23
telah dimasukkan ke dalam kelas heimin, dan disebut sebagai shin heimin atau orang biasa baru.
Penyamarataan status ini ditolah oleh kaum petani, pedagang dan tukang. Mereka menolak untuk menjadi satu kelas dengan kaum eta dan hinin sehingga
sering terjadi permusuhan. Meski telah berada dalam satu kelas yang diakui dalam pemerintahan, kaum eta dan hinin tetap tersisih dan tinggal di desa yang terpencil
buraku.
2.3 Kepercayaan dan Konsep Kesucian di Jepang
Agama adalah kepercayaan dan ritual yang berkaitan dengan keberadaan supranatural, kekuasaan, dan kekuatannya. Supranatural disini biasa disebut
dengan nama dewa, Tuhan, atau yang gaib. Agama dapat dipandang sebagai suatu sistem kepercayaan yang terpadu, yang berhubungan dengan hal-hal yang sakral
yakni hal-hal yang terpisah dan terlarang. Agama muncul karena orang-orang berusaha untuk memahami keadaaan
dan kejadian yang tidak bisa dijelaskan dengan mengacu pada pengalaman sehari- hari mereka. Mimpi waktu tidur pada masyarakat primitif dianggap mempunyai
makna dan itu harus diterjemahkan. Usaha ke arah menjelaskan mimpi itu membuat mereka sadar bahwa ada diri yang lain dalam tubuh mereka. Diri yang
lain itu hadir ketika orang sedang tidur. Ketika diri yang lain waktu tidur dan diri yang ada waktu sadar itu meninggalkan tubuh, maka orang yang bersangkutan
meninggal dunia. Kepercayaan seperti ini yang melahirkan ide tentang animisme. Animisme adalah agama primitif yang kemudian bisa berkembang menjadi
politeisme dan monoteisme.
Universitas Sumatera Utara
24
http:repository.usu.ac.idbitstream123456789171408Chapter20I.pdf.txt. Menurut Keiichi Yanagawa 1992 : 7 agama didasarkan pada tiga unsur
utama, yaitu: 1. Doktrin yang mengidentifikasi obyek dan sifat keagamaan. Ajaran sentral dari
agama adalah percaya pada Tuhan atau dewa atau roh-roh yang keberadaannya tidak bisa dilihat manusia.
2. Perkumpulan yang dibentuk oleh orang-orang yang berkepercayaan sama. Perkumpulan ini bisa berbentuk organisasi agama, gereja, atau jemaah.
3. Ibadah keagamaan dan ajaran keagamaan. Oleh karena itu suatu agama terdiri atas doktrin, yang pengikutnya harus percaya; organisasi para penganut agama
itu, dan kode ajaran yang memuat tingkah laku yang dikehendaki dari para
pengikutnya.
Masyarakat Jepang kuno telah mempunyai kebiasaan menyembah alam dan roh leluhur sepanjang sejarah bangsanya. Penyembahan-penyembahan seperti
ini disebut dengan shizenshukyo agama alam, Shomin shinko kepercayaan rakyat, Minkan Shinkou kepercayaan penduduk. Kepercayaan yang tidak
melembaga namun hidup di tengah-tengah masyarakat Jepang ini dimasuki oleh sebuah kepercayaan yang telah melembaga dari luar seperti Bukyo Budha,
Douyoujukyou konfuisus. Agama alam, rakyat dan agama yang telah melembaga ini akhirnya disebut dengan Shinto yaitu sebuah cara untuk bertuhan
Situmorang Hamzon 2011: 24. Anezaki Masaharu dalam Situmorang Hamzon mengatakan bahwa
masyarakat beragama Jepang tidak sampai kepada doktrin. Tetapi mereka hanya
Universitas Sumatera Utara
25
sampai kepada melaksanakan acara-acara saja atau ritus-ritus saja sebagai kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari.
Hal ini juga bisa terlihat pada status keanggotaan masyarakat Jepang dalam tiap-tiap kepercayaan. Menurut Badan Urusan Kebudayaan di tahun 1997
jumlah masyarakat Jepang yang mendaftar dalam berbagai kelompok keagamaan adalah 207.758.774 jiwa. Jumlah tersebut merupakan gabungan dari kelompok
Shinto sebanyak 102.213.787 49,2, Budha 91.583.843 44,1, Kristen 3,168.596 1,5 dan lain-lain 10.792.548 5.2. Berdasarkan angka-angka ini,
hampir dua pertiga dari orang Jepang memilki dua kelompok agama karena jumlah penduduk Jepang hanya 125.760.000 1996.
Sebagai kepercayaan asli Jepang yang dianut oleh sebagian besar masyarakatnya, Shinto berpengaruh besar dalam terciptanya stigma burakumin.
Baik Shinto maupun Budha di dalamnya terkandung konsep kesucian dan kekotoran. Shinto menekankan kesucian yang harus dijaga dalam jiwa dan tubuh
manusia baik ketika melaksanakan ritual keagamaan maupun dalam kehidupan sehari-hari. Sementara hal yang termasuk dalam kekotoran adalah hal yang terkait
dengan darah, kotoran, dan kematian. Keyakinan ini juga dianut oleh para penguasa yang turut menciptakan adanya kelas sosial dalam tatanan kehidupan
bermasyarakat di Jepang. Kaum Eta dan Hinin yang merupakan para pekerja yang berhubungan langsung dengan darah, daging dan kematian dianggap kotor dan
tercemar. Keyakinan di atas juga dipengaruhi oleh Buddhisme yang masuk pada
abad ke 6. Saat Budha masuk, Jepang di bawah sistem Kaisar kuno telah memiliki
Universitas Sumatera Utara
26
kelas masyarakat yang berdasarkan hal yang mulia dan tidak mulia. Dari zaman kuno hingga ke periode Chusei 1192-1603 sistem kemuliaan adalah hal yang
dominan Kan,1995:13. Sejak periode Chusei ke awal Tokugawa 1603-1867 pandangan mulia dan tidak mulia bercampur dengan pandangan suci dan tidak
suci. Hingga Budha mampu menggeser pandangan mulia dan tidak mulia tersebut menjadi pandangan suci dan tidak suci ketika masuk ke masa Tokugawa Noma
dan Nakaura, 1983: 210. Dibawah sistem Tokugawa orang yang najis atau tidak suci dihapuskan dalam anggota kelas sosial dan terisolasi dan dianggap di luar
sistem Kuroda, 1996.
2.4 Perkembangan Pembebasan Burakumin