Aspirasi dan Peranserta Masyarakat

mempunyai tugas untuk menjembatani berbagai kepentingan yang ada di masyarakat daerah. Walaupun dari sisi lain, karena basis pemilih DPD RI berbeda dengan DPRD dan pemerintah daerah, maka tentunya akan muncul kepentingan yang berbeda-beda diantara ketiga lembaga tersebut. Dalam konteks ini DPD RI tentunya harus bisa menempatkan diri sebagai sebuah lembaga yang memoderasi kepentingan-kepentingan tersebut dan atau menjadi fasilitator lembaga-lembaga politik di daerah. Dalam rangka menjalin hubungan dengan DPRD dan pemerintah daerah inilah, DPD RI perlu membuat kesepakatan-kesepakatan lebih lanjut tentang mekanisme konsultasi daerah, sehingga kesepakatan-kesepakatan yang terjalin dapat ditindak lanjuti dalam bentuk dukungan dan program DPD RI. IV .3 . REV ITA LISA SI PERA N DPD RI DA LA M M EN YERA P DA N M ENG ELO LA A TA U M ENG A RTIKULA SIKA N A SPIRA SI M A SYA RA KA T.

IV.3.1.. Aspirasi dan Peranserta Masyarakat

Antara aspirasi masyarakat dan peranserta masyarakat merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan mengingat segala bentuk peranserta masyarakat pada hakekatnya adalah aspirasi masyarakat. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia pengertian peran serta atau partisipasi adalah hal turut serta pengikutsertaan dalam suatu kegiatan baik langsung maupun tidak langsung”. Canter sebagaimana dikutip Santosa mendefinisikan peranserta masyarakat sebagai proses komunikasi dua arah yang terus menerus untuk meningkatkan pengertian masyarakat atas suatu masalah-masalah dan kebutuhan. Bentuk kegiatannya meliputi feed forward information komunikasi dari pemerintah kepada 61 masyarakat tentang suatu kebijakan dan feedback information komunikasi dari masyarakat ke pemerintah atas suatu kebijakan 56 . Pada dasarnya peranserta masyarakat merupakan insentif moral sebagai alat untuk mempengaruhi lingkup makro yang lebih tinggi di tempat dibuatnya keputusan- keputusan yang sangat menetukan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian peranserta tersebut bukanlah sebuah tujuan akhir participation is an end itself. Hal ini tentunya bertolak belakang dengan asumsi yang berkembang selama ini yang memandang peran serta masyarakat semata-mata sebagai penyampaian informasi public information, penyuluhan, bahkan hanya sekedar alat public relation agar proyek- proyek yang dilakukan pemerintah dapat berjalan lancar dan mendapat legitimasi dari masyarakat. Cormick membedakan peranserta masyarakat ke dalam dua pola, antara lain: 1. Peranserta masyarakat yang bersifat konsultatif Peranserta masyarakat yang bersifat konsultatif ini berarti dalam hubungan antara pihak pejabat pengambil keputusan dengan kelompok masyarakat yang berkepentingan, masyarakat mempunyai hak untuk di dengar pendapatnya dan untuk diberitahu. Keputusan akhir masih tetap berada pada pembuat keputusan. 2. Peranserta masyarakat yang bersifat kemitraan Dalam pola ini, pejabat pembuat keputusan dan anggota-anggota masyarakat merupakan mitra yang realtif sejajar kedudukannya. Mereka bersama-sama membahas masalah, mencari alternatif pemecahan masalah dan membuat keputusan. 57 Berdasarkan sudut kemampuan masyarakat untuk mempengaruhi proses pengambilan keputusan, Arnstein merumuskan Delapan Tangga Peranserta Masyarakat 56 Aan Eko Widiarto, Garis Politik dan Peruandang-undangan dalam Desentralisasi Pengelolaan Lingkungan Hidup menuju Model Pengelolaan Lingkungan Hidup yang Berdimensi Peran Serta Masyarakat di Daerah, Skripsi, Malang, 1999, Hal. 40-42 57 Mas Achmad Santosa dan Arimbi BP, Peranserta Masyarakat dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup, WALHI-YLBHI, Jakarta, 1993, Hal. 1-2 62 Eight Rangs on the Ladder of Citizen Participation. Kedelapan tangga tersebut dapat digambarkan sebagai berikut: 8 Pengawasan Masyarakat 7 Pendelegasian Kekuasaan 6 Kemitraan 5 Peredaman Kemarahan 4 Konsultasi 3 Menyampaikan Informasi 2 Terapi 1 Manipulasi Tingkat Kekuasaan Masyarakat Tingkat Tokenisme Non Peranserta Tangga 1 Manipulasi dan tangga 2 Terapi mempunyai sasaran untuk mendidik dan “mengobati” masyarakat yang berperanserta. Dalam tingkatan ini peranserta tidak ada atau non peranserta. Tangga ketiga, keempat dan kelima menandakan bahwa suatu tingkat peranserta itu berarti mendengarkan dan dipernolehkannya masyarakat untuk berpendapat. Namun demikian pendapat mereka itu tidak mendapatkan jaminan untuk dipertimbangkan oleh pengambil kebijakan sehingga tahap ini disebut tingkat Tokenisme. Tahapan tertinggi adalah tingkat “Kekuasaan Masyarakat”. Dalam tahap ini masyarakat memperoleh pengaruh dalam proses pengambilan keputusan dengan menjalankan kemitraan yang mempunyai kemampuan tawar menawar dengan penguasa dalam tingkatan yang lebih tinggi melalui pendelegasian kekuasaanwewenang dan pengawasan. Pada tingkatan ketujuh dan kedelapan, masyarakat non elit memiliki masyoritas suara dalam proses pengambilan keputusan, bahkan sangat mungkin memiliki kewenangan penuh mengelola suatu obyek kebijaksanaan tertentu. 63 Di dalam the Oxford English Dictionary, peranserta disebut sebagai “the action or fact of partaking, having or forming a part of”. Dalam pengertian ini, peranserta bisa bersifat transitif atau intransitif, bisa pula bermoral atau tak bermoral. Kandungan Pengertian tersebut juga bisa bersifat dipaksa atau bebas, dan bisa pula bersifat manipulatif maupun spontan 58 . Peranserta transitif apabila ia berorientasi pada tujuan tertentu. Sebaliknya, peranserta bersifat intransitif apabila subyek tertentu berperanserta dengan tanpa tujuan yang jelas. Peranserta memenuhi sisi moral apabila tujuan yang hendak dicapai sesuai dengan etika. Dalam pengertian ini peranserta mengandung konotasi positif. Begitu pula sebaliknya, jika kegiatan berperanserta ditujukan pada tujuan yang tidak sesuai dengan etika maka ia disebut sebagai tak bermoral. Dalam perspektif yang lain, peranserta juga berkonotasi positif apabila ia dipersepsi sebagai tindakan bebas yang oleh subyek, bukannya terpaksa dilakukannya atas nama peranserta. Akhirnya peranserta juga bisa dibedakan apakah ia bersifat manipulatif atau spontan. Partipasi yang dimanipulasi mengandung pengertian bahwa partisipan tidak merasa dipaksa untuk melakukan sesuatu namun sesungguhnya ia diarahkan untuk berperan serta oleh kekuatan diluar kendalinya. Oleh karena itu, peranserta bentuk ini juga sering disebut sebagai teleguided participation. Sementara itu, Midgley menjelaskan peranserta spontan sebagai “a voluntary and autonomous action on the part of the people to organize and deal with their problems unaided by government or other external agents” 59 . Pengertian yang diacu oleh Rahnema di atas tentu masih bersifat terlalu umum, sehingga diperlukan definisi yang lebih jelas dan khusus bagi studi administrasi negara. 58 M. Rahnema, Participation, dalam Sachs, W.ed. The Development Dictionary: a Guide to Kowledge as Power, New Jersey:Zed Books, 1992, hal. 116 59 J Midgley, Introduction: Social Development , the State and Participation, dalam Midgley, J.,etal. Community Participation, Social Development and the State, New York:Methuen, 1986, hal 27 64 Bryant White telah menggambarkan pengertian peranserta yang lebih mendalam pada bidang administrasi pembangunan sebagai peranserta oleh masyarakat atau oleh penerima manfaat proyek dalam pembuatan rancangan dan pelaksanaan proyek. Selanjutnya mereka menguraikan kandungan makna yang tersirat dalam pengertian peranserta ini bahwa ia merupakan sikap keterbukaan terhadap persepsi dan perasaan orang lain, perhatian yang mendalam mengenai perbedaan atau perubahan yang akan dihasilkan suatu proyek sehubungan dengan kehidupan masyarakat, serta kesadaran mengenai kontribusi yang dapat diberikan oleh pihak lain terhadap suatu kegiatan. Menurut Bryant White, semula peranserta hanya didefinisikan secara politis sepenuhnya sebagaimana yang berkembang pada tahun 1950an dan 1960an. Dalam pengertian ini peranserta diartikan sebagai pemungutan suara, keanggotaan dalam partai, kegiatan dalam perkumpulan sukarela, gerakan protes, dan lain sebagainya. Dengan mengutip pendapat Joan Nelson, mereka mengungkap bahwa peranserta politis ini dapat dibagi dalam dua arena, yakni peranserta horisontal dan vertikal. Yang pertama melibatkan masyarakat secara kolektif untuk mempengaruhi keputusan kebijakan. Sementara yang kedua terjadi ketika anggota masyarakat mengembangkan hubungan tertentu dengan kelompok elit dan pejabat yang bermanfaat bagi kedua-belah pihak. Pada tahun 1970an, peranserta mulai dihubungkan dengan proses administratif dengan menambahkan kegiatan peranserta dalam proses implementasi sehingga individu dan kelompok dapat mengejar kepentingan yang bertentangan dan bersaing memperebutkan sumber daya yang langka. Dengan mengutip studi yang dilakukan Uma Lele pada tahun 1975, Bryant White menulis bahwa peranserta dalam perencanaan dan pelaksanaan program dapat mengembangkan kemandirian yang dibutuhkan oleh anggota masyarakat pedesaan demi akselerasi pembangunan. Selain itu, mereka mengusulkan pula perluasan konsep peranserta yang tidak hanya mencakup proses 65 perencanaan dan pelaksanaan tetapi juga peranserta dalam penerimaan manfaat. Argumen yang disampaikan adalah adanya kemungkinan masyarakat tidak mendapat manfaat dari kontribusi yang diberikannya. Bryant White mengingatkan pula agar konsep peranserta tidak dipersempit hanya pada aspek penerimaan manfaat belaka karena akan mengubah pengertian umum peranserta. Aspek penerimaan manfaat merupakan pelengkap dari cakupan pada proses perencanaan dan pelaksanaan sehingga membawa manfaat yang lebih besar bagi masyarakat. Selain peranserta dalam perencanaan, implementasi, dan penerimaan manfaat, Griesgraber Gunter menambahkan aspek yang lain yakni evaluasi dengan mengartikan peranserta sebagai “mechanism for enabling affected people to share in the creation of a project or program, beginning with identification all the way through to implementation and evaluation”. 60 Dengan demikian, maka konsep peranserta menjadi sedemikian luas mulai dari aspek perencanaan, implementasi, evaluasi, sampai penerimaan manfaat. Pengertian peranserta di atas tentu sudah lebih mendalam dibandingkan definisi yang diuraikan pertama kali, akan tetapi dari hal tersebut masih belum menunjukkan sentuhan dimensi spasial dari pemahaman terhadap istilah peranserta. Midgley telah membantu mengatasi persoalan ini dengan membedakan konsep peranserta popular dengan peranserta masyarakat. Peranserta popular berkenaan dengan isu yang luas tentang pembangunan sosial dan penciptaan peluang keterlibatan rakyat dalam kehidupan politik, ekonomi, dan sosial dari suatu bangsa 61 . Selanjutnya Korten menjelaskan lebih jauh bahwa peranserta jenis ini didesain oleh ahli perencanaan dari pusat dan dijalankan melalui badan pembangunan yang tersentralistis, hierarkis, dan terikat oleh peraturan yang diikuti dengan wewenang yang kecil dari fungsionaris lokal 60 GriesgraberGunter, eds, Development: New Paradigms and Principles for the Twenty-first Century, East Haven, CT:Pluto Press, 1996, hal 144 61 Opcit, hal. 23 66 untuk menyesuaikan program dengan kebutuhan atau keinginan lokal. Asumsi yang dipegang adalah pegembangan peranserta pada tingkat nasional bertujuan untuk menjamin pertumbuhan ekonomi yang diikuti dengan trickle down effect atas manfaat pembangunan. Sementara itu, peranserta masyarakat berkonotasi “the direct involvement of ordinary people in local affairs”. Midgley memperjelas pengertian peranserta masyarakat ini dengan mengacu pada salah satu definisi yang termuat dalam resolusi PBB pada awal tahun 1970an. Definisi tersebut adalah: “the creation of opportunities to enable all members of a community and the larger society to activley contribute to and influence the development process and to share equitably in the fruits of development”. Mengenai batasan apa yang tercakup dalam peranserta masyarakat, Midgley mengungkapkan adanya dua pandangan. Yang pertama berdasar pada United Nations Economic and Social Council resolution 1929. Resolusi ini menyatakan bahwa peranserta membutuhkan keterlibatan orang-orang secara suka rela dan demokratis dalam hal: a sumbangsihnya terhadap usaha pembangunan, b penerimaan manfaat secara merata, dan c pengambilan keputusan yang menyangkut penentuan tujuan, perumusan kebijakan dan perencanaan dan penerapan program pembangunan sosial dan ekonomi. Mengacu pada pandangan ini, peranserta dapat dibedakan menjadi dua hal. Peranserta otentik authentic participation yang merujuk pada terpenuhinya ketiga kriteria di atas. Jika tidak seluruh kriteria tersebut dapat dipenuhi maka hal ini akan disebut peranserta semu pseudo-participation. Tentu peranserta yang ideal adalah peranserta otentik. Namun jenis peranserta ini dianggap terlalu ambisius karena memerlukan perubahan struktur sosial yang nyata dan redistribusi kekuasaan besar-besaran yang tentunya sulit dipenuhi oleh banyak negara berkembang. Oleh karena itu, PBB pada tahun 1981 mengajukan pandangan yang berbeda tentang definisi peranserta masyarakat dengan menekankan pada 67 “autonomy and self-reliance in participation”. Selanjutnya, dibedakan pula berbagai jenis peranserta berdasarkan pandangan ini, yakni: coerced participation yang sangat dikecam, induced participation yang dianggap terbaik kedua, dan spontaneous participation sebagai model ideal peranserta. Midgley kemudian menegaskan bahwa peranserta masyarakat disebut tercapai apabila program yang diinginkan dan dimanfaatkan oleh masyarakat secara efektif terpelihara oleh mereka setelah semua dukungan eksternal berakhir. Pandangan ini secara praktek dianggap lebih relevan karena mempertimbangkan kapasitas masyarakat dan mengakui adanya kebutuhan akan bantuan eksternal dalam pengembangan peranserta masyarakat. Dengan mempertimbangkan berbagai uraian di atas maka, peranserta masyarakat mencakup peranserta dalam proses perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, dan penerimaan manfaat pembangunan dengan mempertimbangkan otonomi dan kemandirian masyarakat. Tampaknya pandangan terakhir ini sesuai dengan apa yang dipikirkan oleh Sjahrir bahwa : Pengertian peranserta dalam pembangunan bukanlah semata-mata peranserta dalam pelaksanaan program, rencana, dan kebijaksanaan pembangunan, tetapi juga peranserta yang emansipatif. Artinya sedapat mungkin penentuan alokasi sumber-sumber ekonomi semakin mengacu pada motto pembangunan, dari, oleh, dan untuk rakyat 62 . Dari penjelasan mengenai cakupan makna dari peranserta masyarakat di atas, maka dapat dipahami bahwa peranserta dalam arti luasnya mencakup pula involvement dan empowerment. Peranserta berentang mulai dari pembuatan kebijakan, implementasinya sampai dengan kendali warganegara terhadapnya. Peranserta dapat terjadi bila ada demokrasi. Terjadi perubahan pandangan masyarakat terhadap peranserta. Kini, masyarakat tidak lagi memandang peranserta masyarakat sebagai sebuah kesempatan yang diberikan oleh pemerintah karena kemurahan hatinya. 62 Sjahrir, Pembangunan Berdimensi Kerakyatan, dalam Korten, D.C., Jahrir, Pembangunan Berdimensi Kerakyatan, Penerjemah: A Setiawan Abadi, Jakarta, 1988, hal 320 68 Peranserta lebih dihargai sebagai suatu layanan dasar dan bagian integral dari local governance. Dalam citizen-centred government, peranserta masyarakat merupakan alat bagi good governance. 63 Antoft dan Novack juga mengungkapkan berbagai bentuk peranserta dalam pengertian lebih sempit yang bisa dilakukan oleh komunitas untuk memperjuangkan kepentingan dan kebutuhannya. Bentuknya bisa berlangsung secara simultan untuk memberikan kesempatan bagi penduduk menikmati akses peranserta yang lebih besar karena tidak semua penduduk pada waktu yang bersamaan, di tempat yang sama, dengan kepentingan yang sama dapat berperanserta secara langsung dan bersama- sama. Ada kendala waktu, tenaga, dan sumber daya lainnya yang membatasi peranserta masyarakat ini. Bentuk-bentuk peranserta tersebut meliputi : electoral participation, lobbying, getting on council agenda, special purpose bodies, dan special purpose participation.

IV.3.2. Fungsi Penyerapan Aspirasi Masyarakat oleh DPD RI