambar 2.3 Contoh Big Picture Mapping

2. Kuisioner atau Formulir

Kuisioner atau formulir digunakan untuk mendapatkan ranking dan rata – rata pemborosan waste yang paling berurutan. a. Kuisioner Tabel 2.3 Kuisioner Sumber : Budi Utomo Rachman, 2010 Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber. Keterangan : Tipe pemborosan waste yang digunakan telah menjadi ketetapan, sedangkan skor 0 – 5, kemudian dirangking mana waste yang terbesar pada perusahaan yang diteliti. b. Formulir Tabel 2.4 Formulir Sumber : Danang Prasetyo,2010 dalam Vincent Gasperz, 2007 Keterangan: - Skor yang digunakan 0 – 4. - Untuk kolom tipe waste 1 - 9 ditulis berdasarkan tipe pemborosan 9 waste dan skor ditulis berdasarkan pengamatan di perusahaan yang diteliti. - Untuk kolom rangking ditulis bobot rangking, stasiun kerja yang memiliki waste terbesar diberi rangking 1, kemudian stasiun kerja yang memiliki waste terbesar kedua diberi rangking 2, begitu seterusnya hingga rangking ke 9 rangking terakhir. Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

3. Value Stream Analysis Tools VALSAT

Value Stream Mapping Tools VALSAT adalah alat yang berfungsi untuk memilih alat dari pemetaan aliran proses yang nantinya akan digunakan sebagai pedoman dalam mengidentifikasi pemborosan waste. Value stream analysis tools merupakan tools yang tepat untuk memetakan secara detail waste pada aliran nilai yang fokus pada value adding process dan non-value adding process. VALSAT merupakan tool yang dikembangkan oleh Hines dan Rich 1997 untuk mempermudah pemahaman terhadap value stream yang ada dan mempermudah untuk membuat perbaikan berkenaan dengan waste yang terdapat dalam value stream. VALSAT merupakan pembobotan waste-waste, kemudian dari pembobotan tersebut dilakukan pemilihan terhadap tool dengan menggunakan matrik. Pada proses ini dilakukan proses pemetaan dari future state yang diusulkan. Alasan yang mendasari pengumpulan dan penggunaan serangkaian tool ini adalah untuk membantu para peneliti atau para praktisi dalam mengidentifikasikan pemborosan pada individual value stream dan mendapatkan jalan yang tepat untuk menghilangkannya. Berikut ini adalah tools yang digunakan pada value stream mapping yang akan ditunjukkan pada tabel 2.5 Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber. Tabel 2.5 Value Stream Analysis Tools process activity supply chain production variety quality filter demand amplification decision point phisical wastestructure mapping response matrix funnel Mapping Mapping analysis structure over production L M L M M waiting H H L M M transportation H L unappropriate H M L L processing unnecessary M H M H M L inventory unnecessary H L H motion defects L overall structure L L M L H M H Sumber : Vincent Gaspersz , “Lean Six Sigma for Manufacture and Service Industries” 2006. Notes : H : high correlation and usefulness M : medium correlation and usefulness L : low correlation and usefulness Keterangan : H high correlation : faktor pengali = 9 M medium correlation : faktor pengali = 3 L low correlation : faktor pengali = 1 Selanjutnya akan dilakukan pemilihan pemetaan yang tepat dalam value stream dengan menggunakan VALSAT Value Stream Analysis Tools. Cara perhitungannya adalah hasil dari rata-rata waste dikalikan dengan besar pembobotan yang terdapat pada tabel VALSAT . Dari ketujuh tool tersebut akan digunakan untuk memahami kondisi yang terjadi di lantai produksi, penggunaan tool tersebut dilakukan dengan melakukan pemilihan dengan menggunakan matrik. Untuk langkah penting dalam pemilihan tool yang sesuai dengan kondisi yang bersangkutan antara lain melakukan pembobotan terhadap waste. Pembobotan ini merupakan hal yang sangat penting sekali karena dengan prmbobotan waste yang sempurna maka tool yang akan datang juga tepat sehingga mudah dalam melakukan usulan perbaikan. Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber. Untuk lebih jelasnya berikut detail dari ketujuh tools yang dikemukakan oleh Hines dan Rich 1997 dalam VALSAT : a. Process Activity Mapping PAM Tool ini digunakan untuk membuat detailed mapping dalam order fulfillment process. Secara lebih luas kita menggunakannya untuk mengidentifikasi lead time baik dari aliran fisik produk maupun aliran informasi, tidak hanya di area pabrik tetapi juga pada area lainnya dalam supply chain, mengeliminasi pemborosan pada tempat kerja dan menyediakan goods dengan kualitas tinggi serta pelayanan yang mudah, cepat dan tidak mahal. Dasar pendekatan ini adalah mencoba untuk mengeliminasi aktivitas yang tidak perlu, menyederhanakan, mengkombinasi serta mencari perubahan rangkaian yang akan mengurangi pemborosan. Lima tahap pendekatan Process Activity Mapping secara umum adalah : 1. Memahami aliran proses kemudian mengidentifikasi pemborosan 2. Mempertimbangkan apakah proses dapat di arrange ulang pada rangkaian yang lebih efisien. 3. Mempertimbangkan aliran yang lebih baik, melibatkan aliran layout dan rute transportasi yang berbeda. 4. Mempertimbangkan apakah segala sesuatu yang telah dilakukan pada tiap-tiap stage benar-benar perlu dan apa yang akan terjadi jika hal-hal yang berlebihan tersebut dihilangkan. Dalam tool ini aktivitas dikategorikan dalam beberapa kategori, seperti : operation operasi, transport transportasi, inspection pemeriksaan, Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber. storage penyimpanan dan delay menunggu. Untuk membuat Process Activity Mapping, dilakukan dengan cara membuat analisa persiapan proses kemudian dilakukan pencatatan secara detail dari permintaan barang pada tiap proses. Hasilnya adalah peta proses, dimana tiap-tiap langkah telah dikategorikan dalam berbagai macam tipe aktivitas. b. Supply Chain Response Matrix Tool ini merupakan sebuah diagram sederhana yang berusaha menggambarkan the critical lead time constraint untuk setiap bagian proses dalam supply chain, yaitu cumulative lead time di dalam distribusi sebuah perusahaan baik suppliernya dan downstream retailernya. Diagram ini terdapat 2 axis dimana untuk vertical axis menggambarkan rata-rata jumlah inventory hari dalam setiap bagian supply chain. Sedangkan untuk horizontal axis menunjukan comulative lead timenya. c. Production Variety Funnel Pendekatan ini sama dengan metode analisa IVAT yang melihat operasi internal perusahaan sebagai aktivitas yang disesuaikan ke I, V, A, atau T merupakan pemetaan visual yang mencoba memetakan jumlah variasi produk tiap tahapan proses manufaktur. Tools ini dapat digunakan untuk mengidentifikasi titik dimana sebuah produk generic diproses menjadi beberapa produk yang spesifik. Tool ini dapat digunakan untuk membantu menentukan target perbaikan, pengurangan inventory dan membuat perubahan untuk proses dari produk. Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber. d. Quality Filter Mapping Pendekatan Quality Filter Mapping merupakan tool baru yang digunakan untuk mengidentifikasi dimana keberadaan masalah kualitas pada rantai persediaan. Peta ini memperlihatkan tiga tipe cacat kualitas yang berbeda yang terdapat pada value stream yaitu : 1. Product defect : cacat pada fisik produk yang lolos dari proses inspeksi dan sampai ke tangan konsumen. 2. Scrap defect : cacat yang ditemukan pada proses inspeksi 3. Service defect : permasalahan dari konsumen yang tidak secara langsung berhubungan dengan produk, tetapi dengan tingkat pelayanan dari perusahaan. Ketiga tipe defect tersebut digambarkan secara letitudinal sepanjang supply chain. Pendekatan ini dirancang untuk membangun tingkat kualitas baik internal maupun eksternal semaksimal mungkin seperti yang di inginkan oleh konsumen customer needs. e. Demand Amplification Mapping Merupakan diagram yang menggambarkan bagaimana demand berubah- ubah sepanjang jalur supply chain dalam interval waktu tertentu. Informasi yang dihasilkan dari diagram ini merupakan dasar untuk mengatur fluktuasi dan menguranginya, membuat keputusan berkaitan dengan value stream configuration. Dalam diagram ini vertical axis menggambarkan interval waktu, grafik di dapatkan untuk setiap chain dari supply chain configuration yang ada. Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber. f. Decision Point Analysis Merupakan tool yang digunakan untuk menentukan titik dimana aktual demand dilakukan dengan sistem pull sebagai dasar untuk membuat forecast pada sistem push pada supply chain atau dengan kata lain titik batas dimana produk dibuat berdasarkan demand aktual selanjutnya produk harus dibuat dengan melakukan forecast. Dengan tool ini dapat diukur kemampuan dari proses upstream dan downstream berdasarkan titik tersebut, sehingga dapat ditentukan filosofi pull tarik atau push tekan yang sesuai. g. Physical Structure Tool ini digunakan untuk memahami kondisi dan fungsi bagian-bagian dari supply chain untuk berbagai level industri. Dengan pemahaman tersebut dapat dimengerti kondisi industri tersebut, bagaimana beroperasi dan dapat memberikan perhatian pada level area yang kurang diperhatikan. Untuk level yang lebih kecil tool ini dapat menggambarkan inbound supply chain di lantai produksi.

4. Fish Bone Chart Diagram Tulang Ikan

Fish Bone Chart adalah sebuah diagram yang menunjukkan hubungan antara karakteristik mutu dan faktor penyebab kecacatan pemborosan. Diagram ini berbentuk tulang ikan karena itu disebut juga diagram tulang ikan. Fish Bone Chart merupakan alat formal yang digunakan untuk menunjukkan penyebab potensial dari kecacatan pemborosan. Ruas utama sebelah kanan menunjukkan masalah yang terjadi. Cabang utama dikaitkan pada penyebab utama dan setiap cabang utama memiliki daftar penyebab yang lebih detail. Penyebab masalah Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber. utama yang potensial harus segera dicari tahu dan dianalisa saat masalah diidentifikasi. Metode tukar pikiran digunakan untuk menentukan penyebab dari akibat yang dihasilkan dalam mendesain sebuah diagram sebab akibat. Sutalaksana. 1979. Gambar 2.4 Fish Bone Chart

5. Failure Mode Effect and Analysis FMEA

FMEA adalah sekumpulan petunjuk, sebuah proses dan form untuk mengidentifikasi dan mendahulukan masalah – masalah potensial kegagalan . Cavanagh, Peter S Pande, Robert P Ncuman, 2002 FMEA digunakan sebagai teknik evaluasi tingkat kehandalan untuk menentukan efek dari kegagalan sistem. Kegagalan digolongkan berdasarkan dampaknya pada kesuksesan suatu misi dan keselamatan anggota atau peralatan. Konsep FMEA ini berubah ketika diterapkan pada kondisi manufaktur modern yang memproduksi produk-produk konsumsi. Pada produsen dari produk-produk konsumsi tersebut kemudian menetapkan beberapa prioritas baru, termasuk kepuasan dan keselamatan konsumen. Secara umum Failure Mode Effect and Analysis didefinisikan sebagai sebuah teknik yang mengidentifikasi tiga hal, yaitu 1 Penyebab kegagalan yang potensial dari proses atau produk selama siklus Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber. hidupnya. 2 Efek dari kegagalan tersebut. 3 Tingkat kekritisan efek kegagalan terhadap fungsi produk atau proses. FMEA merupakan tool dalam menganalisis kehandalan reliability dan penyebab kegagalan untuk mencapai persyaratan kehandalan dan keamanan produk dengan memberikan informasi dasar mengenahi prediksi kehandalan, desain produk, dan desain proses. Dalam FMEA terdapat beberapa hal yang berpengaruh, antara lain : 1. Rating keparahan severity adalah rating yang berhubungan dengan tingkat keparahan efek yang ditimbulkan oleh mode kegagalan. Efek dirating pada skala satu sampai sepuluh, dengan sepuluh sebagai tingkat yang paling parah. Sumber fundamental dari kegagalan menyangkut berbagai aspek dari desain, pemilihan material, kekurangan atau kelemahan material, fabrikasi dan pemprosesan, pengerjaan ulang, perakitan, inspeksi, uji coba atau testing, pengendalian kualitas quality control, penyimpanan, pengiriman, kondisi kerja, pemeliharaan, dan penyimpanan yang tidak terduga akibat kelebihan beban atau kerusakan mekanis atau kimia dalam kerja. Terkadang pula, lebih dari satu sumber tersebut memberikan kontribusi kegagalan. Ford Motor Company, 1992. 2. Rating kejadian occurrence adalah rating yang berhubungan dengan estimasi jumlah kegagalan kumulatif yang muncul akibat suatu penyebab tertentu pada elemen dengan jumlah yang ditentukan yang diproduksi dengan metode pengendalian yang digunakan pada saat ini. Rating kejadian ini diestimasikan dengan jumlah kegagalan kumulatif yang muncul pada setiap 1000 komponen atau CNF Cumulative Number of Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber. Failure1000. CNF1000 dapat diestimasikan dari sejarah tingkat kegagalan proses manufaktur dan komponen yang mirip atau yang dapat mewakili jika estimasi dari kegagalan dari komponen yang dimaksud tidak dapat ditentukan. 3. Rating deteksi detection tergantung pada metode pengendalian yang digunakan pada saat ini. Rating deteksi adalah ukuran kemampuan metode tipe 2 untuk mendeteksi penyebab atau mekanisme kegagalan atau kemampuan pengendalian metode tipe 3 untuk mendeteksi kegagalan. Satu nilai deteksi diberikan pada sistem pengendalian yang digunakan saat ini yang memiliki kemampuan untuk mendeteksi penyebab atau mode kegagalan. Metode pengendalian dapat dikelompokkan dan dipandang sebagai sebuah sistem jika beroperasi secara independen. Tahapan FMEA diantaranya adalah sebagai berikut : 1. Identifikasi sistem dan elemen sistem 2. Mengidentifikasi kegagalan dan efeknya. Failure adalah keadaan dimana suatu sistem tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Effect of Failure merupakan konsekuensi yang ditimbulkan oleh suatu kegagalan. 3. Menentukan tingkat keparahan dari suatu kegagalan severity. Tim FMEA dapat menentukan kriteria severity sendiri atau menggunakan kriteria menurut Stam,1998. 4. Menentukan occurrence. Occurrence menyatakan frekuensi atau jumlah kegagalan yang terjadi karena suatu penyebab. Tingkat occurrence dimulai dari angka 1 tingkat kejadian rendah hingga 10 Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber. tingkat kejadian sering. Rating occurrence dapat ditentukan menurut Ford, 1992 5. Menentukan tingkat deteksi detection. Tingkat deteksi menyatakan tingkat ketelitian suatu metode deteksi untuk mendeteksi kegagalan. Tingkat deteksi mulai dari angka 1 sampai 10. Semakin kecil tingkat deteksi, maka semakin tinggi kemampuan metode deteksi untuk mendeteksi kegagalan. Apabila metode deteksi lebih dari satu, maka diberikan nilai deteksi terendah. Apabila nilai deteksi tidak dapat ditentukan, maka nilai deteksi yang digunakan adalah 10. 6. Menghitung Risk Priority Number RPN. RPN menyatakan tingkat resiko dari suatu kegagalan. Angka RPN berkisar antara 1-1000, semakin tinggi angka RPN, maka semakin tinggi resiko suatu potensi kegagalan terhadap sistem, desain, proses maupun pelayanan. RPN = Severity x Occurrence x Detection. 7. Memberikan rekomendasi tindakan untuk mengurangi tingkat resiko kegagalan dan selanjutnya dianalisa Joko Susetyo, 2009. Berikut adalah skala penilaian severity, occurance, dan detection : Tabel 2.6 Skala Penilaian Severity Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber. Tabel 2.7 Skala Penilaian Occurence Tabel 2.8 Skala Penilaian detection Tabel 2.9 Contoh Failure Mode Effect And Analysis FMEA Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber. Sumber : Danang Prasetyo, 2010 Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

2.6 Peneliti Terdahulu