2.1.2. Syarat Sahnya Suatu Perjanjian
Menurut ketentuan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan 4 empat syarat, yaitu :
A. Kesepakatan mereka yang mengikat dirinya. Adanya kata sepakat, berarti
bahwa subjek kreditor dan debitor yang mengadakan perjanjian itu dengan kesepakatan, yaitu setuju atau seiya sekata mengenai hal-hal pokok dari isi
perjanjian itu. Artinya apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu juga dikehendaki oleh pihak yang lain, mereka menghendaki sesuatu yang sama
secara timbal balik. 1
Kesepakatan bebas berdasarkan Pasal 1321 KUHPerdata, yang lengkapnya berbunyi
: “Tiada suatu perbuatan pun mempunyai kekuatan jika diberikan karena kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan atau
penipuan”.
7
a Tentang kekhilapan dalam perjanjian
Ada dua hal pokok dan prinsipil dari rumusan Pasal 1322 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang dapat kita kemukakan disini:
8
1. kekhilapan bukanlah alasan untuk membatalkan perjanjian;
2. ada dua hal yang dapat menyebabkan alasan pembatalan
perjanjian karena kekhilapan mengenai: a.
hakikat kebendaan yang menjadi pokok perjanjian tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya;
b. orang terhadap siapa suatu perjanjian hanya akan dibuat.
7
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja,2010, Perikatan Yang Lahir dari Perjanjian, cet.V. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 94-95.
8
Ibid, hal. 104-105.
Kekhilapan dapat terjadi perihal orang atau barang yang menjadi tujuan para pihak yang mengadakan perjanjian. Contohnya
kekhilapan mengenai orang yang dikiranya adalah seseorang penyanyi yang tersohor, tetapi kemudian ternyata bukuan orang yang
dimaksud, hanya namanya saja yang kebetulan sama. Sedangkan contoh kekhilapan mengenai barang yaitu jika orang membeli sebuah
lukisan dikiranya lukisan Basuki Abdullah tetapi kemudian ternyata hanya turunan saja.
9
b Tentang paksaan dalam perjanjian
Paksaan sebagai alasan pembatalan perjanjian diatur dalam 5 pasal, yaitu dari Pasal 1323 hingga Pasal 1327 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata.
10
Jika ketentuan Pasal 1323 dan Pasal 1325 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata berbicara soal subyek yang dipaksa
atau diancam, maka Pasal 1324 dan Pasal 1326 berbicara mengenai akibat paksaan atau ancaman yang dilakukan, yang dapat dijadikan
sebagai alasan pembatalan perjanjian yang telah dibuat di bawah paksaan atau ancaman tersebut.
11
Paksaan terjadi jika seseorang memberikan persetujuan karena ia takut pada suatu ancaman.
Misalnya ia akan dianiaya jika ia tidak menyetujui suatu perjanjian. Yang diancam harus mengenai suatu perbuatan yang dilarang oleh
undang-undang. Jikalau yang diancamkan itu suatu perbuatan yang
9
Subekti, 2003, Pokok-Pokok Hukum Perdata, cet XXXI, Intermasa, Jakarta, selanjutnya disingkat Subekti II, hal. 135.
10
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op.cit, hal. 120.
11
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op.cit, hal. 122.
memang di izinkan oleh undang-undang, seperti ancaman akan menggugat yang bersangkutan didepan hakim dengan menyita
barang, hal itu tidak dapat dikatakan sebagai suatu paksaan.
12
c Tentang penipuan dalam perjanjian
Penipuan sebagai alasan pembatalan perjanjian diatur dalam Pasal 1328 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang terdiri dari dua
ayat, yang keseluruhannya berbunyi sebagai berikut:
13
“Penipuan merupakan suatu alasan untuk membatalkan suatu perjanjian, apabila tipu muslihat yang dipakai oleh
salah satu pihak adalah sedemikian rupa, sehingga terang dan nyata bahwa pihak yang lain tidak telah membuat
perikatan itu jika tidak dilakukan tipu muslihat tersebut. Penipuan
tidak dipersangkakan,
melainkan harus
dibuktikan”. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa masalah
penipuan yang berkaitan dengan kesengajaan ini harus dibuktikan dan tidak boleh hanya di persangkakan saja. Dalam hal ini, maka
pihak terhadap siapa penipuan telah terjadi wajib membuktikan bahwa lawan pihaknya tersebut disengaja olehnya, yang tanpa
adanya informasi yang tidak benar tersebut, pihak lawannya tersebut
12
Subekti II, Loc.cit.
13
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op.cit, hal. 125.
tidak mungkin akan memberikan kesempatan untuk tunduk pada perjanjian yang dibuat tersebut.
14
B. Cakap untuk membuat suatu perjanjian. Seseorang yang dapat membuat
perjanjian harus cakap menurut hukum. Hakikatnya setiap orang yang sudah dewasa sudah mencapai umur 21 tahun atau sudah menikah walaupun
belum mencapai umur 21 tahun dan sehat akal adalah cakap menurut hukum. Aspek keadilan dilihat dari orang yang membuat perjanjian dan
nantinya akan terikat oleh perjanjian itu harus mempunyai cukup kemampuan untuk menyadari benar-benar akan tanggung jawab yang
dipikulnya atas perbuatannya itu. C.
Mengenai suatu hal tertentu. Suatu hal tertentu merupakan pokok perjanjian atau objek perjanjian serta prestasi yang wajib dipenuhi, kejelasan mengenai
pokok perjanjian atau objek perjanjian itu dimaksudkan untuk memungkinkan pelaksanaan hak dan kewajiban para pihak. Jika pokok
perjanjian, objek perjanjian dan prestasi itu tidak dilaksanakan maka perjanjian itu batal. Suatu perjanjian yang tidak memenuhi syarat ketiga ini
berakibat batal demi hukum, oleh karena itu perjanjian dianggap tidak pernah ada.
D. Suatu sebab yang halal. Sebab adalah sesuatu yang menyebabkan orang
membuat perjanjian atau yang mendorong orang membuat perjanjian. Tetapi yang dimaksud dengan dengan causa yang halal menurut Pasal 1320 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata bukanlah sebab dalam arti yang
14
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op.cit, hal. 126.
menyebabkan atau yang mendorong orang untuk membuat perjanjian, melainkan sebab dalam arti isi perjanjian itu sendiri yang menggambarkan
tujuan yang akan dicapai oleh para pihak. Menurut Abdulkadir Muhammad, akhibat hukum perjanjian yang berisi tidak halal adalah batal nietig, void.
Tidak ada dasar untuk menuntut pemenuhan pejanjian di muka hakim, karena sejak semula dianggap tidak ada perjanjian. Apabila perjanjian yang
dibuat itu tanpa causa sebab maka ia dianggap tidak pernah ada Pasal 1335 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
15
2.1.3. Obyek dan Subyek Perjanjian a.