Pendiskriminasian Dalam Pernikahan Diskriminasi Terhadap Masyarakat Burakumin Di Jepang Dewasa Ini

45 Menurut Buraku Liberation Research Institute laporan Oktober 1993 dibandingkan dengan populasi umum ada lebih sedikit pekerja kerah putih dan lebih pekerja kerah biru di antara buraku di setiap prefektur, dan rasio pekerja di bidang manufaktur lebih tinggi di antara buraku. Sebagai contoh. di Kyoto 12,9 dari orang-orang Buraku terlibat dalam administrasi pekerjaan, dari 21,9 dari populasi di Kyoto. Sebaliknya 43,5 dari orang buraku bekerja di bidang manufaktur, merupakan 35,9 dari populasi di Kyoto Buraku Liberation Research Institute 1993:6. Pekerjaan pemerintah tidak tertutup untuk Buraku seperti dulu. Buraku yang berpendidikan memegang posisi penting dan menjadi aktif dalam politik. Pada tahun 1993, 9,4 dari orang buraku bekrja pada pemerintah dan pekerjaan kota seperti tabel di atas. Pendapatan tahunan dari orang-orang buraku masih tetap sangat rendah dibandingkan dengan rata-rata nasional. Menurut survei yang dilakukan oleh Buraku Liberation Research Institute 1993, di Osaka 15 dari Buraku orang berpenghasilan kurang dari 1 juta yen per tahun. Merupakan 1 dari populasi umum.

3.3 Pendiskriminasian Dalam Pernikahan

Diskriminasi yang umumnya terjadi dalam dunia pernikahan kaum burakumin adalah penolakan. Penolakan mungkin tidak akan terjadi jika keturunan burakumin menikah dengan sesama burakumin. Namun, yang menjadi masalah adalah sat burakumin menikah dengan non-burakumin. Universitas Sumatera Utara 46 Ishikawa Hane 2003:148 mengatakan bahwa pada tahun 1993 berdasarkan survey yang dilakukannya didapatkan bahwa 60 orang tua di Jepang tidak ingin anaknya menikah dengan keturunan burakumin, mereka akan menentangnya. Sementara dari responden berusia muda terdapat 20 responden yang akan membatalkan pernikahan mereka jika diketahui calon istri atau suaminya adalah keturunan burakumin. Hal ini dapat dilihat bahwa pandangan negatif terhadap burakumin sebagian besar melekat pada golongan orang tua di Jepang. Anak muda pada umumnya tidak peduli dengan sejarah kelam tersebut. Mucks 2010:38 mengatakan saat ini burakumin banyak yang menyembunyikan status mereka pada masyarakat non-buakumin, keluarga bahkan pada anak-anaknya. Saat ini mungkin mudah untuk menemukan orang Jepang dan mengajukan pertanyaan dari apakah ada diskriminasi terhadap Burakumin dalam masyarakat modern, ia akan menginformasikan Anda bahwa masyarakat saat ini tidak ada niat buruk terhadap mereka. Tapi begitu ia ditanya tentang bagaiman jika ia memiliki seseorang buraku dalam keluarga, ia cenderung untuk langsung mengubah klaim sebelumnya. Seperti satu ibu rumah tangga berpendidikan di salah satu universitas di Tokyo benar-benar menolak menikahi putrinya dengan seorang pria buraku, alasannya adalah bahwa mereka kotor dan mereka tidak benar-benar Jepang Kristof, 1995. Oposisi dengan perkawinan antara burakumin dan non-burakumin adalah salah satu sikap negatif utama saat ini. Ada banyak contoh dari mertua menentang pernikahan, biasanya setelah menemukan latar belakang buraku melalui Universitas Sumatera Utara 47 investigasi. Generasi muda pada umumnya mengabaikan itu tapi tidak dengan keluarga lainnya. Sebagai hasilnya, awalnya hanya ketidaksetujuan perlahan bisa berubah menjadi diskriminasi parah. Seperti sebuah contoh pada kehidupan ibu rumah tangga yang berusia 34 tahun dan telah menikah dengan seorang pria non-buraku. Ia tidak pernah menginjakkan kaki di dalam rumah mertuanya selama 16 tahun. Suaminya jadi tidak diakui oleh orang tuanya dan pernikahan mereka tidak terdaftar dalam koseki keluarga mertuanya. Hal yang sama ketika mereka memiliki anak, kelahiran anak- anak tersebut juga tidak dicatat dalam koseki. Namun, saat anak-anaknya ingin sekolah, berdasarkan diskusi keluarga si mertua menyerah dan terdaftar anak-anak sebagai cucu mereka. Hal ini bukan berarti berakhirnya penolakan terhadapnya bahkan setelah kematian ayah mertuanya itu. Diskriminasi berlanjut pada kakak suaminya, Kakaknya bahkan terang-terangan mengucapkan hal-hal seperti Saya tidak pernah bisa menikah karena Anda dan Anda adalah penyebab kekotoran di keluarga ini”. Makian biasanya berlanjut dengan kata-kata sampah dan larangan untuk datang ke rumah keluarga itu lagi Kitaguchi, 1999: 50. Hal-hal seperti inilah yang membuat buraku harus menyembunyikan latar belakang dari teman-teman mereka, untuk menghindari prasangka lebih lanjut terhadap mereka dan anak mereka. Contoh ini jelas menunjukkan rasa frustrasi dari kaum burakumin pada umumnya. Peneliti lainnya mengklaim bahwa sebagian besar orang Jepang tidak tahu mengapa mereka melakukan diskriminasi terhadap Burakumin. Ito Takuya menjelaskan bahwa alasan mengapa mereka tidak dapat menjelaskan perilaku Universitas Sumatera Utara 48 diskriminatif mereka adalah karena mereka memproyeksikan mereka sendiri sebagai “bayangan” ke burakumin. Dalam istilah psikologi Jung, “bayangan” mengacu pada kompleks ketidaksadaran atau ego. Ada sesuatu dalam diri seseorang yang tidak ingin mengakui hal apapun tentang burakumin Ito, 2005. Selama Periode Meiji ketika Emansipasi Edict disahkan, ketika para petani frustrasi oleh kesulitan keuangan, pecahlah kerusuhan dan mereka menjadikan burakumin sebagai sarana dari menghilangkan frustrasi mereka. Dalam bukunya, Kadooka Nobuhiko membuat sketsa sampel konflik antara ayah dan anak, konflik tersebut mengenai pernikahan anaknya dengan wanita dari masyarakat buraku. Keluarga menghadapi dilema antara cinta dan citra masyarakat. Buku yang berdasarkan hasil wawancara tersebut menunjukkan sebuah dialog sebagai berikut: Anak : Ayah, saya ingin menikah . Ayah : Oh, ya Ini adalah kabar baik Dengan Hanako bukan? Dia adalah gadis yang baik Anak : Ya Ayah : Dia adalah seorang wanita yang baik Anda beruntung Anak : Ayah, dan ... saya harus memberitahu Anda, tentang ... Ayah : Apa: Anak : Tentang asalnya. Ayah : Apa itu? Anak : Dia dari masyarakat Buraku. Ayah : Oh, tidak, anakku Anak : Dia bilang dia ingin Anda tahu itu, sebelum kami menikah. Universitas Sumatera Utara 49 Ayah : Tidak, itu tidak mungkin Anak : Kenapa tidak mungkin? Ayah : Ini akan merusak reputasi keluarga kita Benar-benar, tidak ada Anak : Mengapa merusak keluarga kita? Ayah : Karena, darah keluarga kami tidak dapat dicampur dengan mereka Anak : Ini adalah cara kuno pemikiran. Salah keyakinan Ayah : Meskipun saya akan mengatakan OK, saudara-saudara kita pasti marah Ini dapat merusak reputasi mereka,juga. Apa kau mau menyebabkan kerugian apapun pada pernikahan dan pekerjaan saudara Anda? Anak : Anda tidak bisa memprediksi itu Ayah : Tidak ada, masyarakat tidak mudah. Saya tahu orang-orang Buraku melakukan gerakan hak asasi manusia yang kuat, dan saya mendengar beberapa dari mereka yang sangat menantang. Saya tidak ingin keluarga kita untuk terlibat dalam hal-hal yang rumit seperti Anak : Yah, beri kami kesempatan, Kami tidak berpikir Anda akan menjadi marah. Ayah : Siapa orang di bumi ini yang tetap menjaga diskriminasi konyol seperti ini ? saya kesal. Ayah : Ayah, itu Anda Dalam dialog di atas juga terlihat bagaimana terkadang pelaku diskriminasi sendiri tidak sadar bahwa mereka telah melakukannya.maslah dalam rumah tangga bukan hanya berdasarkan penolakan-peolakan pada awal pernikahan namun juga terjadi saat masa kehidupan berumahtangga. Universitas Sumatera Utara 50 Dalam http:blhrri.orgblhrri_eother008_e.html menyebutkan ketika seorang wanita buraku mencari nasihat atau rehabilitasi layanan untuk diskriminasi mungkin telah menderita pada saat perkawinan karena kekerasan dalam rumah tangga terutama dalam kaitannya dengan asal buraku. Dia tidak bisa mengharapkan untuk diberikan saran atau rehabilitasi oleh spesialis yang mungkin terlatih khusus untuk masalah buraku. Data statistik pada korban pelanggaran hak asasi manusia yang dipublikasikan oleh Departemen Kehakiman tidak termasuk data khusus untuk perempuan korban buraku. Survei dilakukan pada 11.265 wanita Buraku oleh Buraku Liberation League BLL di Saitama, Prefektur Kyoto, Osaka, Hyogo dan Nara prefektur untuk periode 2006-2010 mengungkapkan bahwa 20,4 dari perempuan itu merupakan korban dari kekerasan dalam rumah tangga. Survei lain yang dilakukan oleh BLL Osaka pada 2012 untuk mengetahui kondisi kehidupan keluarga single parent buraku mengungkapkan bahwa 321 dari 472, yaitu sebanyak 68,0, telah menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga. Beberapa dari mereka babak belur oleh suami non-buraku mereka meskipun fakta bahwa mereka telah menikah melawan oposisi yang kuat dari keluarga mereka. Universitas Sumatera Utara 51 BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan