penanda baru yang kemudian memiliki petanda kedua dan membentuk tanda baru. Jadi, ketika suatu tanda yang memiliki makna konotasi kemudian berkembang
menjadi makna denotasi, maka makna denotasi tersebut akan menjadi mitos. Penulis menggunakan teori semiotik yang dikemukakan oleh Roland Barthes
untuk menganalisis bentuk dan makna ornamen pintu, atas atap, dan tiang penyangga pada Vihara Setia Dharma, Vihara Sanatha Maitreya, dan Vihara Thai Siong Li Lau
Cin.
2.3.2 Teori Fungsionalisme
Pengertian fungsi merujuk pada manfaat budaya bagi sesuatu. Fungsionalisme akan terkait dengan sifat dasar budaya manusia. Sifat–sifat tersebut
merupakan realitas budaya yang sulit diabaikan. Kehidupan budaya tidak jauh berbeda dengan organism hidup. Untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia
membutuhkan organisasi yang akan menciptakan budaya tertentu. Organisasi budaya tersebut sering dinamakan institusi. Konsep ini mengimplikasikan serangkain nilai
tradisional sehingga umat manusi menjadi bersatu dalam komunitas budaya. Karena itu, penelitian kebudayaan hendaknya dapat menunjuk kepada realitas lain yang
sejalan dengan hukum secara umum. Model analisis fungsionalisme yang dipelopori oleh Malinowski, telah
menawarkan pilar analisis tersendiri. Fungsionalisme budaya menghendaki agar peneliti mampu mengeksplorasi ciri sistematik budaya tertentu. Artinya, peneliti
harus mengetahui kaitan antara institusi dengan stuktur masyarakat sehingga membentuk sebuah kesatuan yang bulat.
Penelitian budaya secara fungsional menurut Malinowski 1944:87 mengatakan, “hendaknya mampu menganalisis kebutuhan dasar dan kebutuhan
Universitas Sumatera Utara
sekunder manusia”. Kedua kebutuhan tersebut berfungsi untuk mempertahankan kebudayaan dari kemusnahan.
Untuk meneliti fungsi ornamen arsitektur bangunan Vihara pada penelitian ini, penulis menggunakan teori fungsionalisme yang dikemukakan oleh Malinowski.
Teori fungsionalisme mengacu pada fungsi ornamen pintu, atas atap, dan tiang penyangga pada Vihara Setia Dharma, Vihara Sanatha Maitreya, dan Vihara Thai
Siong Li Lau Cin.
Universitas Sumatera Utara
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Indonesia memiliki banyak suku bangsa etnik yang tersebar di seluruh wilayahnya. Berbagai suku bangsa ini ada yang dipandang sebagai penduduk asal
Nusantara dan ada pula penduduk pendatang. Keduanya menyatu dalam sebuah negara bangsa tanpa membeda-bedakan asal-usul dan keturunan. Hal ini tercermin
dalam konsep bhinneka tunggal ika biar berbeda-beda tetapi tetap satu juga, yang didasari oleh filsafat kenegaraan bangsa kita yaitu Pancasila.
Masing–masing suku bangsa memiliki tradisi dan kebudayaan yang berbeda- beda, salah satunya masyarakat Tionghoa. Masyarakat Tionghoa adalah masyarakat
yang awalnya berada di dalam wilayah budaya Cina dan migrasi ke Indonesia. Mereka secara khas disebut dengan masyarakat Tionghoa. Istilah Tionghoa sesuai
hukum dan konstitusional tercantum dengan jelas pada penjelasan pasal 26 UUD 1945 “yang menjadi Warga Negara adalah orang–oramg bangsa Indonesia asli dan
orang–orang bangsa lain yang disahkan dengan undang–undang sebagai Warga Negara.” Kemudian dalam penjelasan pasal 26 tersebut ditegaskan bahwa “yang
dimaksud orang–orang bangsa lain, misalnya orang peranakan Belanda, Tionghoa, dan peranakan Arab, yang bertempat tinggal di Indonesia mengakui sebagai tanah
airnya dan bersikap setia kepada Negara Republik Indonesia, dapat menjadi warga Negara”.
Universitas Sumatera Utara