1
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Suatu kenyataan yang aneh bahwa, sekarang di dunia terdapat sesuatu keyakinan dalam sistem sosial yang menyebut dirinya “demokratis” dimana
banyak negara mengklaim bahwa basis dari pemerintahannya adalah demokrasi. Pentingnya demokrasi di sebuah negara bertujuan untuk mensejahterakan
masyarakat. Alat pemerintah dalam mensejahterakan masyarakat tentu saja kebijakan yang dilahirkan dalam proses demokrasi. Berbicara tentang
pengambilan kebijakan tidak terlepas dari partisipasi masyarakat tanpa membedakan-bedakan ras, agama, suku dan jenis kelamin. G. Roskin menyatakan
dalam bukunya Political Science: an introduction menyatakan defenisi demokrasi adalah menghargai kebebasan hak dan kewajiban warga negaranya, baik dalam
politik, ekonomi, sosial, budaya tanpa membeda-bedakan ras, agama, suku dan jenis kelamin, tetapi dalam persoalan perempuan sebagai warga negara tidaklah
sebebas laki-laki dalam segala bidang.
1
Persoalan perempuan dan politik telah menjadi isu global, baik di negara maju maupun di negara-negara berkembang khususnya Indonesia.Persoalan
dimana bagi perempuan konsep “demokrasi” menjadi satu hal yang sangat diidam-idamkan sekaligus menjadi mimpi buruk.Demokrasi yang diwariskan oleh
1
Jurnal Perempuan. 2004. No. 34.Politik dan Keterwakilan Perempuan. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. hal.4.
Universitas Sumatera Utara
2 tradisi Yunani, jelas tidak mengikutkan perempuan dalam politik.
2
Rendahnya partisipasi perempuan dalam ranah politik berdampak terhadap permasalahan perempuan lainnya yang kini berbeda dengan kondisi perempuan
dimasa lalu.Perbedaan itu bisa karena kondisi sosio-kultur maupun perkembangan zaman. Berbagai permasalahan yang seringkali korbannya adalah para wanita
seperti penyiksaan terhadap TKW di luar negeri, dan kekerasan dalam rumah tangga KDRT, jam kerja yang tidak memihak terhadap pekerja perempuan,
permasalahan reproduksi seperti tidak ada jaminan terhadap ibu hamil dan ibu yang hendak melahirkan, menunjukkan lemahnya perlindungan hukum terhadap
mereka. Semua permasalahan dan ketidakadilan yang menimpa kaum perempuan inilah yang nampaknya membuat kaum pejuang perempuan menjadi
geram.Mereka menginginkan adanya sebuah perlindungan secara legal yang terformulasikan berupa aturan dalam suatu undang-undang.
Persoalan ini disebabkan mayoritas masyarakat yang telah dibentuk dalam budaya patriarki
yang menekankan bahwa kedudukan perempuan berkisar dalam lingkungan domestik, sedangkan politik merupakan suatu yang berkenaan dengan dunia laki-
laki yang menimbulkan suatu persepsi atau anggapan bahwa dunia politik tidak mungkin atau tabu untuk dimasuki oleh perempuan.Hal ini menyebabkan
rendahnya partisipasi perempuan dalam ranah politik.
3
Berbagai usaha dilakukan untuk menciptakan partisipasi sejajar antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan publik, salah satunya seperti yang
2
Ibid. hal 5.
3
Siti Musdah Mulia.2008 Menuju Kemandirian Politik Perempuan. Yogyakarta: Kibas Press. hal. 83.
Universitas Sumatera Utara
3 diamanatkan dalam Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap
Perempuan Convention on the elimination of all forms of discrimination against women atau CEDAW Yang diadopsi oleh Sidang Umum PBB pada tahun 1979
dan disahkan mulai tahun 1981.
4
Permasalahan perempuan seperti ini juga terjadi dalam masyarakat Indonesia. Banyak sekali masalah perempuan yang terlewatkan dalam
pembahasan masalah keputusan publik, karena memang sangat sedikit perempuan yang bisa masuk ke dalam proses pembuatan kebijakan tersebut. Sunyoto Usman
mengatakan bahwa tidak banyak perempuan yang menempati posisi sentral di dalam badan legislatif dan eksekutif. Kebanyakan dari mereka berada di
pinggiran periphery zone dan kurang kuat pengaruhnya dalam proses pembuatan kebijakan.
Sekarang, lebih dari 30 tahun sejak ditandatanganinya konvensi itu yang juga telah diratifikasi oleh 165 negara,
kenyataan menunjukan bahwa kaum perempuan diseluruh pelosok dunia masih saja termajinalisasikan dan kurang terwakili di dunia dunia politik terutama untuk
keterlibatan mereka dalam putusan publik.
5
Bila dicermati kancah perpolitikan perempuan di Indonesia dari segi keterwakilan perempuan baik di tataran eksekutif, yudikatif, maupun legislatif
sebagai badan yang memegang peranan kunci menetapkan kebijakan publik, pengambilan keputusan, dan penyusunan berbagai piranti hukum, perempuan
masih jauh tertinggal bila dibandingkan dengan laki-laki. Sejak reformasi tahun
4
Jurnal Perempuan. 2006. No. 45.Demokrasi. Jakarta: Yayaysan Jurnal Indonesia. hal. 25.
5
Sunyoto Usman. 1998. Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. hal. 24.
Universitas Sumatera Utara
4 1999, jumlah anggota dewan perempuan sebenarnya mengalami peningkatan.
Pada tahun 1999 hanya 9,2 kursi DPR RI yang diduduki perempuan. Tahun 2004 jumlahnya meningkat menjadi 11,81. Pada tahun 2009 jumlahnya kembali
meningkat menjadi 18. Lalu pada tahun 2014 justru turun menjadi 17,32.
6
Permasalahan perempuan dalam lembaga pembuatan kebijakan ini tidak hanya dialami di tingkat nasional.Di tingkat desa pun perempuan mempunyai
kesempatan yang sangat sedikit. Selama ini kebijakan yang dibuat di desa sama sekali tidak melibatkan perempuan. Kebijakan hanya ditentukan oleh laki-
laki.Namun hal ini dapat dimaklumi karena realitasnya selama ini dalam penyelenggaraan pemerintahan desa, pembuataan kebijakan di desa cenderung di
dominasi oleh Kepala Desa tanpa melibatkan masyarakat. Penyeragaman bentuk pemerintahan terendah oleh pemerintahan pusat melalui UU No. 5 Tahun 1979
dalam bentuk desa, Namun peningkatan dari tahun 1999 sampai pada tahun 2014 tidaklah
signifikan.Peran dan keterwakilan perempuan dalam pembuatan kebijakan publik selama ini masih dirasa kurang.
7
6
Dina Martiany, SH, MSi
. 2014.Signifikasi Representasi Perempuan di Parlemen Indonesia
telah merusak sebagian struktur masyarakat terutama lembaga-lembaga traditional yang dibentuk dan dihormati masyarakat. Pemaksaan
penyeragaman ini memiliki dampak yang sangat besar kepada masyarakat yang karakteristik masyarakatnya sangat berbeda dengan pola desa yang lebih cocok
dengan kultur masyarakat jawa. Lebih ironis lagi desa oleh penguasa lebih
http:berkas.dpr.go.idpengkajianfilesbuku_lintas_timbuku-lintas-tim-1.pdf. Diakses pada 20 Desember 2014 Pukul 20.00 Wib.
7
Undang-Undang No. 5 Tahun 1979
Universitas Sumatera Utara
5 ditempatkan sebagai objek kekuasaan bukan sebagai subjek.Masyarakat hanya
dijadikan sebagai objek dan pelaksana kebijakan. Seiring dengan reformasi munculnya kesadaran kritis masyarakat dengan
menuntut hak dan kewajibannya.Tuntutan ini ditanggapi oleh pemerintah melalui UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang di revisi dengan UU
No 32 Tahun 2004.
8
Provinsi Sumatera Barat melancarkan program “kembali ke nagari” sejak tahun 2000 dengan menetapkan nagari sebagai pemerintahan yang terendah
setingkat desa. Pemerintahan nagari terdiri dari pemerintahan nagari sebagai eksekutif dan Badan Musyawarah BAMUS sebagai legislatif sebagaimana yang
diatur dalam Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat No. 9 Tahun 2000 Tentang Pemerintahan Nagari.
Atas dasar UU ini penyelenggaraan Otonomi Daerah lebih menekankan pada prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan
dan keadilan serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah.Tidak ada lagi hierarki pemerintahan dan otonomi yang luas dan nyata berada di daerah
KabupatenKota juga desa.
9
8
Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 revisi Undang-Undang No.34 Tahun 2004.
9
Peraturan Daerah Sumatera Barat No. 9 Tahun 2000 Tentang Pemerintahan Nagari.
Pengaturan nagari dalam perda ini menunjukan semangat demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan.Sistem pemerintahan
nagari menuntut pada pengembangan peran serta masyarakat.Bahkan Perda No 9 Tahun 2000 ini menjamin keterlibatan perempuan sebagai bagian dari elemen
masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan nagari.Pasal 5 Perda tersebut menjelaskan bahwa BAMUS sebagai legislatif mensyaratkan masuknya semua
Universitas Sumatera Utara
6 elemen masyarakat yang meliputi unsur ninik mamak, alim ulama, cadiak pandai,
bundo kanduang dan pemuda Tokoh adat, tokoh ulama, kaum intelektual, perempuan dan pemuda.Unsur Bundo kanduang yang dimaksud dalam Perda
tersebut dalam istilah masyarakat Sumatera Barat adalah panggilan terhadap perempuan menurut adat Minangkabau.
10
Ketika orang mendengar tentang Minangkabau, barangkali yang terbayang adalah adat dan budaya Minang sangat menghormati kaum perempuan.Hal ini
dikarenakan budaya Minangkabau sebelum penjajahan Belanda hingga kini menganut sistem matrilineal.
11
Matrilineal sendiri berarti bahwa keturunan dan pembentukan kelompok keturunan diatur menurut garis ibu.
12
Ini tentu sejalan dengan persepsi bahwa masyarakat dan budaya Minang mengandung nilai-nilai
demokratis. Dapat dilihat dalam ungkapan minangkabau duduak samo randah tagak samo tinggi duduk sama rendah berdiri sama tinggi mencerminkan
egaliterianisme budaya masyarakat Minang, termasuk untuk kalangan perempuan. Dalam sistem adat matrilineal di Minangkabau, perempuan ditempatkan dalam
posisi yang sentral.Dalam sistem ini, perempuan dianggap berkuasa atas harta pusaka dalam keluarga maupun kaum.
13
10
H. Idrus Hakimy Dt. Rajo Penghulu. 2004. Pegangan Penghulu. Bundo Kanduang, dan Pidato Alua Pasambahan Adat di Minangkabau. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya. hal. 69.
11
H. Suardi Mahyuddin.SH. 2009. Dinamika Sistem Hukum Adat Minangkabau dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung. Jakarta. PT. Candi Cipta Paramuda.hal.60.
12
Prof. Koentjaraningrat. 2007. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta. Penerbit Djambatan. Hal 248.
13
Prof. Mr. M. Nasroen. 1965. Dasar Falsafah Alam Minangkabau. Jakarta. Percetakan Negara. hal 12.
Universitas Sumatera Utara
7 Untuk menggambarkan domain kekuasaan perempuan Minang sejatinya
adalah Rumah Gadang, yang merupakan rumah keluarga besar dari garis ibu.Di wilayah ini, perempuan ditahbiskan pertama-tama sebagai penguasapemilik harta
pusaka keluarga.Jika dielaborasi, ungkapan di atas sekaligus mencerminkan lapangan pengabdian, sanjungan sekaligus harapan terhadap
perempuan.Perempuan sebagai limpapeh mengandung makna yang
prinsipil.Secara harfiah, limpapeh artinya tiang tengah yang menjadi penyangga bagi tiang-tiang lainnya dalam sebuah bangunan.Apabila tiang tengah ini ambruk,
maka tiang-tiang lainnya ikut jatuh berantakan.
14
Pusek jalo kumpulan tali, berarti bahwa perempuan sebagai pengatur kehidupan rumah tangga.Baik jeleknya anggota keluarga ditentukan oleh ibu atau
perempuan.Ia tempat suri teladan, tidak hanya bagi keluarga tetapi juga masyarakat. Karena itu, ibu juga dituntut memiliki ilmu pengetahuan, terutama
Dalam konteks keluarga, terlihat betapa sentralnya posisi dan peran ibu atau disebut juga bundo kanduang sebagai pembimbing dan pendidik bagi anak-
anaknya serta anggota keluarga lainnya.Bundo kanduang bahkan memiliki tanggung jawab yang besar.Ungkapan umbun puruak pagangankunci
mengandung makna bahwa bundokanduang adalah sosok wanita bijaksana, telaten dalam rumah tangga, pandai merawat penampilan diri, serta patuh pada
suami.
14
Sutan Mahmoed IA. BA.2004. Nagari Limo Kaum Pusat Bodi Caniago Minangkabau.Yayasan Mesjid Raya Limo Kaum.hal 51.
Universitas Sumatera Utara
8 ilmu pengetahuan agama, sebagai bekal kehidupan anak-anak. Ilmu itu didapatkan
dengan cara belajar dan menuntut ilmu. Bundo kanduang sebagai sumarak dalam nagari memperlihatkan
sanjungan tinggikepada perempuanibu sebagai orangyang pandai bergaul, memelihara diri dan keluarga, tolong menolong dengan sesama tetangga, serta
menjaga adat sopan santun.Dalam ketentuan adat, seorang bundo kanduang haruslah memiliki sifat sifat kepemimpinan serta ibu sebagai perantara keturunan
dan menentukan watak manusia anak-anak yang dilahirkannya.
15
Tuntutan karakter perempuan Minang tampaknya sama dengan tuntutan karakter para pemimpin adat penghulu pada umumnya, diantaranya bersifat
benar, bersifat jujur,dipercaya lahir dan batin, cerdik dan punya ilmu pengetahuan, pandai berbicara dan mempunyai sifat malu. Tampak di sini, bahwa karakter yang
hendak dilekatkan pada perempuan.Jika dielaborasi, sifat-sifat kepemimpinan perempuan yang ditentukan dalam adat Minang tak berbeda dengan sifat-sifat
kepemimpinan pada umumnya.Sekilas ungkapan “ibu” menunjukkan suatu wujud emansipasi ketentuan adat terhadap kaum perempuan.Sifat cerdik, misalnya
ternyata tidak hanya menyangkut kemampan menggunakan akal sehat rasio, membedakan baik dan buruk, manfaat dan mudharat, tetapi juga keharusan
memiliki ilmu pengetahuan, supaya perempuan bisa pula di keluarga dan kaumnya.
16
15
Ibid. hal. 52-53.
16
DR. S. Budhisantoso. 1998. Kedudukan Dan Peranan Wanita: Dalam Kebudayaan Suku Bangsa Minangkabau. Jakarta: Direktorat Jenderal Kebudayaan. hal 93.
Universitas Sumatera Utara
9 Pandai berbicara juga mencerminkan tuntutan keterampilan
berargumentasi untuk melindungi keluarga dan kaumnya. Budayawan AA Navis mengatakan, sistem matrilineal menjadi lahan subur berkembangnya
kulturdemokratis justru dalam masyarakat tradisional Minang. Sebab matrilineal adalah sistem dari budaya egaliter egalite yang memungkinkan berlangsungnya
kesetaraan gender.Secara harfiah, egaliter itu sendiri berarti persamaan, kesamaan, kebersamaan antara sesama manusia.Menurutnya, matrilineal merupakan sistem
untuk memantapkan kedudukan perempuan agar sederajat dengan laki-laki secara hukum, sosial dan kebudayaan.
Asumsi yang mendasarinya adalah agar semua kepentingan golongan masyarakat dapat terwakili dalam perumusan kebijakan di nagari.Dari unsur
tersebut terlihat bahwa pengembangan sistem Pemerintahan Nagari di Sumatera Barat menjamin peran serta perempuan dalam kehidupan politik di nagari. Secara
yuridis formal perempuan dalam masyarakat nagari memiliki jaminan akan peran yang sama dalam pembuatan kebijakan. Landasan yuridis ini menjadi peluang
yang cukup besar bagi bundo kanduang di nagari untuk terlibat dalam kehidupan politik di nagari.BAMUS sebagai lembaga penyalur aspirasi dapat dibaca sebagai
salah satu pintu bagi peran bundo kanduang untuk dapat menyuarakan aspirasi dan kepentingannya sekaligus menjadi aktor dalam penentuan kebijakan dan
politik nagari. Nagari Pauah merupakan salah satu nagari yang ada di Provinsi Sumatera
Barat, Kabupaten Pasaman tepatnya di Kecamatan Lubuk Sikaping. Nagari Pauah
Universitas Sumatera Utara
10 merupakan daerah yang penduduk perempuannya hampir sama dengan kaum laki-
laki yaitu perempuan 3.761 orang dan laki-laki 3.765,
17
dalam hal ini tentu membuka peluang terhadap penyampaian aspirasi dalam kepentingan sekaligus
dalam penentuan kebijakan. Di Nagari Pauah peran perempuan di lembaga bundo kanduang secara garis besar dapat terlihat dengan lahirnya Peraturan Nagari
No.12 Tahun 2015 tentang bantuan pinjam kredit khusus ibu rumah tangga,
18
17
Nagari Pauah Dalam Angka Tahun 2014.
18
Peraturan Nagari No.12 Tahun 2015.
dalam rangka peningkatan ekonomi keluarga atau penunjang di BAMUS Nagari Pauah. Lahirnya kebijakan ini merupakan bentuk nyata dari keberadaan
dan peran perempuan di ranah politik atau pembuat kebijakan. Fenomena lahirnya kebijakan yang dikeluarkan terkait kepentingan
perempuan di Nagari Pauah sebagai bentuk nyata dari partisipasi perempuan dalam pembuatan kebijakan menjadi kontradiksi yang berbanding terbalik bila
dilihat dengan kondisi perpolitik di Indonesia secara garis besar. Berangkat dari permasalahan tersebut, penulis tertarik untuk meneliti
bagaimana pengaruh perempuan minangkabau dalam pembuatan kebijakan. Dalam penelitian ini, peneliti akan memfokuskan objek penelitian pada lembaga
bundo kanduang di Badan Musyawarah BAMUS Nagari Pauah dan masyarakat Nagari Pauah terkhusus perempuan karena di nagari tersebut lahir sebuah
kebijakan yang berhubungan langsung dengan kepentingan perempuan.
Universitas Sumatera Utara
11
B. Perumusan Masalah