Kandungan Senyawa Bioaktif dan Uji Fitokimia Sinularia sp dan Lobophytum sp dari Perairan Pulau Pongok Bangka Selatan.

(1)

PULAU PONGOK BANGKA SELATAN

REZI APRI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014


(2)

INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul“Kandungan Senyawa Bioaktif dan Uji Fitokimia Sinularia sp dan Lobophytum sp dari Perairan Pulau Pongok Bangka Selatan” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2014 Rezi Apri NIM C551100031


(3)

RINGKASAN

REZI APRI. Kandungan Senyawa Bioaktif dan Uji Fitokimia Sinularia sp dan

Lobophytum sp dan Perairan Pulau Pongok Bangka Selatan. Dibimbing oleh Dr. Ir. NEVlATY P. ZAMANI M.Sc dan Dr. Ir. HEFNI EFFENDI M.PhiL

Pemanfaatan karang lunak Sinularia sp dan Lobophytum sp sebagai sumber senyawa bioaktif dengan beragam senyawa metabolit sekunder yang dihasilkannya, sangat mempunyai potensi dalam bidang pengobatan, termasuk sebagai bahan antibakteri. Namun pemanfaatan tersebut harns memperhatikan kelangsungan hidup dari organisme. Hasil penelitian yang telah dilakukan selama ini secara garis besar menunjukkan bahwa senyawa metabolisme sekunder yang diproduksi karang lunak sangat ditentukan oleh karakteristik lingkungannya termasuk didalamnya adalah pengaruh faktor geografis. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui aktivitas daya hambat antibakteri dan kandungan senyawa fitokimia dari ekstrak Sinularia sp dan Lobophytum sp di perairan Pulau Pongok, Bangka Selatan.

Proses pengambilan sampel dilakukan dengan penyelaman menggunakan alat selam scuba. Sampel uji Sinularia sp dan Lobophytum sp, masing-masing diperoleh pada kedalaman 3 meter dan 9 meter. Sampel kemudian diekstraksi menggunakan metode ekstraksi bahan aktif dan dilakukan uji daya hambat bakteri untuk mengetahui seberapa besar daya hambat ekstrak terhadap bakteri

Escherichia coli dan Staphylococcus aureus. Analisis data menggunakan metode Analisis Komponen Utama (peA). Untuk mengetahui kandungan senyawa pada

Sinularia sp dan Lobophytum sp dilakukan uji fitokimia.

Hasil penelitian diperoleh, daya hambat terhadap pertumbuhan bakteri E.

coli tertinggi adalah 15.00 ± 0.4 mm, yaitu dari ekstrak Sinularia sp kedalaman 3

meter. Hal ini dikarenakan Respon Sinularia sp terhadap kekeruhan lebih tinggi dibanding Lobophytum sp, sehingga kondisi perairan dengan kedalaman 3 meter yang relatif lebih keruh akan membuat karakteristik senyawa bioaktif Sinularia

sp lebih tinggi dalam menghambat pertumbuhan bakteri E. coli. Daya hambat terhadap pertumbuhan bakteri S. aureus tertinggi adalah 10.80 ± 1.2 mm, yaitu dari ekstrak Lobophytum sp kedalaman 9 meter. Lobophytum sp cenderung tidak menyukai perairan yang keruh, pada kondisi perairan yang lebih jernih yaitu kedalaman 9 meter, karakteristik senyawa bioaktifnya relatif lebih tinggi dalam menghambat pertumbuhan bakteri S. aureus. Hasil uji fitokimia terhadap ekstrak

Sinularia sp dan Lobophytum sp diperoleh senyawa antara lain : senyawa Alkaloid, Flavonoid, Steroid, Triterpenoid, dan Saponin.

Kata Kunci : Sinularia sp, Lobophytum sp, ekstraksi, uji Daya hambat, UJI Fitokimia


(4)

REZI APR!. Content of Bioactive Compounds and Phytochemicals Test

Sinularia sp and Lobophytum sp at around Pongok Island South Bangka. Supervised by Dr. Ir. NEVIATY P. ZAMANI M.Sc and Dr. Ir. HEFNI EFFENDI M.Phil.

Utilization of soft coral Sinularia sp and Lobophytum sp as a source of bioactive compounds with diverse secondary metabolites they produce, so has the potential in the fields of medicine, including as antibacterial materials. However, the use should pay attention to the survival of the organism. The results of the research that has been done so far in outline indicates that the secondary metabolic compounds produced soft corals is largely determined by the characteristics of the environment including the influence of geographical factors. The purpose of this study to determine the inhibition of antibacterial activity and phytochemical content of extracts of Sinularia sp and Lobophytum sp at around Pongok Island, South Bangka.

The sampling was done by scuba diving. The test sample Sinularia sp and

Lobophytum sp, each obtained at a depth of 3 meters and 9 meters. Samples were then extracted using the extraction method of active ingredients and bacterial inhibition test to find out how big the inhibitory extracts against Escherichia coli

and Staphylococcus aureus. Data analysis using Principal Component Analysis (PCA). To determine the content of the compound in Sinularia sp and

Lobophytum sp was used phytochemical test.

Results were obtained, the inhibition of the grmvth of E. coli bacteria was highest 15.00 ± OA mm, which is an extract of Sinularia sp from a depth of 3 meters. This is because the response of the Sinularia sp turhilHty higher than

Lobophytum sp, so the condition of the waters with a depth of 3 meters are relatively more turbid will make Sinularia sp characteristic bioactive compounds is higher in inhibiting the growth of E. coli bacteria. Inhibitory effect on the growth of S. aureus bacteria was highest 10.80 ± 1.2 mm, which is an extract of

Lobophytum sp from a depth of 9 meters. Lobophytum sp tend to dislike the murky waters, the waters were clearer conditions namely the depth of 9 meters, the characteristics of relatively higher bioactive compounds in inhibiting the growth of S. aureus bacteria. The test results of the phytochemical extracts of

Sinularia sp and Lobophytum sp obtained compounds include: compounds alkaloids, flavonoids, steroids, Triterpenoid, and saponin.

Key'words: Sinularia sp: Lobophytum sp, extraction, inhibitory test, Phytochemistry test.


(5)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulisan ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.


(6)

Sinularia

sp dan

Lobophytum

sp DARI PERAIRAN

PULAU PONGOK BANGKA SELATAN

REZI APRI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Kelautan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2014


(7)

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Prof. Dr. Ir. Dedi Soedharma, DEA


(8)

Judul Tesis : Kandungan Senyawa Bioaktif dan Uji Fitokimia Sinularia sp dan Lobophytum sp dari Perairan Pulau Pongok Bangka Selatan.

Nama Mahasiswa : Rezi Apri

NIM : C551100031

Disetujui oleh, Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Neviaty P. Zamani, M.Sc Ketua

Dr. Ir. Hefni Effendi, M.Phil Anggota

Diketahui oleh,

Ketua Program Studi Ilmu Kelautan Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Neviaty P. Zamani, M.Sc Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr


(9)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-NYA sehingga Tesis ini berhasil diselesaikan. Judul Penelitian ini adalah “Kandungan Senyawa Bioaktif dan Uji Fitokimia Sinularia sp dan Lobophytum sp dari Perairan Pulau Pongok Bangka Selatan”.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Ir. Neviaty P. Zamani, M.Sc dan Bapak Dr. Ir. Hefni Effendi M.Phil selaku pembimbing, serta Bapak Rozirwan dan Muhammad Hendri yang telah banyak memberikan saran dan bantuan. Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof. Dr. Ir. Dedi Soedharma, DEA sebagai penguji luar komisi sekaligus dosen penulis. Disamping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Rektor Universitas Sriwijaya dan Dekan FMIPA Universitas sriwjaya, yang telah memberikan bantuan selama penulis menempuh pendidikan ini. Penghargaan juga penulis sampaikan kepada Ketua Kaprodi, staf dosen, staf administrasi, staf laboratorium Ilmu Kelautan FMIPA UNSRI, seluruh staf dosen Ilmu dan Teknologi Kelautan FPIK IPB serta staf pelaksana Laboratorium Kimia Analitik IPB yang telah membantu selama pelaksanaan pendidikan ini. Ucapan terima kasih kepada Direktorat Jenderal Perguruan Tinggi untuk kesempatan beasiswa yang penulis terima. Ucapan terima kasih kepada teman-teman semua yang ada di Ilmu dan Teknologi Kelautan serta seluruh teman-teman di IPB untuk semua pengalaman, ilmu dan diskusinya. Ungkapan terima kasih yang tak terhingga juga penulis sampaikan kepada ayah, ibu, mama, adik-adik serta seluruh keluarga besar di Palembang, Lampung dan Curup, atas doa, dukungan dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi kita semua.

Bogor, Agustus 2014 Rezi Apri


(10)

DAFTARISI

DAFTAR TABEL XlI

DAFTAR GAMBAR XU

DAFTAR LAMPlRAN XU

PENDAHULUAN 1

Uji Fitokimia

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan 3

Hipotesis 3

Kerangka Pikir Penelitian 3

TINJAUAN PUSTAKA 4

Karang Lunak 4

Reproduksi Karang Lunak 5

Marga Lobophytum 6

Marga Sinularia 7

Bakteri 8

METODE 11

Lokasi dan Waktu 11

Alat dan Bahan 11

Ekstraksi Karang Lunak 12

Persiapan Media Uji 12

Uji Daya Hambat Antibakteri 13

HASIL DAN PEMBAHASAN 15

Pulau Pongok Kabupaten Bangka Selatan 15

Data Ekologi 15

Distribusi Karang 16

Koleksi dan Identifikasi Sampel 20

Aktivitas Antibakteri 21

Senyawa Fitokimia 24

SIMPULAN DAN SARAN 26

DAFTAR PUSTAKA 27

LAMPlRAN 30

RIWAYATHIDUP 31


(11)

DAFTAR TABEL

1. Alat dan Bahan Pengukuran Paramter Perairan 11 2. Alat, Bahan dan Metode Pengambilan Sampel dan Uji Bioaktivitas 12

3. Data Pengukuran Parameter Perairan 15

4. Distribusi Karang di Perairan Pulau Pongok 17

5. Rendemen Ekstrak Karang Lunak 21

6. Daya Hambat Ekstrak Karang terhadap Bakteri E. coli 21 7. Daya Hambat Ekstrak Karang terhadap Bakteri S. aureus 22

8. Hasil Uji Fitokimia 24

DAFTARGAMBAR

1. Kerangka Pikir Penelitian 3

2. Struktur Lobophytones O-T (1-6) 6

3. Bentuk Umum SkIerit pada Marga Sinularia 7

4. Peta Lokasi Penelitian 11

5. Persentase Jumlah Koloni (%) Setiap Jenis Karang yang Mengalami

Bleaching di P\llau Padi 16

6. Nilai Indeks Keanekaragaman dan Kemerataan Jenis Karang 20

7. Sinularia sp dan Lobophytum sp 20

8. Hubungan Antara Intesitas Cahaya dan Kelimpahan Sel Zooxanthellae 23 9. Grafik Hubungan faktor lingkungan dan ekosistem karang lunak 24


(12)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Perkembangan dunia pengobatan mulai terarah pada pemanfaatan organisme laut sebagai sumber daya alami yang sangat potensial. Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa organisme laut memiliki potensi yang sangat besar dalam menghasilkan senyawa-senyawa bioaktif yang dapat digunakan sebagai bahan baku obat-obatan, antara lain dari jenis karang, spons, moluska, bryozoa dan lain-lain. Organisme-organisme ini diketahui dapat menghasilkan produk laut yang bersifat alami dan keragaman senyawa kimia yang cukup besar, antara lain senyawa alkaloid, peptide, terpena, poliketida dan beragam senyawa lainnya.

Indonesia dikenal sebagai pusat keanekaragaman jenis karang dan tempat asal-usul karang (Veron 2000). Terumbu karang merupakan ekosistem khas daerah tropis dengan pusat penyebaran di wilayah Indo Fasifik, hampir 800 jenis karang telah teridentifikasi dari kelompok Schleractinia. Jumlah tersebut, 600 jenis berada di Asia Tenggara khususnya Indonesia dan Philipina, sehingga secara biogeografi kawasan ini dinyatakan sebagai pusat sebaran karang di dunia (Veron 2000).

Kelompok karang yang dapat memproduksi senyawa bioaktif adalah karang lunak yang mempunyai kemampuan sebagai antibakteria, antikanker, antibakteri, antifouling dan lain-lain (Cheng et al. 2010; Luter 2010). Menghadapi kondisi ekologis yang penuh dengan tantangan dalam berkompetisi, mencari makan, cahaya dan lain-lain. Karang lunak mengembangkan sistem pertahanan diri dengan cara pengembangan substansi atau pertahanan kimia (Harper et al. 2001). Bahan kimia alami yang dihasilkan oleh karang lunak merupakan senyawa metabolit yang sangat penting untuk pertahanan dirinya (Pechenik 2005).

Kandungan bahan metabolik sekunder dari karang lunak bersifat bioaktif memiliki sifat seperti : antibakteri (Nurhayati et al. 2010; Mayer et al. 2010; Radjasa dan Sulistyani 2010), antikanker (Weinheimer 1977; Jha dan Xu Zi 2004; Mayer et al. 2010), antibakteri (Effendi 2004; Gosalam dan Harris 2010; Mayer et al. 2010), penghambat aktivitas enzim (Nurhayati et al. 2010) dan beberapa sifat lainnya (Mayer et al. 2010).

Substansi kimia yang disekresikan oleh organisme laut ke lingkungan tempat hidupnya dimaksudkan untuk menghadapi serangan predator, media kompetisi, mencegah infeksi bakteri, membantu proses reproduksi dan mencegah serangan sinar ultra violet. Senyawa atau substansi kimia tersebut merupakan metabolit sekunder organisme hidup yang sering dikenal dengan natural product (Harper et al. 2001; Murniasih 2005).

Metabolik sekunder pada karang lunak merupakan mekanisme respon terhadap berbagai tantangan kehidupannya, dipengaruhi juga oleh lingkungan tempat mereka hidup. Diantara organisme yang hidup di laut, karang lunak termasuk organisme penghasil komponen bioaktif terbesar. Dalam dekade terakhir, dilaporkan bahwa sebanyak 50% senyawa bioaktif yang ditemukan pada invertebrata laut ini bersifat toksik (Radhika 2006). Substansi kimia yang disekresikan oleh invertebrata laut terutama dari karang lunak sebagai senyawa metabolit sekunder menarik untuk dikaji pemanfaatannya bagi sumber bahan obat-obatan alami.


(13)

Sekresi senyawa kimia aktif sebagai bahan alami yang diproduksi organisme karang lunak menunjukkan aktivitas antibiotik, antibakteri, antibakteri, antivirus dan anti-inflamasi yang bermanfaat bagi industri farmasi. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa karang lunak merupakan salah satu sumberdaya laut yang menghasilkan bahan alami laut seperti senyawa terpenoid. Beragam senyawa metabolit sekunder yang telah berhasil diidentifikasi oleh para peneliti menunjukkan bahwa karang lunak mengandung senyawa-senyawa aktif yang berguna bagi dunia pengobatan.

Hampir seluruh perairan Indonesia memiliki karang lunak dengan tingkat keberagaman yang berbeda. Seperti jumlah jenis karang lunak di Kepulauan Seribu, yang telah dilaporkan Manuputty (1992) adalah 103 jenis yang berasal dari 4 famili dan diambil dari 11 pulau yang menyebar dari selatan ke utara di Kepulauan Seribu. Dari jumlah tersebut, hanya sebagian kecil saja yang telah diteliti potensi bioaktivitasnya. Untuk kelimpahan, jenis dan potensi senyawa bioaktif dari karang lunak di Pulau Pongok, Bangka Selatan belum dilakukan penelitian. Penelitian ini akan melihat keberagaman jenis dan potensi senyawa bioaktif yang ditemukan pada karang lunak di perairan Pulau Pongok, sehingga kita dapat melihat pengaruh lingkungan dan letak geografis terhadap produksi senyawa bioaktif yang dihasilkan oleh karang lunak.

1.2. Perumusan Masalah

Pemanfaatan karang lunak sebagai salah satu organisme hayati laut yang merupakan sumber senyawa bioaktif dengan beragam senyawa metabolit sekunder yang dihasilkannya, sangat mempunyai potensi dalam pemenuhan kebutuhan terutama dalam bidang pengobatan. Namun pemanfaatan tersebut harus memperhatikan kelangsungan hidup dari organisme. Karang lunak tidak hanya mempunyai nilai ekonomis sebagai sumber bahan obat-obatan dan pariwisata namun juga mempunyai nilai ekologis penting bagi lingkungan perairan di sekitar. Walaupun kelangsungan hidupnya juga sangat ditentukan oleh keadaan biofisik lingkungan perairan sekitarnya. Sehingga penelitian mengenai kandungan senyawa bioaktif yang dihasilkan oleh karang lunak perlu terus dikembangkan agar dapat dimanfaatkan secara optimal dan berkesinambungan.

Senyawa bioaktif karang lunak telah banyak diteliti, senyawa ini dapat berguna sebagai bahan antibakteri. Hasil penelitian Soedharma (2005) dan Triyulianti (2009) di perairan Kepulauan Seribu menunjukkan bahwa bahan bioaktif dari karang lunak merupakan bahan antibakteri. Lebih lanjut dikatakan bahwa semakin menjauh dari daratan utama, bioaktifitas ekstrak beberapa karang lunak semakin rendah, begitu juga dengan karang lunak yang tumbuh pada kedalaman yang lebih dangkal memiliki bioaktifitas ekstrak yang lebih tinggi dibanding dengan yang tumbuh di tempat lebih dalam.

Hasil penelitian yang telah dilakukan selama ini secara garis besar menunjukkan bahwa senyawa metabolisme sekunder yang diproduksi karang lunak sangat ditentukan oleh karakteristik lingkungannya termasuk didalamnya adalah pengaruh faktor geografis. Sebagai contoh, Karang lunak (S. flexibilis) yang hidup di perairan Maluku dengan yang hidup di perairan Great Barier Reef mengandung senyawa terpen yang berbeda (Tursch et al. 1978 dalam Manuputty 1990).


(14)

Produksi senyawa bioaktif, sebagai hasil dari respon faktor keadaan geografis dan lingkungan terhadap dirinya sangat berpengaruh besar. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian terhadap pengaruh kondisi lingkugan terhadap produksi senyawa bioaktif karang lunak di perairan Pulu Pongok, Bangka Selatan. Dengan demikian, diharapkan akan diketahui hubungan antara kondisi lingkungan perairan dengan metabolisme sekunder yang dihasilkan oleh Sinularia sp dan Lobophytum sp yang ada di perairan Pulau Pongok, Bangka Selatan.

1.3. Tujuan

Tujuan dalam penelitian ini adalah :

1. Mengetahui aktivitas daya hambat antibakteri dari ekstrak Sinularia sp dan Lobophytum sp di perairan Pulau Pongok, Bangka Selatan.

2. Mengetahui pengaruh kondisi lingkungan perairan terhadap produksi senyawa bioaktif Sinularia sp dan Lobophytum sp di perairan Pulau Pongok, Bangka Selatan.

1.4. Hipotesis

Senyawa bioaktif yang dihasilkan oleh karang lunak dari jenis Sinularia sp dan Lobophytum sp mempunyai kemampuan untuk menghambat pertumbuhan bakteri. Produksi senyawa bioaktif ini sangat dipengaruhi oleh keadaan lingkungan, semakin besar tekanan yang diberikan lingkungan semakin besar produksi dan jenis senyawa bioaktif yang dihasilkan karang lunak.

1.5. Kerangka Pikir Penelitian

Gambar 1. Kerangka Pikir Penelitian Karang Lunak

(Sinularia sp dan Lobophytum sp)

Kondisi perairan pada kedalaman “Y” meter

Uji potensi senyawa bioaktif antibakteri karang lunak pada

kedalaman berbeda

Kondisi Lingkungan : Fisik, Kimia dan Biologi

Kondisi perairan pada kedalaman “X” meter

Bahan bioaktif Antibakteri, antifouling,


(15)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Karang Lunak

Karang lunak termasuk dalam kelompok oktokoral (Octocorallia, Alcyonacea), yaitu jenis karang yang memiliki delapan tentakel, hidup di laut, ditemukan dari daerah tropis sampai ke daerah kutub. Kelompok ini juga ditemukan di habitat muara sungai berlumpur di daerah pasang surut, sampai ke perairan laut dalam. Hasil penelitian yang dilakukan di perairan dangkal di beberapa kepulauan di Indonesia, Filippina dan Papua Nugini, tercatat bahwa perairan ini merupakan perairan dengan kelimpahan jenis oktokoral tertinggi di dunia. Pusat keanekaragaman oktokoral merupakan perairan yang memiliki jumlah jenis tinggi pada garis lintang rendah dan makin berkurang ke arah lintang yang lebih tinggi dan ke arah luar dari batas-batas timur dan barat perairan Indo-Pasifik (Manuputty 2010).

Karang lunak secara struktural mirip karang batu, tapi karang lunak mempunyai tubuh lebih lentur karena tidak mempunyai kerangka kapur luar yang keras. Namun karang lunak ditunjang oleh tangkai tangkai berupa jaringan berdaging diperkuat suatu matriks dari partikel-partikel kapur mikroskopis yang disebut sklerit (Allen and Steene 1994). Kerangka kapur tersebut disebut endoskleton, keadaan inilah yang membuat karang lunak akan membusuk jika mati.

Koloni karang lunak dapat berwarna coklat, krem, kuning atau hijau kecoklatan, warna polip juga mengikuti warna koloni. Warna-warna tersebut berasal dari zooxanthellae yang hidup bersimbiosis di dalam jaringan endodermal karang lunak (Manuputty 2010).

Menurut Tomascik et al. (2001) hubungan simbiosis antara karang dan zooxanthellae memberikan keuntungan untuk kedua belah pihak. Zooxanthellae mendapatkan keuntungan dari hubungan tersebut berupa tempat tinggal sebagai perlindungan habitat, selain itu juga mendapat suplai nutrien secara berkelanjutan (PO4 dan NH3) dan hasil metabolisme lainnya (seperti urea, asam amino, dll) yang terdapat dalam produk sekresi hewan karang tersebut. Hewan karang juga menyuplai zooxanthellae CO2 yang tak terbatas, yang merupakan hasil dari respirasi hewan karang. Sumber tambahan karbon anorganik bagi fotositesis zooxanthellae adalah melimpahnya bikarbonat di kolom air laut. Dengan demikian, zooxanthellae dapat memanfaatkan bahan fraksi nutrien terlarut baik organik maupun anorganik.

Asosiasi diantara zooxanthellae dan polip karang diduga merupakan penghasil senyawa terpen dari metabolis sekunder. Menurut Manuputty (2002), dengan mengekstraksi kristal krasin asetat dari jaringan tubuh sejenis gorgonia yaitu Pseudoplexaura porosa, diketahui bahwa kerjasama zooxanthellae dengan polipnya dapat menghasilkan senyawa krasin asetat. Penelitian selanjutnya membuktikan bahwa senyawa teroen ditemukan dalam tubuh zooxanthellae yang diisolasi. Peranan zooxanthellae dalam memproduksi terpen didukung oleh kenyataan bahwa di laboratorium terpen dideteksi hanya pada hewan-hewan yang hidup bersimbiosis dengan alga uniseluler tadi. Jenis hewan yang kurang atau tidak mengandung alga ini tidak dapat menghasilkan senyawa terpen. Sebagai


(16)

contoh senyawa eunicellin ditemukan pada jenis Eunicella stricta, tetapi tidak ditemukan pada jenis E. Stricta varaphyta yang hidup di laut dalam.

2.2. Reproduksi Karang Lunak

Karang lunak dapat bereproduksi baik secara seksual maupun aseksual (Sprung and Delbeek 1997; Manuputty 2002). Karang lunak mempunyai beberapa cara untuk bereproduksi, pembiakan secara seksual terjadi melalui penyatuan gamet jantan dan betina untuk membentuk larva bersilia yang disebut planula. Planula akan menyebar kemudian menempel pada substrat yang keras dan tumbuh menjadi polip.

Secara sexual karang lunak mempunyai tiga tipe reproduksi, yaitu : 1. Spawning dengan fertilasi eksternal; 2. Brooded dengan fertilasi internal dengan planula dierami secara internal didalm kantung endodermal khusus kemudian dilepaskan; 3. Fertilasi internal dengan planula yang dilepaskan dalam kantung eksternal pada bagian permukaan polip kemudian dilepaskan (Sprung and Delbeek 1997; Tomascik et al. 1997; Thamrin 2006).

Tipe Spawning merupakan pelepasan gamet kedalam badan air dimana fertilasi kemudian terjadi. Beberapa genera yang melakukan cara reproduksi ini adalah dari jenis Sarcophyton, Sinularia, Lobophytum dan lain-lain. Tipe pengeraman eksternal (external brooding) sangat mirip dengan pengeraman internal kecuali yang telah dibuahi dilepaskan daripolip dan menempel pada sisi dalam kantung mucus tempat planula berkembang sampai dilepaskan. Beberapa genera yang melakukan cara reproduksi ini adalah dari jenis Briareum, Clavularia, Paramuricea dan lain-lain.

Selain perkembangan secara seksual, semua karang lunak juga dapat melakukan reproduksi secara aseksual, yaitu secara pertumbuhan koloni, fragmentasi, tunas, pembelahan melintang dan pencabikan pedal. terbentuk polip-polip baru yang saling menempel sampai terbentuk koloni yang besar, dengan bentuk yang beragam sesuai jenisnya (Sprung and Delbeek 1997; Manuputty 2002).

Pembentukan koloni dari fragmen-fragmen merupakan proses yang sering terjadi pada karang lunak. Jenis karang lunak yang paling mudah diperbanyak adalah Sarcophyton, Sinularia, Lobophytum, xenia dan lain-lain. Penempelan fragmen buatan ini akan berhasil dengan baik bila didukung oleh faktor lingkungan yang optimal dan substrat yang baik (Paletta 1994).

Pembentukan tunas pada karang lunak di bagian dekat dasar tangkai atau pada bagian pinggir kapitulum. Jika pertunasan terjadi pada koloni yang masih kecil maka anak dan induk akan tumbuh bersama-sama untuk membentuk koloni bertangkai banyak. Pembelahan melintang terjadi pada Xenia sp, dimana pembelahan diawali dengan terpisahnya tangkai mulai dari dasar terus memanjang kearah vertikal diantara dua cabang terbesar, hingga akhirnya dapat menghasilkan dua koloni berukuran sama. Pencabikan pedal terjadi karena koloni benar-benar bergerak melintasi substrat mengikuti jaringan bagian basalnya. Selanjutnya, jaringan ini dapat terus menempel atau menjadi terlepas dan menjadi individu baru (Sprung and Delbeek 1997).


(17)

2.3. Marga Lobophytum

Karang lunak jenis Lobophytum dapat diklasifikasikan sebagai berikut (Bayer 1956; Verseveldt 1983 dalam Haris 2001) :

Filum : Coelenterata / Cnidaria Kelas : Anthozoa

Sub-kelas : Octocorallia Bangsa : Alcyonacea Sub-bangsa : Alcyoniina Suku : Alcyoniidae

Marga : Lobophytum

Koloni yang realatif tebal (encrusting), dengan polip hadir hanya pada permukaan atas. Permukaan atas relative mempunyai diameter yang sama sebagai dasar koloni, dan umumnya memiliki lobus yang menonjol. Lobus berbentuk sederhana dan tidak bercabang, cenderung berorientasi paralel atau radial. Pada beberapa spesies pesisir, lobus sangat ramping dan menonjol sehingga koloni berbentuk digitate. Koloni encrusting dapat tumbuh sampai satu meter persegi (Fabricius and Alderslade 2001).

Koloni besar dan merambat dengan kapitulum yang lebar, permukaan atas dapat berupa lobata yakni berbentuk jari (digita) atau juga mempunyai pematang-pematang, letaknya tegak lurus dengan permukaan kapitulum. Warna koloni kuning atau kehijauan yang merupakan perbedaan yang kontras dengan jenis lainnya, dan ada beberapa yang berwarna krem. Diketemukan pada perairan dari rataan terumbu sampai kedalaman 7 meter (Manuputty 2002)

Jenis ini umumnya ditemukan pada perairan yang jernih. Koloni bertangkai pendek, sepintas nampak seperti mengerak (encrusting). Lobus pada bagian tepi bergelombang dan pada bagian tengah berbentuk seperti jari (Durivault 1957 dalam Manuputty 2002).

Penelitian yang dilakukan oleh Yan et al. (2010) menyatakan bahwa Karang lunak Genus Lobophytum juga mempunyai bahan aktif yang disebut dengan dengan Lobophytones O-T.


(18)

2.4. Marga Sinularia

Marga Sinularia dapat diklasifikasikan sebagai berikut (Bayer 1956 dalam Arafat 2009) :

Kingdom : Animalia Filum : Coelentrata Kelas : Anthozoa Bangsa : Alcyonacea Suku : Alcyoniidae Marga : Sinularia

Menurut Ofwegen et al. (2003) dalam Manuputty (2010) Marga Sinularia mendominasi karang lunak yang berada dii perairan terumbu karang Indonesia. Anggota dari marga Sinularia memiliki bentuk koloni yang lebih bervariasi dibandingkan dengan anggota karang lunak lainnya. Bentuk pertumbuhannya bervariasi dari bentuk mengerak (encrusting) dengan lobus yang berbentuk tonjolan-tonjolan kecil atau seperti pematang, sampai ke bentuk seperti semak yang rindang. Polip atau binatang karang pada anggota Sinularia bersifat monomorfik atau bentuknya seragam, mempunyai delapan tentakel yang tersusun pada keeping mulut yang melingkari lobang kecil yang berfungsi sebagai mulut. Koloni Sinularia berwarna coklat, krem, kuning atau hijau kecoklatan, warna polip juga mengikuti warna koloni. Warna-warna tersebut berasal dari zooxanthellae yang hidup bersimbiosis di dalam jaringan endodermal karang lunak. Jaringan tubuh karang lunak disokong oleh duri-duri kecil yang disebut spikula atau sklerit yang tersusun dari senyawa kalsium karbonat (Fabricius and Alderslade 2001).

Gambar 3. Bentuk Umum Sklerit pada Marga Sinularia (Fabricius dan Alderslade 2001)


(19)

Marga Sinularia, tumbuh dan ditemukan di perairan dangkal dari rataan terumbu dengan kedalaman satu meter sampai ke perairan dalam (35 meter), di semua perairan terumbu karang. Ukuran koloni bervariasi dari beberapa sentimeter sampai ke yang berdiameter lebih dari satu meter, beberapa jenis bahkan mendominasi perairan terumbu karang. Anggota marga Sinularia dapat hidup di perairan yang keruh sampai ke perairan yang jernih. Marga ini tersebar secara vertikal, dari perairan pesisir yang dangkal sampai ke kedalaman 40 meter. Juga dari perairan dangkal yang hangat di daerah teluk yang terlindung sampai ke perairan yang lebih dingin di mana masih terdapat pertumbuhan karang (Fabricius dan Alderslade 2001)

2.5. Bakteri

Nama bakteri berasal dari kata “bakterion” (bahasa yunani) yang berarti tongkat atau batang. Penggunaan nama ini dipakai untuk menyebut sekelompok mahluk mikroorganisme yang bersel satu, tidak berklorofil, berkembangbiak dengan pembelahan diri, serta demikian kecilnya sehingga hanya tampak dengan mikroskop (Dwidjoseputro 1998).

2.5.1. Bentuk Bakteri

Berdasarkan bentuk morfologinya, maka bakteri dapat digolongkan menjadi 3 bagian, yaitu golongan blasil, golongan kokus, dan golongan spiril.

Basil (dari bacillus) berbentuk serupa tongkat pendek, silindris. Sebagian besar bakteri berupa basil. Basil dapat bergandeng-gandengan panjang, bergandengan dua-dua, atau terlepas satu sama lain. Bentuk bakteri bergandeng panjang disebut streptobasil, bentuk bergendeng dua disebut diplobasil. Ujung-ujung basil yang terlepas satu sama lain berbentuk tumpul, sedangkan Ujung- ujung-ujung yang masih bergandengan berbentuk tajam.

Kokus (dari coccus) adalah bakteri yang bentuknya serupa bola-bola kecil. Golongan ini tidak sebanyak golongan basil. Kokus ada yang bergandengan panjang serupa tali leher, ini disebut streptokokus; ada yang bergandengan dua, disebut diplokokus; ada yang mengelompok berempat, ini disebut tetrakokus; kokus yang mengelompok merupakan suatu untaian disebut stafilokokus, sedangkan kokus yang mengelompok serupa kubus disebut sarsina.

Spiril (dari spirillum) ialah bakteri yang bengkok atau berbengkok-bengkok serupa spiral. Bakteri yang berbentuk spiral itu tidak banyak terdapat. Golongan ini merupakan golongan yang paling kecil, jika dibandingkan dengan golongan kokus maupun basil.

2.5.2. Penggolongan Bakteri Berdasarkan Zat Makanan

Menurut sifat zat makanan yang diperlukan bakteri terutama mengenai sumber-sumber karbon dan nitrogen, maka dapatlah diadakan pembedaan antara golongan bakteri autotrof dan bakteri heterotrof.

A. Bakteri Autotrof

Bakteri autotrof dapat hidup dari zat-zat anorganik. Kebutuhannya akan zat karbon dapat diperoleh dari karbondioksida (CO2) atau dari karbonat (CO3), sedangkan kebutuhannya akan nitrogen diperoleh dari ion-ion NH4, NO3, atau dari


(20)

N2 bebas. Protoplasma dan persenyawaan organik dibentuknya dari zat-zat anorganik tersebut. Jika energi yang dibutuhkan itu diperoleh dengan mengoksidasikan hidrogen, karbon monoksida, besi, belerang, amoniak, atau nitrit, maka bakteri itu disebut bakteri kemosintetik. Sebaliknya, bakteri yang mempunyai kemampuan untuk memperoleh energi dengan bantuan sinar, bakteri ini kita sebut dengan bakteri fotosintetik.

Bakteri yang benar-benar autotrof kemosintetik itu tidak banyak. Bakteri-bakteri penyusun nitrit seperti Nitromonas, Nitrosocystis, Nitrosopira, Nitrosococcus termasuk dalam golongan bakteri kemo-autotrof. Contoh bakteri fotosintetik adalah Rhodospirillum rubrum.

B. Bakteri Heterotrof

Bakteri heterotrof membutuhkan suatu zat organik untuk kehidupannya. Mungkin sekali di samping zat-zat anorganik, suatu bakteri tertentu hanya memerlukan suatu vitamin dari B-kompleks, akan tetapi bakteri yang lain mungkin memerlukan tambahan vitamin-vitamin yang lain, dan mungkin juga yang diperlukannya ialah tambahan asam-amino tertentu ataupun zat-zat organik yang lain lagi. Dipandang dari sudut kemampuan mencernakan zat makanan yang organik ini, orang setengahnya berpendapat, bahwa bakteri heterotrof ini lebih primitive daripada bakteri autotrof.

Didalam golongan bakteri heterotrof terdapat perbedaan antara bakteri saprofit dengan bakteri parasit. Bakteri saprofit yang disebut juga saprobakteri atau saprobe saja, hidup dari zat-zat organik yang telah berupa sisa-sisa atau sampah, sedang bakteri parasit hidup dari zat-zat organik yang masih di dalam makhluk hidup.

Bakteri dapat menghasilkan gas yang merupakan hasil pembongkaran (fermentasi, respirasi). Gas yang dihasilkan seperti karbondioksida (CO2), hidrogen (H2), metan (CH4), nitrogen(N2), hidrogen sulfida (H2S) dan amoniak (NH3). Kemampuan bakteri untuk menumbulkan gas-gas tersebut merupakan bantuan bagi peredaran zat-zat di dalam alam. Kemampuan itu juga merupakan kriteria bagi kita untuk menentukan klasifikasi bakteri.

Bakteri juga dapat menghasilkan asam, seperti asam organik maupun anorganik. Asam-asam ini ada yang berubah menjadi garam, ada pula yang digunakan oleh mikroorganisme lain. Contoh asam yang dihasilkan adalah asam Belerang (H2SO4), asam nitrat (HNO3), asam susu (CH3CHOHCOOH), asam cuka (CH3COOH), dan asam lemak.

2.5.3. Fisiologi bakteri laut

Bakteri laut cenderung dengan banyak cara berbeda secara tersifat daripada bakteri-bakteri daratan dan bakteri-bakteri air tawar. Banyak diantaranya memerlukan air laut atau lingkungan air laut, sekurang-kurangnya untuk persaingan primer dan pertumbuhan yang baik, sementara kebanyakan bentuk daratan dalam lingkungan seperti itu tidak sesegar adanya dalam lingkungan air tawar. Tidak saja kadar garam itu yang penting artinya, melainkan juga jumlah-jumlah zarahan dari unsur-unsur atau senyawa-senyawa lain dari sumber hayati, karena lazimnya air laut sintesis yang dibuat dari zat-zat kimiawi yang murni dan air suling, walaupun memadai haranya, sama tekanan osmosisnya, dan sama pula


(21)

sifat-sifat kimianya sejauh berkenan dengan semua ion utama, tidaklah sama memadainya untuk membiakkan bakteri-bakteri laut dengan air laut alami (Bayard 1983).

2.5.4. Bakteri Escherichia coli

Escherichia coli merupakan bakteri indikator kualitas air, terutama air minum yang mengindikasikan air tersebut terkontaminasi feses atau mengandung mikroorganisme enterik patogen lainnya. Escherichia coli termasuk kelompok bakteri berbentuk batang aerob fakultatif gram negatif dengan tebal 0.5 µm, dengan panjang 1.0-3.0 µm, berbentuk seperti filamen yang panjang, tidak berbentuk spora bersifat gram negatif (Anggraini et al. 2013)

Escherichia coli mempunyai peranan yang cukup penting yaitu selain sebagai penghuni tubuh (di dalam usus besar) juga E. coli menghasilkan kolisin yang dapat melindungi saluran pencernaan dari bakteri patogenik. Escherichia coli akan menjadi patogen bila pindah dari habitatnya yang normal kebagian lain dalam inang, misalnya, bila E. coli di dalam usus masuk ke dalam saluran kandung kemih kelamin dapat menyebabkan sistitis, yaitu suatu peradangan pada selaput lendir organ tersebut. (Melliawati 2009).

2.5.5. Bakteri Staphylococcus aureus

Staphylococcus aureus adalah bakteri Gram positif yang menghasilkan warna pigmen kuning, bersifat aerob dan tidak menghasilkan spora, umumnya tumbuh berpasangan maupun berkelompok, dengan diameter sekitar 0.8-1.0 µm. S. aureus tumbuh dengan optimum pada suhu 37C dengan waktu pembelahan 0,47 jam.

Infeksi Staphylococcus aureus diasosiasikan dengan beberapa kondisi patologi, diantaranya bisul, jerawat, pneumonia, meningitis, dan arthritis. Sebagian besar penyakit yang disebabkan oleh bakteri ini memproduksi nanah, oleh karena itu bakteri ini disebut piogenik.

Biasanya infeksi Staphylococcus aureus menyebabkan terbentuknya suatu kantung berisi nanah, yaitu abses dan bisul. Staphylococcus aureus dapat menyebar melalui pembuluh darah dan menyebabkan abses pada organ seperti paru-paru, tulang dan lapisan dalam yang dibersihkan akan mengakibatkan infeksi lebih lanjut.


(22)

III. METODOLOGI

3.1 Lokasi dan Waktu

Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli 2012 sampai dengan bulan April 2013. Lokasi penelitian dilaksanakan dalam dua bagian, pertama lokasi pengambilan sampel, yaitu di perairan Pulau Pongok, Bangka Selatan. Pengambilan sampel karang lunak Sinularia sp dan Lobophytum sp pada kedalaman tertentu sesuai dengan kondisi di lapangan. Kedua, lokasi pengolahan sampel dilaksanakan di Laboratorium Ilmu Kelautan Universitas Sriwijaya Palembang dan Laboratorium Kimia Analitik IPB.

Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

3.2 Alat dan bahan

Peralatan dan bahan yang dipergunakan dalam pengukuran parameter perairan dalam penelitian ini, disajikan dalam tabel 4.

Tabel 1. Alat dan Bahan untuk Pengukuran Parameter Perairan

No Parameter dan satuan Keterangan

1 Suhu (oC) Thermometer Digital

2 Kecerahan (meter) Sechi Disk


(23)

4 Arah dan kecepatan arus (m/s) Current meter

5 Stasiun (derajat koordinat) GPS

6 Kedalaman (meter) Tali berskala

Kimia

7 Salinitas (psu) Handrefraktometer

8 pH pH meter

9 DO (mg/L) DO meter

10 Fosfat (mg/L) Spektrofotometrik

11 Nitrat (mg/L) Spektrofotometrik

Peralatan dan bahan serta metode yang digunakan dalam pengambilan dan pengolahan sampel, disajikan pada tabel 2.

Tabel 2. Alat, Bahan dan Metode untuk pengambilan dan uji bioaktivitas

No Kegiatan Metode Alat dan Bahan

1 Pengambilan sampel

Menyelam Scuba diving, dokumentasi

dan lain-lain 2 Ekstraksi bahan

aktif

Gosalaman (2010) Sampel Karang lunak, blander, pelarut metanol, rotovapor dan lain-lain 3 Uji bioaktivitas Uji daya hambat bakteri Media agar, bakteri uji,

cawan petri, dll 4 Uji fitokimia Harborne (1987) :

Alkaloid, Flavonoid, Triterpenoid, Saponin, Tanin

Ekstrak sampel, HgCl2, FeCl3 dan lain-lain

3.3 PERSENTASE TUTUPAN KARANG

3.4 Indeks Keanekaragaman Karang Lunak

Indeks keanekaragaman (H’) menggambarkan keanekaragaman,

produktivitas, tekanan pada ekosistem, dan kestabilan ekosistem

H’ : indeks keanekaragaman S : jumlah jenis

Ni : jumlah total individu

N : Jumlah seluruh individu dalam total n (ind)


(24)

Tolak ukur indeks keanekaragaman tersaji pada Tabel (Restu, 2002). Tabel 1. Nilai tolak ukur indeks keanekaragaman.

Nilai tolak ukur Keterangan

H’ < 1,0 Keanekaragaman rendah, miskin, produktivitas

sangat rendah sebagai indikasi adanya tekanan yang berat dan ekosistem tidak stabil

1,0 < H’ < 3,322 Keanekaragaman sedang, produktivitas cukup, kondisi ekosistem cukup seimbang, tekanan ekologis sedang.

H’ > 3,322 Keanekaragaman tinggi, stabilitas ekosistem mantap, produktivitas tinggi, tahan terhadap tekanan ekologis.

3.5 INDEKS KESERAGAMAN (Krebs, 1978a, b)

C : indeks keseragaman H’ : Keanekaragaman S : jumlah spesies

ni : nilai dari setiap spesies (jumlah jenis individu ke-i)

3.6 INDEKS DOMINANSI (Odum 1971)

C : Indeks dominansi S : Jumlah spesies karang

Pi : Perbandingan jumlah karang spesies ke-i (ni) terhadap jumlah total karang (N) = n/N

3.7 Ekstraksi Karang Lunak

Ekstraksi dilakukan dengan metode maserasi menurut petunjuk Suradikusama (2001) dan Yusran et al. (2000). Prosedur metode tersebut adalah sebagai berikut: karang lunak di potong-potong kecil, dikeluarkan bahan-bahan pengotornya lalu ditimbang sebanyak 100 gr berat segar, dan selanjutnya diblender sampai halus. Kemudian dimaserasi dengan metanol p.a sebanyak 300 ml. Setelah dimaserasi selama 2 kali 24 jam, suspensi pekat disentrifus selama 15 menit dengan kecepatan 3500 rpm. Setelah itu, ekstrak yang didapatkan disaring dengan kertas saring kemudian ditimbang untuk mengetahui konsentrasinya. Setelah itu dilakukan masukkan ke rotapavor untuk memisahkan larutan dan sampel. Ekstrak kemudian disimpan di dalam lemari pendingin untuk menunggu dilakukan pengujian.


(25)

3.8 Persiapan media uji

Peremajaan kultur murni dilakukan dengan cara bakteri uji E. coli dan S. aureus diambil masing-masing 1 ose dari media agar yang tersedia secara aseptik, kemudian diinokulasikan dengan cara digoreskan pada medium nutrien Agar (NA) miring selanjutnya diinkubasi pada suhu 37oC selama 24 jam.

Pembuatan suspensi mikroba uji dilakukan dengan cara mengambil sebanyak 1 ose bakteri dari media agar yang tersedia secara aseptik, lalu dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang telah berisi NaCl 0,9%, yaitu sebagai larutan blanko. Setelah itu optical density-nya (OD) diukur dengan spektrofotometer dengan panjang gelombang 600 nm hingga didapatkan kepadatan 0,1. Pada OD seperti ini konsentrasi bakteri setara dengan 108 sel/ml (Brock dan Madigan 1991 dalam Nabaing 2006), sedangkan pembuatan larutan ampicilin trihidrat 30 ppm dilakukan dengan cara larutan antibiotik ampicilin 3 mg dilarutkan dengan air suling steril sedikit demi sedikit kemudian dicukupkan volumenya hingga 100 ml di dalam labu takar.

3.5. Uji daya hambat antibakteri

Untuk uji daya hambat antibakteri digunakan bakteri patogen S. aureus dan E.coli sebagai bioindikatornya. Metode yang digunakan adalah metode difusi agar yang digunakan untuk uji bioindikator.

Sampel ekstrak karang lunak dan pelarutnya dilakukan perbandingan 1:3 dengan konsentrasi sampel karang lunak yang digunakan pada paper disc yaitu 0,48 gram ekstrak karang lunak dalam 180 μl pelarutnya dengan ukuran sampel yang dimasukkan dalam tiap paper disc sebesar 30 μl.

Biakan bakteri sebanyak 1% (dari volume media agar) dicampurkan dengan media TSA yang masih cair dan diaduk rata. Sebanyak 15-20 ml media agar yang mengandung bakteri dituang ke cawan petri steril, kemudian ditutup dan dibiarkan membeku. Paper disc yang telah ada diberi ekstrak dan diletakkan di atas kultur bakteri dalam agar dan ditutup. Perlakuan kontrol (kontrol positif: Ampicilin trihidrat, dan kontrol negatif; DMSO) dikerjakan seperti perlakuan sampel. Kultur diinkubasi dalam inkubator pada suhu 37oC dan RH 90 % selama 24 jam atau 1 hari. Pengamatan dilakukan terhadap ukuran zona bening yang terbentuk di sekitar cakram kertas saring dengan menggunakan kaliper (Grunenthal 1998).

3.6. Uji Fitokimia (Harborne 1987)

Identifikasi kandungan senyawa bioaktif dari sampel karang lunak dalam penelitian ini dilakukan dengan pengujian sebagai berikut :

Uji Alkaloid

Sebanyak 1 gram ekstrak dilarutkan dengan 5 ml kloroform dan kemudian disaring ke dalam tabung reaksi tertutup. Ekstrak kloroform dalam tabung dikocok dengan menambahkan 10 tetes H2SO4, kemudian lapisan asamnya dipindahkan kedalam tabung reaksi yang lain. Lapisan asam ini diteteskan pada plat tetes dan ditambahkan pereaksi Mayer, Wagner dan Dragendorf yang akan menimbulkan endapan berturut-turut berwarna putih, cokelat dan merah jingga.


(26)

Pereaksi Meyer dibuat dengan cara menambahkan 1.36 gram HgCl2 dengan 0.5 gram kalium iodida lalu dilarutkan dan diencerkan dengan akuades menjadi 100 ml dengan labu takar. Dimana pereaksi tidak berwarna.

Pereaksi Wagner dibuat dengan cara 10 ml akuades dipipet kemudian 2.5 gram iodin dan 2 gram kalium iodida lalu dilarutkan dan diencerkan dengan akuades menjadi 200 ml dalam labu takar. Pereaksi ini berwarna coklat.

Pereaksi Dragendroff dibuat dengan cara 0.8 bimut subnitrat ditambahkan 10 ml asam asetat dan 40 ml air. Larutan ini dicampur dengan larutan yang dibuat dari 8 gram kalium iodida dalam 20 ml air. Sebelum digunakan, 1 volume campuran ini diencerkan dengan 2.3 volume campuran 20 ml asam asetat glacial dan 100 ml air. Pereaksi berwarna jingga.

Uji Flavonoid

Sebanyak 1 gram ekstrak ditambahkan 100 ml air panas kemudian didihkan selama 5 menit dan disaring. Filtrat yang diperoleh kemudian diambil sebanyak 10 ml, ditambahkan dengan serbuk Mg 0,5 gr, 1 ml HCl dan 1 ml amil alkohol. Campuran dikocok kuat. Uji positif ditandai dengan munculnya warna merah, kuning atau jingga pada lapisan amil alkohol.

Uji Triterpenoid dan Steroid

Uji ini menggunakan pereaksi Lieberman-Buchard. Pada pengujian ini, sebanyak 2 gram ekstrak dimeserasi dengan 25 ml Etanol panas selama 1 jam kemudian disaring dan residu ditambahkan eter. Filternya ditambah dengan 3 tetes asam asetat anhidrat dan 1 tetes asam sulfat pekat secara berurutan. Larutan dikocok perlahan dan dibiarkan beberapa menit. Uji positif ditandai dengan warna merah atau ungu untuk triterpenoid sertaa hijau atau biru untuk steroid.

Uji Saponin

Sejumlah sampel dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Lalu tambahkan air panas kedalam sampel. Amati perubahan yang terjadi dengan terbentuknya busa. Reaksi positif jika busa stabil selama 30 menit dan tidak hilang pada penambahan 1 tetes HCl2N.

Uji Fenol Hidrokuinon

Sampel sebanyak 0,5 gr diekstrak dengan 10 ml etanol 70%. Larutan yang dihasilkan diambil sebanyak 1 ml. Lalu 2 tetes Larutan FeCl3 5% ditambahkan. Amati perubahan yang terjadi, terbentuknya warna hijau atau hijau biru menunjukkan adanya senyawa fenol dalam bahan.

Uji Tanin

Sebanyak 1 gr ekstrak ditambahkan kedalam 100 ml air panas kemudian dididihkan selama 5 menit lalu disaring. Sebanyak 10 ml filtrat ditambah 10 ml FeCl3 1%. Uji positif ditandai dengan munculnya warna hijau kehitaman.


(27)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Pulau Pongok Kabupaten Bangka Selatan

Kecamatan Lepar Pongok Kabupaten Bangka Selatan memiliki luas 261.79 km2, berpenduduk 12.701 jiwa dengan dominan mata pencarian penduduknya adalah nelayan (BPS 2010 dalam Adibrata et al. 2013). Kondisi perairan pada saat pengamatan cukup jernih dengan jarak pandang mencapai 9 meter. Pulau Ponok memiliki tipe terumbu karang tepi. Pertumbuhan karang dimulai pada kedalaman 3-9 meter, setelah itu didominasi oleh pasir.

4.2 Data Ekologi

Hasil pengukuran data kualitas perairan di keempat stasiun penelitian di Pulau Pongok, Bangka Selatan pada bulan Agustus 2012 disajikan pada tabel 3. Tabel 3 . Data Pengukuran Parameter Perairan di Pulau Pongok

Parameter Satuan Stasiun

I II III IV

Kedalaman Suhu pH DO Salinitas Kekeruhan Kecerahan Nitrat Fospat Arus meter o C - mg/L psu NTU % mg/L mg/L m/s 5 28 8.15 6.05 30 3.72 100 0.169 0.190 0.06 9 28 8.03 6.71 31 0.64 90 0.113 0.040 0.50 3 27 8.02 6.42 30 1.07 100 0.110 0.035 0.05 8 28 7.95 6.10 31 1.45 65 0.150 0.175 0.04 Rata-rata sebaran spasial salinitas permukaan menunjukkan penyebaran yang cenderung homogen. Salinitas rata-rata perairan perairan Pulau Pongok adalah 30.50 psu, ini merupakan kisaran salinitas optimal bagi pertumbuhan karang lunak. Hasil pengukuran suhu, pH dan Oksigen terlarut dari keempat stasiun penelitian juga diperoleh hasil yang cenderung homogen.

Suhu yang diperoleh di keempat stasiun penelitian relatif sama yaitu, 27-28oC, dimana kisaran ini merupakan kondisi yang baik dalam pertumbuhan karang lunak. Zocchi et al. (2002) dalam Ismet (2007) melaporkan bahwa penelitian terhadap Axinella polypoides menunjukkan perubahan suhu pada jangka pendek dapat meningkatkan laju respirasi dan menyebabkan penurunan asam amino yang berkepanjangan. Secara tidak langsung hal ini berpengaruh terhadap produksi senyawa metabolisme sekunder, karena beberapa senyawa metabolik semkunder merupakan hasil sampingan dari metabolisme pimer termasuk asam amino.

Yusuf et al. (2010) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa peningkatan suhu perairan Pulau Badi pada bulan mei-juni 2009 dengan anomali -0.62oC dan anomali suhu maksimum 1.24oC, mengakibatkan terjadinya bleaching yaitu : karang keras sebanyak 84%, karang lunak 11% dan biota lain seperti anemone sebesar 5%. Dengan demikian terjadinya perubahan (kenaikan) suhu perairan


(28)

pada habitat hidup karang lunak akan berpengaruh terhadap kelangsungan hidup karang lunak itu sendiri. Perubahan suhu yang menyimpang akan mengakibatkan ketidak mampuan jaringan karang untuk mengikat zooxanthellae.

Lebih lanjut Yusuf et al. (2010) menjelaskan, karang lunak yang mengalami bleaching yaitu dari jenis Dendronepthea sp, Sarcophyton sp, Sinularia polydactyla dan S. flexibilis. Dari keempat jenis karang lunak tersebut, jenis S. flexibilis merupakan jenis karang yang paling peka, dengan konsentrasi jumlah koloni yang mengalami bleaching sebesar 50% dari komunitas karang lunak.

Gambar 5. Persentase jumlah koloni (%) setiap jenis karang yang mengalami bleaching di Pulau Padi, Kabupaten Pangkep (Yusuf et al. 2010)

Cahaya merupakan faktor penting dalam proses fotosintesis zooxanthella pada karang lunak, kecerahan suatu perairan sangat tergantung dari sedimentasi, kedalaman perairan itu sendiri dan partikel terlarut dalam perairan tersebut. Menurut Kuhl et al. (1995) dalam Fachrurrozie et al. (2012), panjang gelombang cahaya yang dibutuhkan zooxanthella untuk fotosintesis adalah berkisar antara 550-600 nm.

Kekeruhan merupakan konsentrasi padatan teruspensi dan bahan organik terlarut dalam air, dimana semakin tinggi kandungan partikel di dalam kolom air maka akan menurunkan daya tembus cahaya matahari.

Kekeruhan suatu perairan akan berhubungan dengan fotosintesis dan sedimentasi pada permukaan karang lunak. Material tersuspensi di perairan akan menutupi permukaan karang lunak, hal ini akan membuat karang lunak menghasilkan lendir untuk menghalau sedimen, produksi tersebut akan membutuhkan energi yang lebih banyak. Sedimentasi di permukaan karang akan menutup polip-polip karang lunak, sehingga menganggu aktivitas fotosintesis zooxantellae, hal ini akan menganggu kelangsungan hidup karang lunak itu sendiri.

4.3 Distribusi Karang Diperairan Pulau Pongok

Hasil pengamatan di perairan Pulau Pongok, dijumpai 65 jenis karang yang termasuk dalam 17 suku. Distribusi karang di perairan Pulau Pongok dapat dilihat pada tabel 4.


(29)

Tabel 4. Distribusi Karang Diperairan Pulau Pongok

No Family Stasiun

1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 Spesies I 1 II 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 III 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 IV 23 V 24 25 26 27 28 29 30 VI 31 32 33 34 35 36 37 38 VII Pocilloporidae Seriatopora hystrix Acroporidae Acropora aspera A. australiensis A. florida A. Formosa A. hyacinthus A. Microphthalma A. nobilis A. tenuis Astreopora myriopthalma Astreopora sp.

Poritidae Porites annae P. cylindrical P. lichen P. lobata P. lutea P. nigrescens P. rus

Porites sp

Goniopora columna G. djiboutiensis G. minor Siderastreidae Psammocora contiqua Agariciidae Pavona cactus P. decussate P. explanulata Pavona sp Gardineroseris planulata Pachyseris rugosa P. speciosa Fungiidae Fungia concinna F. danai F. fungites F. paumotensis F. repanda Fungia sp Herpolitha limax Podabacia crustacea Oculinidae - - + - - - - - - - - + + + + + + + + + - - + + + + + + + + + - + + + + - - + + - + + - - - + + + - + + + + + - + + + + + - - + - - - + + + - + - + + + + + - - + + + + + + - - + + + + + - + + + + + - - + - - - + + + - + - + + + - - + - - - - - - - - - - - - - + + + - - - - - - - - - - - - + - - - + - -


(30)

39 40 VIII 41 42 43 44 45 46 47 48 IX 49 50 51 52 53 54 55 X 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 XI 79 80 81 82 Galaxea astreata G. Fascicularis Pectiniidae Echinophyllia sp. Oxypora glabra O. lacera Oxpora sp. 1

Mycedium elephantotus Pectinia alcicornis P. lactuca P. paeonia Mussidae Acanthastrea bowerbanki A. Hillae L. hataii L. hemprichii Lobophyllia sp Symphyllia radians S. recta Faviidae Favia favus F. maritime F. maxima F. rotundata F. speciosa Favia sp.

Favites halicora Favites sp.

Goniastrea pectinata G. retiformis

Platygyra daedalea P. lamellina

Platygyra sp. Leptoria phrygia Montastrea curta Montastrea sp.

Diploastrea heliopora Leptastrea pruinosa L. transversa Echinopora horrida E. lamellosa E. mammiformis Echinopora sp. Caryophylliidae Euphyllia ancora E. divisa

Euphyllia sp.

Physogyra lichtensteini + + - - - - + + - - - + + - + + - + + + + - - - + - + - - - - + + + + + - - - + - + - + + + + + + + + + + + + - - + - - + - + - - + + + - + + + + + + - + + - - + + + - + + + + + + + + + + + + + + + - - + - - + - + - - + + + - + + + + + + - + + - - + + + - + + + + - - - - - - - + + - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -


(31)

XII 83 84 85 86 87 XIII 88 89 XIV 90 XV 91 XVI 92 XVII 93 Merulinidae Hydnophora exesa H. pilosa H. rigida Merulina ampliata M. scabricula Dendrophylliidae Turbinaria frondes Turbinaria sp. Helioporidae Heliopora coerulea Sarcophyton Sarcophyton sp Sinularia Sinularia sp Lobophytum Lobophytum sp

- + - - - - - + - - - - - + + + - + + + + + - - + + + - + + - + + - - - - - - - - - - - Total spesies Total Famili 45 13 69 17 68 17 7 4 Catatan : (+) = Ditemukan ; (-) = Tidak ditemukan

Hasil pengamatan menunjukkan, dari keempat stasiun, jumlah jenis karang yang terbanyak dijumpai pada stasiun 2 (69 jenis), diikuti stasiun 3 (68 jenis), kemudian stasiun 1 (45 jenis) dan stasiun 4 hanya dijumpai 7 jenis.

Pada empat stasiun penelitian, dapat terlihat pada tabel 4, karang yang sering dijumpai adalah dari genus Faviidae. Hasil ini sama dengan hasil penelitian Siringoringo et. al. (2013) dimana diperoleh genus karang yang serin gdijumpai adalah dari genus Faviidae. Lebih lanjut dijelaskan karang dari genus ini dapat dikelompokkan kedalam karang masif yang lebih tahan terhadap sedimentasi dan beraklimatisasi dengan baik di kondisi hetetrop. Namun dari keempat stasiun penelitian hanya dua stasiun yaitu, stasiun 2 dan stasiun 3 yang ditemui karang lunak. Karena pada kedua stasiun ini mempunyai kondisi perairan yang baik untuk pertumbuhan karang lunak.

Rendahnya keanekaragaman karang pada stasiun 4 dikarenakan pada stasiun ini kondisi perairan tidak terlalu baik untuk pertumbuhan karang. Stasiun ini merupakan wilayah tempat kegiatan nelayan menambatkan perahu, sehingga banyak jangkar yang ditambatkan merusak ekosistem karang. Struktur dasar perairan yang tidak landai dan berbentuk lereng, sehingga hanya ditemukan karang yang tumbuh berupa kelompok kecil, dan banyak dijumpai karang jamur (mushroom) dari jenis Fungia.

Hasil penelitian Siringoringo et al. (2006) menunjukkan bahwa, nilai indeks keanekaragaman karang batu di Pulau Pongok diperoleh nilai indeks keanekaragaman H’=3.748 dengan nilai indeks kemerataan J’=0.915, nilai ini merupakan nilai tertinggi dibanding dua pulau lain, yaitu Pulau Celagen dan Pulau Salma. Ini menunjukkan keseluruhan sebaran karang batu yang merata juga menunjukkan keanekaragaman jenis yang tertinggi (Gambar 6).

Menurut Manuputty (1990) bahwa jenis-jenis karang karang batu dari marga Acropora mempunyai polip yang kecil dan sulit untuk membersihkan diri


(32)

sehingga membutuhkan arus dan ombak yang cukup kuat untuk membersihkan partikel-partikel yang melekat. Pada stasiun 4, mempunyai kekeruhan dan kedalaman yang relatif tinggi sedangkan arus pada stasiun ini cukup rendah dibandingka ketiga stasiun lainnya. Hal ini lah yang merupakan salah satu faktor lain sehingga keanekaragaman jenis dan sebaran karang batu paling rendah di stasiun ini.

Gambar 6. Nilai Indeks Keanekaragaman (H’ dengan bilangan dasar e) dan kemerataan jenis (J’) karang batu di Pulau Lepar Pongok

(Siringoringo et al. 2006)

Hasil pengamatan menunjukkan jumlah keanekaragaman karang tertinggi dijumpai pada stasiun 4 dibandingkan ketiga stsiun yang lain. Begitu juga dengan indeks keseragaman dan dominansi, nilai indeks tertinggi di jumpai pada stasiun 4 dibandingkan dengan ketiga stasiun lain.

0,00 0,10 0,20 0,30 0,40 0,50 0,60 0,70 0,80

1 2 3 4

Indeks Keanekaragaman

Indeks Keseragaman

Indeks Dominansi

Gambar 7. Nilai Indeks Keanekaragaman, keseragaman dan dominansi karang di Pulau Lepar Pongok, Bangka Selatan


(33)

Persentase Tutupan Karang

Persentase tutupan karang di perairan Pulau Pongok berkisar antara 40,84% - 71,1%, dimana persentase tutupan tertinggi berada pada stasiun 3 yaitu 71,1%, diikuti stasiun 2 yaitu 56,74%, lalu diikuti stasiun 1 yaitu 47% dan stasiun 4 dengan persentase tutupan sebesar 40,84%.

(a) (b)

(c) (d)

Gambar 7. Persentase tutupan karang di perairan Pulau Pongok

Persentase tutupan karang batu hidup di perairan Pulau Pongok berkisar antara 40,24% - 80,33%, dimana persentase tutupan terendah berada pada stasiun 2 dan persentase tertinggi pada stasiun 1. Persentase tutupan karang lunak terendah di peroleh pada stasiun 3 yaitu 9,5% dan tertinggi dijumpai pada stasiun 2 yaitu 16,5%. Rincian persentase karang di semua stasiun penelitian disajikan pada gambar 7.

4.4. Koleksi dan Identifikasi Sampel

Sampel karang lunak yang diambil dari perairan Pulau Pongok Bangka Selatan ada 2 jenis, diidentifikasi berdasarkan Fabricius dan Alderslade (2001); Manuputty (2002), jenis karang lunak tersebut adalah jenis Sinularia sp dan Lobophytum sp.


(34)

(A) (B)

Gambar 8. Sinularia sp (A) dan Lobophytum sp (B)

Sampel karang lunak yang diperoleh hanya ditemukan pada stasiun 2 dan stasiun 3. Sedangkan pada kedua stasiun yang lain tidak diperoleh sampel karang lunak. Hal ini dikarenakan pada stasiun 1 dan stasiun 4 cenderung lebih dekat dengan daratan dan pemukiman penduduk, yaitu Pulau Celagen dan Pulau Pongok. Selain itu pada kedua stasiun ini merupakan jalur kapal nelayan dan dermaga tempat kapal berlabuh serta bongkar muat, sehingga kondisi substrat hanya berupa karang-karang mati yang rusak karena aktivitas manusia. Pada stasiun 2 dan stasiun 3 relatif lebih jauh dari pemukiman penduduk, sehingga ekosistem karang lunak lebih memungkinkan untuk berkembang biak.

4.5 Aktivitas Antibakteri Ekstraksi Komponen Bioaktif

Hasil ekstraksi karang lunak Sinularia sp dan Lobophytum sp dengan perbandingan sampel karang lunak dan volume pelarut metanol yaitu 1:3 didapatkan hasil rendemen pada tabel 5 berikut :

Tabel 5. Rendemen Ekstrak karang lunak Berat

Sampel Karang Lunak Sinularia sp

(3m)

Lobophytum sp (3m)

Sinularia sp (9m)

Lobophytum sp (9m) Awal (gr)

Rendemen (gr) Persentase (%) Warna

100 4.10 4.10 Coklat -kehitaman

100 3.44 3.44 Coklat -kehitaman

100 3.96 3.96 Coklat -kehitaman

100 3.77 3.77 Coklat -kehitaman Ekstraksi adalah suatu proses penarikan komponen yang diinginkan dari suatu bahan dengan cara pemisahan satu atau lebih komponen dari suatu bahan yang merupakan sumber komponennya. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap proses ekstraksi adalah lama ekstraksi, suhu, dan jenis pelarut yang digunakan. Hal yang harus diperhatikan dalam pemilihan jenis pelarut yang digunakan daya melarutkan, titik didih, sifat toksik, mudah tidaknya terbakar, dan sifat korosif terhadap peralatan ekstraksi (Khopkar 2003).


(35)

Metanol termasuk ke dalam golongan alkohol yang memiliki berat molekul rendah, sehingga memudahkan pembentukan ikatan hidrogen dengan molekul air dalam jaringan sampel (Hart, 1987 dalam Nurhayati et al. 2010). Selain itu pelarut ini mampu mengekstrak senyawa organik, sebagian lemak serta tanin, akibatnya senyawa di dalam jaringan sampel akan mudah terekstrak (Heat & Reneccius 1987 dalam Nurhayati et al. 2010).

Daya Hambat Ekstrak Karang Lunak

Hasil pengukuran daya hambat ekstrak karang lunak Sinularia sp dan Lobophytum sp terhadap bakteri Sinularia sp dan Lobophytum sp disajikan pada tabel 6 dan tabel 7.

Tabel 6. Daya hambat ekstrak karang lunak terhadap bakteri E. coli

Jenis sampel Konsentrasi (%)

Rerata Zona Daya Hambat (mm)

Sinularia sp

(3m)

Lobophytum sp

(3m)

Sinularia sp

(9m)

Lobophytum sp

(9m) 100 15.00 ± 0.4 12.20 ± 0.2 10.10 ± 0.17 14.20 ± 0.2

50 10.25 ± 1.05 8.40 ± 0.1 8.40 ± 0.2 8.50 ± 0.26

25 7.50 7.30 ± 0.17 6.90 7.90 ± 0.26

12,5 6.40 ± 0.1 7.30 ± 0.1 6.10 ± 0.17 7.30 ± 0.2 Tabel 6 memperlihatkan bahwa diameter zona hambat terhadap bakteri E. Coli ekstrak Sinularia sp kedalaman 3 meter berdasarkan tingkat konsentrasi ekstrak adalah dari 6.40–15.00 mm, Lobophytum sp kedalaman 3 meter adalah 7.30–12.20 mm, Sinularia sp kedalaman 9 meter adalah 6.10–10.10 mm dan Lobophytum sp kedalaman 9 meter adalah 7.30–14.20 mm.

Tabel 7. Daya hambat ekstrak karang lunak terhadap bakteri S. aureus

Jenis sampel Konsentrasi (%)

Rerata Zona Daya Hambat (mm)

Sinularia sp

(3m)

Lobophytum sp

(3m)

Sinularia sp

(9m)

Lobophytum sp

(9m) 100 10.05 ± 2.33 8.90 ± 0.3 8.50 ± 0.26 10.80 ± 1.2

50 9.40 ± 0.4 8.50 ± 0.17 7.10 ± 0.17 10.10 ± 0.1 25 6.10 ± 0.24 7.90 ± 0.24 5.80 ± 0.26 8.90 12,5 6.00 7.10 ± 0.1 5.10 ± 0.26 6.00 ± 0.26

Tabel 7 menunjukkan hasil daya hambat terhadap bakteri S.aureus dari ekstrak Sinularia sp kedalaman 3 meter berdasarkan tingkat konsentrasi ekstrak adalah 6.00–10.05 mm, Lobophytum sp kedalaman 3 meter adalah 7.10–8.90 mm, Sinularia sp kedalaman 9 meter adalah 5.10–8.50 mm dan Lobophytum sp kedalaman 9 meter adalah 6.00–10.80 mm.

Hasil uji daya hambat terhadap bakteri E. coli dan S. aureus ekstrak Lobophytum sp kedalaman 9 meter menunjukkan daya hambat yang lebih tinggi dibanding kedalaman 3 meter. Hal ini disebabkan parameter lingkungan perairan yaitu arus dan kekeruhan pada perairan dengan kedalaman 9 meter sedikit lebih jernih dan berarus kencang.


(36)

Lobophytum sp cenderung tidak menyukai perairan yang keruh, pada kondisi perairan yang lebih jernih karakteristik senyawa bioaktifnya relatif lebih tinggi dalam menghambat pertumbuhan bakteri E. coli dan S. aureus. Arus yang lebih kencang akan memberikan tekanan yang lebih besar kepada karang lunak, arus juga dapat membawa nutrien yang dibutuhkan untuk pertumbuhan karang lunak. Kecepatan arus di perairan Pulau Pongok berkisaran 0.1-0.55 m/s dengan kecepatan arus rata-rata sebesar 0.26 m/s (Adibrata et al. 2013). Sedangkan kecepatan arus pada stasiun 2 adalah 0.50 m/s, diatas rata-rata kecepatan arus di perairan Pulau Pongok.

Kekeruhan berhubungan dengan intensitas cahaya dan sangat mempengaruhi dalam pembentukkan senyawa terpen. Hanya karang lunak yang bersimbiosis dengan zooxanthellae yang dapat menghasilkan senyawa terpen. Cahaya sangat dibutuhkan zooxanthellae dalam proses fotosintesisnya, penurunan intensitas cahaya akan menyebabkan penurunan kandungan simbion zooxanthellae pada karang lunak.

Hasil penelitian Fachrurrozie et al. (2012) menunjukkan bahwa, jumlah zooxanthella mengalami penurunan seiring dengan berkurangnya intensitas cahaya. Jumlah zooxanthella kontrol pada karang bercabang dalam penelitian beliau adalah 1.302 x 106 sel/cm2, dengan intensitas cahaya 65 µE/m2s. Jumlah zooxanthella per-luas permukaan karang terus menurun dengan perlakuan pengurangan intensitas cahaya, yaitu : 1.202x106 sel/cm2 dengan intensitas cahaya 58 µE/m2s, 0.934x106 sel/cm2, dengan intensitas cahaya 26 µE/m2s dan terus menurun sampai 0.507x106 sel/cm2, dengan intensitas cahaya 65 µE/m2s.

Gambar 8. Hubungan antara intensitas cahaya dengan kelimpahan sel Zooxanthellae (Fachrurrozie et al. 2012)

Hasil uji daya hambat terhadap bakteri E. coli dan S. aureus ekstrak Sinularia sp menunjukkan daya hambat yang lebih tinggi pada ekstrak Sinularia sp kedalaman 3 meter dibanding kedalaman 9 meter. Pada ekosistem terumbu karang di perairan Pulau Pongok kedalaman 3 meter, karang lunak hidup berdampingan dengan organisme laut yang lebih beragam. Pada lingkungannya ini karang lunak berkompotisi dalam hal ruang dan makanan. Dengan kompetisi yang lebih tinggi metabolit sekunder karang lunak Sinularia sp berperan sebagai allelopatic agen. Allelopatic yaitu suatu sifat penghambat secara langsung terhadap suatu jenis oleh jenis yang lainnya dengan menggunakan zat kimia beracun.


(37)

Fleury et al. (2000) menjelaskan bahwa karang lunak Sarcophyton ehrenbergi memproduksi senyawa bioaktif Sarcophytoxide lebih tinggi saat berdampingan dengan karang Pacillopora darmicornis. Lebih lanjut Fleury et al. (2004) menjelaskan bahwa saat Sarcophyton ehrenbergi ditransplantasi dan ditempatkan pada lokasi tanpa kompetitor, Sarcophyton ehrenbergi memproduksi senyawa Sarcophytoxide lebih sedikit.

Hubungan kondisi perairan terhadap metabolis sekunder karang lunak Ekosistem terumbu karang sangat peka dan tergantung dari kondisi lingkungan, sementara di wilayah perairan (pesisir) di Pulau Pongok merupakan pusat tempat kegiatan masyarakat. Kondisi perairan memiliki peranan penting dalam mendukung kehidupan karang lunak. Pada penelitian ini, hasil data parameter perairan akan sangat mempengaruhi karakteristik senyawa bioaktif karang lunak. Grafik yang menggambarkan hubungan terebut disajikan pada gambar 9.

Gambar 9. Grafik hubungan faktor lingkungan ekosistem karang lunak Sumbu I (gambar 9) dicirikan oleh parameter Salinitas, Fospat dan Nitrat dan sumbu 2 dicirikan oleh kekeruhan, arus dan DO. Hasil Analisis komponen Utama (PCA) menunjukkan bahwa adanya pengelompokkan sasiun berdasarkan perbedaan nilai parameter kualitas perairan. Pengelompokkan ini disebabkan oleh perbedaan kualitas perairan disetiap stasiun adalah perbedaan arus dan kekeruhan. Hal ini ditunjukkan adanya kontribusi arus dan kekeruhan pada sumbu cukup besar.

4.6 Senyawa Fitokimia

Kandungan senyawa yang terkandung pada Sinularia sp dan Lobophytum sp dari hasil uji Fitokimia disajikan pada tabel 8 berikut :


(38)

Tabel 8. Hasil Uji Fitokimia

Jenis Analisis

Sampel Karang Lunak Sinularia sp (3m) Lobophytum sp (3m)

Sinularia sp (9m) Lobophytum sp (9m) Alkaloid Flavonoid Phenolhidroquinon Steroid Triterpenoid Tanin Saponin + + + + + - + + + + + + - + + + + + + - + + + - + + - + Keterangan : (-) tidak ditemukan; (+) ditemukan

Hasil uji fitokimia pada sampel karang lunak Sinularia sp dan Lobophytum sp dari perairan Pulau Pongok, Bangka Selatan, kedua jenis karang lunak tersebut mengandung senyawa Alkaloid, Flavonoid, Steroid, Triterpenoid, dan Saponin. Senyawa Phenolhidroquinon tidak diperoleh pada sampel Lobophytum sp pada kedalaman 9 meter.

Hasil metabolisme sekunder yang dihasilkan karang lunak ini merupakan substansi kimia yang disekresikan oleh organisme laut kelingkungan tempat hidupnya dimaksudkan untuk menghadapi serangan predator, media kompetisi, mencegah infeksi bakteri, membantu proses reproduksi dan mencegah serangan sinar ultra violet.

Karang Lunak Sinularia sendiri mengandung lima jenis senyawa diterpen, yaitu diterpena flexibilida, dihydrofleksibilida, sinulariolida, episinulariolida dan episinularilida asetat (Aceret et al 1997 dalam Nurhayati 2010).

Penelitian Cheng et al. (2009), diperoleh senyawa dari jenis Sinularia capilosa dari Pulau Siaoliouciou dan Atol Dongsha yaitu senyawa capillosanol, dengan struktur senyawa terpenoid pada gambar 9.

Gambar 10. Struktur senyawa capillosanol (Cheng et al. 2009)

Senyawa flavonoid berfungsi sebagai antimikroba, antitumor dan antioksidan (Robinson 1995; Ruiz et al. 2005 dalam Nurhayati 2009). Flavonoid merupakan golongan yang penting karena memiliki spektrum aktivitas


(39)

antimikroba yang luas dan dapat mengurangi kekebalan pada organisme sasaran (Naidu 2002).

Senyawa flavonoid merupakan turunan senyawa induk flavon dan mengandung sistem aromatik yang berkonjungsi, oleh karena itu senyawa ini dapat memperlihatkan serapan (pita) pada daerah spektrum UV maupun spektrum tampak. Senyawa flavon terbagi menjadi sepuluh kelas, yaitu antosianin, proantosianidin, flavonol, flavon, glikoflavon, biflavanol, khalkon, auron, flavonon dan isoflavon (Harborne 1987).

Alkaloid bermanfaat sebagai antioksidan, bekerja sebagai enzim pada sistem biologis, seperti sistem syaraf pusat (Ruiz et al. 2005 dalam Nurhayati 2009). Alkaloid merupakan senyawa organik nonprotein yang mengandung unsur nitrogen, bersifat basa dan turunan dari asam amino dimana secara kimia termasuk golongan senyawa semipolar. Alkaloid kebanyakan bersifat kristal dan tidak berwana (Harborne 1987).

Kuinon adalah senyawa berwarna dan mempunyai kromofor dasar, seperti kromofor pada benzokuinon, yang terdiri atas dua gugus karbonil yang berkonjugasi dengan dua ikatan rangkap karbon-karbon. Untuk tujuan identifikasi, kuinon dapat dipilah menjadi empat kelompok, yaitu benzokuinon, naftokuinon, antrakuinon dan kuinon isoprenoid. Tiga kelompok pertama biasanya terhidrolisis dan bersifat

”senyawa fenol” serta mungkin dapat in vivo dalam bentuk gabungan dengan gula sebagai glikosida atau dalam bentuk kuinol tanpa warna, kadangkadang juga bentuk dimer. Dengan demikian diperlukan hidrolisa asam untuk melepaskan kuinon bebasnya (Harborne 1987).

Senyawa kuinon yang terdapat sebagai glikosida mungkin larut sedikit dalam air, tetapi umumnya kuinon lebih mudah larut dalam lemak dan akan terekstraksi dari tumbuhan bersama-sama dengan karotenoid dan klorofil. Reaksi yang khas adalah reduksi bolak-balik yang mengubah kuinon menjadi senyawa tanpa warna, kemudian warna kembali lagi bila terjadi oksidasi oleh udara. Reduksi dapat dilakukan menggunakan natrium borohidrida dan oksida ulang dapat terjadi hanya dengan mengocok larutan tersebut di udara (Harborne 1987).

Triterpenoid adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam satuan isoprena dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C30 asiklik, yaitu skualena. Senyawa ini berstruktur siklik yang rumit, kebanyakan berupa alkohol, aldehid atau asam karboksilat. Mereka berupa senyawa tanpa warna, berbentuk kristal, seringkali bertitik leleh tinggi dan aktif optik (Harborne 1987).

Triterpenoid dapat dipilah menjadi sekurang-kurangnya empat senyawa, yaitu triterpenoid, steroid, saponin, dan glikosida jantung. Triterpena tertentu terkenal karena rasanya, terutama kepahitannya. Senyawa triterpenoid yang terdapat pada tumbuhan tingkat tinggi adalah fitosterol yang terdiri dari sitosterol, stigmasterol, dan kaempsterol (Harborne 1987).

Steroid merupakan golongan senyawa triterpenoid dan dapat digunakan sebagai bahan dasar pembuatan obat. Senyawa ini dapat diklasifikasikan menjadi steroid dengan atom karbon tidak lebih dari 21, seperti sterol, sapogenin, glikosida jantung, dan vitamin D. Steroid alami berasal dari berbagai transformasi kimia dua triterpena, yaitu lanosterol dan sikloartenol. Senyawa steroid dapat digunakan sebagai bahan dasar pembuatan obat (Harborne 1987).

Saponin bermanfaat sebagai antimikroba, antiinflamatori serta mempunyai toksisitas rendah (Ruiz et al. 2005 dalam Nurhayati 2009). Saponin adalah glikosida triterpena dan sterol yang telah terdeteksi dalam lebih dari 90 suku


(40)

tumbuhan. Glikosida adalah suatu kompleks antara gula pereduksi (glikon) dan bukan gula (aglikon). Glikon bersifat mudah larut air dan glikosida-glikosida mempunyai tegangan permukaan yang kuat (Winarno 1997). Saponin merupakan senyawa aktif permukaan dan bersifat seperti sabun dan dapat dideteksi berdasarkan kemampuannya membentuk busa. Pencarian saponin dalam tumbuhan telah dirangsang oleh kebutuhan akan sapogenin yang mudah diperoleh dan dapat dirubah di laboratorium menjadi sterol hewan yang berkhasiat penting (misalnya kortison, estrogen kontraseptif dan lain-lain).

Banyak saponin yang mempunyai satuan gula sampai lima dan komponen yang umum ialah asam glukuronat (Harborne 1987). Pembentukan busa yang mantap sewaktu mengekstraksi tumbuhan atau sewaktu memekatkan ekstrak tumbuhan merupakan bukti terpercaya akan adanya saponin. Saponin jauh lebih polar dari pada sapogenin karena ikatan glikosidanya (Harborne 1987).


(41)

V. SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Respon Sinularia sp terhadap kekeruhan lebih tinggi dibanding Lobophytum sp, sehingga kondisi perairan yang relatif lebih keruh akan membuat karakteristik senyawa bioaktif Sinularia sp lebih tinggi dalam menghambat pertumbuhan bakteri E. coli dan S. aureus. Lobophytum sp cenderung tidak menyukai perairan yang keruh, pada kondisi perairan yang lebih jernih karakteristik senyawa bioaktifnya relatif lebih tinggi dalam menghambat pertumbuhan bakteri E. coli dan S. aureus.

Saran

Penelitian ini hanya dilakukan pada tempat yang terbatas di perairan Pulau Pongok Bangka Selatan. Lebih banyak penelitian lagi pada berbagai tempat, kedalaman dan kondisi berbeda, maka kita bisa menarik kesimpulan secara luas. Seberapa besar kekeruhan akan mempengaruhi karakteristik senyawa bioaktif Sinularia sp dan Lobophytum sp, begitu juga dengan faktor-faktor lingkungan yang lain pada kehidupan karang lunak.


(1)

Trianto A. 2002. Skrining Bahan Bioaktif Anti Bakteri pada Beberapa Jenis Karang Lunak di Pulau Panjang. Puslitbang Oseanologi-LIPI.

Veron JEN. 2000. Corals of the World. Townsville: Australian Institute of Marine Science.


(2)

Lampiran 1. Analisis PCA Eigenvalues:

F1 F2 F3

Eigenvalue 1082,23 155,95 4,06 Variability (%) 87,12 12,55 0,33 Cumulative % 87,12 99,67 100,00

Eigenvectors:

F1 F2 F3

Dep 0,063 0,026 0,884 Tem 0,005 -0,013 0,221 pH -0,002 0,000 0,019

DO 0,002 0,024 0,006

Sal 0,016 0,007 0,102 Tur -0,027 -0,074 0,242 Tra -0,456 0,552 -0,192

N 0,000 -0,002 0,006

P 0,000 -0,006 0,014

Cur 0,002 0,014 0,063 HC -0,548 -0,520 0,008

Sc 0,025 0,639 0,142

Oth -0,157 -0,033 0,044 Abc 0,679 -0,086 -0,194

Factor loadings:

F1 F2 F3

Dep 2,075 0,326 1,781 Tem 0,166 -0,158 0,444 pH -0,073 -0,006 0,038

DO 0,054 0,302 0,013

Sal 0,533 0,083 0,206 Tur -0,888 -0,927 0,488 Tra -15,008 6,894 -0,387 N -0,006 -0,025 0,012 P -0,002 -0,079 0,029 Cur 0,058 0,177 0,126 HC -18,023 -6,500 0,016

Sc 0,828 7,983 0,287

Oth -5,153 -0,412 0,089 Abc 22,349 -1,072 -0,391

Correlations between variables and factors:

F1 F2 F3

Dep 0,754 0,119 0,647

Tem 0,331 -0,317 0,889

pH -0,884 -0,071 0,462

DO 0,176 0,984 0,041

Sal 0,923 0,145 0,357

Tur -0,647 -0,675 0,355

Tra -0,908 0,417 -0,023

N -0,199 -0,884 0,423

P -0,023 -0,939 0,344

Cur 0,257 0,788 0,560

HC -0,941 -0,339 0,001

SC 0,103 0,994 0,036

Oth -0,997 -0,080 0,017


(3)

Squared cosines of the variables:

F1 F2 F3

Dep 0,568 0,014 0,418 Tem 0,110 0,100 0,790 pH 0,781 0,005 0,214

DO 0,031 0,967 0,002

Sal 0,852 0,021 0,128 Tur 0,418 0,456 0,126 Tra 0,825 0,174 0,001

N 0,040 0,781 0,179

P 0,001 0,881 0,118

Cur 0,066 0,621 0,313 HC 0,885 0,115 0,000

Sc 0,011 0,988 0,001

Oth 0,993 0,006 0,000 Abc 0,997 0,002 0,000

Factor scores:

Observation F1 F2 F3

St1 -36,230 -9,062 1,440

St2 14,364 14,710 1,652

St3 -16,349 5,934 -2,686

St4 38,216 -11,582 -0,405

F1

(+) Dep Sal Abc St4

(-) pH Tra HC Oth St1 St3

F2 (+) DO Cur SC St2


(4)

Lampiran 2. Tabel Data karang di Pulau Pongok

Kelimpahan (ni/N)

Biota St.1 St.2 St.3 St.4 St.1 St.2 St.3 St.4

Acroporidae 1 7 8 1 0,02 0,10 0,12 0,14

Poritidae 5 8 9 2 0,11 0,12 0,13 0,29

Siderastreidae 1 1 1 0 0,02 0,01 0,01 0,00

Agariciidae 7 2 2 0 0,16 0,03 0,03 0,00

Fungiidae 5 6 6 2 0,11 0,09 0,09 0,29

Oculinidae 1 2 2 0 0,02 0,03 0,03 0,00

Pectiniidae 2 8 8 2 0,04 0,12 0,12 0,29

Mussidae 4 3 3 0 0,09 0,04 0,04 0,00

Faviidae 12 15 17 0 0,27 0,22 0,25 0,00

Caryophylliidae 2 4 4 0 0,04 0,06 0,06 0,00

Merulinidae 3 3 3 0 0,07 0,04 0,04 0,00

Dendrophylliidae 1 2 1 0 0,02 0,03 0,01 0,00 Helioporidae 1 1 1 0 0,02 0,01 0,01 0,00

Sarcophyton 0 3 0 0 0,00 0,04 0,00 0,00

Sinularia 0 2 2 0 0,00 0,03 0,03 0,00

Lobophytum 0 1 1 0 0,00 0,01 0,01 0,00

Nephthea 0 1 0 0 0,00 0,01 0,00 0,00

Total 45 69 68 7

ln S 3,81 4,23 4,22 1,95

Pi2=(ni/N)2 ln Pi

St.1 St.2 St.3 St.4 St.1 St.2 St.3 St.4 0,00 0,01 0,01 0,02 -7,61 -4,58 -4,28 -3,89 0,01 0,01 0,02 0,08 -4,39 -4,31 -4,04 -2,51 0,00 0,00 0,00 0,00 -7,61 -8,47 -8,44

0,02 0,00 0,00 0,00 -3,72 -7,08 -7,05

0,01 0,01 0,01 0,08 -4,39 -4,88 -4,86 -2,51 0,00 0,00 0,00 0,00 -7,61 -7,08 -7,05

0,00 0,01 0,01 0,08 -6,23 -4,31 -4,28 -2,51 0,01 0,00 0,00 0,00 -4,84 -6,27 -6,24

0,07 0,05 0,06 0,00 -2,64 -3,05 -2,77 0,00 0,00 0,00 0,00 -6,23 -5,70 -5,67 0,00 0,00 0,00 0,00 -5,42 -6,27 -6,24 0,00 0,00 0,00 0,00 -7,61 -7,08 -8,44 0,00 0,00 0,00 0,00 -7,61 -8,47 -8,44 0,00 0,00 0,00 0,00 -6,27

0,00 0,00 0,00 0,00 -7,08 -7,05 0,00 0,00 0,00 0,00 -8,47 -8,44 0,00 0,00 0,00 0,00 -8,47


(5)

pi*(ln Pi) H/Ln s

St.1 St.2 St.3 St.4 St.1 St.2 St.3 St.4 0,00 0,05 0,06 0,08 0,13 0,10 0,11 0,36 0,05 0,06 0,07 0,20

0,00 0,00 0,00 0,00

0,09 0,01 0,01 0,00 ∑Pi2

0,05 0,04 0,04 0,20 St.1 St.2 St.3 St.4 0,00 0,01 0,01 0,00 0,14 0,11 0,13 0,27 0,01 0,06 0,06 0,20

0,04 0,01 0,01 0,00 0,19 0,14 0,17 0,00 0,01 0,02 0,02 0,00 0,02 0,01 0,01 0,00 0,00 0,01 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,01 0,00 0,00 0,00 0,01 0,01 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00


(6)

Penulis dilahirkan di Palembang, Sumatera Selatan pada tanggal 25 April 1984 sebagai anak sulung dari empat bersaudara, buah cinta pasangan Iskanadi dan Kordiatussoleha. Penulis memulai pendidikan formal pada tahun 1989 di SD Negeri 115 Palembang dan lulus pada tahun 1995. Penulis melanjutkan ke SMP Negeri 15 Palembang dan lulus pada tahun 1998. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan ke SMA Xaverius I Palembang dan lulus pada tahun 2001. Penulis menempuh gelar sarjana di Program Studi Ilmu Kelautan, FMIPA Universitas Sriwijaya, Indralaya, Palembang dan lulus pada tahun 2006. Penulis diterima di Program Studi Ilmu dan Teknologi Kelautan Program Pascasarjana IPB pada tahun 2010. Beasiswa pendidikan pascasarjana (BPPS) diperoleh melalui Universitas Sriwijaya. Penulis bekerja sebagai dosen tetap di Program Studi Ilmu Kelautan, FMIPA UNSRI sejak Desember 2008.