PENERAPAN LEAN MANUFACTURING GUNA MEMINIMASI WASTE PADA LANTAI PRODUKSI DI PT. KHARISMA ESA ARDI SURABAYA.

(1)

PENERAPAN

LEAN MANUFACTURING

GUNA MEMINIMASI

WASTE

PADA LANTAI PRODUKSI

DI PT. KHARISMA ESA ARDI SURABAYA

SKRIPSI

Oleh :

DEVIS ZENDY

NPM : 0732010126

JURUSAN TEKNIK INDUSTRI

FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”

JAWA TIMUR


(2)

PENERAPAN LEAN MANUFACTURING

GUNA MEMINIMASI WASTE PADA LANTAI PRODUKSI DI PT. KHARISMA ESA ARDI SURABAYA

ABSTRAKSI

Perkembangan yang terjadi pada industri memacu perusahaan manufaktur terus menerus meningkatkan hasil produksinya. Baik dalam hal kualitas, kuantitas, harga, maupun dalam hal pengiriman. Banyak faktor yang mempengaruhi hasil penjualan produk suatu perusahaan. Salah satunya adalah terdapatnya waste atau pemborosan pada saat proses produksi.

PT. Kharisma Esa Ardi adalah perusahaan yang bergerak dalam bidang produksi furniture. Salah satunya produknya adalah kursi. Namun dalam proses pembuatan produk kursi tersebut masih terjadi beberapa jenis pemborosan (waste). Selama ini PT. Kharisma Esa Ardi belum pernah menangani masalah ini secara serius, sehingga pada hasil identifikasi ditemukan beberapa jenis waste yang diantaranya waiting, defect, dan

unnecessary inventory. Lean Manufacturing merupakan pendekatan untuk mengefisienkan system dengan mereduksi pemborosan. Oleh sebab itu pendekatan Lean Manufacturing sangat menunjang untuk membantu menyelesaikan permasalahan yang ada di PT. Kharisma Esa Ardi.

Tujuan dilakukannya penelitian di PT. Kharisma Esa Ardi adalah untuk mengidentifikasi dan menganalisa penyebab waste yang terjadi pada proses produksi, serta memberikan usulan perbaikan dengan FMEA untuk mengurangi pemborosan

(waste) yang ada pada lantai produksi.

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa tiga waste yang sering terjadi di lantai produksi adalah waiting dengan skor rata – rata (2,1), defect (1,5) dan unnecessary inventory (1,5). Dari FMEA diketahui nilai RPN tiap-tiap waste yang diprioritaskan untuk dilakukan perbaikan adalah waiting sebesar 378, defect sebesar 100, dan unnecessary inventory sebesar 80. Sehingga untuk mengurangi waste tersebut disarankan agar memeratakan jumlah pekerja terutama pada stasiun kerja proses pengecatan yang sering mengalami waste waiting, memilih pekerja yang memiliki skill bagus sesuai bidang pekerjaannya, dan lebih teliti dalam mengontrol bahan baku. Dan jika hal itu dilakukan oleh perusahaan, diperkirakan waktu proses produksi yang dibutuhkan akan berkurang 32,68 % (2255 detik) dari waktu produksi sebelumnya. Waktu awal proses produksi sebelum rekomendasi perbaikan sebanyak 6900 detik dan waktu setelah rekomendasi perbaikan berubah menjadi 4645 detik.


(3)

APPLICATION OF LEAN MANUFACTURING TO MINIMIZE WASTE ON PRODUCTION FLOOR

AT PT KHARISMA ESA ARDI SURABAYA ABSTRACT

The industry developments have triggered manufacturing companies to continuously improve their products in every way, such as quality, quantity, price, and even the terms of delivery. There are many elements that can affect the product sales of a company. One of which is the waste that occurs in the production process.

PT Kharisma Esa Ardi is a company that engaged in the furniture production. It produce many kinds of furnitures, such as chair and etc. Unfortunately, it still have problems of waste during the production process. Time after time, PT Kharisma Esa Ardi has never been handling this issue seriously, that’s why in the result of identification found some types of waste, such as waiting, defect, and unnecessary inventory. Lean manufacturing is an approach to reach the efficiency of the system by reducing waste. Therefore, the lean manufacturing approach strongly supports the problem solving in PT Kharisma Esa Ardi.

The purpose of doing research at PT Kharisma Esa Ardi is to identify and analyze the causes of waste that occurs in the production process, and also to suggest some improvements to FMEA in order to reduce waste in the production floor.

From the research result, it is known that there are three kinds of waste which often occur on the production floor, such as waiting with the average score (2,1), defect (1,5), and unnecessary inventory (1,5). From the FMEA, we found out that the RPN’s value of each waste which prioritized to be repaired is waiting by 378, defect of 100, and unnecessary inventory by 80. In order to reduce the waste, it is suggested to divide the number of workers in the same portions, especially in the painting process work station which often have waiting waste, select workers who have good skills in their own sector, and be more carefully when controlling the raw material. And if it is done by the company, it’s estimated that the time needed in the production process will be reduced until 32, 68 % (2255 second) from the previous production time. In other words, the time of the first process of production before the recommendations for improvement is 6900 second and changed into 4645 second after it.

Keyword : Waste, Lean Manufacturing, FMEA


(4)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Di era globalisasi ini, perkembangan yang terjadi pada industri sangat pesat sekali. Hal ini memacu perusahaan manufaktur terus menerus meningkatkan hasil produksinya. Baik dalam hal kualitas, kuantitas, harga, maupun dalam hal pengiriman. Hal tersebut agar konsumen tetap setia terhadap produk yang dibuat oleh perusahaan tersebut. Hal ini menuntut perusahaan harus mampu memberikan jaminan kepada konsumen untuk meyakinkan bahwa produk yang dihasilkannya adalah produk yang benar-benar berkualitas dengan harga yang bersaing dengan produk lain yang sejenis.

Banyak faktor yang mempengaruhi hasil penjualan produk suatu perusahaan. Salah satunya adalah terdapatnya waste atau pemborosan pada saat proses produksi. Lean Manufacturing adalah metode yang cocok digunakan oleh perusahaan untuk mengidentifikasi tingkat pemborosan atau waste sehingga mampu menekan atau bahkan bisa mengurangi kegiatan atau aktivitas yang tidak bernilai tambah (non value added activity).

PT. Kharisma Esa Ardi adalah sebuah perusahaan yang bergerak dalam bidang produksi furniture, seperti kursi, meja, lemari dan lain-lain. Untuk memenuhi permintaan dan kepuasan konsumen, perusahaan ini selalu berusaha meningkatkan produksinya dengan tepat waktu. Namun dalam pembuatan produk tersebut terjadi beberapa jenis pemborosan. Pemborosan jenis defect seperti gumpil pada bagian kaki kursi, jenis waiting seperti terlalu lamanya pekerja dalam


(5)

mengerjakan produksi sehingga mengakibatkan banyaknya waktu yang terbuang, jenis unnecessary inventory seperti adanya penumpukan material yang membuat material tersebut mengalami kerusakan. Dan pemborosan – pemborosan tersebut membuat kerugian pada perusahaan.

Berdasarkan permasalahan yang dihadapi oleh PT. Kharisma Esa Ardi maka perusahaan membutuhkan penyelesaian untuk mengurangi pemborosan yang terjadi di lantai produksi dengan melihat tujuh pemborosan (waste) yaitu kelebihan produksi (overproduction), proses yang tidak perlu (inappropriate process), menunggu (waiting), persediaan yang tidak perlu (unnecessary inventory), transportasi (transportation), gerakan yang tidak perlu (unnecesary motion) dan kecacatan (defect ). Dalam hal ini Metode Lean Manufacturing dapat membantu perusahaan mengatasi permasalahan yang ada pada perusahaan.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan penjelasan diatas, rumusan permasalahannya adalah sebagai berikut :

Bagaimana cara mengidentifikasi dan menganalisa penyebab waste serta usulan perbaikan untuk mengurangi pemborosan di lantai produksi PT.


(6)

1.3 Batasan Masalah

Batasan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Penelitian ini ditujukan pada waste di proses produksi kursi.

2. Waste yang diteliti adalah seven waste yaitu produksi yang berlebihan, menunggu, transportasi, proses yang tidak tepat, persediaan yang tidak perlu, gerakan yang tidak perlu, serta kecacatan

3. Usulan perbaikan diprioritaskan pada tiga waste yang memiliki bobot terbesar.

1.4 Asumsi

Asumsi-asumsi yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya adalah sebagai berikut :

1. Proses produksi berjalan normal ketika penelitian dilakukan. 2. Situasi lingkungan internal bersifat tetap.

3. Kondisi perusahaan berjalan normal dan stabil

4. Tidak ada penambahan atau pengurangan karyawan pada lantai produksi selama dilakukan penelitian.


(7)

1.5 Tujuan

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian tugas akhir ini adalah sebagai berikut :

1. Mengidentifikasi waste yang ada pada proses produksi.

2. Menganalisa penyebab waste yang terjadi selama proses produksi.

3. Memberikan usulan perbaikan dengan FMEA untuk mengurangi pemborosan (waste) yang ada pada lantai produksi.

1.6 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari hasil penelitian tugas akhir ini antara lain meliputi :

1. Untuk mengurangi terjadinya kecacatan produk (defect).

2. Mengurangi jumlah waktu tunggu (waiting) yang terbuang yang dikarenakan terlalu lamanya pekerja dalam mengerjakan produksi.

3. Agar dapat mengurangi penumpukan material bahan baku yang terdapat di tempat penyimpanan (gudang).


(8)

1.7 Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan laporan penelitian tugas akhir ini adalah sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini berisi tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, batasan masalah, asumsi, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini berisi teori-teori dasar yang berkaitan dengan Lean Phylosophy, VALSAT( Value Stream Analysis Tools) yang dijadikan acuan dalam melakukan langkah-langkah penelitian sehingga permasalahan yang ada dapat dipecahkan.

BAB III METODE PENELITIAN

Bab ini dibahas tentang lokasi dan waktu penelitian, identifikasi operasional variabel, metode pengumpulan data, pengolahan data dan langkah – langkah pemecahan masalah

BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN

Bab ini berisikan uraian tentang langkah-langkah pengumpulan data, pengolahan data, dan penganalisa data yang telah dikumpulkan dan hasilnya diharapkan menjadikan sebagai bahan pertimbangan akan kemungkinan penerapan metode tersebut.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini berisi tentang kesimpulan atas analisa dari hasil pengolahan data yang telah dilakukan. Kesimpulan ini akan menjawab tujuan


(9)

penelitian. Selain itu juga berisi saran penelitian sehingga diharapkan dapat dilanjutkan untuk penelitian yang akan datang

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(10)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar Lean

Pada dasarnya konsep lean adalah konsep perampingan atau efisiensi. Konsep ini dapat diterapkan pada perusahaan manufaktur maupun jasa, karena pada dasarnya konsep efisiensi akan selalu menjadi suatu target yang ingin dicapai oleh perusahaan. Lean pada awalnya merupakan terminologi yang digunakan untuk mendeskripsikan pendekatan yang dilakukan di industri otomotif Jepang, yaitu Toyota, untuk membedakannya dengan pendekatan produksi massal yang ada di barat. Variasi dan ketergantungan merupakan hal yang kadang terabaikan dalam upaya penerapan lean production. Konsep lean yang dikenalkan oleh Womack et all adalah sebuah usaha pembentukan suatu sistem yang menggunakan input sesedikit mungkin untuk menciptakan output yang sama, sesuai dengan konsep yang diusung oleh Traditional Mass Production System tetapi memberikan pilihan yang paling banyak kepada pelanggan (Hines et all, 2005).

Menurut Vincent Gaspersz (2007) Lean adalah suatu upaya terus-menerus untuk menghilangkan pemborosan (waste) dan meningkatkan nilai tambah (value added) produk barang/jasa agar memberikan nilai kepada pelanggan (customer value).

APICS Dictionary (2005) mendefinisikan lean sebagai suatu filosofi bisnis yang berlandaskan pada minimalisasi penggunaan sumber daya (termasuk waktu) dalam berbagai aktivitas perusahaan. Lean berfokus pada identifikasi dan


(11)

eliminasi aktifitas tidak bernilai tambah (non value adding activities) dalam desain, produksi (untuk bidang manufaktur) atau operasi (untuk bidang jasa), supply chain management, yang berkaitan langsung kepada pelanggan.

Terdapat lima prinsip dasar konsep Lean yaitu :

1. Mengidentifikasi nilai produk (barang/jasa) berdasarkan perpektif pelanggan, dimana pelanggan menginginkan produk (barang/jasa) berkualitas superior dengan harga yang kompetitif pada penyerahan yang tepat waktu.( ingat prinsip Q = Quality, C = Cost dan D = Delivery ). 2. Mengidentifikasi value stream process mapping (pemetaan proses pada

value stream) untuk setiap produk (barang/jasa). Catatan : Kebanyakan manajemen perusahaan industri di Indonesia hanya melakukan pemetaan proses bisnis atau proses kerja, bukan melakukan pemetaan pada proses produk. Hal ini berbeda dengan pendekatan Lean.

3. Menghilangkan pemborosan yang tidak bernilai tambah dari semua aktivitas sepanjang proses value stream.

4. Mengorganisasikan agar material, informasi dan produk itu mengalir secara lancar dan efisien sepanjang proses value stream menggunakan sistem tarik (pull system).

Mencari terus-menerus berbagai teknik dan alat-alat peningkatan (improvements tools and techniques) untuk mencari keunggulan (excellence) dan peningkatan terus-menerus (continuous improvement).


(12)

2.2 Lean Six Sigma

Lean Six Sigma merupakan penggabungan dari konsep Lean dan Six Sigma. Yang melatar belakangi konsep ini adalah dari masing-masing konsep, dimana tujuan-tujuan tersebut sama-sama mempunyai manfaat yang cukup berarti dan sangat memungkinkan untuk melaksanakan kedua konsep tersebut secara bersamaan. Tujuan dasar dari Lean adalah mereduksi waste (pemborosan) atau aktivitas yang tidak bernilai tambah (Non Value Adding Activity). Lean menerapkan system yang berfokus pada eliminasi hal kecil dari pemborosan pada setiap area kerja. Lean menciptakan efek kumulatif yang besar dari perbaikan-perbaikan kecil yang telah dilakukan.

Untuk menerapkan lean, kita harus memahami apa yang menjadi nilai atau keinginan konsumen. Untuk itu kita harus mencari value streams di dalam perusahaan (semua aktivitas yang dibutuhkan untuk mengahasilkan suatu produk atau jasa). Setelah itu kita harus menetapkan arah, target dan mencari kapankah biasanya terjadi perubahan. Setelah itu kita membutuhkan kerangka kerja untuk menghasilkan value bagi konsumen. Konsep lean menyaring inti sari dari pendekatan lean kedalam 5 prinsip utama (Hines & Taylor, 2000) :

1. Specify value

Menetapkan apa yang menghasilkan atau tidak menghasilkan value berdasarkan pandangan konsumen.


(13)

2. Identify whole value stream

Mengidentifikasi semua langkah – langkah yang diperlukan untuk mendesign, memesan dan memproduksi barang/produk kedalam whole value stream untuk mencari non-value adding activity.

3. Flow

Membuat value flow, yaitu semua aktivitas yang memberikan nilai tambah disusun kedalam suatu aliran yang tidak terputus (continous). 4. Pulled

Mengetahui aktivitas-aktivitas penting yang digunakan untuk membuat apa yang diinginkan oleh customer.

5. Prefection

Perbaikan yang dilakukan secara terus – menerus sehingga waste yang terjadi dapat dihilangkan secara total dari proses yang ada.

Langkah-langkah yang dilakukan dalam proses lean adalah sebagai berikut (Hines dan Taylor,2000) :

1. Understanding waste

Pada langkah ini, pemborosan yang terjadi harus diketahui. Prinsip yang digunakan adalah pemilihan aktivitas-aktivitas menjadi tiga jenis, yaitu value adding, non value adding, serta necessary but non-value. Selanjutnya waste yang terjadi digolongkan menjadi tujuh macam waste menurut konsep lean.

2. Setting the direction

Pada tahap ini, ditentukan arah dan tujuan dari perbaikan. Arah berupa alat ukur keberhasilan, target keberhasilan untuk setiap alat ukur,


(14)

pendefinisian proses-proses inti, serta proses yang membutuhkan pemetaan secara detail.

3. Understanding the big picture

Pada tahap ini, keiinginan konsumen, aliran fisik serta aliran informasi dari proses pemeluhan konsumen harus diketahui.

4. Detailed mapping

Pada tahap ini, dilakukan pemetaan secara detail adalah. Alat yang bisa digunakan untuk pemetaan secara detail adalah process activity mapping, supply chain response matrix, product variety funnel, quality filter mapping, demand amplification mapping, decision point analysis, dan physical structure mapping.

5. Getting suppliers and customers involved

Implementasi lean thinking harus malibatkan supplier dan pelangganan dalam inisiatif perbaikan

6. Checking the plan fits the direction and ensuring buy-in

Pada tahap ini, dilakukan pengecekan kesesuaian antara arah yang ditujuh dengan rencana awal.

Sedangkan Six Sigma tertuju pada proses pengukuran, analisa dan perbaikan dengan metode Statistical Process Control (SPC) atau pengendalian proses secara statistik, design of experiments atau percobaan terhadap desain dan alat pemecahan masalah yang umum.

Perbedaan utama dari Lean dan Six Sigma adalah Lean menerapkan sebuah filosofi dan praktek dari pereduksian pemborosan yang menekankan pada pemborosan atau waste. Pada tabel pemborosan yang ada pada bahasan mengenai


(15)

berfikir secara Lean (Lean Thinking) dengan maksud untuk menciptakan pengaturan sendiri, system pemenuhan yang mempunyai persediaan minimal. Six Sigma menekankan pada masalah dengan dasar lingkup statistic, alat penyelesaian masalah (Problem Solving Tools).

Lean Six Sigma sangat baik untuk diterapkan pada setiap perusahaan karena dengan Six Sigma perusahaan dapat mengurangi variasi dan menghilangkan proses defect dan dengan Lean perusahaan dapat menambah kecepatan proses produksi.

Seperti yang telah disebutkan diatas, Lean Six Sigma adalah sebuah konsep yang merupakan penggabungan dari konsep Lean dan Six Sigma. Alat-alat dari Lean dan Six Sigma mempunyai banyak elemen yang sama. Oleh karena itu, banyak perusahaan-perusahaan mencari pendekatan yang memungkinkan terjadinya pengkombinasian antara kedua metode menuju pengintegrasian sistem atau peta alur perbaikan. Dan perbedaan antara Lean dan Six Sigma dapat dilihat pada tabel berikut:


(16)

Tabel 2.1 Perbandingan Metode Lean dan Six Sigma

Perbandingan Lean Six Sigma

Sasaran Menciptakan aliran dan mengeliminasi pemborosan (waste)

Memperbaiki kapabilitas proses dan mengeliminasi variasi

Aplikasi Pendahuluan proses manu- Faktur

Semua proses bisnis Pendekatan Dasar pembelajaran dan

implementasi berdasar pada praktek terbaik

Mengajarkan pendekatan penyelesaian masalah secara umum dengan menggunakan statistic

Penyelesaian Proyek Menggunakan peta aliran proses

Berbagai macam pendekatan Lama Proyek 1 minggu sampai 3 bulan 2 sampai 6 bulan

Infrastruktur Kebanyakan ad-hoc, tidak ada atau sedikit pelatihan formal

Sumber yang didedikasikan, broadbased training

Pelatihan Belajar dari melakukan (learning by doing)

Belajar dari melakukan (learning by doing)

2.3 Lean Manufacturing

Pengertian Lean manufacturing adalah suatu pendekatan sistematik untuk mengidentifikasi dan mengeliminasi pemborosan melalui improvement atau perbaikan dan pengembangan yang terus-menerus dan berkelanjutan, berusaha membuat aliran industri dalam perusahaan menjadi lancar untuk berusaha menarik konsumen dalam upaya mencapai kesempurnaan. Lean Manufacturing adalah sebuah filosofi, didasarkan pada TPS (Toyota Production System) yang bertujuan untuk mengurangi waste melalui continuous improvement.

Dalam istilah Toyota Production System (TPS) juga dikenal dengan Muda, Mura, dan Muri, yang berarti :

1. Muda (waste) : tidak menambah nilai. Ini adalah aktifitas yang tidak berguna yang memperpanjang lead time, menimbulkan gerakan tambahan


(17)

untuk memperoleh komponen atau peralatan, menciptakan kelebihan persediaan, atau berakibat pada penambahan jenis waktu tunggu.

2. Mura (inconsistency) : adanya variasi dalam pembebanan kerja atau ketidakseimbangan. Di sistem produksi yang normal, kadang-kadang terdapat lebih banyak pekerjaan dibanding dengan yang dapat ditangani oleh orang atau mesin yang ada, dan pada saat lain hanya ada sedikit pekerjaan. Ketidakseimbangan diakibatkan oleh jadwal produksi yang tidak teratur atau volume produksi yang berfluktuasi karena masalah internal, seperti kerusakan mesin, kekurangan komponen, dan produk cacat. Muda berarti akibat dari Mura. Ketidakseimbangan tingkat produksi berarti perlu memiliki peralatan, material, dan orang-orang yang melakukan tingkat produksi yang tertinggi, bahkan bila permintaan rata-ratanya jauh lebih rendah dari itu.

3. Muri (irrationality) : pembebanan yang melebihi kapasitas atau memberi beban berlebih kepada orang atau peralatan. Dari sudut pandang tertentu, hal ini merupakan ujung yang berseberangan dari spectrum Muda. Muri adalah memanfaatkan mesin atau orang dibatas kemampuannya, membebani orang secara berlebih akan menimbulkan masalah dalam keselamatan kerja dan kualitas. Membebani peralatan secara berlebih menyebabkan kerusakan dan produk cacat.

James womack dan Daniel jones (1996) mendefiniskan Lean Manufacturing sebagai suatu proses yang terdiri dari lima langkah diantaranya adalah : mendefinisikan nilai bagi pelanggan, menetapkan value stream, membuatnya ”mengalir”, ”ditarik” oleh pelanggan, dan berusaha keras untuk


(18)

mencapai yang terbaik. Untuk menjadi sebuah proses manufaktur yang Lean diperlukan suatu pola pikir yang terfokus pada membuat produk mengalir melalui proses penambahan nilai tanpa interupsi (one piece flow), suatu sistem ”tarik” yang berawal dari permintaan pelanggan, dengan hanya menggantikan apa yang diambil oleh proses berikutnya dalam interval yang singkat dan suatu budaya dimana semua orang berusaha keras melakukan peningkatan secara terus-menerus. ( Jeffery K. Liker, 2006).

Implementasi Lean Manufacturing adalah memfokuskan diri mendapatkan hal yang tepat pada tempat yang tepat, pada waktu yang tepat dalam jumlah yang tepat untuk mencapai aliran kerja yang sempurna disaat yang sama meminimasi pemborosan dan menjadi fleksible (mudah berubah). Implementasi Lean Manufacturing pertama kali diperkenalkan oleh Taiichi Ohno dari Toyota Motor Company, sebuah perusahaan raksasa dunia yang sangat agresif dalam improvement. Lean Manufacturing diharapkan produk atau komponen tersedia tepat pada waktunya, dalam jumlah yang tepat dan pada tempat yang tepat pula. Dengan demikian persediaan dapat ditekan seminim mungkin dan proses produksi akan menjadi mengalir, tidak tersendat-sendat.

Menurut Hines & Taylor (2000) Lean Manufacturing menyaring intisari dari pendekatan Lean ke dalam lima langkah utama yaitu :

1. Specify value (mendefinisikan nilai bagi pelanggan), yaitu mengidentifikasi nilai (value) produk berdasarkan perspektif pelanggan, dimana pelanggan menginginkan produk berkualitas tinggi dengan harga yang kompetitif dan penyerahan tepat waktu.


(19)

2. Identify whole value stream (menetapkan value stream), yaitu mengidentifikasi semua langkah – langkah yang diperlukan untuk mendesain, memesan dan memproduksi barang atau produk ke dalam whole value stream untuk mencari non value added activity (aktivitas yang tidak memberikan nilai tambah).

3. Flow (mengalir), yaitu membuat value flow untuk semua aktifitas yang memberikan nilai tambah disusun dalam suatu aliran yang tidak terputus (continuous).

4. Pulled (ditarik oleh pelanggan), yaitu mengorganisasikan agar material, informasi dan produk mengalir lancar dan tepat sepanjang proses value stream dengan pull system.

5. Perfection (pencapaian yang terbaik), yaitu mengejar keunggulan untuk mencapai kesempurnaan (zero waste) melalui perbaikan yang dilakukan secara terus – menerus sehingga waste yang terjadi dapat dihilangkan secara total dari proses yang ada.

Prinsip Lean Manufacturing sejatinya telah digunakan oleh Henry Ford sejak awal tahun 1920, dan terbukti telah membuat Ford Motor Company menjadi perusahaan otomotif terbesar kedua di dunia. Henry Ford berkata “ salah satu pencapaian kami (Ford Group) mampu menjaga produk Ford menjadi tetap rendah, yaitu semakin lama sebuah produk dalam proses manufaktur , maka total biaya produksi juga akan semakin besar”. (Jeffery K. Liker, 2006).

Dalam penerapan metode Lean Manufacturing terdapat prinsip – prinsip yang perlu diperhatikan antara lain :


(20)

1. Menyempurnakan mutu pertama kali, mencari nol cacat, pernyataan dan pemecahan permasalahan pada sumbernya

2. Meminimalkan barang sisa, penghapusan semua aktifitas yang tidak menambahkan nilai dan memaksimalkan penggunaan sumber daya (modal, orang – orang dan area)

3. Peningkatan yang berkelanjutan, mengurangi biaya – biaya, meningkatkan mutu, dan berbagi informasi

4. Proses penarikan yaitu produk ditarik dari pelanggan terakhir, yang tidak mendorong dari akhir produksi

5. Fleksibilitas, produksi produk yang berbeda (mixed production) atau keanekaragaman produk yang lebih besar dengan cepat, tanpa mengorbankan efisiensi pada volume produksi lebih rendah

6. Bangunan dan pemeliharaan adalah suatu hubungan jangka panjang dengan para penyalur melalui berbagai resiko kolaboratif, biaya dan pengaturan informasi.

7. Autonomation, leveling and production flow and visual control.

2.4 Pemborosan

Pemborosan adalah segala aktivitas tidak bernilai tambah dalam proses di mana aktivitas-aktivitas itu hanya menggunakan sumber daya namun tidak memberikan nilai tambah kepada pelanggan. Pada saat melakukan eliminasi terhadap waste, sangatlah penting untuk mengetahui apakah waste itu dan di mana waste berada, apakah di pabrik atau di gudang. Umumnya produk yang dihasilkan


(21)

berbeda pada masing-masing pabrik, tetapi jenis waste yang ditemukan di lingkungan manufaktur hampir sama.

Pada saat berpikir tentang pemborosan (waste), akan lebih mudah bila mendefinisikannya kedalam tiga jenis aktivitas yang berbeda yaitu :

1. Aktivitas Yang Bernilai Tambah (Value Adding Activity)

Segala aktivitas yang dalam menghasilkan produk atau jasa yang memberikan nilai tambah di mata konsumen. Contoh dari aktivitas tipe ini adalah mengubah plat baja menjadi tangki baja, dan lain sebagainya. 2. Aktivitas Yang Tidak Bernilai Tambah (Non – Value Adding Activity)

Merupakan segala aktivitas yang dalam menghasilkan produk atau jasa yang tidak memberikan nilai tambah di mata konsumen. Aktivitas inilah yang disebut waste yang harus dijadikan target untuk segera dihilangkan. Contoh dari aktivitas ini adalah waktu menunggu, penumpukan bahan atau material, dan lain-lain.

3. Aktivitas Yang Tidak Bernilai Tambah Tetapi Dibutuhkan (Necessary But Non Value Adding Activity)

Merupakan segala aktivitas yang dalam menghasilkan produk atau jasa yang tidak memberikan nilai tambah di mata konsumen tetapi diperlukan kecuali apabila sudah ada perubahan pada proses yang ada. Aktivitas ini biasanya sulit untuk dihilangkan dalam waktu singkat. Contoh dari aktivitas ini adalah inspeksi setiap produk pada akhir proses karena menggunakan mesin lama yang tidak reliable. (Hines & Taylor, 2000).


(22)

2.4.1 Type-Type Pemborosan ( waste )

Ada beberapa type – type pemborosan. Yaitu : 1. Type tujuh pemborosan ( seven waste )

a. Produksi berlebihan (overproduction) adalah kegiatan menghasilkan barang melebihi permintaan / keinginan sehingga menambah alokasi sumber daya terhadap produk.

b. Menunggu (waiting) adalah proses menunggu kedatangan material, informasi, peralatan dan perlengkapan.

c. Transportasi (transportation) adalah memindahkan material atau orang dalam jarak yang sangat jauh dari satu proses ke proses berikut yang dapat mengakibatkan waktu penanganan material bertambah.

d. Proses yang tidak tepat (inappropriate processing) adalah proses kerja dimana terdapat ketidaksempurnaan proses atau metode operasi produksi yang diakibatkan oleh penggunaan tool yang tidak sesuai dengan fungsinya ataupun kesalahan prosedur atau sistem operasi. Secara umum faktor penyebabnya adalah peralatan atau tool yang tidak sesuai, maintenance peralatan yang jelek dan lain-lain.

e. Persediaan yang tidak perlu (unnecessary inventory) adalah penyimpanan (inventory) melebihi volume gudang yang ditentukan, material yang rusak karena terlalu lama disimpan atau terlalu cepat dikeluarkan dari tempat penyimpanan, material yang sudah kadaluarsa. Secara umum faktor penyebabnya adalah waktu


(23)

change over yang lama, ketidakseimbangan lintasan, peramalan yang kurang akurat, atau ukuran batch yang besar.

f. Gerakan yang tidak perlu (unnecessary motion) adalah gerakan yang melibatkan konsep ergonomis pada tempat kerja, dimana operator melakukan gerakan-gerakan yang seharusnya bisa dihindari, misalnya komponen dan kontrol yang terlalu jauh dari jangkauan double handling, layout yang tidak standar, operator membungkuk. Secara umum faktor penyebabnya adalah pengelolaan tempat kerja yang jelek, layout yang jelek, metode kerja yang tidak konsisten, desain mesin yang tidak ergonomis. g. Kecacatan (defect) merupakan kesalahan yang terlalu sering dalam

kertas kerja, kualitas produk yang buruk, atau performansi pengiriman yang buruk, ketidaksempurnaan produk, kurangnya tenaga kerja pada saat proses berjalan, adanya alokasi tenaga kerja untuk proses pengerjaan ulang (rework) dan tenaga kerja menangani pekerjaan claim dari pelanggan. (Singo dan Kilpatrick, 2003)

2. Type delapan pemborosan ( eight waste )

Menurut Taiichi Ohno delapan pemborosan tersebut adalah a. Overproduction (produksi berlebih)

Produksi berlebih adalah memproduksi produk jauh lebih banyak dari permintaan konsumen atau melebihi jumlah yang dibutuhkan. Sedangkan dalam Lean Manufacturing semua produk yang diproduksi di luar hal tersebut (Work in Progress, buffer, safety


(24)

stock) merupakan pemborosan karena hal tersebut membuat organisasi menjadi tidak dapat melakukan hal lain yang dapat memenuhi keinginan konsumen. Produksi berlebih adalah pemborosan yang paling parah diantara jenis pemborosan lainnya. Kalau permintaan pasar sedang tinggi, pemborosan jenis ini mungkin terlalu penting, namun dikala permintaan pasar sedang menyusut, dampak dari produksi berlebih akan berlipat ganda. Bahkan seringkali perusahaan mendapatkan kesulitan karena menyimpan barang yang tidak terjual itu sebagai persediaan extra. b. Waiting (menunggu)

Yang dimaksud dengan menunggu ialah menunggu kedatangan material, menunggu informasi, peralatan, perlengkapan dan semua hal yang membuat organisasi berhenti beraktivitas sehingga menimbulkan pemborosan. Pemborosan karena menunggu harus ini harus terungkap kebenaran situasinya terlebih dahulu sebelum tindakan perbaikan dilaksanakan. Suatu contoh yang salah menafsirkan situasi pemborosan karena karena waktu menunggu adalah membiarkan mesin dan operatornya menunggu pada saat pekerjaan yang diperlukan sudah selesai. Bila hal ini dianggap sebagai pemborosan dan kemudian diatasi maka dampaknya justru akan menimbulkan pemborosan karena produksi berlebih yang lebih gawat. Dalam hal ini kita harus lebih cermat dalam menilai situasi.


(25)

c. Transportation (transportasi yang tidak perlu)

Yang di maksud transportasi dalam Lean Manufacturing adalah bahwa transportasi suatu barang seharusnya dilaksanakan atau didatangkan langsung menuju tempat dimana barang tersebut dapat langsung digunakan sehingga tidak menimbulkan pemborosan lainnya yaitu transportasi yang tidak perlu. Pemborosan karena transportasi dan penanganan barang adalah pemborosan yang sering kita jumpai di dalam pabrik. Barang yang sama dapat saja ditangani berulang-ulang tanpa memberi nilai tambah. Perencanaan yang buruk akan menyebabkan kegiatan transportasi membengkak dan penanganan barang dilakukan berulang-ulang.

d. Non value added activities (aktivitas yang tidak memberikan nilai tambah)

Metode dalam pengolahan produksi dapat menjadi sumber dari pemborosan yang seharusnya tidak perlu ada. Misalnya pengerjaan ulang (reworking) karena seharusnya proses tidak perlu diulang apabila dilakukan proses yang benar. Deburing (sisa produksi) karena produk seharusnya dapat diproduksi tanpa sisa produksi apabila dilakukan dengan desain yang tepat dan alat yang lengkap untuk pekerjaan tersebut dan inspecting (pemeriksaan) karena produk seharusnya dapat diproduksi dengan menggunakan Statistical Process Control (SPC) untuk menghilangkan atau meminimalkan jumlah inspeksi yang diperlukan dalam menjaga kualitas produk tersebut.


(26)

e. Excess inventory (persediaan berlebih)

Persediaan berlebih juga akan meningkatkan biaya produksi. Kelebihan persediaan memerlukan penanganan extra, tempat extra, extra bunga yang harus dibayar, extra karyawan, extra dokumen, dan lain-lain.

Berikut adalah beberapa prinsip untuk mengurangi persediaan berlebih :

- Singkirkan barang-barang yang tidak diperlukan lagi

- Jangan memproduksi barang yang tidak diperlukan untuk proses berikutnya.

- Jangan membeli atau membawa barang dalam ukuran lot besar (meskipun penghematan dari diskon pembelian dalam jumlah besar, mungkin lebih besar dari biaya pemborosan karena persediaan)

- Usahakan untuk memproduksi dalam lot kecil (mengurangi waktu set-up atau tingkatkan frekuensi peralihan jenis produksi)

f. Excess motion (gerakan yang berlebih/tidak diperlukan)

Seorang pekerja dapat kelihatan sibuk selama tiga jam untuk mondar-mandir mencari alat kerja ke semua sudut pabrik. Jelas ini merupakan kegiatan yang tidak memberikan nilai tambah sama sekali, hal ini justru akan membebani biaya produksi dengan upahnya selama tiga jam yang sia-sia. Di samping itu, hasil produksi menjadi tertunda dikirim kepada pelanggan klarena lead time produksi bertambah. Contoh gerakan mengambil dan


(27)

mengembalikan benda dapat dihilangkan bila kita meletakkan alat kerja berdekatan dengan penggunaannya. Berjalan mondar-mandir dengan jarak yang cukup jauh adalah gerakan yang sia-sia, khususnya bila operator diberi tanggung jawab untuk mengoperasikan mesin. Mesin harus diletakkan dengan benar, saling berdekatan dengan operator sehingga perjalanan kaki operator dapat dikurangi.

g. Defect waste (pemborosan karena cacat produksi)

Bila cacat produksi terjadi pada satu pos produksi kerja, maka pada umumnya operator pada pos kerja berikutnya akan menunggu. Waktu terbuang percuma dan menambah biaya produksi. Lebih parah lagi apabila barang-barang tersebut dikerjakan ulang (rework) atau bahkan produk yang cacat itu harus dimusnahkan. Apabila cacat produksi terjadi maka akan diperlukan untuk membongkar dan mereparasi produk itu, lagipula tambahan komponen juga akan diperlukan dalam penaganan komponen yang rusak. Otomatis jadwal produksi akan terganggu karena menunggu proses penyelesaian tersebut. Memilah-milah komponen yang jelek juga menyerap tambahan tenaga kerja sehingga meningkatkan jumlah biaya, yang berarti pemborosan. Kasus yang lebih buruk lagi apabila pelanggan menemukan cacat produksi setelah produk berada ditangannya. Tidak hanya ongkos garansi dan ongkos kirim saja yang harus ditanggung, tetapi juga pengorbanan citra perusahaan, peluang bisnis pendatang baru dan pangsa pasar yang


(28)

menyusut. Untuk menghindari masalah itu sebuah sistem harus dikembangkan untuk menemukan dan mengenali cacat produksi serta berbagai kondisi penyebab timbulnya cacat tersebut. Dengan demikian, operator bisa melakukan tindakan perbaikan langsung. h. Underutilized people (pekerja yang kurang profesioanl)

Yang dimaksud underutilzed people adalah pekerja yang tidak mengeluarkan seluruh kemampuan yang dimilikinya baik dari segi mental, kreativitas, serta skill dan kemampuan fisik dimana biasanya seorang pekerja harus dapat mengoptimalkan seluruh kemampuan yang dimiliknya demi kepentingan bersama. Beberapa penyebab pemborosan type ini adalah : proses kerja yang jelek dan kurang teratur, budaya kerja yang kurang positif atau tidak mendorong pekerjanya untuk berkembang, praktek perekrutan para pekerja yang kurang selektif, training pegawai yang kurang memadai atau bahkan tidak ada sama sekali training pegawai, dan turnover pekerja yang terlalu tinggi sehingga tidak ada pekerja yang benar-benar mengerti pekerjaan serta segala detail dari perusahaan untuk berkembang (Jefery K Likert, 2006).

3. Type sembilan pemborosan ( nine waste )

Menurut Vincent Gaspersz (2007) sembilan pemborosan yang ada dalam bidang industri yang terkenal dengan istilah E-DOWNTIME, yaitu :

b. E = Environmental, Health and Safety (EHS) adalah jenis pemborosan yang tejadi karena kelalaian dalam memperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan prinsip-prinsip EHS.


(29)

c. D = Defects adalah jenis pemborosan yang terjadi karena kecacatan atau kegagalan produk (barang/jasa).

d. O = Overproduction adalah jenis pemborosan yang terjadi karena produksi berlebih dari kuantitas yang dipesan oleh pelanggan, e. W = Waiting adalah jenis pemborosan yang terjadi karena

menunggu.

f. N = Not utilizing employees knowladge skills and abilities adalah jenis pemborosan sumber daya manusia (SDM) yang terjadi karena tidak menggunakan pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan karyawan secara optimal.

g. T = Transportation adalah jenis pemborosan yang terjadi karena transportasi yang berlebihan sepanjang proses value stream.

h. I = Inventories adalah jenis pemborosan yang terjadi karena inventories yang berlebihan.

i. M = Motion adalah jenis pemborosan yang terjadi karena banyaknya pergerakan dari yang seharusnya sepanjang proses value stream.

j. E = Excess processing adalah jenis pemborosan yang terjadi karena langkah-langkah proses yang panjang dari yang seharusnya sepanjang proses value stream.

4. Type sepuluh pemborosan ( ten waste )

Dalam perspektif lain, kaufman consulting group (1999) telah merumuskan 10 jenis pemborosan dalam industri manufaktur, dimana ke-10 jenis pemborosan itu dikelompokkan kedalam empat kategori utama yaitu


(30)

orang, kuantitas, kualitas dan informasi seperti yang ditunjukkan dalam gambar 2.1 dan pendekatan untuk reduksi pemborosan tersebut ditunjukkan dalam tabel 2.1

( Sumber : Kaufman consulting group, 1999 )

Gambar 2.1 Sepuluh areas waste dalam industri manufaktur

Tabel 2.2 Pendekatan untuk mereduksi pemborosan dalam industri manufaktur Kategori pemborosan Jenis pemborosan Pendekatan reduksi pemborosan Contoh metode peningkatan kinerja Fokus peningkatan

Orang (people) Processing, motion, waiting Manajemen tempat kerja (workplace manajement) Penetapan standar kerja, pengorgaisasia n tempat kerja, kaizen, 5S

Tata letak (layout), pemasangan label (labeling), tools/part arrangement, work instruction, efisiensi, takt time, skills (kemampuan), training, shift meeting, cell/areas team, visual displays Kuantitas (quantity) Inventory, moving things, making too much

JIT (Just In Time) Leveling, kanban, quick setup, preventive maintenance

Work balance, WIP (work in process), location/amount, kanban location, kanban types, lot sizes, changeover analyze, preventive maintenance analyze Kualitas

(quality)

Fixing defects Error (mistake),

Detection, warning,

Fixture modifications


(31)

autonomation prevention, jidoka

limit switches, check sheets, appropriated automated assistance, template Informasi (information) Planning, scheduling, execution Teknologi informasi berfokus proses (process focused information technology) Plan, schedule, track, anticipate, optimize Queue analyze, dynamic scheduling of order/job status by process element, timing/completion

( Sumber : Kaufman consulting group, 1999 )

2.5 Tool yang digunakan

Dalam mencari penyebab terjadinya waste ada beberapa tools yang digunakan, yaitu :

1. Big Picture Mapping

Big picture mapping adalah pemetaan proses pada level tinggi yang melingkupi proses secara luas namun dengan tingkat kedetailan yang masih rendah. Peta gambar besar atau Big Picture Mapping merupakan sebuah alat yang diadopsi dari sistem produksi Toyota. Alat ini sangat membantu dalam mengidentifikasi terjadinya pemborosan (waste). Pemborosan dapat diketahui dengan mengetahui aliran fisik dan aliran informasi dari perusahaan dan menggambarkannya dalam satu kesatuan. Selain itu peta gambar besar atau Big Picture Mapping sangat berguna untuk dilakukan sebelum membuat detailed mapping dari proses manapun. Dengan membuat Big Picture Mapping maka dapat membantu untuk menggambarkan aliran yang ada, membantu menemukan lokasi waste, menyatukan penerapan dari kelima prinsip Lean, membantu untuk memutuskan siapa yang menjadi anggota tim untuk implementasi,


(32)

Ada lima langkah yang perlu dilakukan untuk membentuk Big Picture Mapping yaitu :

1. Fase pertama, mengidentifikasikan kebutuhan pelanggan.

Beberapa perlu dijawab pada fase ini. Misalnya, seberapa banyak pelanggan membutuhkan barang tertentu tiap tahun, bagaimana pola pemesanannya, berapa ukuran pesanan biasanya, berapa banyak pelanggan biasanya menyimpan persediaan, berapa sering pengiriman dilakukan, serta hal-hal lain yang relevan.

2. Fase kedua, Information flows

Pada fase ini, ditambahkan aliran informasi yang melintasi proses yang ditinjau. Untuk melengkapi fase ini perlu dicari tahu apakah informasi yang diberikan pelanggan ke perusahaan (ramalan, call-off, dan sebagainya), ke bagian mana informasi-informasi tersebut disampaikan, berapa lama menunggu sebelum informasi tersebut diproses, pihak mana saja atau siapa saja yang dilewati sampai informasi tersebut mengalir ke bagian hulu perusahaan (supplier), serta informasi-informasi apa yang perusahaan berikan ke supplier.

3. Fase ketiga adalah menambahkan aliran fisik pada peta tersebut.

Aliran fisik yang berasal dari luar dan ke luar perusahaan maupun yang ada di dalam perusahaan harus sama-sama ditambahkan. Informasi seperti pola pengiriman dari supplier, ukuran pengiriman, rata-rata waktu tunggu sebelum pesanan dikirim,. Selanjutnya, untuk aliran internal perlu diidentifikasikan langkah-langkah kunci yang terlibat, di mana saja persediaan biasanya disimpan, dimana saja biasanya terjadi inspeksi


(33)

kualitas, berapa lama masing-masing kegiatan tersebut dilakukan, titik mana merupakan bottleneck, dan sebagainya.

4. Hubungkan aliran fisik dan aliran informasi.

Di sini diperlukan informasi di mana informasi seperti rencana material atau rencana produksi turun menjadi pemicu adanya aliran fisik dan sebaliknya. Sebagai contoh, rencana produksi diuraikan menjadi jadwal produksi harian sehingga dapat menjadi pedoman untuk memindahkan material dari gudang ke lantai produksi dan menjadi instruksi kerja operator di lantai produksi untuk mengerjakan suatu produk. Sebaliknya, ada aliran dari bagian bawah ke bagian atas dari peta yang dibuat. Misalnya, hasil kegiatan inspeksi material akan memberikan informasi tentang reject rate. Informasi ini akan masuk ke bagian perencanaan material sehingga bisa digunakan sebagai dasar untuk memperbaiki atau membuat rencana baru.

5. Fase terakhir adalah melengkapi peta di atas dengan informasi lead time dan value adding time dari keseluruhan proses. Informasi ini ditempatkan di bagian bawah dari peta.

Berikut ini adalah simbol-simbol yang digunakan dalam Big Picture Mapping (BPM) :


(34)

Sumber : Hines, P. & D. Taylor, 2000. ”Going Lean”.

Gambar 2.2 Icon Big Picture Mapping

Untuk menggambarkan peta gambar besar atau Big Picture Mapping terlebih dahulu tentukan lambang dari tiap komponen yang ada antara lain : pemasok/konsumen (supplier/customer), kotak informasi (information box), kotak waktu (timing box), kotak pengerjaan ulang (rework box), titik persediaan (inventory point), titik inspeksi (quality check point), stasiun kerja dengan waktu (work station with timing), aliran informasi (information flow), aliran fisik (physical flow), kotak proses stasiun kerja (work station process box), aliran fisik antar perusahaan (inter company physical flow).


(35)

(Sumber : Budi Utomo Rachman, 2010)

Gambar 2.3 Contoh Big Picture Mapping 2. Kuisioner atau Formulir

Kuisioner atau formulir digunakan untuk mendapatkan ranking dan rata – rata pemborosan (waste) yang paling berurutan.

a. Kuisioner


(36)

Keterangan : Tipe pemborosan (waste) yang digunakan telah menjadi ketetapan, sedangkan skor 0 – 5, kemudian dirangking mana waste yang terbesar pada perusahaan yang diteliti. b. Formulir

Tabel 2.4 Formulir

(Sumber : Danang Prasetyo,2010 dalam Vincent Gasperz, 2007) Keterangan: - Skor yang digunakan 0 – 4.

- Untuk kolom tipe waste (#1 - #9) ditulis berdasarkan tipe

pemborosan 9 waste dan skor ditulis berdasarkan pengamatan di perusahaan yang diteliti.

- Untuk kolom rangking ditulis bobot rangking, stasiun kerja yang memiliki waste terbesar diberi rangking 1, kemudian stasiun kerja yang memiliki waste terbesar kedua diberi rangking 2, begitu seterusnya hingga rangking ke 9 (rangking terakhir).


(37)

3. Value Stream Analysis Tools (VALSAT)

Value Stream Mapping Tools (VALSAT) adalah alat yang berfungsi untuk memilih alat dari pemetaan aliran proses yang nantinya akan digunakan sebagai pedoman dalam mengidentifikasi pemborosan (waste). Value stream analysis tools merupakan tools yang tepat untuk memetakan secara detail waste pada aliran nilai yang fokus pada value adding process dan non-value adding process. VALSAT merupakan tool yang dikembangkan oleh Hines dan Rich (1997) untuk mempermudah pemahaman terhadap value stream yang ada dan mempermudah untuk membuat perbaikan berkenaan dengan waste yang terdapat dalam value stream. VALSAT merupakan pembobotan waste-waste, kemudian dari pembobotan tersebut dilakukan pemilihan terhadap tool dengan menggunakan matrik. Pada proses ini dilakukan proses pemetaan dari future state yang diusulkan. Alasan yang mendasari pengumpulan dan penggunaan serangkaian tool ini adalah untuk membantu para peneliti atau para praktisi dalam mengidentifikasikan pemborosan pada individual value stream dan mendapatkan jalan yang tepat untuk menghilangkannya. Berikut ini adalah tools yang digunakan pada value stream mapping yang akan ditunjukkan pada tabel 2.5


(38)

Tabel 2.5 Value Stream Analysis Tools process activity supply chain production variety quality filter demand amplification decision point phisical waste/structure mapping response

matrix funnel Mapping Mapping analysis structure

over production L M L M M

waiting H H L M M

transportation H L

unappropriate H M L L

processing

unnecessary M H M H M L

inventory

unnecessary H L H

motion

defects L

overall structure L L M L H M H

Sumber : Vincent Gaspersz , “Lean Six Sigma for Manufacture and Service Industries” 2006.

Notes : H : high correlation and usefulness M : medium correlation and usefulness L : low correlation and usefulness

Keterangan : H (high correlation) : faktor pengali = 9 M (medium correlation) : faktor pengali = 3 L (low correlation) : faktor pengali = 1

Selanjutnya akan dilakukan pemilihan pemetaan yang tepat dalam value stream dengan menggunakan VALSAT (Value Stream Analysis Tools). Cara perhitungannya adalah hasil dari rata-rata waste dikalikan dengan besar pembobotan yang terdapat pada tabel VALSAT . Dari ketujuh tool tersebut akan digunakan untuk memahami kondisi yang terjadi di lantai produksi, penggunaan tool tersebut dilakukan dengan melakukan pemilihan dengan menggunakan matrik. Untuk langkah penting dalam pemilihan tool yang sesuai dengan kondisi yang bersangkutan antara lain melakukan pembobotan terhadap waste. Pembobotan ini merupakan hal yang sangat penting sekali karena dengan prmbobotan waste yang sempurna maka tool yang akan datang juga tepat sehingga mudah dalam melakukan usulan perbaikan.


(39)

Untuk lebih jelasnya berikut detail dari ketujuh tools yang dikemukakan oleh Hines dan Rich (1997) dalam VALSAT :

a. Process Activity Mapping (PAM)

Tool ini digunakan untuk membuat detailed mapping dalam order fulfillment process. Secara lebih luas kita menggunakannya untuk mengidentifikasi lead time baik dari aliran fisik produk maupun aliran informasi, tidak hanya di area pabrik tetapi juga pada area lainnya dalam supply chain, mengeliminasi pemborosan pada tempat kerja dan menyediakan goods dengan kualitas tinggi serta pelayanan yang mudah, cepat dan tidak mahal. Dasar pendekatan ini adalah mencoba untuk mengeliminasi aktivitas yang tidak perlu, menyederhanakan, mengkombinasi serta mencari perubahan rangkaian yang akan mengurangi pemborosan.

Lima tahap pendekatan Process Activity Mapping secara umum adalah : 1. Memahami aliran proses kemudian mengidentifikasi pemborosan 2. Mempertimbangkan apakah proses dapat di arrange ulang pada

rangkaian yang lebih efisien.

3. Mempertimbangkan aliran yang lebih baik, melibatkan aliran layout dan rute transportasi yang berbeda.

4. Mempertimbangkan apakah segala sesuatu yang telah dilakukan pada tiap-tiap stage benar-benar perlu dan apa yang akan terjadi jika hal-hal yang berlebihan tersebut dihilangkan.

Dalam tool ini aktivitas dikategorikan dalam beberapa kategori, seperti : operation (operasi), transport (transportasi), inspection (pemeriksaan),


(40)

storage (penyimpanan) dan delay (menunggu). Untuk membuat Process Activity Mapping, dilakukan dengan cara membuat analisa persiapan proses kemudian dilakukan pencatatan secara detail dari permintaan barang pada tiap proses. Hasilnya adalah peta proses, dimana tiap-tiap langkah telah dikategorikan dalam berbagai macam tipe aktivitas.

b. Supply Chain Response Matrix

Tool ini merupakan sebuah diagram sederhana yang berusaha menggambarkan the critical lead time constraint untuk setiap bagian proses dalam supply chain, yaitu cumulative lead time di dalam distribusi sebuah perusahaan baik suppliernya dan downstream retailernya. Diagram ini terdapat 2 axis dimana untuk vertical axis menggambarkan rata-rata jumlah inventory (hari) dalam setiap bagian supply chain. Sedangkan untuk horizontal axis menunjukan comulative lead timenya.

c. Production Variety Funnel

Pendekatan ini sama dengan metode analisa IVAT yang melihat operasi internal perusahaan sebagai aktivitas yang disesuaikan ke I, V, A, atau T merupakan pemetaan visual yang mencoba memetakan jumlah variasi produk tiap tahapan proses manufaktur. Tools ini dapat digunakan untuk mengidentifikasi titik dimana sebuah produk generic diproses menjadi beberapa produk yang spesifik. Tool ini dapat digunakan untuk membantu menentukan target perbaikan, pengurangan inventory dan membuat perubahan untuk proses dari produk.


(41)

d. Quality Filter Mapping

Pendekatan Quality Filter Mapping merupakan tool baru yang digunakan untuk mengidentifikasi dimana keberadaan masalah kualitas pada rantai persediaan. Peta ini memperlihatkan tiga tipe cacat kualitas yang berbeda yang terdapat pada value stream yaitu :

1. Product defect : cacat pada fisik produk yang lolos dari proses inspeksi dan sampai ke tangan konsumen.

2. Scrap defect : cacat yang ditemukan pada proses inspeksi

3. Service defect : permasalahan dari konsumen yang tidak secara langsung berhubungan dengan produk, tetapi dengan tingkat pelayanan dari perusahaan.

Ketiga tipe defect tersebut digambarkan secara letitudinal sepanjang supply chain. Pendekatan ini dirancang untuk membangun tingkat kualitas baik internal maupun eksternal semaksimal mungkin seperti yang di inginkan oleh konsumen (customer needs).

e. Demand Amplification Mapping

Merupakan diagram yang menggambarkan bagaimana demand berubah-ubah sepanjang jalur supply chain dalam interval waktu tertentu. Informasi yang dihasilkan dari diagram ini merupakan dasar untuk mengatur fluktuasi dan menguranginya, membuat keputusan berkaitan dengan value stream configuration. Dalam diagram ini vertical axis menggambarkan interval waktu, grafik di dapatkan untuk setiap chain dari supply chain configuration yang ada.


(42)

f. Decision Point Analysis

Merupakan tool yang digunakan untuk menentukan titik dimana aktual demand dilakukan dengan sistem pull sebagai dasar untuk membuat forecast pada sistem push pada supply chain atau dengan kata lain titik batas dimana produk dibuat berdasarkan demand aktual selanjutnya produk harus dibuat dengan melakukan forecast. Dengan tool ini dapat diukur kemampuan dari proses upstream dan downstream berdasarkan titik tersebut, sehingga dapat ditentukan filosofi pull (tarik) atau push (tekan) yang sesuai.

g. Physical Structure

Tool ini digunakan untuk memahami kondisi dan fungsi bagian-bagian dari supply chain untuk berbagai level industri. Dengan pemahaman tersebut dapat dimengerti kondisi industri tersebut, bagaimana beroperasi dan dapat memberikan perhatian pada level area yang kurang diperhatikan. Untuk level yang lebih kecil tool ini dapat menggambarkan inbound supply chain di lantai produksi.

4. Fish Bone Chart (Diagram Tulang Ikan)

Fish Bone Chart adalah sebuah diagram yang menunjukkan hubungan antara karakteristik mutu dan faktor penyebab kecacatan / pemborosan. Diagram ini berbentuk tulang ikan karena itu disebut juga diagram tulang ikan. Fish Bone Chart merupakan alat formal yang digunakan untuk menunjukkan penyebab potensial dari kecacatan / pemborosan. Ruas utama sebelah kanan menunjukkan masalah yang terjadi. Cabang utama dikaitkan pada penyebab utama dan setiap cabang utama memiliki daftar penyebab yang lebih detail. Penyebab masalah


(43)

utama yang potensial harus segera dicari tahu dan dianalisa saat masalah diidentifikasi. Metode tukar pikiran digunakan untuk menentukan penyebab dari akibat yang dihasilkan dalam mendesain sebuah diagram sebab akibat. (Sutalaksana. 1979).

Gambar 2.4 Fish Bone Chart 5. Failure Mode Effect and Analysis (FMEA)

FMEA adalah sekumpulan petunjuk, sebuah proses dan form untuk mengidentifikasi dan mendahulukan masalah – masalah potensial ( kegagalan ). (Cavanagh, Peter S Pande, Robert P Ncuman, 2002)

FMEA digunakan sebagai teknik evaluasi tingkat kehandalan untuk menentukan efek dari kegagalan sistem. Kegagalan digolongkan berdasarkan dampaknya pada kesuksesan suatu misi dan keselamatan anggota atau peralatan. Konsep FMEA ini berubah ketika diterapkan pada kondisi manufaktur modern yang memproduksi produk-produk konsumsi. Pada produsen dari produk-produk konsumsi tersebut kemudian menetapkan beberapa prioritas baru, termasuk kepuasan dan keselamatan konsumen. Secara umum Failure Mode Effect and Analysis didefinisikan sebagai sebuah teknik yang mengidentifikasi tiga hal, yaitu (1) Penyebab kegagalan yang potensial dari proses atau produk selama siklus


(44)

hidupnya. (2) Efek dari kegagalan tersebut. (3) Tingkat kekritisan efek kegagalan terhadap fungsi produk atau proses.

FMEA merupakan tool dalam menganalisis kehandalan (reliability) dan penyebab kegagalan untuk mencapai persyaratan kehandalan dan keamanan produk dengan memberikan informasi dasar mengenahi prediksi kehandalan, desain produk, dan desain proses. Dalam FMEA terdapat beberapa hal yang berpengaruh, antara lain :

1. Rating keparahan (severity) adalah rating yang berhubungan dengan tingkat keparahan efek yang ditimbulkan oleh mode kegagalan. Efek dirating pada skala satu sampai sepuluh, dengan sepuluh sebagai tingkat yang paling parah. Sumber fundamental dari kegagalan menyangkut berbagai aspek dari desain, pemilihan material, kekurangan atau kelemahan material, fabrikasi dan pemprosesan, pengerjaan ulang, perakitan, inspeksi, uji coba atau testing, pengendalian kualitas (quality control), penyimpanan, pengiriman, kondisi kerja, pemeliharaan, dan penyimpanan yang tidak terduga akibat kelebihan beban atau kerusakan mekanis atau kimia dalam kerja. Terkadang pula, lebih dari satu sumber tersebut memberikan kontribusi kegagalan. (Ford Motor Company, 1992). 2. Rating kejadian (occurrence) adalah rating yang berhubungan dengan

estimasi jumlah kegagalan kumulatif yang muncul akibat suatu penyebab tertentu pada elemen dengan jumlah yang ditentukan yang diproduksi dengan metode pengendalian yang digunakan pada saat ini. Rating kejadian ini diestimasikan dengan jumlah kegagalan kumulatif yang muncul pada setiap 1000 komponen atau CNF (Cumulative Number of


(45)

Failure)/1000. CNF/1000 dapat diestimasikan dari sejarah tingkat kegagalan proses manufaktur dan komponen yang mirip atau yang dapat mewakili jika estimasi dari kegagalan dari komponen yang dimaksud tidak dapat ditentukan.

3. Rating deteksi (detection) tergantung pada metode pengendalian yang digunakan pada saat ini. Rating deteksi adalah ukuran kemampuan metode tipe (2) untuk mendeteksi penyebab atau mekanisme kegagalan atau kemampuan pengendalian metode tipe (3) untuk mendeteksi kegagalan. Satu nilai deteksi diberikan pada sistem pengendalian yang digunakan saat ini yang memiliki kemampuan untuk mendeteksi penyebab atau mode kegagalan. Metode pengendalian dapat dikelompokkan dan dipandang sebagai sebuah sistem jika beroperasi secara independen.

Tahapan FMEA diantaranya adalah sebagai berikut : 1. Identifikasi sistem dan elemen sistem

2. Mengidentifikasi kegagalan dan efeknya. Failure adalah keadaan dimana suatu sistem tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Effect of Failure merupakan konsekuensi yang ditimbulkan oleh suatu kegagalan.

3. Menentukan tingkat keparahan dari suatu kegagalan (severity). Tim FMEA dapat menentukan kriteria severity sendiri atau menggunakan kriteria menurut Stam,1998.

4. Menentukan occurrence. Occurrence menyatakan frekuensi atau jumlah kegagalan yang terjadi karena suatu penyebab. Tingkat occurrence dimulai dari angka 1 (tingkat kejadian rendah) hingga 10


(46)

(tingkat kejadian sering). Rating occurrence dapat ditentukan menurut Ford, 1992

5. Menentukan tingkat deteksi (detection). Tingkat deteksi menyatakan tingkat ketelitian suatu metode deteksi untuk mendeteksi kegagalan. Tingkat deteksi mulai dari angka 1 sampai 10. Semakin kecil tingkat deteksi, maka semakin tinggi kemampuan metode deteksi untuk mendeteksi kegagalan. Apabila metode deteksi lebih dari satu, maka diberikan nilai deteksi terendah. Apabila nilai deteksi tidak dapat ditentukan, maka nilai deteksi yang digunakan adalah 10.

6. Menghitung Risk Priority Number (RPN). RPN menyatakan tingkat resiko dari suatu kegagalan. Angka RPN berkisar antara 1-1000, semakin tinggi angka RPN, maka semakin tinggi resiko suatu potensi kegagalan terhadap sistem, desain, proses maupun pelayanan. RPN = Severity x Occurrence x Detection.

7. Memberikan rekomendasi tindakan untuk mengurangi tingkat resiko kegagalan dan selanjutnya dianalisa (Joko Susetyo, 2009).

Berikut adalah skala penilaian severity, occurance, dan detection : Tabel 2.6 Skala Penilaian Severity


(47)

Tabel 2.7 Skala Penilaian Occurence

Tabel 2.8 Skala Penilaian detection


(48)

(49)

2.6 Peneliti Terdahulu

Dari penelitian yang sudah ada dengan menggunakan pendekatan ataupun penerapan Lean Manufacturing, diantaranya adalah :

1. Catur Jurniati Utami, 2009

“Pengurangan waste di lantai produksi dengan penerapan Lean Manufacturing guna meningkatkan produktivitas kerja perusahaan (Studi kasus : PT. Pabrik Karung Rosella Baru (PTPN) Surabaya) ” Kesimpulan :

Dari penelitian yang dilakukan di lantai produksi PT. Perkebunan Nusantara XI (Persero) PK Rosella Baru Surabaya Dari kuisioner pemborosan yang disebarkan pada pembuatan karung plastik, di dapat nilai rata-rata dari total skor responden seven waste mulai dari yang terbesar sampai yang terkecil yaitu :Menunggu 7,7, Produksi berlebihan 6,8, Transportasi 6,5, Proses yang tidak tepat 4,7, Persediaan yang tidak perlu tepat 4,6, Gerakan yang tidak perlu 2,6, Kecacatan 2,1 dari total responden di lantai produksi.

Usulan perbaikan perbaikan diberikan berdasarkan tool Process Activity Mapping adalah merubah komposisi tenaga kerja yang dibutuhkan pada proses outerbag yaitu pada mesin tenun dari 7 orang menjadi 9 orang dan didapatkan penurunan waktu produksi sebanyak 31,64 jam (11.11%) serta merubah komposisi tenaga kerja pada proses finishing yaitu pada proses inserting dari 8 orang menjadi 6 orang sehingga didapatkan penurunan waktu sebanyak 85,41 jam (25,71%). Setelah dibuat rekomendasi perbaikan didapatkan pemanfaatan input (waktu produksi)


(50)

yang lebih kecil mampu menghasilkan produk (output) yang sama dengan pemanfaatan input awal (waktu produksi sebelum perbaikan). Hal ini menunjukkan dengan adanya rekomendasi perbaikan yang diberikan mampu meningkatkan produktivitas kerja.

2. Ucok James MP Marpaung, 2008

“Pengurangan waste di lantai produksi dengan penerapan Lean Manufacturing guna meningkatkan produktivitas kerja perusahaan (Studi kasus : PT. Barata Indonesia (Persero) ”

Kesimpulan :

Dari penelitian yang dilakukan di lantai produksi PT. Barata Indonesia (Persero) Surabaya, Dari gambar big picture mapping didapatkan total lead time produksi untuk satu buah produk mesin gilas MG-6 adalah 509,7 jam dengan value added time sebesar 1129,1 jam dan Jumlah ragam aktivitas yang termasuk value adding activity adalah operasi dengan 566 aktivitas (40,3%) necessary non value adding activity 491 aktivitas (35%) dan yang tergolong non value adding activity 364 aktivitas (24,7%)

Berdasarkan perhitungan kuisioner pemborosan diidentifikasi bahwa terdapat 3 jenis pemborosan yang paling sering terjadi yaitu : gerakan yang tidak perlu, proses yang tidak tepat dan cacat dalam proses pembuatan mesin gilas MG-6 di PT. Barata Indonesia (Persero).

Perbaikan berdasarkan tool PAM menambah komposisi tenaga kerja yang dibutuhkan, Perbaikan berdasarkan tool QFM agar tenaga kerja lebih konsentrasi dalam memahami gambar teknik. Setelah perbaikan didapat pemanfaatn input (waktu produksi) yang lebih kecil mampu menghasilkan


(51)

produk sama dengan input awal (waktu sebelum perbaikan) dan mampu meningkatkan produktivitas kerja.

3. Suprijotomo, 2007

“ Estimasi Pengurangan Biaya dan Waktu Dengan Lean Manufacturing Untuk Meningkatkan Produktivitas (Studi kasus Bagian Fabrikasi Mesin PT. Varia Usaha - Gresik). “

Kesimpulan :

Dari penelitian yang dilakukan di lantai produksi PT. Varia Usaha Gresik. Penelitian ini untuk mengestimasi usaha perbaikan dilakukan pada produk Cement Bulk Tank dengan tujuan untuk mengurangi aktivitas yang tidak mempunyai nilai tambah atau waste sehingga lead time produksi dan biaya bisa dikurangi.

Dari proses pengolahan data, diperoleh mapping yang terpilih yaitu Process Activity Mapping dan Supply Chain Response Matrix. Hasil pengolahan Process Activity Mapping diketahui bahwa aktivitas yang tidak bernilai tambah sebesar 84.815 menit. Usaha perbaikan dilakukan untuk menurunkan lead time produksi didapatkan pengurangan dari kondisi awal 86 hari menjadi 74 hari. Sedangkan pengurangan biaya untuk 1 unit tanker adalah Rp. 13.714.125 atau sebesar 21.2 %.


(52)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian tugas akhir ini dilaksanakan di PT. Kharisma Esa Ardi yang berlokasi di Jl. Margorejo Masjid 23 E Kecamatan Wonocolo Surabaya. Sedangkan waktu penelitian dilaksanakan pada bulan Februari 2011 sampai dengan data yang diperlukan dalam penelitian ini sudah cukup.

3.2 Identifikasi dan Definisi Operasional Variabel

Variabel merupakan segala sesuatu yang mempunyai variasi, perbedaan nilai yang terukur. Dalam identifikasi variabel ini terdapat variabel-variabel yang didapatkan berdasarkan data dari perusahaan yang digunakan dalam penggunaan Lean Manufacturing beserta definisi operasionalnya. Variabel-variabel tersebut adalah sebagai berikut:

1. Variabel Bebas

Variabel bebas adalah suatu variabel yang mempunyai nilai berubah – ubah dan mempengaruhi variasi perubahan nilai variabel terikat, variabel tersebut meliputi:

1. Produksi berlebih (Overproduction)

Overproduction adalah kegiatan menghasilkan barang yang melebihi permintaan atau keinginan sehingga menambah alokasi sumber daya.


(53)

2. Menunggu (Waiting)

Waiting adalah proses menunggu kedatangan material, informasi, peralatan dan perlengkapan, dan semua hal yang membuat organisasi berhenti beraktivitas.

3. Perpindahan (Transportation)

Transportation adalah memindahkan material atau orang dalam jarak yang relatif jauh dari satu proses ke proses berikut yang dapat mengakibatkan waktu penanganan material bertambah.

4. Proses yang tidak sesuai (Innapropriate Process)

Innapropriate Process adalah proses kerja dimana terdapat ketidaksempurnaan proses atau metode operasi produksi yang diakibatkan oleh penggunaan tool yang tidak sesuai dengan fungsinya.

5. Persediaan yang tidak perlu (Unnecessary Inventory)

Unnecessary Inventory adalah penyimpanan (inventory) melebihi volume gudang yang ditentukan, material yang rusak karena terlalu lama disimpan atau material yang sudah kadaluarsa.

6. Gerakan yang tidak perlu (Unnecessary Motion)

Unnecessary Motion adalah gerakan yang melibatkan konsep ergonomis pada tempat kerja, dimana operator melakukan gerakan-gerakan yang seharusnya bisa dihindari, misalnya komponen dan kontrol yang terlalu jauh dari jangkauan double handling, layout yang tidak standar, dan lain - lain.


(54)

7. Kecacatan (Defect)

Defect merupakan kesalahan yang terlalu sering dalam kertas kerja, kualitas produk yang buruk, atau performansi pengiriman yang buruk, ketidaksempurnaan produk, kurangnya tenaga kerja pada saat proses berjalan, adanya alokasi tenaga kerja untuk proses pengerjaan ulang (rework) dan tenaga kerja menangani pekerjaan claim dari pelanggan. 2. Variabel Terikat

Variabel terikat (dependent variable) adalah variabel yang besarnya tergantung dari variabel bebas yang diukur untuk menentukan ada atau tidaknya pengaruh dari variabel bebas, dalam hal ini variabel terikatnya adalah tingkat waste (pemborosan) yang merupakan aktivitas tidak bernilai tambah dalam proses dimana aktivitas-aktivitas itu hanya menggunakan sumber daya namun tidak memberikan nilai tambah (value added) kepada pelanggan (customer).

3.3 Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer. Dimana data primer adalah data yang diperoleh dari hasil penelitian terhadap objek yang akan diteliti atau data yang langsung diperoleh dari dalam perusahaan. Metode pengumpulan data primer tersebut meliputi :

1. Interview (wawancara).

Dengan cara melakukan interview kepada sumber secara langsung, sehingga didapatkan informasi yang valid.


(55)

2. Penyebaran Kuesioner.

Menyebarkan kuesioner kepada orang – orang yang bertanggung jawab di setiap stasiun kerja. Dan pengisian kuesioner ini dilakukan dengan didampingi peneliti tersebut. Agar memperoleh data yang valid. Kuesioner ini hanya untuk mempermudah mengidentifikasi waste.

3. Observation (pengamatan)

Pengamatan langsung ke obyek yang diteliti sehingga dapat diketahui jalannya proses dengan jelas yang bertujuan untuk memecahkan masalah dalam penelitian.

Data atau informasi yang diperoleh antara lain : a. Data aliran bahan

b. Data aliran informasi

c. Big Picture Mapping ( BPM ) d. Kuesioner

3.4 Metode Pengolahan Data

Data-data yang sudah dikumpulkan akan diolah dengan menggunakan metode yang sudah dikaji oleh peneliti dari studi literatur, seperti lean Manufacturing dan VALSAT. Metode-metode tersebut akan digunakan untuk menyelesaikan permasalahan yang terdapat di bagian produksi perusahaan. Adapun pengolahan data tersebut meliputi:


(56)

1. Pengolahan data dengan BPM

Big Picture Mapping (BPM), yang berupa data aliran bahan dari barang datang dari sampai barang jadi. Big Picture Mapping (BPM) juga memuat lead time masing – masing stasiun kerja.

2. Pengolahan data kuisioner

Kuisioner, untuk mendapatkan data mengenai jenis waste (pemborosan) apa saja yang sering terjadi di setiap proses produksi dengan memberikan kuisioner kepada penanggung jawab setiap proses produksi. Pilihan jawaban responden disusun berdasarkan rangking dengan skor sebagai berikut :

a. 5  Sering sekali terjadi ( 1 hari sekali ) b. 4  Sering terjadi ( 2 hari sekali ) c. 3  Hampir sering terjadi ( 4 hari sekali ) d. 2  Kadang terjadi ( seminggu sekali ) e. 1  Hampir kadang terjadi ( sebulan sekali ) f. 0  Sama sekali tidak pernah terjadi.

Adapun perhitungan untuk bobot kuisioner adalah sebagai berikut : Jenis waste = Nilai Res 1 + … + Nilai Res n

Total Responden 3. Perhitungan VALSAT

Value Stream Analysis Tools (VALSAT), tools yang digunakan untuk pembobotan waste untuk diketahui mana bobot waste yang sering terjadi di perusahaan. Rumus untuk Value Stream Analysis Tools (VALSAT), yaitu:


(57)

Tabel 3.1 Value Stream Analysis Tools process activity supply chain production variety quality filter demand amplification decision point phisical waste/structure mapping response

matrix Funnel mapping mapping Analysis structure

over production L M L M M

Waiting H H L M M

transportation H L

unappropriate H M L L

Processing

unnecessary M H M H M L

inventory

unnecessary H L H

motion

defects L

overall structure L L M L H M H

Sumber :Vincent Gaspersz , “Lean Six Sigma for Manufacture and Service Industries” 2006.

Notes : H : high correlation and usefulness M : medium correlation and usefulness L : low correlation and usefulness

Keterangan : H (high correlation) : faktor pengali = 9 M (medium correlation) : faktor pengali = 3 L (low correlation) : faktor pengali = 1

Pengolahan data dengan VALSAT merupakan sebuah pendekatan yang digunakan dengan melakukan pembobotan waste-waste, kemudian dari pembobotan tersebut dilakukan pemilihan terhadap tool.

4. Fish Bone Chart

Fish Bone Chart, tools yang digunakan untuk mengindentifikasi akar penyebab dari setiap waste yang ada.

5. Failure Mode Effect and Analysis (FMEA),

Failure Mode Effect and Analysis (FMEA), tools yang digunakan untuk memberikan usulan perbaikan dari waste yang telah terindentifikasi untuk


(58)

mereduksi waste tersebut. Rumus untuk Failure Mode Effect and Analysis (FMEA) adalah :

RPN = Severity x Occurance xDetection Keterangan :

a. Severity digunakan untuk menentukan tingkat keparahan dari suatu kegagalan (severity). Tingkat severity dimulai dari angka 1 (tingkat kejadian rendah) hingga 10 (tingkat kejadian sering).

b. Occurrence menyatakan frekuensi atau jumlah kegagalan yang terjadi karena suatu penyebab. Tingkat occurrence dimulai dari angka 1 (tingkat kejadian rendah) hingga 10 (tingkat kejadian sering). Rating occurrence dapat ditentukan menurut Ford, 1992

c. Detection menyatakan tingkat ketelitian suatu metode deteksi untuk mendeteksi kegagalan. Tingkat deteksi mulai dari angka 1 sampai 10. Semakin kecil tingkat deteksi, maka semakin tinggi kemampuan metode deteksi untuk mendeteksi kegagalan. Apabila metode deteksi lebih dari satu, maka diberikan nilai deteksi terendah. Apabila nilai deteksi tidak dapat ditentukan, maka nilai deteksi yang digunakan adalah 10.


(59)

(60)

Penjelasan langkah - langkah penelitian dan pemecahan masalah 1. Langkah I : Mulai

Pada langkah ini merupakan awal dari proses pemecahan masalah dengan studi pengenalan dari perusahaan yang menjadi tempat penelitian.

2. Langkah II : Study Literatur

Studi literatur bermanfaat untuk meningkatkan pemahaman landasan teori dari permasalahan yang akan diteliti, serta menunjang dan mempermudah bagi penelitian untuk merumuskan masalah penelitian tersebut, yang meliputi konsep dasar Lean, Lean Manufacturing, waste, type-type waste, tools yang digunakan untuk memecahkan permasalahan, dan teknik-teknik pengembangan Lean Manufacturing

3. Langkah III : Study Lapangan

Langkah ini merupakan pengambilan data dengan cara pemahaman proses produksi perusahaan. Data yang diambil adalah data yang diperlukan oleh peneliti untuk menyelesaikan permasalahan yang diangkat dari obyek tersebut. Sehingga nantinya dapat memberikan jawaban dari masalah tersebut.

4. Langkah IV : Merumuskan masalah dan menetapkan tujuan penelitian Langkah ini merupakan perumusan masalah yang disusun berdasarkan latar belakang dari masalah yang ada kemudian ditentukan metode yang tepat dalam penyelesaian permasalahan tersebut, dan menetapkan tujuan penelitian agar dapat diketahui tipe-tipe dan penyebab terjadinya waste serta dapat memberikan usulan perbaikan pada perusahaan.


(61)

5. Langkah V : Identifikasi variabel

Identifikasi variabel penelitian dilakukan untuk menentukan variabel – variabel yang akan diukur dalam penelitian ini. Variabel – variabel yang telah ditentukan selanjutnya akan digunakan sebagai acuan pengerjaan metode yang digunakan.

6. Langkah VI : Pengumpulan Data

Pada langkah ini peneliti melakukan pengumpulan data yang meliputi Big Picture Mapping, data aliran bahan atau proses produksi, data aliran informasi, dan kuesioner.

7. Langkah VII : Pengolahan Data

Langkah ini merupakan pengolahan data dengan cara metode Valsat dimana metode VALSAT ini digunakan untuk memetakan secara detail waste pada aliran nilai yang fokus pada value adding process. Dalam metode ini dilakukan pemilihan tool. Dari hasil jenis pemborosan akan diolah dengan menggunakan tabel VALSAT lalu hasil tersebut digunakan untuk melakukan pemilihan tool dalam hal ini menggunakan matrix. 8. Langkah VIII : Analisa dan pembahasan

Pada tahap ini dilakukan analisa dan pembahasan mengenai hasil pengolahan data yang telah dilakukan beserta pengembangan analisa berdasarkan informasi yang telah diperoleh. Dalam hal ini meliputi analisa pemetaan dengan Big Picture Mapping, identifikasi waste dari kuisioner, analisa metode Value Stream Analysis Tools (VALSAT) dan analisa tools yang terpilih (tools yang mempunyai nilai bobot terbanyak) dan analisa waste menggunakan fish bone chart (diagram sebab akibat)


(62)

dan melakukan rekomendasi perbaikan menggunakan failure mode effect and analyze (FMEA) untuk mengetahui bobot waste rangking 1 - 3. 9. Langkah IX : Kesimpulan dan saran

Tahap ini memberikan kesimpulan dari penelitian yang dilakukan serta hasil – hasil yang didapat untuk menjawab permasalahan yang ingin dipecahkan. Saran ditujukan untuk perusahaan dalam melakukan perbaikan berdasarkan penelitian yang dilakukan.

10.Langkah X: Selesai

Pada langkah ini merupakan akhir dari proses pemecahan masalah yang telah dilakukan selama penelitian


(63)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang peneliti gunakan adalah metode pengumpulan data primer yang meliputi :

1. Wawancara. 2. Pengamatan.

3. Penyebaran kuesioner.

Dari ketiga metode pengumpulan diatas kita memperoleh beberapa data atau informasi antara lain :

a. Big Picture Mapping. b. Data aliran informasi. c. Data aliran bahan. d. Kuesioner.

4.1.1 Big Picture Mapping

Big picture mapping adalah pemetaan proses pada level tinggi yang melingkupi proses secara luas namun dengan tingkat kedetailan yang masih rendah. Alat ini sangat membantu dalam mengidentifikasi terjadinya pemborosan (waste) di PT. Kharisma Esa Ardi Surabaya. Pemborosan dapat diketahui dengan mengetahui aliran fisik dan aliran informasi dari perusahaan dan menggambarkannya dalam satu kesatuan.


(1)

Nilai RPN = S x O x D = 8 x 9 x 5

= 360

2. Defect karena kurang terampil pekerja dalam mengerjakan

Severity (S) = 8 (pengaruh buruk yang tinggi (berada di luar dalam batas toleransi))

Occurance (O) = 9 (hampir dapat dipastikan bahwa kegagalan akan terjadi) Detection (D) = 4 (alat kontrol relatif handal untuk mendeteksi kesalahan

(visual pada bentuk barang)) Nilai RPN = S x O x D

= 8 x 9 x 4 = 288

3. Unnecessary inventory karena terjadi trouble pada mesin

Severity (S) = 7 (pengaruh buruk yang tinggi (berada di luar dalam batas toleransi))

Occurance (O) = 8 (kegagalan adalah sangat mungkin terjadi )

Detection (D) = 4 (alat kontrol relatif handal untuk mendeteksi kesalahan (visual pada bentuk barang))

Nilai RPN = S x O x D = 7x 8 x 4 = 284


(2)

Berdasarkan perhitungan tersebut maka dibuat prioritas perbaikan dari yang prioritas paling besar sampai yang paling kecil. Untuk lebih jelasnya akan djelaskan dalam tabel 4.17 dan tabel 4.18 dibawah ini.

Tabel 4.17 Usulan perbaikan dengan FMEA

Failure (pemborosan) Prioritas

ke - S O D RPN Usulan perbaikan

Produksi Berlebih (overproduction)

6 4 3 4 48

- Meningkatkan koordinasi antara bagian pemasaran dengan produksi - Lebih teliti dalam

membuat rencana produksi

Menunggu (waiting)

1 7 9 6 378

Pemerataan pembagian jumlah pekerja terutama pada stasiun kerja proses

pengecatan yang mengalami waste waiting terbesar agar produktivitas

perusahaan meningkat Transportasi

(transportation)

7 2 2 3 12

Pembaharuan alat transportasi

Proses yang tidak tepat (inappropriate processing)

5 5 4 3 60

- Lebih mengontrol cara kerja pekerja

- Mengadakan pelatihan kepada pekerja

Persediaan yang tidak perlu (unnecessary inventory)

3 4 4 5 80

- Meningkatkan koordinasi antar pekerja

- Lebih teliti dalam mengontrol bahan baku - Kontrol mesin lebih

diperketat Gerakan yang tidak perlu

(unnecessary motions)

4 5 5 3 75

Membuat tata letak dan fasilitas area lebih nyaman

Kecacatan

- Memilih tenaga kerja yang mempunyai skill


(3)

Tabel 4.18 Rekomendasi perbaikan FMEA sesuai bobot tiga waste terbesar

Berdasarkan dari tabel 4.18, diketahui bahwa prioritas pemborosan yang terbesar adalah menunggu (waiting) yaitu dengan nilai RPN sebesar 378. Berdasarkan kondisi aktual penyebab dari pemborosan menunggu (waiting) ini adalah faktor cuaca yang menyebabkan kurangnya kinerja perusahaan. Untuk prioritas perbaikan ke dua adalah kecacatan (defect) dengan nilai RPN sebesar 100. Dan untuk prioritas perbaikan ke tiga adalah persediaan yang tidak perlu (unnecessary inventory) dengan nilai RPN sebesar 80. Dengan melihat nilai RPN, maka disini peneliti hanya memberikan sebatas usulan rencana perbaikan dan pengendalian kepada pihak perusahaan untuk mengurangi tingkat resiko kegagalan.

Failure (pemborosan) Priorita

s ke - S O D RPN Usulan perbaikan

Menunggu ( waiting )

1 7 9 6 378

Pemerataan pembagian jumlah pekerja terutama pada stasiun kerja proses pengecatan yang mengalami waste waiting agar produktivitas perusahaan meningkat

Kecacatan ( defect )

2 5 4 5 100

- Memilih tenaga kerja yang mempunyai skill bagus sesuai bidang pekerjaanya

- Pembaruan alat/mesin dalam proses produksi

Persediaan yang tidak perlu ( unnecessary inventory )

3 4 4 5 80

- Meningkatkan koordinasi antar pekerja

- Lebih teliti dalam mengontrol bahan baku

- Kontrol mesin lebih diperketat


(4)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Adapun kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Dari hasil analisa identifikasi waste yang terjadi di lantai produksi PT Kharisma Esa Ardi Surabaya diketahui bahwa pemborosan yang sering

terjadi dengan urutan rangking 1 sampai dengan 3 adalah :

a. Waiting dengan skor rata - rata sebesar 2,1 dari total responden. b. Defect dengan skor rata - rata sebesar 1,5 dari total responden.

c. Unnecessary inventory dengan skor rata - rata 1,5 dari total responden. 2. Identifikasi penyebab terjadinya pemborosan :.

a. Waiting karena faktor cuaca yang tidak menentu dan pekerja yang sedikit lamban dalam mengerjakan produksi.

b. Defect karena kurangnya keterampilan dan ketelitian pekerja dalam mengerjakan produksi.

c. Unnecessary inventory karena terjadinya trouble pada mesin yang membuat terjadinya penumpukan material.

3. Adapun usulan rencana perbaikan Berdasarkan nilai RPN terbesar yang didapatkan dari tabel FMEA, adalah sebagai berikut:


(5)

b. Defect (RPN = 100) dengan usulan perbaikan pemilihan tenaga kerja yang mempunyai skill bagus sesuai bidang pekerjaanya dan pembaruan alat/mesin dalam proses produksi.

c. Unnecessary inventory (RPN = 80) dengan usulan perbaikan meningkatkan koordinasi antar pekerja, lebih teliti dalam mengontrol bahan baku dan mesin yang akan digunakan.

5.2 Saran

Berikut adalah beberapa saran yang diberikan kepada perusahaan yang berhubungan dengan penelitian ini :

a. Lebih meningkatkan pengawasan dan pengontrolan terhadap pekerja dan mesin yang akan digunakan.

b. Perusahaan hendaknya segera melakukan perbaikan dengan dapat menjadikan acuan rekomendasi perbaikan yang diberikan oleh peneliti untuk mengurangi waste yang terjadi di area produksi sehingga dapat meminimasi biaya produksi.

c. Perusahaan hendaknya mencari teknologi yang tepat guna untuk mengatasi waste yang terjadi, khususnya pada waste waiting.


(6)

DAFTAR PUSTAKA

Fanani, Zaenal dan Singgih, Laksono, (2011). Implementasi Lean Manufacturing Untuk Peningkatan Produktivitas Perusahaan Studi Kasus : PT. Ekamas Fortuna Malang. Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya.

Gaspersz, Vincent, 2006, Lean Six Sigma for Manufacture and Service Industries, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Hines, P. & D. Taylor, (2000). ”Going Lean”. Lean Enterprise Research Center Cardiff, Bussines School, USA.

James, Ucok, MP. (2008). Pengurangan Waste di Lantai Produksi dengan Penerapan Lean Manufacturing Guna Meningkatkan Produktivitas Kerja Perusahaan Studi Kasus : PT. Barata Indonesia (Persero). Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya.

Juniarti, Catur, (2009). Pengurangan Waste di Lantai Produksi dengan

Penerapan Lean Manufacturing Guna Meningkatkan Produktivitas Kerja Perusahaan Studi Kasus : PT. Pebrik karung Rosella baru (PPTN XI) Surabaya. Tugas Akhir Jurusan Teknik Industri, Universitas Pembangunan Nasional “ Veteran “ Jawa Timur.

Likert, Jefery K, (2006). The Toyota Way, Penerbit Erlangga, Jakarta.

Pande, Neuman, Cavanagh, (2002). The Six Sigma Way, Penerbit Andi, Yogyakarta.

Prasetyo, Danang, (2010).Analisis Pemborosan Pada Lantai Produksi Dengan Metode Lean Manufacturing Di PT. Wowin Purnomo.Tugas Akhir Jurusan Teknik Industri, Universitas Pembangunan Nasional “ Veteran “ Jawa Timur.

Rachman, Utomo, Budi (2010). Penerapan Lean Manufacturing Untuk

Menganalisis Dan Mereduksi Waste Di PT. Tjakrindo Mas, Gresik. Tugas Akhir Jurusan Teknik Industri, Universitas Pembangunan Nasional “ Veteran “ Jawa Timur.

Susetyo, Joko, (2009). Analisis Pengendalian Kualitas Dan Efetivitas Dengan Integrasi Konsep Failure Mode & Effect Analysis Dan Fault Tree Analysis Serta Overall Equipment Effectiveness. Institut Sains &Teknologi