16
dengan bernyanyi, menari dan melawak dari rumah ke rumah. Mereka semua tinggal di sekitaran sungai, desa yang kosong di sekitar kota. Masyarakat berkasta
tinggi melarang kaum Eta untuk masuk ke daerah mareka. Pada Zaman Chusei 1192-1603 kelompok masyarakat senmin menjadi
penting karena senmin menjadi pemasok peralatan perang bagi para Shogun yang merupakan penguasa pada masa ini. Orang-orang Senmin diperbolehkan masuk ke
daerah keshogunan dan dibebaskan dari pajak sampai hampir setengah dari Zaman Chusei. Setelah perang kekuasaan yang menjadi tanda akhirnya jaman ini,
banyak samurai yang kalah perang mengganti pekerjaan menjadi Senmin. Hal ini menyebabkan peningkatan yang tinggi pada jumlah Senmin. Ketika dalam masa
perang, mereka ikut bertarung untuk pemerintahan feodal, ketika perang telah usai mereka menjadi pekerja rendah yang berhubungan dengan pengrajin tembikar,
penyamak, membuat pakaian dari kulit, menggali lubang, dan bekerja di peternakan hewan. Maka bisa dikatakan bahwa buraku merupakan keturunan dari
sebagian besar Senmin pada masa ini.
2.2 Burakumin Pada Masa Tokugawa dan Restorasi Meiji
2.2.1 Burakumin Pada Masa Tokugawa 1603-1868 Tokugawa Ieyasu adalah daimyo dari Mikawa. Yaitu sebuah daimyo kecil
yang mampu mengalahkan Toyotami Hideyoshi pada perang Sekigahara pada tahun 1600. Kemudian menjadi Seiitaishogun pada tahun 1603 dengan pusat
pemerintahan Bakufu di Edo Situmorang Hamzon 2011: 19 Pada masa ini menganut sebuah sistem pemerintahan yang disebut dengan
Bakuhantaise. Yaitu sistem Bakufu dan Han yang mana Bakufu bertindak sebagai
Universitas Sumatera Utara
17
pemerintah pusat yang memiliki daerah sendiri. Sementara Han sebagai daerah administrasi yang diperintah oleh daimyo yang bebas dari campur tangan shogun.
Dalam banyak hal, Era Tokugawa yang berlangsung lama ini adalah salah satu era yang paling menonjol dalam sejarah bangsa Jepang. Tokugawa berhasil
mempertahankan perdamaian bersenjata di Jepang sampai dengan generasi terakhir yang berkuasa, dan Tokugawa juga menjalankan suatu pemerintahan
yang terpusat yang secara mengagumkan dapat melaksanakan tujuan-tujuannya. Benedict Ruth 1979: 66-67 menerangkan bahwa Tokugawa memiliki strategi
menjaga keutuhan pemerintahannya untuk mencegah para daimyo mengumpulkan kekuatan untuk menentangnya. Tokugawa membiarkan pola feodal yang ada
bahkan mencoba memperkuatnya dan membuatnya menjadi kaku. Masyarakat Jepang terdiri dari banyak tingkatan dan kedudukan setiap orang
ditetapkan berdasarkan keturunannya. Keluarga Tokugawa memantapkan sistem ini dan mengatur tingkah laku sehari-hari dari setiap kasta sampai segi terkecil.
Setiap kepala keluarga harus mencantumkan kelasnya serta fakta-fakta yang diperlukan mengenai status keturunannya. Mulai dari pakaian yang dikenakannya,
makanan yang boleh dibelinya, dan rumah yang secara sah boleh didiaminya semua diatur berdasarkan pangkat yang diwarisi.
Pada masa ini kelas masyarakat dibagi menjadi empat kasta. Yang urutan hirarkinya adalah Serdadu, Petani, Tukang, Pedagang. Di bawah tukang dan
pedagang terdapat kaum buangan yaitu Eta dan Hinin.
Universitas Sumatera Utara
18
Dalam bukunya, Benedict Ruth 1979: 68 menuliskan bahwa Eta merupakan kaum buangan yang jumlahnya terbanyak dan paling terkenal. Mereka adalah
“sampah masyarakat” Jepang, atau lebih tepatnya “yang tidak masuk hitungan”, sebab panjangnya jalan-jalan yang melalui desa mereka pun tidak dihitung.
Seakan-akan daerah tersebut beserta penduduknya sama sekali tidak ada. Mereka luar biasa miskinnya, meskipun lapangan pekerjaan mereka terjamin tukang
membersihkan segala macam kotoran, pengubur mayat dan penyamak, mereka tetap berada di luar struktur resmi.
Begitu juga dengan kaum Hinin yang merupakan kaum senmin dari era sebelumnya. Menurut Takagi 1991: 285 orang-orang yang melakukan tindak
kriminal, orang yang melakukan tindak asusila serta yang selamat dari bunuh diri masuk ke dalam kategori kaum Hinin.
Pekerjaan Eta dan Hinin dibatasi pada jenis pekerjaan yang kotor seperti tukang daging, pekerjaan yang berhubungan dengan kulit, dan juga pekerjaan
yang berhubungan dengan bambu yaitu membuat kocokan untuk acaran minum teh yang terbuat dari bambu. Dan juga pekerjaan yang berhubungan dengan
kematian manusia, pembuatan alat-alat militer yang terbuat dari bahan kulit,
Universitas Sumatera Utara
19
tukang sepatu, tukang sapu, penghibur, pengemis serta orang-orang yang memiliki penyakit menjijiknan digolongkan dalam kaum Eta dan Hinin, Hane 2003: 140.
Secara rinci Hane 2003: 142-143 menjelaskan perlakuan yang diterima kaum Eta dan Hinin selama masa Tokugawa. Kehidupan kaum ini dibatasi mulai
dari tempat tinggal yang mereka diami adalah daerah khusus yang tidak ingin ditinggali oleh masyarakat lain pada umumnya, kualitas rumah, mobilitas untuk
keluar masuk daerah, serta bagaimana rambut, bahkan sepatu mereka diatur dan dijabarkan sebagai berikut:
a. Pada saat bepergian mereka tidak diperbolehkan untuk mengenakan alas kaki apapun melainkan bepergian dengan telanjang kaki.
b. Mereka tidak diizinkan keluar dari daerah mereka sejak matahari terbenam hingga matahari terbit. Kecuali pada tahun baru mereka hanya bisa keluar
hingga sekitar jam sembilan malam. c. Tidak boleh bersosialisasi dengan orang lain yang kelasnya lebih tinggi
kecuali karena ada urusan bisnis. Saat berurusan mereka harus bersikap sangat sopan.
d. Dilarang memasuki kuil-kuil selain kuil yang didatangi oleh orang-orang yang bukan Eta dan Hinin. Mereka disediakan kuil tersendiri untuk
menghindari terkena kekotoran yang dibawa kaum Eta dan Hinin. e. Tidak boleh menikah dengan kaum lain selain kaum Eta dan Hinin.
f. Nyawa mereka hanya dihargai sepertujuh dari nyawa masyarakat lain. g. Mereka harus berjalan di tepi jalan.
h. Jendela rumah dilarang menghadap ke jalan.
Universitas Sumatera Utara
20
i. Tidak boleh menggunakan payung atau tutup kepala lainnya kecuali saat hujan.
j. Tidak diperbolehkan makan dan minum di kota k. Eta dianggap kotor, berbau, vulgar, tidak dapat dipercaya, berbahaya,
makhluk yang bukan manusia dan dianggap sebagai binatang. Tentang tempat yang ditinggali oleh kaum Eta dan Hinin
: “ Eta dan Hinin banyak tinggal di tempat yang telah ditentukan yaitu dengan kondisinya buruk
seperti yang dijelaskan berikut. Tempat di dekat sungai yang selalu terkena banjir dan luapan air sungai. Di lereng gunung yang curam dan di dataran tinggi yang
sering terkena resiko tanah longsor dan dengan pengairan yang buruk. Di gunung yang tinggi di sebelah selatan dan timur yaitu tempat yang hampir tidak mendapat
sinar matahari saat musim dingin. Serta dalam hal berpakaian pembatasan tersebut meliputi, saat keluar dari
desa, mereka dilarang memakai geta sejenis sendal dan zouri sendal jerami. Pada musim panas dan dingin pun mereka dibatasi memakai dua warna di kerah
dengan kain katun yaitu warna hijau dan hitam. Maka bisa dikatakan, Zaman Tokugawa memiliki andil yang besar selain
pengaruh Shinto dan Buddha terhadap awal mula pendiskriminasian kaum Eta dan Hinin. Hal ini juga yang ada pada pikiran masyarakat Jepang yang disurvey
oleh Management and Coordination Agency Policy Office of Regional Improvement pada tahun 1993. Survey ini dilakukan dengan melakukan interview
pada 60.000 orang buraku dan sebanyak 20.000 orang non buraku. Survey ini untuk melihat pengaruh dari Dowa Project project pemerintah untuk membangun
daerah yang ditinggali oleh kaum burakumin yang dilakukan sejak 1969.
Universitas Sumatera Utara
21
Pertanyaan dari survey ini adalah “Apakah asal usul dari distrik Dowa?” pilih satu dari enam pilihan. Mayoritas responden baik kaum buraku maupun non-
buraku memilih “politik” yaitu merujuk pada sistem feodal dibawah pemerintahan
Tokugawa. Dibawah pemerintahan Tokugawa, buraku yang dalam sejarah dikenal sebagai kaum Eta dan Hinin diposisikan sebagai kelas terendah dibawah yang
terendah, dan menghadapi dikriminasi dari berbagai aspek dalam kehidupan. Tabel 1. Origin Claims of the Buraku People
Ras Agama Pekerjaan Kemiskinan Politik
Lainnya Buraku
1.3 1.1
3.8 14.5
70.3 9.1
Nasional 9.9 1.5
12.6 9.7
55.1 11.3
2.2.2 Burakumin Pada Masa Restorasi Meiji 1868- 1945 1868 merupakan tahun besar bagi sejarah perkembangan bangsa Jepang.
Kekuasaan pemerintahan diserahkan kembali dari tangan Tokugawa kepada Kaisar. Meiji Tenno mengutarakan janji gokajonogoseimon. Tenno meningkatkan
kehidupan ekonomi dan politik dengan cara mencari ilmu ke seluruh dunia. Kemudian ibukota Edo diubah menjadi Tokyo, dan Kaisar pindah dari Kyoto ke
Tokyo Situmorang Hamzon 2011: 21. Dalam bukunya, Ruth Benedict 1979: 83 menganalisa bagaimana
Restorasi Meiji ini mulai berjalan. Pemerintahan memulai restorasi dengan mencabut hak atas pajak yang didapatkan oleh daimyo dari petani dan pemilik
tanah, 40 persen pajak yang tadinya untuk daimyo diserahkan ke pemerintahan. Dalam lima tahun berikutnya, semua ketidaksamaan yang sah antara kelas-kelas
Universitas Sumatera Utara
22
dihapuskan tanpa prosedur, lambang keluarga dan pakaian khusus yang menunjukan kasta dan kelas dilarang, bahkan kuncir harus dipotong. Begitu juga
dengan orang buangan diberi persamaan hak, hukum yang melarang pemindahan atas hak tanah dihapuskan, penghalang-penghalang yang memisahkan satu
wilayah dengan wilayah lainnya ditiadakan serta peniadaan Bhudisme. Kebijakan-kebijakan pada restorasi Meiji ini tidak diterima begitu saja.
Dalam rentang tahun 1868 hingga 1878 telah terjadi setidaknya 190 pemberontakan agraris. Para petani menentang pendirian sekolah-sekolah, wajib
militer, pengukuran tanah, pemotongan kuncir, pemberian persamaan hak pada kaum terbuang dan banyak aturan lain yang mengubah cara hidup mereka yang
lama. Di tahun 1871, pemerintahan Meiji mengeluarkan Emancipation Edict
yang menyatakan bahwa status Eta dan Hinin harus dihapuskan dan selanjutnya orang-orang ini harus diperlakukan sama baik dalam pekerjaan dan kehidupan
sosial sebagain orang biasa yang baru Shin Heimin. Kebebasan pada Restorasi Meiji ini tidak serta merta menghilangkan
hirarki yang ada dalam budaya Jepang. Perubahan-perubahan ini tidaklah mengacaukan kebiasaan-kebiasaan hirarkis. Kebiasaan itu mendapat tempat dan
kedudukan baru Ruth Benedict, 1979: 87. Maka muncullah sistem pembagian kelas masyarakat yang baru yaitu
Shimin Byoudou mengenai empat strata sosial. Keempat kelas tersebut bermaksud membedakan masyarakat berdasarkan kelas sosial. Dimana kelas teratas diisi oleh
keluarga Kaisar Kouzoku, bangsawan Kazoku, samurai Shizouku serta kelas terendah adalah rakyat jelata Heimin di mana dalam masa ini kaum eta dan hinin
Universitas Sumatera Utara
23
telah dimasukkan ke dalam kelas heimin, dan disebut sebagai shin heimin atau orang biasa baru.
Penyamarataan status ini ditolah oleh kaum petani, pedagang dan tukang. Mereka menolak untuk menjadi satu kelas dengan kaum eta dan hinin sehingga
sering terjadi permusuhan. Meski telah berada dalam satu kelas yang diakui dalam pemerintahan, kaum eta dan hinin tetap tersisih dan tinggal di desa yang terpencil
buraku.
2.3 Kepercayaan dan Konsep Kesucian di Jepang