Novel Nilai Karakter Pada Novel Negeri Lima Menara Karya Ahmad Fuadi Dan Semester Pertama Di Malory Towers Karya Enid Blyton

Pengkajian Fiksi : Burhan Nurgiyantoro, tema theme adalah makna yang dikandung oleh sebuah cerita. 12 b. Tokoh Tokoh adalah para pelaku yang terdapat dalam sebuah fiksi. 13 Tokoh dalam fiksi merupakan ciptaan pengarang, meskipun dapat juga berupa gambaran dari orang-orang yang hidup di alam nyata. Oleh karena itu, dalam sebuah karya sastra tokoh hendaknya dihadirkan secara alamiah. Dalam arti tokoh-tokoh itu memiliki derajat lifelikenesss kesepertian. 14 Sama halnya dengan manusia yang ada dalam alam nyata, yang bersifat tiga dimensi, maka tokoh dalam suatu fiksi pun hendaknya memiliki dimensi fisiologis, sosiologis, dan psikologis. Dimensi fisiologis meliputi usia, jenis kelamin, keadaan tubuh, dan sebagainya. Dimensi sosiologis meliputi status sosial, pekerjaan, jabatan, peranan di dalam masyarakat, pendidikan, agama, pandangan hidup, ideologi, aktivitas sosial, organisasi, hobi, bangsa, suku, dan keturunan. Dimensi psikologis meliputi mentalitas, ukuran moral, keinginan dan perasaan pribadi, sikap dan kelakuan juga intelektualitasnya. Tokoh dalam fiksi biasanya dibedakan menjadi beberapa jenis. Sesuai dengan keterlibatannya dalam cerita dibedakan antara tokoh utama sentral dan tokoh tambahan periferal. Tokoh disebut sebagai tokoh sentral apabila memenuhi tiga syarat yaitu paling terlibat dengan makna atau tema, paling banyak berhubungan dengan tokoh lain, paling banyak memerlukan waktu penceritaan. 12 Burhan Nurgiyantoro. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 2005. h. 67. 13 Wiyatmi. Pengantar Kajian Sastra. Yogyakarta:Pustaka.2006. h. 30. 14 Ibid ., c. Alur Plot Menurut Sayuti dalam Wiyatmi, alur adalah rangkaian peristiwa yang disususun berdasarkan hubungan kausalitas. 15 Rangkaian peristiwa itu merupakan susunan yang membentuk suatu kesatuan yang utuh. Keutuhan itu juga menyangkut logis atau tidaknya peristiwa. Peristiwa yang, yang tidak disusun berdasarkan hukumkausalitas tidak dapat disebut alur, tetapi disebut cerita atau story. Secara garis besar alur dibagi ke dalam tiga hubungan kausalitas yaitu awal, tengah, dan akhir. Plot dapat dibedakan menjadi beberapa jenis. Sesuai dengan penyusunan peristiwa atau bagian-bagiannya, dikenal plot kronologis atau plot progresif, dan plot regresif atau flashback atau sorot balik. Dalam plot progresif peristiwa disusun: awal-tengah-akhir, sementara pada plot regresif alur disusun sebaliknya, misalnya: tengah-awal- akhir, atau akhir-awal-tengah. Dilihat dari akhir cerita dikenal plot terbuka dan plot tertutup. Plot disebut tertutup ketika sebuah cerita memiliki akhir penyelesaian yang jelas. d. Latar Menurut Abrams, latar atau setting disebut juga sebagai landasan tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakannya. 16 Dengan demikian, yang membangun suatu latar cerita adalah segala keterangan, petunjuk, pengacauan yang berkaitan dengan ruang, waktu, dan suasana terjadinya peristiwa dalam suatu karya sastra. Latar dapat dipisahkan sebagai berikut: 15 . Mochtar, Lubis. Teknik Mengarang. Jakarta:Balai Pustaka. 1960.h. 36. 16 Burhan Nurgiyantoro. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta:Gadjah Mada University Press. 2005. h. 216 1 Latar tempat Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi 17 . 2 Latar waktu Latar waktu berhubungan dengan masalah kapan terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi.Masalah kapan tersebut biasanya dihubungkan dengan masalah faktua, waktu yang ada kaitannya, atau dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah.Pengetahuan dan persepsi pembaca terhadap waktu sejarah itu kemudian dipergunakan untuk mencoba masuk ke dalam suasana cerita.Pembaca berusaha memahami dan menikmati cerita berdasarkan acuan waktu yang diketahuinya yang berasal dari luar cerita yang bersangkutan.Adanya persamaan perkembangan dan atau kesejalanan waktu tersebut juga dimanfaatkan untuk mengesani pembaca seolah-olah cerita itu sebagai sungguh-sungguh ada dan terjadi. Menurut Genett, masalah waktu dalam karya naratif, dapat bermakna ganda, di satu pihak menyaran pada waktu penceritaan, waktu penulisan cerita, dan dipihak lain menunjuk pada waktu dan urutan waktu yang terjadi dan dikisahkan dalam cerita 18 . 3 Latar sosial Latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Ia dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan 17 18 Wahyudi Siswanto. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Grasindo. 2008 h. 231. bersikap. Latar sosial juga berhubungan dengan status sosial tokoh yang bersangkutan misalnya rendah, menengah, atau atas. e. Amanat Amanat adalah gagasan yang mendasari karya sastra ; pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca atau pendengar. Di dalam karya sastra modern amanat ini biasanya tersirat; di dalam karya sastra lama pada umumnya amanat tersurat 19 . f. Sudut Pandang Sudut pandang atau point of view adalah cara pengarang memandang cerita. Sudut pandang mengandung arti hubungan di antara tempat pencerita berdiri dengan ceritanya. Hubungan antara pengarang dan cerita ada dua macam, yaitu hubungan pencerita “diaan” dengan ceritanya dan hubungan pencerita äkuan” dengan ceritanya. Sudut pandang dibedakan menjadi sudut pandang orang pertama dan orang ketiga. Masing-masing sudut pandang tersebut kemudian dibedakan lagi menjadi 20 : 1 Sudut pandang first person central atau akuan sertaan; 2 Sudut pandang first person peripheral atau akuan taksertaan; 3 Sudut pandang third person omniscient atau diaan maha-tahu; 4 Sudut pandang third person limited atau diaan terbatas. Pada sudut pandang first person central atau akuan sertaan, cerita disampaikan oleh tokoh utama, karena cerita dilihat dari sudut pandangnya, maka dia memakai kata ganti aku. Sementara itu, penggunaan sudut pandang akuan tak sertaan terjadi ketika 19 Siswanto, Wahyudi. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Grasindo. 2008. 20 Wiyatmi. Pengantar Kajian Sastra . Yogyakarta: Pustaka. 2006. pencerita adalah tokoh pembantu yang hanya muncul di awal dan di akhir cerita. Sementara itu, pada sudut pandang diaan maha tahu, pencerita berada di luar cerita dan menjadi pengamat yang mengetahui banyak hal tentang tokoh-tokoh lain. Hal ini berbeda dengan diaan terbatas, karena hanya tahu dan menceritakan tokoh yang menjadi tumpuan cerita saja. Penggunaan sudut pandang ini amat jarang ditemui karena dengan detail tokoh yang terbatas, cerita menjadi tidak hidup.

C. Kajian Bandingan

Sastra bandingan merupakan kajian sastra di luar batas sebuah negara dan tentang hubungan di antara sastra dengan bidang ilmu serta kepercayaan lain. 21 Patokan sastra bandingan seyogianya menitikberatkan pada dua hal. Pertama, bahasa dan konteks budaya yang dipergunakan. Kedua, asal usul kewarganegaraan negara pengarang yang dominan tinggal di mana. Metode sastra bandingan tidak jauh berbeda dengan metode kritik sastra, yang objeknya lebih dari satu karya. Penekanan sastra bandingan adalah pada aspek kesejarahan teks. Menurut Yapar dalam bukuMetodologi Penelitian yang ditulisSuwardi Andaswara sastra bandingan bersifat positifistik. 22 Kajiannya bercorak binari duaan dan bertumpu pada rapports defaits artinya perhubungan faktual antara dua buah teks yang diteliti secara pasti. Kegiatan yang dilakukan adalah menganalisis, menafsirkan, dan menilai. Karena objeknya lebih dari satu, setiap objek harus ditelaah, barulah hasil tersebut diperbandingkan. Sementara itu, menurut Sapardi Djoko Darmono dalam bukunya yang berjudul Pegangan Penelitian Sastra Bandingan penelitian yang 21 Suwardi, Endaswara. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta:Center for Academic Publishing Service. 2013. h. 136. 22 Ibid. , h. 140. membicarakan dua karya terjemahan dapat dibandingkan tetapi hanya membicarakan masalah tema dan sama sekali tidak bersangkut-paut dengan stilistika. 23 Dengan menggunakan terjemahan, seharusnya masih bisa membanding-bandingkan kecendrungan tematik yang ada dalam karya-karya yang dibandingkan. Pada novel Negeri Lima Menara dan Semester Pertama di Malory Towers , tema yang dibandingkan adalah pendidikan karakter dalam kedua novel tersebut. 1. Perbandingan Berdasarkan Paradigma Pendidikan Karakter Secara sederhana paradigma dapat diartikan sebagai kacamata atau alat pandang. Sedangkan secara akademis menurut Fakih seperti yang dikutip oleh Bagus Mustakim dalam bukunya yang berjudul Pendidikan Karakter Membangun Delapan Karakter Emas Menuju Indonesia Bermartabat menjelaskan bahwa paradigma merupakan konstelasi teori, pendekatan, serta prosedur yang dipergunakan oleh suatu nilai dan tema pemikiran. 24 Konstelasi ini dikembangkan dalam rangka memahami kondisi sejarah dan sosial untuk memberikan kerangka konsepsi dalam memberi makna terhadap realitas. . Paradigma menjadi tempat berpijak dalam melihat suatu realitas.Kekuatan paradigma terletak pada kemampuannya membentuk realitas yang dilihat, menemukan masalah, serta menyelesaikan masalah itu. Pendidikan karakter yang dipraktikkan dalam sejarah umat manusia memiliki teori, pendekatan, serta prosedur khusus, yang menghasilkan pola pendidikan yang berbeda-beda. Paradigma itu digunakan untuk mengkonstruksi suatu praktik pendidikan yang pada 23 Sapardi,DjokoDamono. PeganganPenelitianSastraBandingan. Jakarta: PusatBahasa. 2005. h. 12 24 Bagus, Mustakim. Pendidikan Karakter Membangun Delapan Karakter Emas Menuju Indonesia Bermartabat. Yogyakarta: Samudera Biru. 2011. H. 37 akhirnya melahirkan realitas yang berbeda-beda sesuai karakter yang ingin dibangun. Berdasarkan karakter tersebut maka pendidikan karakter digolongkan kepada paradigma berikut: a. Paradigma fundamentalis Fundamentalis menurut KBBI adalah paham yang cenderung untuk memperjuangkan sesuatu secara radikal. 25 Sementara menurut Bagus Mustakim dalam bukunya yang berjudul Pendidikan Karakter Membangun Delapan Karakter Emas Menuju Indonesia Bermartabat menjelaskan bahwa paradigma fundamentalis dibangun oleh tradisi agama 26 . Paradigma ini mendasar proses pendidikan karakter pada kebenaran yang diwahyukan Tuhan. Karakter yang dibangun adalah karakter manusia yang patuh dan taat kepada nilai-nilai kebaikan yang mutlak dalam tradisi keagaamaan. Paradigma fundamentalis membimbing peserta sekolah ke arah kepatuhan terhadap Tuhan, melestarikan tradisi-tradisi yang bersumber dari wahyu Tuhan, sekaligus menciptakan generasi- generasi baru penyampai wahyu Tuhan. Sekolah melakukan misi itu dengan jalan memberikan pengetahuan-pengetahuan tentang Tuhan, tatacara peribadatan kepada Tuhan, serta hidup berdasarkan aturan dan keinginan Tuhan. Sekolah berparadigma fundamentalis mengembangkan proses pembelajarannya secara dogmatis dan doktriner. Paradigma ini menekankan peran sentral pelatihan rohaniah sebagai landasan pembangunan karakter yang tepat. Guru ditempatkan sebagai pusat belajar dan dianggap sebagai pihak yang paling mengetahui 25 Pusat Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ke-4. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2008. 26 Opcit. h. 38, kehendak Tuhan. Siswa diharuskan menerima seluruh kebenaran yang disampaikan guru dengan penuh keyakinan. b. Paradigma konservatif Konservatif menurut KBBI adalah paham politik yang ingin mempertahankan tradisi dan stabilitas sosial, melestarikan pranata yang sudah ada, menghendaki perkembangan setapak semi setapak, serta menantang perubahan yang radikal. 27 Sementara menurut Bagus Mustakim dalam bukunya yang berjudul Pendidikan Karakter Membangun Delapan Karakter Emas Menuju Indonesia Bermartabat menjelaskan bahwa konservatif pada dasarnya adalah posisi yang mendukung ketaatan terhadap lembaga-lembaga dan proses-proses budaya yang sudah teruji oleh waktu. 28 Liberalisme Eropa yang dibangun di atas humanism dan modernisme mewarisi sifat-sifat konservatif ini. Lembaga dan proses budaya yang dijadikan orientasi dalam liberalisme bukanlah wahyu sebagaimana dalam paradigma fundamentalis, melainkan konstruksi sosial dan budaya modern yang terbentuk oleh modernism Barat. Budaya modern dibangun di atas humanism dan rasionalisme modern yang memposisikan manusia sebagai pusat realitas.Manusia dipandang sebagai makhluk yang memiliki bakat, kapasitas, dan potensi manusia, sebagai landasan pembangunan karakter yang tepat. Dalam pandangan modernis Barat, budaya modern ini dinilai sebagai budaya unggul dan dominan di antara kebudayaan-kebudayaan yang lain. Tugas guru, dalam pembelajaran konservatif, bertindak sebagai pembimbing. Guru membimbing siswa agar dapat 27 Pusat Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ke-4. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2008. 28 Ibid., h. 39