kemampuan anak. Mengajarkan toilet training pada anak bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan.
Studi terdahulu memperkirakan adanya hubungan antara usia mulainya toilet training dengan lamanya penyelesaian pelatihan. Blum Taubman 2003
menyatakan bahwa toilet training yang diajarkan pada sekelompok anak usia 24bulan, 68 dapat menyelesaikannya sebelum usia 3 tahun. Sedangkan pada
sekelompok yang berusia 24 bulan, hanya 54 yang mampu menyelesaikannya sebelum 3 tahun. Sebuah studi di Belgia juga menghasilkan konklusi bahwa
pelaksanaan toilet training yang lebih dini akan mempercepat tercapainya kemampuan kontrol kemih Blum, 2003.
Dalam mengajarkan toilet training dibutuhkan metode atau cara yang tepat sehingga mudah dimengerti oleh anak. Penggunaan metode yang tepat akan
mempengaruhi keberhasilan orangtua dalam mengajarkan konsep toilet training pada anak.Pengetahuan tentang toilet training sangat penting untuk dimiliki oleh
seorang ibu. Hal ini akan berpengaruh pada penerapan toilet training pada anak. Ibu yang mempunyai tingkat pengetahuan yang baik berarti mempunyai
pemahaman yang baik tentang manfaat dan dampak dari toilet training. Berdasarkan latar belakang masalah di atas dan mengingat pentingnya toilet
training bagi anak, maka menarik untuk diteliti tentang gambaran pengetahuan ibu terhadap pelaksanaan toilet training pada anak usia prasekolahTK.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis dalam hal ini merumuskan masalah yang akan dibahas adalah sebagai berikut:
Bagaimanakah gambaran pengetahuan ibu tentang toilet training pada anak usia prasekolahTK?
Universitas Sumatera Utara
1.3. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dilakukan penelitian ini adalah:
1.3.1. Tujuan Umum
Mengetahui gambaran pengetahuan ibu tentang pelaksanaan toilet training pada anak usia prasekolahTK Al-Azhar Medan tahun 2010.
1.3.2. Tujuan Khusus
Mengetahui tingkat pengetahuan ibu mengenai toilet training pada masing-masing
kelompok karakteristik.
1.4. Manfaat Penelitian
Dengan dilakukan penelitian ini, diharapkan dapat memberikan manfaat, yakni: 1.
untuk penulis Sebagai sarana untuk mengaplikasikan ilmu yang diperoleh selama
pendidikan dan informasiwawasan mengenai toilet training. 2.
untuk masyarakat luas Sebagai wawasan dan informasi mengenai toilet training dan berguna dalam
pengasuhan anak. 3.
untuk pihak lain Sebagai sumber data dan acuan dalam melaksanakan penelitian-penelitian
selanjutnya.
Universitas Sumatera Utara
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Toilet Training
Ada banyak hal yang menyertai pertumbuhan seorang anak terutama dalam tiga tahun pertama kehidupan. Pertumbuhan dan perkembangan berlangsung sangat
pesat pada lima tahu pertama kehidupan anak. Proses ini mencakup perkembangan kemampuan kognitif dan perilaku. Seringkali dalam membesarkan
anak, para orangtua terjebak dalam pola pikir untuk menyelesaikan semua pendidikan anak secepat mungkin, baik itu berbicara, berjalan, bahkan
menggunakan toilet. Sebenarnya semua hal tersebut merupakan langkah perkembangan normal yang prosesnya tidak perlu terburu-buru Gilbert, 2003.
Menyesuaikan pemberian latihan dengan usia anak adalah hal yang wajib diperhatikan. Demikian pula dengan toilet training, di mana orangtuapengasuh
mengajarkan cara-cara buang air kecil BAK dan buang air besar BAB di toilet pada anak. Selain itu perlu diperhatikan teknik pelaksanaan dan sikap orangtua.
Berhasil atau tidaknya fase toilet training ini sangat berpengaruh terhadap perkembangan selanjutnya dari seorang anak yaitu kemampuan mengendalikan
perkemihan dan pencernaan Rugolotto, 2004.
2.1.1. Definisi Toilet Training
Toilet training adalah upaya pelatihan kontrol BAK dan BAB anak yang masing- masing dilakukan oleh sistem perkemihan dan defekasi. Seorang anak dikatakan
sedang menjalani toilet training bila ia diajarkan untuk datang ke toilet saat ingin BAK atau BAB, membuka pakaian seperlunya, melakukan miksi atau defekasi,
membersihkan kembali dirinya, dan memakai kembali pakaian yang dilepaskan. Penguasaan anak terhadap kemampuan miksi dan defekasi terkontrol ini bisa
simultan maupun berkalabertahap. Kontrol perkemihan biasanya lebih mudah dilakukan pada siang hari, sedangkan pada malam hari sering terjadi kegagalan.
Kegagalan ini akan terkompensasi setelah beberapa tahun. Toilet training dilakukan dalam dua minggu sampai dua bulan Schmitt, 1991.
Universitas Sumatera Utara
2.1.2. Tujuan Toilet Training
Dalam Warta Warga 2007, tujuan dari pengajaran toilet training adalah mengajarkan kepada anak untuk mengontrol keinginannya BAB atau BAK. Hal
ini berhubungan dengan perkembangan sosial anak di mana ia dituntut secara sosial untuk menjaga kebersihan diri dan melakukan BAB atau BAK pada
tempatnya, yaitu toilet.
2.1.3. Keuntungan Dilakukannya Toilet Training
Toilet training dapat menimbulkan kemampuan anak dalam mengontrol miksi dan defekasi. Seorang anak yang telah berhasil menjalani toilet training memiliki
kemampuan menggunakan toilet pada saat ingin BAB atau BAK. Selain itu keuntungan pelaksanaan toilet training pada anak adalah:
1. Toilet training menjadi awal terbentuknya kemandirian anak secara nyata
sebab anak sudah bisa melakukan sendiri hal-hal seperti BAB atau BAK. 2.
Toilet training membuat anak dapat mengetahui bagian-bagian tubuh serta fungsinya Warga, 2007.
2.1.4. Cara Pelaksanaan Toilet Training
Proses toilet training harus dilakukan dengan cara menawarkan bantuan, tetap sabar, dan menciptakan keadaan yang menyenangkan. Hindari timbulnya
perasaan tertekan pada anak dan jangan berikan hukuman jika gagal. Anak harus merasakan dirinya mampu melakukan BAB atau BAK dan bisa
mengendalikannya. Pelaksanaan toilet training dilakukan teknik sebagai berikut: 1.
Teknik lisan Usaha untuk melatih anak dengan cara memberikan intruksi berupa kata-kata
sebelum dan sesudah BAK dan BAB. Cara ini harus dilakukan dengan benar sehingga mempunyai nilai yang cukup besar dalam memberikan rangsangan
untuk BAB atau BAK. Kemampuan anak melakukan BAB atau BAK memerlukan kesiapan psikologis yang matang.
2. Teknik Modelling
Universitas Sumatera Utara
Usaha untuk melatih anak dalam melakukan BAK dan BAB dengan cara memberikan contoh dan meminta anak menirukannya. Selain itu juga dapat
dilakukan dengan membiasakan anak BAB atau BAK dengan cara mengajaknya ke toilet dan memberikan pispot. Dalam memberikan contoh
orangtua harus melakukannya dengan benar. Selain itu perlu diperhatikan ketepatan waktu saat memberikan contoh toilet training, serta
mengkondusifkan suasana dengan memberikan pujian saat anak berhasil dan tidak marah saat anak gagal melakukan BAB atau BAK dengan benar Warga,
2007.
2.1.5. Tahap Pelaksanaan Toilet Training
Tahapan yang akan dilalui anak dalam melakukan toilet training adalah sebagai berikut Mahoney, 1971:
1. Mengenal tanda-tanda urgensi BAB atau BAK.
2. Bergerak dengan kesadaran sendiri menuju toilet.
3. Menanggalkan pakaian secukupnya untuk membebaskan organ kemihnya.
4. Melakukan BAB atau BAK.
5. Membersihkan diri dan menggunakan kembali pakaiannya.
2.1.6. Faktor Pendukung Toilet Training
Seorang anak mungkin akan kesulitan untuk memahami cara menggunakan perkakas toilet pada awal toilet training. Oleh karena itu, apabila dilakukan
pengalihan dari penggunaan popok ke penggunaan toilet, terlebih dahulu dilakukan dengan alat bantu berupa toilet mini Gilbert, 2003:
1. Peragakan cara penggunaan toilet. Kemudian anak dibiasakan untuk duduk di
toilet dengan menggunakan popok saat akan BAB atau BAK. Sehingga setelah tiba waktunya untuk menggunakan toilet, anak sudah mengenal toilet
dan cukup paham mengenai cara penggunaannya. 2.
Sesuaikan ukuran toilet. Ukuran toilet yang biasanya ada di rumah dan tempat-tempat lain adalah ukuran yang disesuaikan berdasarkan tinggi dan
berat badan orang dewasa. Maka ada kecenderungan bahwa toilet berukuran
Universitas Sumatera Utara
jauh lebih besar dari yang dibutuhkan anak. Untuk mengatasi hal ini dapat dilakukan dengan meletakkan penyangga, kursi toilet, maupun mengganti
dudukan toilet menjadi ukuran yang sesuai dengan anak. 3.
Gunakan kursi toilet. Kursi atau bangku toilet digunakan sebagai panjatan anak menuju toilet yang tinggi dan sebagai pijakan saat duduk di toilet. Hal ini
menjaga keamanan anak jika sedang tidak diawasi dan perasaan mengendalikan diri sendiri yang dimiliki seorang anak.
4. Jaga kebersihan. Untuk menjaga keseimbangannya saat BAB atau BAK, ada
kemungkinan seorang anak akan menggunakan tangannya sebagai tumpuan pada toilet. Maka dalam hal ini, toilet harus dibersihkan terlebih dahulu
dengan menggunakan antikuman. Selain itu anak harus dibiasakan untuk mencuci tangan dan berdiri dengan pijakan bangku.
5. Jangan paksakan pelatihan pada anak jika anak belum siap atau masih
ketakutan menghadapi toilet. Hal ini akan berakibat pada tidak optimalnya pelatihan toilet tersebut. Pada keadaan ini, gunakan toilet mini sebagai
alternatif pilihan. Dalam rangka memudahkan anak untuk belajar, maka dibutuhkan beberapa
intervensi. Untuk pelaksanaan toilet training yang optimal maka diperlukan: 1.
Membeli peralatan yang dibutuhkan a.
Kursi atau papan toilet yang digunakan untuk tempat naik dan menyangga kaki anak saat sedang BABBAK. Hal ini akan menjaga anak tetap
menjejakkan kaki ke lantai sehingga menimbulkan kepercayaan diri anak dan perasaan aman. Selain itu, alat ini juga memungkinkan anak untuk
turun sendiri tanpa bantuan. b.
Makanan atau cemilan kesukaan anak untuk dijadikan hadiah atas keberhasilannya BAB atau BAK di toilet.
c. Diagram atau tabel pelaksanaan toilet training, serta penanda jumlah
keberhasilan. 2.
Membuat posisi anak pada kursi toilet senyaman mungkin seperti yang diinginkannya
Universitas Sumatera Utara
Untuk mengoptimalkan keberhasilan toilet training, maka sebaiknya kursi toilet yang digunakan sudah familiar bagi anak. Hal ini akan membantunya
beradaptasi saat dihadapkan dengan toilet yang sebenarnya atau aktual. 3.
Rangsang anak untuk bergerak cepat menuju toilet Lakukan rangsangan gerakan cepat berupa upaya berlari saat anak
menunjukkan tanda-tanda ingin BAK atau BAB. Semangati anak dengan kata- kata ataupun kalimat yang bisa dimengerti olehnya. Biarkan anak bergerak
sesuka hatinya saat di toilet dan jangan paksakan anak untuk tetap berada di toilet. Hindari penggunaan tenaga dan kekerasan untuk mempertahankan
keberhasilan. Meskipun anak kelihatan menyenangi toiletnya, usahakan agar kegiatan selesai dalam 5 menit dan keluarkan anak dari toilet.
4. Berikan selamat ataupun hadiah jika anak mampu menyelesaikan BAB atau
BAK dengan baik Setiap keberhasilan dan pencapaian dalam pelatihan toilet ini sebaiknya
diberikan penghargaan ataupun hadiah. Bisa dengan ciuman dan pelukan, maupun dengan memberikan makanan atau cemilan tertentu. Pencapaian-
pencapaian besar seperti mampu melaksanakan keseluruhan rangkaian BAB atau BAK di toilet tanpa bantuan dan atas kesadaran sendiri, bisa diberikan
hadiah yang lebih bermakna Beaty, 1994. 5.
Apabila anak gagal menuntaskan BAB atau BAK dengan baik sehingga celananya basah atau kotor, maka lakukan peringatan secara verbal dengan
menggunakan kalimat yang suportif dan persuasif. Hindari penggunaan intervensi kekuatan dan fisik, kata-kata kasar, dan teriakan karena akan
membuat anak merasa gagal dan bisa menjadi tidak kooperatif. Jangan berlama-lama membiarkan anak dalam keadaan kotor atau basah.
6. Apabila anak sudah mampu menggunakan toilet dengan baik dan cukup
kooperatif dalam pelaksanaannya, penggunan popok bisa diganti dengan celana dalam. Hal ini akan membantu mempercepat kesuksesan pelatihan.
Popok hanya digunakan di malam hari atau saat tidur. Pelatihan dianggap sukses dan memadai jika anak telah mampu pergi ke
toilet atas inisiatif sendiri dan mampu menyelesaikannya dengan baik. Pelatihan
Universitas Sumatera Utara
ini dilakukan selama 2 minggu sampai 2 bulan. Semakin lama pelatihan berlangsung, upaya 3 dan 4 dapat dikurangi Schmitt, 1991.
Toilet training merupakan suatu peralihan atau perubahan dari penggunaan popok menjadi penggunaan toilet pada seorang anak. Di antara kedua fase ini, ada
sebuah cara alternatif yang bisa digunakan untuk memudahkan proses toilet training, yaitu penggunaan toilet mini. Toilet mini adalah peralatan yang
disiapkan untuk tempat menampung BAB atau BAK anak dan bersifat portabel bisa dipindahkan. Prinsip penggunaan toilet mini pada toilet training adalah
untuk memperpendek jarak yang harus ditempuh seorang anak untuk melakukan BAB atau BAK Gilbert, 2003.
2.1.7. Faktor Penghambat Toilet Training
Menurut Government of South Australia 1999, faktor yang menghambat pelatihan toilet adalah sebagai berikut:
1. Upaya toilet training dilakukan terlalu dini.
2. Orangtua telah menetapkan standar waktu pelaksanaan tanpa memperhatikan
perkembangan anak. 3.
Tekanan dari lingkungan atau orang lain untuk memaksakan pelatihan. 4.
Orangtua atau pengasuh berpendapat bahwa anak harus mengalami toilet training sesegera mungkin untuk membuktikan keberhasilan pendidikan dan
menunjukkan keunggulan si anak. 5.
Perselisihan antara anak dan orangtua dalam menjalani toilet training. 6.
Memberikan hukuman pada anak yang gagal dalam menyelesaikan proses BAB atau BAK di toilet dengan baik.
7. Adanya faktor stres pada kehidupan anak.
8. Adanya gangguan fisik atau organik pada anak, misalnya kerusakan sistem
kemih ataupun sistem pencernaan sehingga menyebabkan gangguan fisiologis berkemih dan defekasi. Hal ini tampak apabila anak terlalu sering BAB atau
BAK, BAB atau BAK mengandung darah, ataupun nyeri saat berkemih atau defekasi.
Universitas Sumatera Utara
Sedangkan menurut DeBord 1997, penghambat dalam toilet training adalah sebagai berikut:
1. Memaksakan anak untuk duduk di toilet.
2. Bereaksi terlalu keras terhadap kesalahan anak.
3. Menggunakan obat-obatan untuk mempercepat BAB atau BAK.
2.1.8. Kriteria Anak yang Telah Siap untuk Diajarkan Toilet Training
Toilet training tidak boleh dilakukan sebelum anak siap. Kesiapan anak itu sendiri tergantung pada konsep dan kemampuan yang diajarkan sejak anak berusia 12
bulan. Salah satu stimulus yang sangat membantu adalah membacakan buku tentang usaha BAK atau BAB mandiri kepada anak. Toilet training dapat dimulai
saat usia anak berkisar antara 18 sampai 30 bulan. Sebagian besar anak mulai toilet training pada usia 24 bulan, sebagian kecil pada 18 bulan. Pada usia 3
tahun, anak akan mampu belajar untuk toilet training sendiri tanpa bantuan. Beberapa tahapan perkembangan kemampuan dan perubahan fisiologis
anak dibutuhkan untuk toilet training. Hal tersebut antara lain Gilbert, 2003: 1.
Anak telah mampu menyadari bahwa pakaian atau popok yang digunakannya kotor atau basah. Hal ini mulai terjadi pada usia 15 bulan.
2. Anak telah mampu membedakan BAB dengan BAK, serta mampu
memberitahukan kepada pengasuh bila mengalami urgensi BAB atau BAK. Hal ini mulai terjadi pada usia 18-24 bulan.
3. Anak mampu memberitahu terlebih dahulu jika ia ingin BAB atau BAK dalam
interval waktu yang cukup untuk pengasuh mengantarkannya ke toilet. 4.
Anak mampu melakukan kontrol terhadap kandung kemih dan mampu menahan keinginan BAB atau BAK selama beberapa saat.
Berikut adalah tanda-tanda anak yang sudah siap diajarkan toilet training: 1.
Anak telah diajarkan dan mengerti makna kata-kata “pipis” atau ”kencing” BAK, “eek” atau ”beol” BAB, “bersih”,”jorok”, “basah”, “kering”, dan
“kamar mandi atau toilet” Schmit, 1991. 2.
Anak telah mengerti kegunaan toilet. Hal ini diajarkan dengan memberikan peragaan atau contoh kepada anak Schmit, 1991.
Universitas Sumatera Utara
3. Anak cenderung memilih dan menyukai popok yang bersih dan kering. Hal ini
diajarkan dengan menstimulasi anak dengan mengganti popok jika sudah basah atau kotor Schmit, 1991.
4. Anak menyukai perubahan atau pelajaran perkembangan kemampuan. Hal ini
diajarkan dengan mengubah metode mengganti popok dari aktif menjadi pasif menunggu anak sadar dan datang untuk diganti popoknya Schmit, 1991.
5. Anak mengerti hubungan antara kebersihan dan kekeringan pada popok
dengan penggunaan toilet Schmit, 1991. 6.
Anak mengetahui perasaan ingin atau urgensi BAK atau BAB. Hal ini ditandai dengan berjongkok, memegang alat kelaminnya, meloncat-loncat panik, atau
memberitahu kepada seseorang yang bisa membantunya Gilbert, 2003. 7.
Anak dapat menahan dan menunda urgensi BAK atau BAB untuk sementara waktu Gilbert, 2003.
8. Anak bersifat optimis dan ingin mandiri, hal ini dapat dilihat dari sikap dan
kecenderungan untuk berkata “aku bisa” Gilbert, 2003. 9.
Anak telah memiliki waktu atau jadwal BAB atau BAK yang teratur Gilbert, 2003.
10. Anak telah mengerti kata-kata dan mampu mengerjakan instruksi sederhana
Gilbert, 2003. 11.
Anak mampu berjalan dan duduk di atas toilet Ferrer-Chancy, 2000. 12.
Anak mampu membedakan BAB dengan BAK Ferrer-Chancy, 2000.
2.1.9. Aspek Psikologis Toilet Training
Menurut Freud 1923 dalam Papalia 2003, toilet training dilakukan pada masa anal perkembangan psikologis anak. Banyak psikolog terkemuka yang
berpendapat bahwa fase anal merupakan salah satu fase penting perkembangan psikologis seseorang. Dalam fase ini anak pertama kali dihadapkan pada kondisi
dimana keadaan fisiologis dan biologis tubuhnya harus disesuaikan dengan faktor lingkungan dan sosial. Fase ini merupakan fase yang tepat untuk mengajarkan
anak untuk menahan kebutuhan biologis misalnya BAB atau BAK. Hal ini
Universitas Sumatera Utara
penting untuk menyesuaikan perkembangannya dengan faktor lingkungan, yaitu menjaga kebersihan dan faktor sosial, yaitu ajaran orangtua atau pengasuh.
Usia 18 bulan sampai 3 tahun merupakan saat di mana anak mengalami konflik autonomy versus shame and doubt, yaitu mulai mengetahui tentang
kapabilitas dirinya dan membentuk zona pribadi miliknya. Mereka ingin memilih apa yang dilakukan dan didapatkan sendiri. Konflik akan terselesaikan jika
orangtua mampu memberikan arahan yang baik dan pilihan-pilihan bijak. Freud 1923 dalam Papalia 2003 mengidentifikasikan toilet training sebagai salah
satu momen yang menentukan kesehatan psikologis seseorang pada fase perkembangan ini. Perilaku orangtua saat pelatihan mempengaruhi aspek ini.
Seorang anak berusia dua tahun, seharusnya sudah mampu menjalani toilet training, makan dengan menggunakan sendok dan merapikan mainannya setelah
bermain. Peran orangtua dalam pelatihan hanya mengontrol dan memberikan dukungan saja. Hal ini akan mengembangkan kemampuan toleransi diri dan
pengertian. Menurut Erikson 1992 dalam Berk 1998, orangtua yang terlalu ikut campur dalam perkembangan kemampuan anaknya akan membuat anak
kehilangan beberapa momen yang menentukan aspek-aspek hidupnya. Anak bisa berkembang menjadi pribadi yang penakut dan pemalu, tidak mampu menentukan
pilihan, merasa tertekan, dan tidak mampu mengendalikan diri.
2.1.10. Permasalahan pada Kegagalan Toilet Training
Kegagalan pada toilet training akan menyebabkan hal-hal sebagai berikut: 1.
Inkontinensia urin berkepanjangan, terutama pada anak dengan retardasi mental Azrin, 1971.
2. Enkopresis, yaitu gangguan pengeluaran feses pada tempat yang tidak sesuai
bukan di toilet dan terjadi berulang kali Gelfand, 2003. 3.
Enuresis, yaitu gangguan ngompol pengeluaran urin bukan pada tempatnya pada anak tanpa kelainan fisik dan usia yang sudah tepat untuk diajarkan toilet
training Gelfand, 2003. 4.
Gangguan perkembangan anak Berk, 1998.
Universitas Sumatera Utara
2.2. Pertumbuhan dan Perkembangan Anak Usia Prasekolah
Usia anak prasekolah 1-5 tahun merupakan masa di mana perubahan pertumbuhan dan perkembangan terjadi begitu cepat dan menjadi masa yang
sangat menantang bagi orangtua dan ahli pediatrik. Kemampuan yang sangat berkembang adalah kemampuan berbahasa dan interpersonal. Hal ini termasuk
dalam konsep pertumbuhan dan perkembangan anak, yang mencakup afektif, motorik, kognitif, dan pertumbuhan fisik.
Perkembangan afektif anak pada usia prasekolah antara lain adalah keinginan mandiri dan bebas dari pengasuhan, kebutuhan dan kepentingan untuk
berhubungan dengan anggota keluarga, dan usaha awal untuk pengendalian diri dari kegiatan yang bersifat instingtif. Selain itu, dalam perkembangan afektif juga
dinilai perubahan sikap atau perilaku, temperamen, dan sebagainya dalam interaksi sosial. Secara kognitif, perubahan yang terjadi adalah pengembangan
pola pikir preoperational dari sensorimotor. Karakteristiknya antara lain adalah penggunaan bahasa dalam berinteraksi dan upaya berpura-pura dan meniru. Anak
pada usia ini hanya memahami sedikit kata-kata dan bergantung pada kemampuan motoriknya untuk memanipulasi lingkungan. Sebagai perbandingan, seorang anak
usia 3 tahun mampu berbicara dalam bentuk kalimat, berinteraksi dengan berbicara, dan menggunakan bahasa untuk mencapai tujuan tertentu. Pertumbuhan
fisik berjalan lebih lambat daripada fase bayi infantil. Sebagai gantinya, kemampuan motorik kasar dan halus berkembang dengan cepat. Anak pada usia
prasekolah ini mulai belajar untuk berjalan, kemudian berlari dan meloncat.
2.2.1. Pertumbuhan Anak
Setelah pertumbuhan yang cepat pada masa bayi, kecepatan pertumbuhan berkurang pada masa prasekolah. Setelah usia dua tahun, anak memperoleh berat
badan 2-3 kg dan 6-10 cm tinggi badan setiap tahunnya. Lingkar kepala hanya sedikit bertambah yaitu sekitar 3 cm sampai usia 12 tahun. Pertumbuhan tidak
meningkat secara konstan. Anak biasanya tidak mengalami kenaikan dan penurunan berat badan yang teratur.
Universitas Sumatera Utara
Peningkatan tinggi badan pada usia prasekolah biasanya akibat pertambahan panjang ekstremitas. Proporsi tubuh berubah, dari rasio atas-bawah
1,40 pada usia 2 tahun menjadi 1,15-1,20 pada 5 tahun. Dengan bentuk tubuh yang berubah, maka memerlukan penyesuaian postur, yang apabila gagal akan
menimbulkan lordosis dan protuberan abdomen. Pertumbuhan ekstremitas bawah biasanya disertai dengan torsi tibia dan pembengkokan tungkai, yang bisa sembuh
sendiri pada usia 3 tahun. Persentase lemak tubuh menurun dari 22 pada usia 1 tahun menjadi 12,5-15 pada usia 5 tahun. Pada akhir masa prasekolah,
peningkatan tonus otot dan penurunan lemak tubuh membuat penampilan anak menjadi lebih kurus dan berotot Colson, 1997.
2.2.2. Perkembangan Anak
Menurut Colson 1997, perkembangan kemampuan anak yang terjadi pada usia 0-5 tahun adalah sebagai berikut:
1. Gross Motor Abilities
Pada usia kira-kira 2 tahun, pertumbuhan anak sudah memungkinkan kaki untuk berjalan seperti dewasa. Setelah 36 bulan, anak telah mengembangkan
keseimbangan tubuh dan mampu berdiri dengan satu kaki secara stabil. Anak biasanya tertarik dan senang akan kemampuan baru mereka, dan akan mencari
tahu apalagi yang bisa ia lakukan. Perkembangan selanjutnya adalah kemampuan untuk meloncat dan berlari. Dalam hal ini dibutuhkan pengawasan
untuk mencegah terjadinya luka dan kecelekaan karena anak-anak sering berusaha mencari tahu batas kemampuan mereka di luar batas kemampuannya
dan hal tersebut bisa berbahaya terhadap diri sendiri. 2. Fine Motor Abilities
Perkembangan dari segi gerakan halus terjadi pada kemampuan untuk menggapai, menggenggam, dan memanipulasi benda-benda kecil. Pada usia 18
bulan, anak sudah mampu menyusun balok sebanyak 4 buah. Setahun kemudian, dengan latihan dan perkembangan kontrol dirinya, ia akan mampu
menyusun sampai delapan balok. Banyak anak pada usia 18 bulan yang menyenangi eksplorasi terhadap warna, misalnya dengan krayon. Apabila
Universitas Sumatera Utara
memungkinkan, ia akan menggenggam alat tersebut dan menggoreskannya di berbagai tempat. Dalam 1,5 tahun kemudian, anak akan mampu menggenggam
krayon tersebut dengan dua jari saja, dan menggambar sebuah lingkaran. Pada usia 3 tahun, si anak mulai dapat menggambar hal-hal sederhana.
3. Autonomy and Independence Seiring berkembangnya kemampuan motorik anak, muncullah dorongan untuk
bebas dari pengasuhan dan kemampuan untuk mengendalikan diri sendiri. Anak menjumpai dan menyadari kondisi dimana ia bisa bergerak tanpa bantuan
orangtua atau pengasuh, dan mulai mencari tahu batasan dari hal tersebut. Keinginan untuk mendapatkan otonomi bisa muncul setiap hari, misalnya
dengan menolak untuk makan kecuali ia diperbolehkan untuk melakukan hal tersebut sendiri. Selain itu, anak juga tidak mau mencoba jenis makanan baru,
kecuali ketertarikan atas makanan yang dikonsumsi orang lain. Gambaran yang paling sering muncul pada anak adalah temper tantrum. Anak mulai bertingkah
memberontak dan ingin mengendalikan kegiatan sehari-harinya tanpa campur tangan orangtua. Apabila tidak dikabulkan, maka ia bisa menangis, memukul,
ataupun marah-marah. 4.
Control and Self Impulse Anak juga mulai mampu mengendalikan diri, yang bisa dikatakan sebagai
proses “menjadi teratur”. Pada usia 18 bulan, anak akan memiliki kontrol minimum dan tetap memperlihatkan beberapa kali temper tantrum dalam
sehari. Pada usia dua tahun biasanya mampu mengendalikan impuls dengan derajat yang berbeda-beda. Pada usia 3 tahun anak sudah mampu melakukan
pengendalian diri, sebagian karena mereka juga sedang belajar untuk menahan penyampaian pendapat atau memendam perasaan. Pada saat ini mereka akan
belajar bahwa terkadang kita harus menunggu untuk mencapai sebuah tujuan. Kemampuan-kemampuan ini sangat penting didapatkan menjelang toilet
training. Keberhasilan toilet training bisa dilihat pada akhir usia 3 tahun. Pada usia ini, dibutuhkan kemampuan fisik yaitu kemampuan untuk berjalan dan
menahan urgensi BAB atau BAK, dan kemampuan emosional, yaitu keinginan untuk BAB atau BAK pada tempatnya. Meskipun toilet training sudah diajarkan
Universitas Sumatera Utara
pada usia dini, namun pencapaian keberhasilan tidak mengompol lagi baru bisa terjadi umumnya pada usia 2,5 tahun Colson, 1997.
Tabel 2.1. Kemampuan Anak Pada Usia Prasekolah Usia
Perkembangan Gross Motor
Fine Motor Emotional
Intellectual Language
18 bulan 1.
Berjalan dengan
cepat 2.
Berlari tertatih
3. Naik
tangga dipegang 1
tangan 4.
Memanjat kursi
1. Menyusun
kubus 4 buah
2. Menirukan
gambar garis
1. Melepaskan
pakaian 2.
Makan sendiri atau
tanpa bantuan
3. Meminta
tambahan makanan
4. Memeluk
boneka 5.
Menarik sebuah
mainan 1.
Mengenal nama
anggota tubuh
2. Mengerti
hubungan sebab
akibat 1.
Menyebut kan 10-20
kata 2.
Mengikuti perintah
sederhana atau 2
aturan
24 bulan 1.
Berlari dengan
baik 2.
Naik turun tangga
tanpa bantuan
3. Menendang
bola 1.
Menyusun vertikal 6-7
kubus 2.
Menyusun horizontal
2 kubus 3.
Mencoba menggam-
bar lingkaran
1. Memakai
kembali pakaian
2. Menyatakan
keinginan 3.
Mengguna- kan sendok
4. Menyebut-
kan dirinya sendiri
dalam 1.
Mengerti konsep
waktu 2.
Melaku- kan
percoba- an dan ke-
gagalan trial and
error 1.
Mengguna -kan
kalimat dalam
bicara 2.
Mengerti perintah
yang terdiri dari
4 aturan 3.
Mengguna
Universitas Sumatera Utara
percakapan -kan 2-3
kata dalam kalimat
36 bulan 1.
Meloncat 2.
Berjingkrak 2-3 kali
3. Mengayuh
sepeda 4.
Menjaga keseimbang
-an 1.
Menggam- bar
lingkaran 2.
Menggam- bar kepala
3. Menyusun
9-10 kubus secara
vertikal 1.
Memperhati kan keadaan
sekitar 2.
Membangun persahabat-
an 3.
Bermain dengan
teman khayalan
4. Bermain
dengan teman
1. Memperta
-nyakan segala hal
2. Menyebut
kan tiga digit
angka 3.
Mengerti tentang
kegiatan harian
1. Mampu
bercerita 2.
Mengguna -kan 4-5
kata dalam kalimat
Sumber : E. R. Colson, 1997
2.3. Konsep Pengetahuan 2.3.1. Definisi Pengetahuan
Pengetahuan adalah hasil dari tahu. Terjadinya pengetahuan adalah setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan
terjadi melalui pancaindera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran penciuman, rasa, dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh
melalui penglihatan dan pendengaran, yakni mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif adalah domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan
seseorang. Melalui pengalaman dan penelitian diketahui bahwa perilaku yang didasari
oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada yang tidak didasari pengetahuan. Rogers 1974 dalam Notoatmodjo 2007 mengungkap bahwa sebelum terjadi
Universitas Sumatera Utara
adopsi perilaku, di dalam diri sesorang secara berurutan terjadi proses sebagai berikut:
1. Awareness kesadaran yaitu proses menyadari dalam arti mengetahui
stimulus atau objek terlebih dahulu. 2.
Interest, yakni seseorang mulai tertarik terhadap stimulus 3.
Evaluation evaluasi yaitu proses menimbang-nimbang baik dan tidaknya stimulus bagi dirinya. Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik.
4. Trial, yaitu orang mulai mencoba melakukan sebuah perilaku baru.
5. Adoption, subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan,
kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus. Namun demikian, penelitian selanjutnya membuktikan bahwa tidak seluruh tahap
dilewati dalam pencapaian adopsi. Apabila penerimaan adopsi sebuah perilaku didasari oleh adanya
pengetahuan, kesadaran, dan sikap positif maka hal tersebuta akan menyebabkan perilaku yang langgeng long lasting. Sebaliknya apabila perilaku tidak didasari
oleh pengetahuan dan kesadaran, maka tidak akan berlangsung lama Notoatmodjo, 2007.
2.3.2. Jenis-Jenis Pengetahuan
Pengetahuan, dalam domain kognitif memiliki enam tingkatan yaitu : 1.
Tahu know Tahu diartikan sebagai pengingatan terhadap sebuah materi yang sebelumnya
sudah dipelajari. Termasuk dalam tingkat ini adalah kemampuan untuk recall atau mengingat kembali sesuatu hal spesifik dari pelajaran terdahulu.
Pengukuran tercapainya kualitas pengetahuan ini adalah dengan menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan, dan sebagainya.
2. Memahami comprehension
Memahami adalah suatu kemampuan menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menjelaskan secara benar tentang objek yang
diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi, maka harus bisa menjelaskan,
Universitas Sumatera Utara
menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya, terhadap objek yang dipelajari.
3. Aplikasi application
Aplikasi diartikan sebagi kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi sebenarnya. Aplikasi disini diartikan
sebagai penggunaan hukum, rumus, metode, prinsip, dan sebagainya, dalam konteks atau situasi yang lain.
4. Analisis analysis
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih dalam sebuah struktur
pengorganisasian, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja, seperti dapat
menggambarkan, membedakan, memisahkan, mengelompokkan, dan sebagainya.
5. Sintesis synthesis
Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungakn bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.
Dengan kata lain sintesis adalah kemampuan untuk menyusun suatu hal baru dari hal-hal yang ada. Misalnya dapat menyusun, dapat merencanakan, dapat
meringkaskan, dapat menyesuaikan, dan sebagainya terhadap suatu teori atau rumusan yang telah ada.
6. Evaluasi evaluation
Evaluasi berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan pekerjaan atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu didasarkan
pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria yang telah ada.
Pengukuran pengetahuan dapat dilaksanakan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian.
Kedalaman pengetahuan yang ingin diukur dapat disesuaikan dengan tingkatan di atas Notoatmodjo, 2007.
Universitas Sumatera Utara
2.3.3. Faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan
Pengetahuan, sebagai bagian dari perilaku kesehatan, dipengaruhi oleh 3 faktor utama yaitu:
1. Faktor predisposisi predisposing factor
Faktor ini mencakup pengetahuan dan sikap masyarakat, tradisi dan kepercyaan masyarakat, sistem nilai yang dianut masyarakat, tingkat
pendidikan, tingkat sosial ekonomi, dan sebagainya. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut. Untuk berperilaku kesehatan, misalnya menjaga kesehatan
ibu hamil, diperlukan pengetahuan dan kesadaran tentang manfaat. Di samping itu, kepercayaan, tradisi, dan sistem nilai masyarakat juga dapat
mendorong dan menghambat perilaku. Faktor-faktor ini terutama yang positif dapat mempermudah terwujudnya perilaku, maka sering pula disebut dengan
faktor pemudah. 2.
Faktor pemungkin enabling factor Faktor ini mencakup ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas untuk
tercapainya perilaku, misalnya perilaku kesehatan masyarakat. Contohnya adalah ketersediaan air bersih, tempat pembuangan sampah, tempat
pembuangan tinja, ketersediaan makanan bergizi, dan sebagainya. Termasuk pula di dalam hal ini fasilitas pelayanan kesehatan dan tenaga medis. Untuk
berperilaku sehat, masyarakat membutuhkan sarana dan prasarana mendukung yang memadai. Seseorang yang melakukan perilaku sehat bukan
hanya karena kesadaran dan pengetahuan, melainkan juga karena ketersediaan fasilitas. Fasilitas ini pada hakikatnya mendukung atau
memungkinkan terwujudnya perilaku kesehatan, maka faktor-faktor ini disebut faktor pendukung, atau faktor pemungkin.
3. Faktor penguat reinforcing factor
Faktor ini meliputi faktor sikap dan perilaku tokoh masyarakat, tokoh agama, sikap dan perilaku para petugas, termasuk petugas kesehatan. Termasuk juga
undang-undang, peraturan, baik dari pusat maupun dari perda. Selain kesadaran dan pengetahuan yang didukung oleh fasilitas yang memadai,
seseorang dalam berperilaku juga membutuhkan perilaku contoh acuan dari
Universitas Sumatera Utara
tokoh-tokoh. Selain itu peraturan dan undang-undang juga memperkuat keberadaan suatu perilaku.
Oleh sebab itu, intervensi pendidikan hendaknya dimulai dengan memperhitungkan ketiga faktor tersebut, kemudian intervensinya diarahkan pula
pada ketiga faktor tersebut. Pendekatan ini disebut dengan model Precede, yaitu predisposing, reinforcing, and enabling cause in educational diagnosis and
evaluation Notoatmodjo, 2007.
Universitas Sumatera Utara
BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
3.1. Kerangka Konsep
Berdasarkan tujuan penelitian yang telah disampaikan pada Bab 1, maka kerangka konsep dalam penelitian ini adalah :
Gambar 3.1. Kerangka Konsep Penelitian
3.2. Definisi Operasional
Definisi operasional dari penelitian perlu dijabarkan untuk menghindari perbedaan persepsi dalam menginterpretasi masing-masing variabel penelitian. Adapun
definisi operasional dari penelitian ini adalah sebagai berikut : a.
Toilet training Toilet training adalah segala upaya yang bertujuan untuk tercapainya
kemampuan kontrol anak terhadap BAB dan BAK. b.
Ibu Ibu adalah wanita yang memiliki anak berusia prasekolah atau TK.
c. Usia
Usia adalah usia responden ibu yang dihitung berdasarkan ulang tahun terakhir. Usia ibu dikategorikan sebagai:
1. Ibu dewasa muda usia 20-30 tahun
2. Ibu dewasa tua usia 31-40 tahun.
Pengetahuan Ibu
Toilet Training pada Anak Usia
Pra-SekolahTK
Universitas Sumatera Utara
d. Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan adalah jenjang pendidikan terakhir yang diperoleh responden ibu saat dilakukan wawancara. Tingkat pendidikan dikategorikan
sebagai : 1.
SD 2.
SMP 3.
SMA 4.
Sarjana e.
Status Pekerjaan Status pekerjaan adalah pekerjaan yang ditekuni oleh responden ibu yang
dikategorikan menjadi: 1.
ibu rumah tangga 2.
pegawai negeri atau swasta 3.
wiraswasta 4.
buruh f.
Pengetahuan •
Pengetahuan adalah segala informasi yang diketahui hasil tahu responden ibu mengenai pelaksanaan toilet training yang benar.
• Pengukuran pengetahuan dilakukan dengan cara ukur berupa wawancara.
Sedangkan alat ukur yang digunakan berupa kuesioner. Kuesioner berisi pertanyaan tertutup dengan jumlah sebanyak 13 pertanyaan terlampir.
Sistem nilai pengetahuan dapat dilihat di tabel 3.1. •
Hasil pengukuran didapat berdasarkan total nilai yang diperoleh dari 13 pertanyaan, maka jumlah total nilai maksimal adalah 13. Nilai responden
dikategorikan menurut Pratomo 1986 menjadi tiga kategori yaitu buruk, cukup baik, sangat baik dengan perincian nilai sebagai berikut:
Kategori baik : apabila nilai yang diperoleh responden 75 -
100 .
Kategori sedang : apabila nilai yang diperoleh responden 40 - 75 .
Kategori buruk : apabila nilai yang diperoleh responden
≤ 40 .
Universitas Sumatera Utara
• Skala pengukuran dengan menggunakan skala kategorikal berupa skala
ordinal
Tabel 3.1. Nilai Kuesioner Pengetahuan
No. Pertanyaan
Nilai Jawaban
A Nilai
Jawaban B
Nilai Jawaban
C 1.
1 -
2. 1
3. 1
4. 1
5. 1
6. 1
7. 1
8. 1
9. 1
10. 1
11. 1
12. 1
13. 1
Universitas Sumatera Utara
BAB 4 METODE PENELITIAN
4.1. Jenis Penelitian