b. Responsif terhadap pujian
Walaupun ia mungkin berpura-pura menghindari pujian, ia tidak dapat menyembunyikan antusiasmenya pada waktu menerima pujian.
c. Sikap Hiperkritis
Mereka tidak pandai dan tidak sanggup mengungkapkan penghargaan atau pengakuan pada kelebihan orang lain.
d. Pesimis
Menganggap tidak akan berdaya melawan persaingan yang merugikan dirinya.
Orang yang memiliki konsep diri negatif cenderung menghindari dialog
yang terbuka, dan bersikeras mempertahankan pendapatnya dengan berbagai justifikasi atau logika yang keliru.
2. Konsep Diri Positif
Konsep diri positif ditandai dengan : a.
Ia yakin akan kemampuannya mengatasi masalah; b.
Ia merasa setara dengan orang lain; c.
Ia menerima pujian tanpa rasa malu; d.
Ia menyadari, bahwa setiap orang mempunyai berbagai perasaan, keinginan dan perilaku yang tidak seluruhnya disetujui masyarakat;
e. Ia mampu memperbaiki dirinya karena ia sanggup mengungkapkan aspek-
aspek kepribadian yang tidak disenanginya dan berusaha mengubahnya. Menurut D.E. Hamachek, ada sebelas karakteristik konsep diri positif,
yaitu : a.
Ia menyakini betul-betul nilai-nilai dan prinsip-prinsip tertentu serta bersedia mempertahankannya, walaupun menghadapi pendapat kelompok
yang kuat. b.
Ia mampu bertindak berdasarkan penilaian yang baik tanpa merasa bersalah yang berlebihan, atau menyesali tindakannya jika orang lain tidak
menyetujui tindakannya. c.
Ia tidak menghabiskan waktu untuk mencemaskan apa yang terjadi besok, apa yang telah terjadi waktu lalu dan apa yang sedang terjadi waktu
sekarang. d.
Ia memiliki kenyakinan pada kemampuannya untuk mengatasi persoalan. e.
Ia merasa sama dengan orang lain walaupun terdapat perbedaan latar belakang keluarga, ataupun yang lain.
f. Ia sanggup menerima dirinya sebagai orang yang penting dan bernilai bagi
orang lain. g.
Ia dapat menerima pujian tanpa berpura-pura rendah hati, dan menerima penghargaan tanpa bersalah.
h. Ia cenderung menolak usaha orang lain untuk mendominasinya.
i. Ia sanggup mengaku kepada orang lain bahwa ia mampu merasakan
berbagai dorongan dan keinginan, dari kekecewaan yang mendalam sampai kepuasan yang mendalam pula.
Universitas Sumatera Utara
j. Ia mampu menikmati dirinya secara utuh dalam berbagai kegiatan yang
meliputi pekerjaan, permainan, pengungkapan diri yang kreatif, persahabatan, atau sekadae mengisi waktu.
k. Ia peka pada kebutuhan orang lain, pada kebiasaan sosial yang telah
diterima, dan terutama sekali pada gagasan bahwa ia tidak bisa bersenang- senang dengan mengorbankan orang lain.
Konsep diri positif menghasilkan pola perilaku komunikasi interpersonal
yang positif pula, yakni melakukan persepsi yang lebih cermat, dan mengungkapkan petunjuk-petunjuk yang membuat orang lain menafsirkan dengan
cermat pula.
2.2.2 Teori Disonansi Kognitif
Teori disonansi kognitif pertama kali dikemukakan oleh psikolog Leon Festinger pada tahun 1957. Menurut Festinger dalam Surip, 2011: 63, perilaku
seseorang dapat dijelaskan dari keinginan mendasar pada diri seseorang untuk selalu konsisten antara sikap yang telah ada dengan perilaku aktualnya. Kognisi
terkait dengan sikap atau perilaku yang dipegang seseorang yang terekam dalam pikirannya. Lebih lanjut Festinger mengemukakan, bahwa seseorang dimotivasi
untuk mengurangi ketidaknyamanan sebanyak mungkin, bahkan bila perlu mengubah sikap yang sudah dianutnya. Disonansi kognitif sebagian besar
merupakan teknik pembelaan diri yang dilakukan oleh seseorang untuk memperoleh harga diri. Untuk mendapatkannya seseorang harus memiliki
kemepuan beradaptasi dengan berbagai pilihan dan kemungkinan yang beragam. Istilah disonansi kognitif menurut Festinger berarti ketidaksesuain antara
kognisi sebagai aspek sikap dengan perilaku yang terjadi pada diri seseorang. Orang yang mengalami disonansi akan berupaya mencari dalih untuk mengurangi
disonansinya itu, Effendy,2003: 262. Dalam kamus komunikasi dissonance artinya “situasi psikologi yang tidak menyenangkan sebagai akibat dari
ketidakserasian antara dua unsur atau hal dalam suatu proses komunikasi M. Surip, 2011: 64. Secara defenitif, cognitive dissonance berasal dari dua suku kata,
yaitu cognitive dan dissonance. Cognitive merupakan knowledge pengetahuan, sedangkan dissonance dikatakan sebagai ketidakcocokan incongruity. Teori ini
mengemukakan bahwa keyakinan sesorang dapat berubah pada saat mereka sedang berada pada situasi konflik. Ini dapat terjadi karena pada dasarnya manusia
Universitas Sumatera Utara
didorong oleh keinginan untuk selalu berada dalam suatu keadaan psikologis yang seimbang konsonan. Dalam teori ini beranggapan bahwa dua elemen
pengetahuan yang merupakan hubungan yang disonan tidak harmonis apabila dengan mempertimbangkan dua elemen itu sendiri, pengamatan satu elemen akan
mengikuti elemen satunya Severin dan Tankard, 2008: 165. Teori disonansi kognitif ini dapat diasumsikan sebagai berikut M. Surip,
2011: 66: 1.
Teori ini banyak berhubungan dengan sikap, perubahan sikap, dan persuasi.
2. Keadaan inkonsistensi atau ketidakselarasan antara kognitif dan tindakan.
3. Perubahan sikap akan mudah terjadi apabila berada dalam ketidak
seimbangan kognitif diantara komponen sikap dalam diri individu. 4.
Ketidaksesuain antara kognisi sebagai aspek dengan perilaku yang terjadi pada diri seseorang.
5. Seseorang yang mengalami disonansi antara sikap dan perilakunya akan
mengubah salah satu apakah sikap ataukah perilaku. 6.
Keinginan mendasar pada diri seseorang untuk selalu konsisten antara sikap yang telah ada dengan perilaku aktualnya di langgar.
7. Ketidakkonsistenan antara kepercayaan atau tindakan yang menimbulkan
ketidaknyamanan. Beberapa konsekuensi yang lumayan menarik muncul dari teori disonansi,
khususnya di bidang-bidang pengambilan keputusan dan permainan peran role playing.
1. Pengambilan Keputusan