Faktor-faktor yang Mempengaruhi Ibu Dalam Pemberian Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) Dini Pada Bayi 6-24 Bulan di Kelurahan Pematang Kandis Bangko, Kabupaten Merangin, Jambi Tahun 2010

(1)

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI IBU DALAM PEMBERIAN MAKANAN PENDAMPING ASI (MP-ASI) DINI PADA BAYI 6-24 BULAN DI KELURAHAN PEMATANG KANDIS BANGKO, KABUPATEN MERANGIN,

JAMBI TAHUN 2010

Oleh:

PERNANDA SELPIA SU’AIDI 070100099

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2010


(2)

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI IBU DALAM PEMBERIAN MAKANAN PENDAMPING ASI (MP-ASI) DINI PADA BAYI 6-24 BULAN DI KELURAHAN PEMATANG KANDIS BANGKO, KABUPATEN MERANGIN,

JAMBI TAHUN 2010

“Karya Tulis Ilmiah ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh kelulusan Sarjana Kedokteran”

Oleh:

PERNANDA SELPIA SU’AIDI 070100099

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2010


(3)

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Ibu Dalam Pemberian Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) Dini Pada Bayi 6-24 Bulan di Kelurahan Pematang Kandis Bangko, Kabupaten Merangin, Jambi Tahun 2010

Nama : Pernanda Selpia Su’aidi NIM : 070100099

Medan, 10 Desember 2010 Dekan

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

(Prof.dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD-KGEH) NIP: 19540220 198011 1 001

Pembimbing

( dr. Zaimah Z Tala Sp.GK ) NIP: 19670505 199203 2 001

Penguji I

( dr. Murniati Manik Msc, Sp.KK ) NIP: 19530719 198003 2 001

Penguji II

( Neni Dwi A Lubis SP, Msi ) NIP: 19760410200312 2 002


(4)

ABSTRAK

Untuk mencapai tumbuh kembang optimal, WHO/UNICEF telah merekomendasikan di dalam Global Strategy for Infant and Young Child Feeding, empat hal penting, dimana salah satunya adalah memberikan makanan pendamping ASI (MP-ASI) sejak bayi berusia 6 bulan sampai 24 bulan Namun kenyataan dilapangan, pemberian MP-ASI dini masih sangat tinggi. Hal ini tentu saja merugikan, karena akan menyebabkan gangguan pencernaan pada bayi, batuk, pilek, dan reaksi alergi serta berbagai penyakit infeksi pada bayi, yang mengakibatkan mereka menderita malnutrisi.

Untuk itu penelitian ini dilaksanakan yaitu untuk mencari tahu faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi Ibu dalam pemberian MP-ASI dini. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik dengan desain cross-sectional yang dilakukan pada Ibu yang mempunyai bayi berusia 6-24 bulan. Pengumpulan data dilakukan melalui pembagian kuesioner kepada 106 orang sampel yang dipilih dengan metode simple random sampling dalam kurun waktu Juli hingga Oktober 2010. Analisis data dilakukan dengan menggunakan uji chi square dan Regresi Logistik Berganda untuk mencari faktor mana yang paling dominan.

Hasil Penelitian menunjukkan pemberian MP-ASI dini cukup rendah yaitu sebesar 48%. Tidak ditemukan hubungan antara pekerjaan dan pendidikan terhadap pemberian MP-ASI dini. Ditemukan dua faktor yang dominan terhadap pemberian MP-ASI dini yaitu pengetahuan Ibu tentang MP-ASI ( p = 0,002, OR = 3,847, CI = 1,627 – 9,094) Artinya Ibu yang berpengetahuan baik, mempunyai kemungkinan untuk tidak memberikan MP-ASI dini sebesar 3,847 kali. Dan pemberian ASI pertama kali ( p = 0,011, OR = 3,241, CI = 1,302 – 8,066). Hal ini menyaratkan bahwa Ibu yang menyusui bayinya kurang dari 1 jam pertama pasca kelahiran bayi, mempunyai kemungkinan untuk tidak memberikan MP-ASI dini sebesar 3,241 kali Walaupun angka pemberian MP-ASI dini masih tergolong rendah, masih diperlukan peran berbagai pihak secara komprehensif dalam mendukung pemberian MP-ASI pada bayi yang lebih baik.


(5)

ABSTRACT

To achieve optimal growth and development, WHO / UNICEF have recommended in the Global Strategy for Infant and Young Child Feeding, There are four important things, which is one of them is to provide breast milk supplementary feeding (MP-ASI) since babies aged 6 months to 24 months, but in the reality , the giving of early breast milk supplementary feeding (MP-ASI) is still very high. This is certainly detrimental, because it would cause digestive disorders in infants, coughs, colds, and some allergic reactions also other infectious diseases in infants, which resulted in them suffering from malnutrition.

The aim of this study is to find out factors that affecting the mother in giving early MP-ASI. The method is descriptive analytic study is cross-sectional design conducted in the mother who has babies aged 6-24 months. Data collected through distribution of questionnaires to a selected sample of 106 people with simple random sampling method in the period July to October 2010. Data analysis was performed using chi square test and Multiple Logistic Regression.

Research results showed an early giving of MP-ASI is quite low about 48%. There is no relationship between employmen and education to early giving of breast milk supplementary feeding. There are two dominant factors of early breast milk supplementary feeding that is the knowledge of the mother about the MP-ASI means that a knowledgeable good mother, has the possibility to not give the MP-ASI about 3.847 times (p = 0.002, OR = 3.847, CI = 1.627 to 9.094) and first time of breastfeeding (p = 0.011, OR = 3.241, CI = 1.302 - 8.066). This means Mother who doing breastfeeding lesst than 1 hour after delivery have a possibility about 3,241 times not to giving her baby early breastmilk supplementary feeding. Altough the rate of early giving brest milk supplementary feeding is quite low, still needed a comprehensive role from various parties to support a better practice of breast milk supplementary feeding to baby.

Key Word : early breastmilk supplementary feeding, breastmilk, knowledge, chi square, logistic regresion.


(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya yang begitu besar sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan laporan hasil penelitian ini. Sebagai salah satu area kompetensi dasar yang harus dimiliki oleh seorang dokter umum, laporan hasil penelitian ini disusun sebagai rangkaian tugas akhir dalam menyelesaikan pendidikan di program studi Sarjana Kedokteran, Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah turut serta membantu penulis menyelesaikan laporan hasil penelitian ini, diantaranya:

1. Kepada Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD-KGEH selaku dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

2. Kepada dosen pembimbing penulisan penelitian ini, Ibu dr. Zaimah Z Tala SpGK, yang dengan sepenuh hati telah meluangkan segenap waktu untuk membimbing dan mengarahkan penulis mulai dari awal penyusunan proposal penelitian, pelaksanaan di lapangan hingga selesainya laporan hasil penelitian ini. Juga kepada Ibu dr. Murniati Manik Msc, SpKK dan Ibu Neni Dwi Aprianti Lubis Sp, Msi selaku dosen penguji yang telah memberikan saran dan masukan yang membangun untuk penelitian ini.

3. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada dr. Guido Muhammad Solihin Sp.An yang telah menjadi dosen penasihat akademik penulis selama menjalani pendidikan di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. 4. Untuk semua motivasi, cinta dan do’a yang dikirimkan oleh Ayahanda Drs. H.

Su’aidi Kasim dan Ibunda Hj. Ermanilis Spd, MM, serta Adinda Lively Sergeoneri Su’aidi dan Brelankia Alka Amegrid penulis ucapkan terimakasih yang tiada hingga.

5. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada seluruh teman-teman penulis, khususnya Tri Kurniawati, Eri, Ira Nola Lingga, Dini Feduyasih,


(7)

Andika Pradana, Ayuca Zarry, Annete Regina, Mirzal Fuadi, Suci Darmawati, Pelangi Windarini, Endah Rahmadani, Mutiara Aini yang turut memberikan motivasi dan dukungan bagi penulis untuk merampungkan penelitian ini. Serta kepada seluruh pihak-pihak, khususnya seluruh responden penelitian, yang telah banyak berjasa dalam membantu penulis menyelesaikan penulisan laporan hasil penelitian ini. Hanya Allah SWT yang mampu memberikan balasan terbaik atas segalanya.

Cakupan belajar sepanjang hayat dan mengembangkan pengetahuan baru, dalam area kompetensi KIPDI-3, telah memotivasi penulis untuk melaksanakan penelitian yang berjudul “Faktor-faktor yang Mempengaruhi Ibu Dalam Pemberian MP-ASI Dini Pada Bayi 6-24 bulan di Kelurahan Pematang Kandis Bangko, Kabupaten Merangin, Jambi” ini. Semoga penelitian ini dapat memberikan sumbangsih bagi perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya di bidang ilmu kedokteran.

Penulis menyadari bahwa penulisan laporan hasil penelitian ini masih belum sempurna, baik dari segi materi maupun tata cara penulisannya. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi perbaikan laporan hasil penelitian ini di kemudian hari.

Medan, 10 Desember 2010


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PENGESAHAN ... i

ABSTRAK ... ii

ABSTRACT ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan Penelitian ... 3

1.4 Manfaat Penelitian ... 4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1. Makanan Pendamping ASI ... I5 2.1.1. Syarat Pemberian Makanan Pendamping AS ... I5 2.1.2. Jenis MP-ASI dan Waktu Pemberian ... 9

2.1.3. Kerugian Potensial MP-ASI dini ... 11

2.1.4. Faktor-faktor yang mempengaruhi pemberian MP-ASI dini ... 14

2.1.5. Saran-saran untuk pengenalan makanan Tambahan ... 23

2.2. Perilaku ... 24

2.2.1. Faktor Predisposisi ... 25

2.2.2. Faktor Pendukung ... 25

2.2.3. Faktor Pendorong ... 25

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ... 27

3.1. Kerangka Teori ... 27

3.2. Kerangka Konsep ... 28

3.3. Definisi Operasional ... 29

3.4. Hipotesis ... 30

BAB 4 METODE PENELITIAN ... 31

4.1. Jenis Penelitian... 31

4.2. Waktu dan Tempat Penelitian ... 31

4.3. Populasi dan Sampel ... 31

4.3.1. Populasi ... 31

4.3.2. Sampel ... 31


(9)

4.5. Metode Pengolahan dan Analisis Data ... 34

BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 35

5.1. Gambaran Umum Daerah Penelitian ... 35

5.1.1. Keadaan Geografis ... 35

5.1.2. Karakteristik Penduduk ... 35

5.1.3. Sarana Kesehatan ... 37

5.2. Analisis Univariat & Bivariat ... 37

5.2.1. Umur & Pendidikan ... 38

5.2.2. Pekerjaan ... 39

5.2.3. Pengetahuan ... 40

5.2.4. Peran Petugas Kesehatan ... 42

5.2.5. Pemberian ASI Pertama ... 44

5.2.6. Praktik Pemberian MP-ASI ... 45

5.3. Analisis Multivariat ... 47

5.5. Pembahasan ... 49

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 56

5.1. Kesimpulan ... 56

5.2. Saran ... 56

DAFTAR PUSTAKA ... 58 LAMPIRAN


(10)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

Tabel 2.1. Nilai Gizi MP-ASI ... 8

Tabel 4.1. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas ... 33

Tabel 5.1. Jumlah Penduduk Menurut Agama dan Kepercayaan ... 36

Tabel 5.2. Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Usia ... 36

Tabel 5.3. Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan ... 36

Tabel 5.4. Jumlah Penduduk Menurut Pekerjaan ... 37

Tabel 5.5. Distribusi Responden Menurut Umur... 38

Tabel 5.6. Distribusi Responden Menurut Pendidikan ... 38

Tabel 5.7. Hubungan Pendidikan dengan Pemberian MP-ASI ... 39

Tabel 5.8. Distribusi Responden Menurut Pekerjaan ... 39

Tabel 5.9. Hubungan Pekerjaan dengan Pemberian MP-ASI ... 40

Tabel 5.10. Distribusi Responden Menurut Tingkat Pengetahuan ... 40

Tabel 5.11. Hubungan Pengetahuan dengan Pemberian MP-ASI ... 41

Tabel 5.12. Distribusi Pemberi Informasi Tentang MP-ASI... 43

Tabel 5.13. Distribusi Responden Menurut Peran Petugas ... 43

Tabel 5.14. Hubungan Peran Petugas dengan Pemberian MP-ASI ... 44

Tabel 5.15. Distribusi Responden Menurut Waktu Pemberian ASI ... 44

Tabel 5.16. Hubungan Pemberian ASI Pertama kali dengan MP-ASI ... 45

Tabel 5.17. Distribusi Pemberian MP-ASI ... 46

Tabel 5.18. Distribusi Usia Pemberian MP-ASI ... 46

Tabel 5.19 Distribusi Jenis MP-ASI ... 47

Tabel 5.20 Distribusi Alasan Pemberian MP-ASI ... 47

Tabel 5.21. Hasil Uji Regresi Logistik ... 48

Tabel 5.22. Hasil Analisis Model Akhir ... 48


(11)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman Gambar 3.1 Kerangka Teori Faktor-faktor yang mempengaruhi

Prilaku Kesehatan ... 27 Gambar 3.2. Kerangka Konsep Penelitian... 28


(12)

DAFTAR LAMPIRAN LAMPIRAN 1 Daftar Riwayat Hidup

LAMPIRAN 2 Lembar Penjelasan

LAMPIRAN 3 Lembar Pernyataan Persetujuan Setelah Penjelasan (Informed Consent) Kesediaan Mengikuti Penelitian LAMPIRAN 4 Kuesioner Penelitian

LAMPIRAN 5 Data Induk

LAMPIRAN 6 Output Data Hasil Penelitian LAMPIRAN 7 Lembar Ethical Clearence LAMPIRAN 8 Surat Izin Penelitian


(13)

ABSTRAK

Untuk mencapai tumbuh kembang optimal, WHO/UNICEF telah merekomendasikan di dalam Global Strategy for Infant and Young Child Feeding, empat hal penting, dimana salah satunya adalah memberikan makanan pendamping ASI (MP-ASI) sejak bayi berusia 6 bulan sampai 24 bulan Namun kenyataan dilapangan, pemberian MP-ASI dini masih sangat tinggi. Hal ini tentu saja merugikan, karena akan menyebabkan gangguan pencernaan pada bayi, batuk, pilek, dan reaksi alergi serta berbagai penyakit infeksi pada bayi, yang mengakibatkan mereka menderita malnutrisi.

Untuk itu penelitian ini dilaksanakan yaitu untuk mencari tahu faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi Ibu dalam pemberian MP-ASI dini. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik dengan desain cross-sectional yang dilakukan pada Ibu yang mempunyai bayi berusia 6-24 bulan. Pengumpulan data dilakukan melalui pembagian kuesioner kepada 106 orang sampel yang dipilih dengan metode simple random sampling dalam kurun waktu Juli hingga Oktober 2010. Analisis data dilakukan dengan menggunakan uji chi square dan Regresi Logistik Berganda untuk mencari faktor mana yang paling dominan.

Hasil Penelitian menunjukkan pemberian MP-ASI dini cukup rendah yaitu sebesar 48%. Tidak ditemukan hubungan antara pekerjaan dan pendidikan terhadap pemberian MP-ASI dini. Ditemukan dua faktor yang dominan terhadap pemberian MP-ASI dini yaitu pengetahuan Ibu tentang MP-ASI ( p = 0,002, OR = 3,847, CI = 1,627 – 9,094) Artinya Ibu yang berpengetahuan baik, mempunyai kemungkinan untuk tidak memberikan MP-ASI dini sebesar 3,847 kali. Dan pemberian ASI pertama kali ( p = 0,011, OR = 3,241, CI = 1,302 – 8,066). Hal ini menyaratkan bahwa Ibu yang menyusui bayinya kurang dari 1 jam pertama pasca kelahiran bayi, mempunyai kemungkinan untuk tidak memberikan MP-ASI dini sebesar 3,241 kali Walaupun angka pemberian MP-ASI dini masih tergolong rendah, masih diperlukan peran berbagai pihak secara komprehensif dalam mendukung pemberian MP-ASI pada bayi yang lebih baik.


(14)

ABSTRACT

To achieve optimal growth and development, WHO / UNICEF have recommended in the Global Strategy for Infant and Young Child Feeding, There are four important things, which is one of them is to provide breast milk supplementary feeding (MP-ASI) since babies aged 6 months to 24 months, but in the reality , the giving of early breast milk supplementary feeding (MP-ASI) is still very high. This is certainly detrimental, because it would cause digestive disorders in infants, coughs, colds, and some allergic reactions also other infectious diseases in infants, which resulted in them suffering from malnutrition.

The aim of this study is to find out factors that affecting the mother in giving early MP-ASI. The method is descriptive analytic study is cross-sectional design conducted in the mother who has babies aged 6-24 months. Data collected through distribution of questionnaires to a selected sample of 106 people with simple random sampling method in the period July to October 2010. Data analysis was performed using chi square test and Multiple Logistic Regression.

Research results showed an early giving of MP-ASI is quite low about 48%. There is no relationship between employmen and education to early giving of breast milk supplementary feeding. There are two dominant factors of early breast milk supplementary feeding that is the knowledge of the mother about the MP-ASI means that a knowledgeable good mother, has the possibility to not give the MP-ASI about 3.847 times (p = 0.002, OR = 3.847, CI = 1.627 to 9.094) and first time of breastfeeding (p = 0.011, OR = 3.241, CI = 1.302 - 8.066). This means Mother who doing breastfeeding lesst than 1 hour after delivery have a possibility about 3,241 times not to giving her baby early breastmilk supplementary feeding. Altough the rate of early giving brest milk supplementary feeding is quite low, still needed a comprehensive role from various parties to support a better practice of breast milk supplementary feeding to baby.

Key Word : early breastmilk supplementary feeding, breastmilk, knowledge, chi square, logistic regresion.


(15)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Gizi memegang peranan penting dalam siklus hidup manusia. Kekurangan gizi pada ibu hamil dapat menyebabkan Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) dan dapat pula menyebabkan penurunan tingkat kecerdasan. Pada bayi dan anak, kekurangan gizi akan menimbulkan gangguan pertumbuhan dan perkembangan yang apabila tidak diatasi secara dini dapat berlanjut hingga dewasa (Soetjiningsih, 1995).

Untuk mencapai tumbuh kembang optimal, di dalam Global Strategy for Infant and Young Child Feeding, WHO/UNICEF merekomendasikan empat hal penting yang harus dilakukan yaitu; pertama memberikan air susu ibu kepada bayi segera dalam waktu 30 menit setelah bayi lahir, kedua memberikan hanya air susu ibu (ASI) saja atau pemberian ASI secara eksklusif sejak lahir sampai bayi berusia 6 bulan, ketiga memberikan makanan pendamping air susu ibu (MP-ASI) sejak bayi berusia 6 bulan sampai 24 bulan, dan keempat meneruskan pemberian ASI sampai anak berusia 24 bulan atau lebih. Disamping itu juga MP ASI disediakan berdasarkan bahan lokal bila memungkinkan, MP ASI harus mudah dicerna, harus disesuaikan dengan umur dan kebutuhan bayi dan MP ASI harus mengandung kalori dan mikronutrien yang cukup ( Dinkes, 2006 ).

Meski demikian perkembangan pelaksanaan dilapangan menunjukan banyaknya pelanggaran yang merenggut hak bayi atas ASI eksklusif enam bulan tersebut yaitu dengan menjejali bayi yang baru lahir dengan produk makanan pendamping ASI, sehingga ketika akan disusui oleh ibunya si bayi menolak. Berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi nasional (Susenas) tahun 2002, terdapat banyak Ibu yang memberikan makanan terlalu dini kepada bayinya, kemudian sebanyak 32% Ibu memberikan makanan tambahan kepada bayi berumur 2 – 3 bulan, seperti bubur nasi, pisang, dan 69% terhadap bayi berumur 4 – 5 bulan .Selain itu, dari penelitian yang dilakukan di daerah pedesaan Kabupaten Wonosobo, provinsi Jawa Tengah, ditemukan bahwa praktek pemberian makan pada bayi sebelum usia 1 bulan


(16)

mencapai 32,4% dan pada usia tersebut didapatkan 66,7% jenis makanan yang diberikan adalah pisang (Litbangkes, 2003). Sedangkan pemberian ASI eksklusif pada bayi di bawah usia dua bulan berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2006-2007 hanya mencakup 67% dari total bayi yang ada. Persentase tersebut menurun seiring dengan bertambahnya usia bayi, yakni, 54% pada bayi usia 2-3 bulan dan 19% pada bayi usia 7-9. Yang lebih memprihatinkan, 13% bayi di bawah dua bulan telah diberi susu formula dan satu dari tiga bayi usia 2-3 bulan telah diberi makanan tambahan ( Sentra Laktasi Indonesia, 2010 ).

Pada saat bayi tumbuh dan menjadi lebih aktif, akan mencapai usia tertentu ASI saja tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan nutrisi anak. Dengan demikian, makanan tambahan diberikan untuk mengisi kesenjangan antara kebutuhan nutrisi total pada anak dengan jumlah yang didapatkan dari ASI . Pada usia enam bulan pencernaan bayi mulai kuat. Pemberian makanan pendamping ASI harus setelah usia enam bulan bulan ( Sentra Laktasi Indonesia, 2010 ).

Secara teoritis diketahui bahwa pemberian MP ASI terlalu dini pada anak dapat menyebabkan gangguan pencernaan pada bayi seperti diare, konstipasi, muntah, dan alergi. Disamping itu akan memicu terjadinya obesitas, hipertensi, dan penyakit jantung koroner ( Nadesul, 2005 ). Penelitian yang dilakukan Anies Irawati dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi dan Makanan, Departemen Kesehatan, diperoleh data bahwa 50% bayi di Indonesia sudah mendapatkan MP-ASI pada umur kurang dari satu bulan. Bahkan, pada umur 2 – 3 bulan, bayi sudah mendapatkan makanan padat. Dan bayi bayi yang mendapatkan MP ASI dini lebih banyak terserang diare, batuk- pilek, alergi, dan berbagai penyakit infeksi yang menyebabkan mereka menderita kurang gizi ( Malnutrisi ) ( Ayahbunda, 2006 ).

Banyak faktor yang melatar belakangi pemberian MP-ASI dini. Teori yang erat kaitannya dengan prilaku yang berhubungan dengan pemberian MP-ASI adalah teori yang dikemukakan oleh Green (1993). Greeen mengemukakan analisisnya tentang faktor prilaku ( behaviour causes ) dan faktor diluar prilaku ( non behaviour causes ) yang selanjutnya prilaku itu sendiri terbentuk dari 3 faktor yaitu faktor predisposisi, faktor pendukung, dan faktor pendorong.


(17)

Di wilayah Kelurahan Pematang Kandis Bangko, Kabupaten Merangin, Jambi sendiri, belum ada data tentang prilaku pemberian MP-ASI ini. Namun cakupan pemberian ASI Eksklusif menurut data Puskesmas setempat yaitu sebesar 52%, hal ini menyaratkan bahwa masih ada praktik pemberian MP-ASI dini pada bayi < 6 bulan.

Hal inilah yang melatarbelakangi penulis untuk mengetahui mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi Ibu dalam pemberian makanan pendamping ASI dini (MP-ASI) di Kelurahan Pematang Kandis Bangko, Kabupaten Merangin, Jambi. 1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah diatas, yang menjadi masalah dalam penelitian ini adalah, faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi Ibu dalam pemberian makanan pendamping ASI dini (MP-ASI) pada bayi 6-24 bulan di Kelurahan Pematang Kandis Bangko, Kabupaten Merangin, Jambi.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini dibagi menjadi tujuan umum dan tujuan khusus 1.3.1 Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah diperolehnya gambaran tentang pemberian MP-ASI dini pada bayi dan faktor - faktor yang berhubungan, di di Kelurahan Pematang Kandis Bangko, Kabupaten Merangin, Jambi

1.3.2 Tujuan Khusus :

Tujuan khusus dari penelitian ini adalah, diperolehnya informasi tentang:

1. Gambaran pemberian MP-ASI dini pada bayi di Kelurahan Pematang Kandis Bangko, Kabupaten Merangin, Jambi.


(18)

2. Hubungan pendidikan Ibu dengan pemberian MP-ASI dini pada bayi 6-24 bulan di Kelurahan Pematang Kandis Bangko, Kabupaten Merangin, Jambi.

3. Hubungan pekerjaan Ibu dengan pemberian MP-ASI dini pada bayi 6-24 bulan di Kelurahan Pematang Kandis Bangko, Kabupaten Merangin, Jambi.

4. Hubungan pengetahuan Ibu dengan pemberian MP-ASI dini pada bayi 6-24 bulan di Kelurahan Pematang Kandis Bangko, Kabupaten Merangin, Jambi

5. Hubungan peran petugas kesehatan dengan pemberian MP-ASI dini pada bayi 6-24 bulan di Kelurahan Pematang Kandis Bangko, Kabupaten Merangin, Jambi.

6. Hubungan pemberian ASI pertama kali dengan pemberian MP-ASI dini pada bayi 6-24 bulan di Kelurahan Pematang Kandis Bangko, Kabupaten Merangin, Jambi

7. Faktor yang paling berhubungan dengan pemberian MP-ASI dini pada bayi 6-24 bulan di Kelurahan Pematang Kandis Bangko, Kabupaten Merangin, Jambi.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Sebagai bahan yang diharapkan dapat memberi kontribusi dalam pengembangan penelitian ilmiah.

2. Sebagai pedoman kepada tenaga kesehatan dan Dinas Kesehatan Kabupaten Merangin, Jambi untuk meningkatkan upaya promotif dalam menggalakan pemberian ASI eksklusif hingga 6 bulan tanpa makanan atau minuman tambahan lain bagi bayi.

3. Sebagai informasi bagi ibu ibu mengenai pemberian MP ASI yang baik dan tepat.


(19)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Makanan Pendamping ASI

Makanan pendamping ASI adalah makanan yang diberikan kepada bayi/anak disamping ASI untuk memenuhi kebutuhan gizinya (Depkes RI,1992). MP-ASI ini diberikan pada anak berumur 6 bulan sampai 24 bulan, karena pada masa itu produksi ASI makin menurun sehingga suplai zat gizi dari ASI tidak lagi memenuhi kebutuhan gizi anak yang semakin meningkat sehingga pemberian dalam bentuk makanan pelengkap sangat dianjurkan, sebagaimana tercantum dalam Global Strategy for Infant and Young Child Feeding (WHO, 1993).

Sesudah bayi berumur 6 bulan, secara berangsur angsur perlu makanan pendamping berupa sari buah, atau buah- buahan, nasi tim, makanan lunak, dan akhirnya makanan lembek. Adapun tujuan pemberian makanan pendamping adalah :

a. Melengkapi zat gizi ASI yang kurang

b. Mengembangkan kemampuan bayi untuk menerima macam-macam makanan dengan berbagai rasa dan bentuk

c. Mengembangkan kemampuan bayi untuk mengunyah dan menelan (Depkes RI, 2004)

Pada usia 6 bulan, pencernaan bayi mulai kuat. Pemberian makanan pendamping ASI harus setelah usia 6 bulan, karena jika diberikan terlalu dini akan menurunkan konsumsi ASI dan bayi mengalami gangguan pencernaan atau bisa diare. Sebaliknya bila makanan pendamping diberikan terlambat akan mengakibatkan anak kurang gizi bila terjadi dalam waktu panjang (Depkes, 2003).

2.1.1 Syarat Pemberian Makanan Pendamping ASI

Makanan tambahan untuk bayi harus mempunyai sifat fisik yang baik, yaitu rupa dan aroma yang layak. Selain itu, dilihat dari segi kepraktisan, makanan bayi sebaiknya mudah disiapkan dengan waktu pengolahan yang singkat. Makanan Pendamping ASI harus memenuhi persyaratan khusus tentang jumlah zat-zat gizi yang diperlukan bayi seperti protein, energi, lemak, vitamin, mineral dan zat-zat


(20)

tambahan lainnya (Nadesul, 2007). Menurut Muchtadi (2004) hal- hal penting yang harus diperhatikan dalam pemberian makanan tambahan pada bayi adalah sebagai berikut :

a. Makanan bayi (termasuk ASI) harus mengandung semua zat gizi yang diperlukan bayi.

b. Makanan tambahan harus kepada bayi yang telah berumur 6 bulan sebanyak 4-6 kali/hari.

c. Sebelum berumur 2 tahun bayi belum dapat mengkonsumsi makanan orang dewasa.

d. Makanan campuran ganda (multi mix) yang terdiri dari makanan pokok, lauk pauk, dan sumber vitamin lebih cocok bagi bayi, baik ditinjau dari nilai gizinya maupun sifat fisik makanan tersebut.

e. Makanan harus diolah dari bahan makanan yang bersih dan aman. Harus dijaga keamanan terhadap kontaminasi dari organ biologi berbahaya seperti kuman, virus, parasit dan zat kimia, racun yang berbahaya, mulai dari persiapan bahan makanan, pengolahan, penyimpanan, distribusi sampai dengan penyajian.

f. Bahan lainnya dapat ditambahkan untuk mempertahankan konsistensi dan rasa makanan asal tidak mengandung zat berbahaya, misalnya gula, garam, cokelat dan lainnya.

g. Fortifikasi makanan adalah penambahan zat gizi tertentu ke dalam bahan makanan atau makanan sehingga mencapai kadar yang dapat meningkatkan status gizi . Pada MP-ASI yang penting adalah penambahan zat gizi mikro seperti zat besi, yodium ke dalam biskuit, cookies, roti, garam dan makanan suplemen. Kendala penambahan zat gizi mikro ke dalam makanan adalah perubahan cita rasa dan warna, perubahan tekstur dan lain lain, sehingga memerlukan suatu aplikasi teknologi yang memadai agar dapat mencapai tujuannya. MP-ASI yang dibuat di rumah tangga ( MP-ASI tradisional ) pada umumnya kurang memenuhi kebutuhan zat gizi terutama micronutrien seperti Fe, Zn, apalagi pada keluarga dengan tingkat sosial ekonomi yang rendah


(21)

yang gambarannya dapat dilihat sebagai berikut ini: untuk memenuhi kebutuhan zat besi bayi 6 – 12 bulan ( 6,8 mg ) dibutuhkan 108 gr hati ayam ( 4 pasang ) atau 550 gr telur atau 500 gr ikan atau 450 gr daging sapi atau 350 gr kacang kacangan sehingga sulit untuk dapat diberikan dari dapur ibu ( Sunawang, 2000). Pendapat lain, pembuatan MP-ASI di tingkat rumah tangga masih cukup untuk memnuhi kebutuhan gizi apabila dilakukan pengaturan pada sumber makanan bergizi yang sesuai dengan bahan makanan lokasi yang tersedia baik variasi dan jumlah yang dibutuhkan masing-masing anak. Hal ini dapat terlihat dengan mengatur komposisi jumlah dan jenis makanan untuk makn pagi, makan siang dan makan sore di samping pemberian ASI yang terus dilanjutkan sampai minimal anak berusia 2 tahun seperti berikut ini: makan pagi dengan semangkuk kecil bubur havermout, makan siang dengan sepiring sedang ( 3 sendok makan ) nasi, 1 sendok kacang merah, dan setengah butir jeruk, dan makan malam dengan sepiring sedang ( 3 sendok makan ) nasi, 1 sendok makan hati dan 1 sendok makan sayuran hijau. Dengan demikian kebutuhan energi hampir terpenuhi, demikian pula dengan kebutuhan protein, vitamin A maupun zat besi.

Berdasarkan uraian diatas, makanan tambahan bayi sebaiknya memiliki beberapa kriteria sebagai berikut :

1. Memiliki nilai energi dan kandungan protein yang tinggi.

2. Memiliki nilai suplementasi yang baik serta mengandung vitamin dan mineral yang cocok.

3. Dapat diterima oleh alat pencernaan yang baik. 4. Harganya relatife murah

5. Sebaiknya dapat diproduksi dari bahan-bahan yang tersedia secara lokal. 6. Bersifat padat gizi.

7. Kandungan serat kasar atau bahan lain yang sukar dicerna dalam jumlah sedikit kandungan serat kasar yang terlalu banyak justru akan mengganggu pencernaan bayi (Murianingsih dan Sulastri, 2003)


(22)

Berikut ini beberapa zat gizi yang harus terkandung dalam Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) untuk bayi.

Tabel 2.1 Nilai Gizi MP-ASI ( dalam 100 gr bahan makanan )

Zat Gizi Unit Jumlah

Energi kcal ˃ 400

Protein gr ˃ 15

Lemak gr ˃ 6

Serat gr ˂ 5

Vitamin A iu 1664

Vitamin C mg 48

Vitamin B12 µg 1,2

Thiamin mg 0,128

Riboflavin mg 0,488

Niaein mg 4,8

Asam Folat µg 60

Vitamin D µg 10

Vitamin E mg 5

Fe mg 8

Ca mg 200

Zn mg 4

Sumber: Dep Kes RI, 2004

2.1.2 Jenis Makanan Pendamping ASI dan waktu pemberiannya

Pengenalan dan pemberian MP-ASI harus dilakukan secara bertahap baik bentuk maupun jumlahnya yang disesuaikan dengan kemampuan pencernaan bayi dan anak. Tahapan tersebut adalah :

1. Makanan bayi berumur 0-4 bulan a. Hanya ASI saja (ASI Eksklusif)


(23)

b. Hisapan bayi akan merangsang produksi ASI terutama pada 30 menit pertama setelah melahirkan.

c. Dengan menyusui akan terbina hubungan kasih saying antara ibu dan anak

d. Berikan kolostrum, karena mengandung zat-zat gizi dan zat kekebalan yang dibutuhkan bayi.

e. Berikan ASI sesering mungkin sesuai keinginan bayi. 2. Makanan bayi berumur 4-6 bulan

a. Pemberian ASI tetap diteruskan sesuai keinginan anak.

b. Bentuk makanan lumat, halus, aktivitas bayi sudah mempunyai reflex mengunyah

c. Contoh makanan lumat antara lain psang yang dilumatkan, papaya yang dilumatkan, biscuit yang ditambahkan air susu, bubur susu. d. Diberikan 2 kali sehari, setiap kali pemberian 2 sendok makan

sedikit demi sedikit.

e. Diberikan sambil mengajak bicara kepada bayi untuk menimbulkan sentuhan kasih saying.

f. Jangan sekali-kali MP-ASI diberikan dengan dot sambil tiduran karena dapat menyebabkan infeksi telinga.

3. Makanan bayi berumur 6-9 bulan a. Pemberian ASI tetap diteruskan

b. Bentuk makanan lumat karena alat cerna bayi sudah lebih berfungsi, contoh : nasi tim, bubur susu.

c. Berikan 2 kali sehari setelah diberikan ASI. d. Porsi tiap pemberian sebagai berikut :

• Pada umur 6 bulan : 6 sendok makan

• Pada umur 7 bulan : 7 sendok makan

• Pada umur 8 bulan : 8 sendok makan


(24)

• Untuk menambah nilai gizi, nasi tim dapat ditambah sumber zat lemak sedikit demi sedikit, seperti santan, margarine, minyak kelapa.

• Bila bayi masih lapar, ibu dapat menambahnya. 4. Makanan bayi umur 9-12 bulan

a. Pemberian ASI tetap diberikan

b. Pada umur ini bayi diperkenalkan dengan makanan keluarga secara bertahap dengan takaran yang cukup.

c. Bentuk makanan lunak.

d. Berikan makanan selingan satu kali sehari.

e. Makanan selingan usahakan bernilai tinggi seperti bubur kacang hijau, bubur sumsum.

f. Biasakan mencampurkan berbagai lauk pauk dan sayuran kedalam makanan lunak secara berganti-ganti.

g. Pengenalan berbagai bahan makanan sejak dini berpengaruh baik dalam kebiasaan makan.

5. Makanan bayi umur 12-24 bulan :

a. Frekuensi pemberian ASI dikurangi sedikit demi sedikit.

b. Susunan makanan terdiri dari makanan pokok lauk-pauk sayuran dan buah.

c. Besar porsi adalah separuh dari makanan orang dewasa. d. Gunakan angka ragam bahan makanan setiap harinya. e. Diberikan sekurang-kurangnya tiga kali sehari. f. Berikan makanan selingan dua kali sehari.

g. Anak dilatih untuk makan dan cuci tangan sendiri.

h. Biasakan anak mencuci tangannya sebelum dan sesudah makan. i. Biasakan anak makan bersama-sama keluarga (Nadesul, 2007) 2.1.3 Kerugian-kerugian yang potensial dari pengenalan Makanan


(25)

Menurut Suhardjo (1992) ada beberapa akibat kurang baik dari pengenalan makanan dini yaitu : gangguan menyusui, beban ginjal yang terlalu berat sehingga mengakibatkan hyperosmolaritas plasma, alergi terhadap makanan, dan mungkin gangguan terhadap pengaturan selera makan. Makanan alamiah, bahan makanan tambahan dan pencemaran makanan tertentu juga dapat dirugikan.

Berikut ini akan dijelaskan mengenai akibat-akibat yang disebabkannya : 1. Gangguan penyusuan

Suatu hubungan sebab akibat antara pengenalan/ pemberian makanan tambahan yang dini dan penghentian penyusuan, belum dibuktikan. Pada umumnya bayi-bayi yang menyusui mendapat makanan tambahan pada umur yang lebih kemudian, dan dalam jumlah yang lebih kecil dari pada bayi-bayi yang mendapat susu formula.

2. Beban ginjal yang berlebihan dan hyperosmolaritas

Makanan padat, baik yang dibuat sendiri di pabrik, cenderung untuk mengandung kadar natrium klorida (NaCl) tinggi, yang akan menambah beban ginjal. Beban tersebut masih ditambah oleh makanan tambahan yang mengandung daging.

Bayi-bayi yang mendapat makanan padat pada umur yang dini, mempunyai osmolalitas plasma yang lebih tinggi dari pada bayi-bayi yang 100% mendapat air susu ibu dank arena itu mudah mendapat hyperosmolaritas dehidrasi. Hyperosmolaritas penyebab haus yang berlebihan. Meskipun hubungan antara penggunaan natrium klorida (NaCl) dan tingkat tekanan darah belum dibuktikan pada masa bayi, tetapi pengamatan epidemiologis dan data eksperimen pada tikus menyatakan bahwa penggunaan garam pada umur dini dapat dihubungkan dengan perkembangan tekanan darah tinggi yang timbul.

3. Alergi terhadap makanan

Belum matangnya sistem kekebalan dari susu pada umur yang dini, dapat menyebabkan banyak terjadinya alergi terhadap makanan pada masa


(26)

kanak-kanak. Alergi pada susu sapi dapat terjadi sebanyak 7,5% dan telah diingatkan bahwa alergi terhadap makanan lainnya seperti jeruk, tomat, ikan, telur, dan serealia bahkan mungkin lebih sering terjadi. Air susu ibu kadang-kadang dapat menularkan penyebab-penyebab alergi dalam jumlah yang cukup banyak untuk menyebabkan gejala-gejala klinis, tetapi pemberian susu sapi atau makanan tambahan yang dini menambah terjadinya alergi terhadap makanan.

Pada bayi yang mendapat air susu ibu (atau susu dari kacang kedelai) telah dilaporkan adanya pengurangan dalam timbulnyaperwujudan-perwujudan alergis, bahkan sampai umur sepuluh tahun, oleh beberapa orang peneliti. Sedangkan peneliti lainnya telah menemukan tidak adanya perbedaan. Suatu perbandingan yang sistematis antara pengaruh dari pemberian makanan tambahan yang dini dan kemudian hari belum dilaporkan. Hasil dari penelitian-penelitian dengan aturan makanan dapat menghindari alergi ternyata berbeda-beda. Walaupun Pada studi prospektif yang dilakukan oleh Anne Zutaver et al yang berjudul “ Timing of Solid Food Introduction in Relation eczema, Asthma, Allergic, Rhinitis, and Food and Inhalant Sensitization at the ge of 6 years” (2006) tidak ditemukannya perbedaan penundaan pemberian MP-ASI pada bayi berumur 4-6 bulan dengan bayi berumur 6 bulan dengan kejadian asma, rhinitis allergic, serta eczema setelah mereka berumur 6 bulan (American Academy of Pediatrics, 2006). Dan bayi yang di berikan makanan pendamping ASI terlalu dini, akan lebih mudah terserang diare (Pediatri, 2008).

4. Gangguan pengaturan selera makan

Makanan padat telah dianggap sebagai penyebab kegemukan pada bayi-bayi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa bayi –bayi yag diberi susu formula adalah lebih berat dari pada bayi-bayi yang mendapat air susu ibu, tetapi apakah perbedaan itu disebabkan karena bayi-bayi yang diberikan susu formula mendapat makanan padat lebih dini, belumlah jelas.


(27)

5. Bahan-bahan makanan tambahan yang merugikan

Makanan tambahan mungkin mengandung komponen-komponen alamiah yang jika diberikan pada waktu dini dapat merugikan. Suatu bahan yang lazim adalah sukrosa. Gula ini adalah penyebab kebusukan pada gigi, dan telah dikemukakan bahwa penggunaan gula ini pada umur yang dini dapat membuat anak terbiasa akan makanan yang rasanya manis. Dalam beberapa sayuran seperti bayam dan wortel. Kepekatan yang tinggi dan nitrat dapat terjadi dan menimbulkan bahaya pada bayi-bayi dibawah umur 3-4 tahun, yang mekanisme dalam badan untuk melawan racun belum diketahui.

Banyak dari serealia yang mengandung glutein dapat menambah risiko penyakit perut pada umur yang muda, mungkin juga timbul kesulitan-kesulitan diagnostic, karena sifat tidak mau menerima protein dari susu sapi dapat menyajikan suatu gambaran klinis yang sama dengan gejala-gejala penyakit perut. Juga ada kemungkinan bahwa sensitifitas terhadap glutein dapat ditimbulkan secara lebih mudah pada umur dini. Sekurang-kurangnya pada bayi-bayi yang mendapat susu formula (Suhardjo,1995).

2.1.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi pemberian MP-ASI dini pada bayi Menurut Lawrence (1994) dan (jelliffe & Jelliffe, 1978:219) dalam Dahlia Simanjuntak (2002) beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku meyusui dan pemberian MP-ASI pada waktu dini adalah faktor :

1. Biologi 2. Sosial budaya 3. Faktor ekonomi 1. Faktor Biologi

Berdasarkan studi tentang pemberian makanan bayi (Ebrahim, 1986 &Winikoff, 1998 & Suharyono, 1994 dalam Dahlia Simanjuntak (2002)), faktor


(28)

biologi yang berpengaruh pada keberhasilan menyusui dan pemberian MP-ASI adalah usia ibu, paritas, pemakaian kontrasepsi serta kesehatan bayi dan ibu.

Usia ibu dan paritas berpengaruh pada kelangsungan hidup anak usia satu tahun ke bawah (Moesly & Chen, 1984:32). Pada umumnya kemampuan untuk menyusui pada perempuan yang lebih muda lebih baik dari yang lebih tua. Salah satu faktor penyebab mungkin semacam disuse atrophy (Ebrahim, 1986).

Pada penelitian Winikoff et al di Semarang ditemukan bahwa ibu yang berusia < 20 tahun dan 35 tahun ke atas, lebih banyak yang sudah memberikan susu botol kepada bayinya di usia 4 bulan dibandingkan dengan ibu berusia 20 tahun sampai 34 tahun (Winikoff et al, 198 : 184). Ibu yang menyusui anak ke dua dan selanjutnya cenderung lebih baik dibanding ibu yang mempunyai anak pertama. Ini menunjukkan bahwa untuk menyusui juga diperlukan trial runs (latihan) sebelum dicapai kemampuan yang optimal. Ibu dengan paritas lebih tinggi lebih sedikit memperkenalkan botol pada waktu dini dibandingkan ibu dengan paritas rendah. Demikian juga penemuan Budi Utomo, ibu dengan anak pertama cenderung menggunakan botol dan kempeng disbanding ibu yang mempunyai anak dua orang atau lebih (Utomo, 1996 : 175). Pemakaian pil kontrasepsi yang mengandung hormon estrogen dapat menekan produksi ASI, jadi kurang tepat bila diberikan kepada ibu menyusui terutama hingga usia 6 bulan pertama (Suharyono, 1994 : 25).

2. Sosial Budaya

Faktor sosial budaya yang mempengaruhi kegagalan menyusui (pemberian makanan selain ASI) pada usia dini di negara berkembang terutama di daerah perkotaan antara lain adalah :

a. Pengaruh langsung budaya barat b. Urbanisasi

c. Sikap terhadap payudara d. Pengaruh Iklan

e. Pengaruh petugas kesehatan f. Tingkat pendidikan ibu


(29)

g. Pekerjaan ibu (Jeliffe & Jellife, 1978 : 221).

Laukaran et al menambahkan perilaku makan sebelumnya, pengetahuan dan sikap terhadap makanan bayi berperan dalam praktek pemberian makanan pada bayi (Laukaran et al, 1996 : 1236). Selain faktor di atas, waktu pemberian ASI pertama kali juga turut mempengaruhi keberhasilan menyusui (Roesli, 2001 : 47).

a. Pengaruh Langsung Budaya Barat

Masuknya budaya barat di bidang industri, kesehatan, gizi dan lain-lain dirasakan manfaatnya oleh negara berkembang khususnya negara bekas jajahan. Keberhasilan dalam memecahkan berbagai masalah kesehatan seperti penyakit beri-beri, gondok riketsia melalui fortifikasi vitamin ke dalam makanan diraskan langsung oleh masyarakat luas. Teknologi Barat dianggap lebih tinggi nilainya dibanding cara-cara tradisional. Pandangan ini juga berpengaruh pada pemberian makanan bayi termasuk susu botol (Jelliffe & Jelliffe, 1978 : 221 dalam Dahlia Simanjuntak, 2002)).

b. Urbanisasi

Perpindahan penduduk dalam jumlah besar ke kota seperti Jakarta misalnya, menyebabkan masalah seperti : fasilitas sosial yang terbatas, kebersihan lingkungan terutama air dan sarana pembuangan kotoran yang tidak memenuhi syarat kesehatan. Ibu yang pindah ke kota terpaksa harus bekerja untuk menambah penghasilan. Mereka berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru dalam situasi yang serba terbatas. Keadaan ini akan berpengaruh pada pola pengasuhan dan perawatan bayinya termasuk dalam perilaku menyusui. Ibu ikut-ikutan memberikan susu botol dalam situasi ekonomi yang kurang, pengetahuan yang kurang dan status gizi serta kesehatan ibu yang kurang (Sri Mahyuni, 2003).

Selain itu, menurut Dodi Briawan (2004), pada kebanyakan wanita di perkotaan, sudah terbiasa menggunakan susu formula dengan pertimbangan lebih modern dan praktis, dan juga karena mereka tidak pernah melihat model menyusui ASI dari lingkungannya (Briawan, 2004). Menurut Valdes and


(30)

Schooley (1996), wanita yang berada dalam lingkungan modern di perkotaan, tidak pernah melihat ibu dan kerabatnya menyusui (Valdes and Schooley, 1996). Bahkan yang dilihat di sekelilingnya adalah ibu-ibu kebanyakan menggunakan susu formula. Pada waktu kecil kebiasaan main bagi anak perempuan adalah boneka bayi dan susu botol. Saat remaja dan dewasa mereka juga terbiasa terekspose susu formula melalui berbagai poster, tv, radio, majalah dan berbagai media massa lainnya (Perinasia, 1994).

c. Sikap terhadap payudara

Beberapa mitos tentang menyusui ASI yang terjadi di masyarakat menurut Roesli (2001) adalah: Menyusui akan merubah bentuk payudara ibu, menyusui sulit untuk menurunkan berat badan ibu, ASI tidak cukup pada hari-hari pertama, sehingga bayi perlu makanan tambahan, ibu bekerja tidak dapat memberikan ASI eksklusif, payudara ibu yang kecil tidak dapat menghasilkan ASI, dan ASI dari ibu kekurangan gizi, kualitasnya tidak baik (Roesli, 2001). Selain itu menurut Jelliffe & Jelliffe, 1978 : 225 Pada budaya tradisional payudara perempuan terutama dihubungkan dengan sikap keibuan, merupakan pengorbanan, cinta, kesuburan dan pertolongan serta mempunyai fungsi pemeliharaan, asuhan dan sebagai sumber makanan bergizi untuk bayi. Pada budaya Eropa dan Amerika Utara, peran dan simbol payudara perempuan lebih menekankan pada fungsi keindahan. Ibu-ibu berorientasi pada bintang film, iklan dan model pakaian dirancang sedemikian rupa sehingga sulit untuk menyusui. Pandangan ini meluas ke negara berkembang terutama pada ibu dari kalangan atas. Menyusui menjadi sesuatu yang tabu pada ibu di perkotaan dan pasti tidak dilakukan di tengah orang banyak (Jelliffe & Jelliffe, 1978 : 225)

Pada penelitian Castle et al (1988) di Semarang, 99% responden setuju atas ajaran Islam yang menganjurkan untuk menyusui anak sampai usia 2 tahun, tetapi sepertiga mengatakan tidak dapat dilaksanakan. Ibu yang tidak menyusui bayinya bersikap negative terhadap efek menyusui pada ukuran dan bentuk payudara (Castle, 1988 : 101 & 103).


(31)

d. Pengaruh iklan

Promosi ASI tidak cukup kuat menandingi promosi pengganti ASI (Sukmaningsih 2001). Promosi susu formula dilakukan sangat gencar di berbagai media massa. Produsen susu formula juga mulai mengalihkan promosi produknya dari iklan langsung ke konsumen, di lingkungan kesehatan dan institusi pelayanan kesehatan seperti Rumah Sakit (RS),Rumah Bersalin, dan tempat praktik bidan. Selain memasang poster dan kalender, juga dilakukan pemberian sampel gratis kepada ibu yang baru melahirkan. Semua praktik ini jelas melanggar Kode Etik Internasional Pemasaran Pengganti Air Susu Ibu (PASI) maupun peraturan pemerintah yang berlaku. Tahun 1981 World Health Assembly (WHA) dan UNICEF menerbitkan sebuah kode (international code) untuk mengatur promosi makanan untuk bayi. Kode yang disetujui 118 negara tersebut bertujuan untuk melindungi bayi dan ibu dari tindakan pemasaran agresif produsen susu bayi. Di Indonesia kode tersebut diatur dalam SK Menteri Kesehatan Nomor 273/1997 (sebelumnya SK No 240/1985) tentang Pemasaran Susu Pengganti ASI (PASI) (Briawan, 2004). Selain itu diketahui pula, ada sebagian petugas kesehatan secara halus mendorong ibu untuk tidak member ASI melainkan susu formula kepada bayinya (Siswono, 2001a).

Pada beberapa penelitian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia ditemukan bahwa pada tahun 1997, dari 41 kasus yang diteliti di 10 kota, ditemukan sebanyak 27% memberikan sampel gratis susu formula bayi, 29% sampel gratis susu formula lanjutan dan 44% sampel gratis MP-ASI dan pada tahun 1998, 8,7% Rumah Sakit Bersalin memberikan susu formula gratis ketika pasien hendak pulang (Sukmaningsih, 2001). Penelitian Zumrotin SH, 1990 terhadap 4 rumah sakit dan 3 rumah sakit bersalin menunjukkan bahwa sebelum memberi ASI, 2 rumah sakit dan 1 rumah sakit bersalin memberi PASI sepenuhnya, 2 rumah sakit bersalin memberi air mineral. Diantara yang memberi PASI penuh ada yang memberikan susu formula dengan satu merek tertentu dan ada yang memberi banyak merek. Yang menjadi perhatian adalah


(32)

bahwa semuanya mengatakan menerima PASI secara gratis dan rutin sementara rumah sakit yang hanya memberikan PASI bila ada kontra indikasi menyusui harus membeli (Zumrotin, 1991 : 5).

Pada tahun 1997, ditemukan beberapa produsen yang memberikan sumbangan uang kepada institusi kesehatan (Suksmaningsih, 2001) dan Bidan merupakan key persons yang didekati oleh produsen secara intensif (Winikoff, 1988 : 115).

Penelitian Rulina Suradi yang dilaporkan oleh Suharyono menunjukkan 16% ibu-ibu berhenti menyusui karena pengaruh iklan (Suharyono, 91 : 17) dan ibu yang menerima sampel susu formula cenderung memberi susu botol lebih dini dibanding yang tidak menerimanya (Winikoff, 1988 : 144).

e. Pengaruh Pelayanan Kesehatan

Kurikulum pendidikan kedokteran dan pendidikan kesehatan lainnya masih berorientasi ke Barat disamping banyak petugas yang memperoleh kesempatan menuntut ilmu di Eropa atau Amerika Utara menyebabkan petugas kurang menyadari bahaya pemberian MP-ASI dini di negara berkembang dengan tingkat pendidikan ibu yang relatif masih rendah dan kesehatan lingkungan yang masih jauh dari memadai. Penelitian Suyatno et al menunjukkan, 70,9% orang tua mengaku bahwa yang menganjurkan pemberian susu formula pada bayinya adalah dokter dan peran bidan untuk meningkatkan pemberian ASI secara eksklusif masih kurang (Suyatno, 1977 : 20& 42 dalam Dahlia Simanjuntak (2002)). Pada penelitian Mary Ann Castle et al di Semarang menunjukkan 90% ibu menjalani perawatan sebelum bersalin. Seperempat di antaranya sudah mendiskusikan tentang makanan formula, 6% dianjurkan oleh dokter hanya memberikan susu botol, 39% kombinasi susu botol dan ASI. Hanya 2% dari pasien yang dianjurkan oleh bidan untuk memberi ASI secara eksklusif dan 21% dianjurkan memberi susu botol (Winikoff, 1988: 111). Sebanyak 79% bayi yang lahir di rumah sakit diberi makanan pralakteal berupa susu formula selama dirawat. Hal ini akan


(33)

memperkuat anggapan bahwa kolostrum tidak baik bagi kesehatan bayi (Winikoff, 1988 : 104). Pemberian makanan pralakteal ini berhubungan positif dengan pemberian MP-ASI dini. Sebanyak 32,5% bayi yang lahir di rumah sakit swasta dan 15,9% bayi yang lahir di rumah sakit pemerintah sudah diperkenalkan dengan botol. Berdasarkan tenaga penolong persalinan 41% bayi yang lahir dengan pertolongan dokter dan 18,6% bayi yang lahir ditolong oleh bidan terlatih sudah diperkenalkan dengan botol pada usia dua bulan (Castle & Winikoff, 1988 : 152). Keadaan ini memperkuat pendapat : Bahwa petugas kesehatan dapat dikatakan belum atau masih kurang mendukung perlindungan dan peningkatan menyusui (Jelliffe & Jelliffe, 1978 : 108 dalam Dahlia Simanjuntak (2002)).

f. Pendidikan Ibu

Pada beberapa hasil penelitian (Behm, 1976-78; Haines & Avery, 1978; Caldwell, 1979, Farah & Preston, 1982; Cochrane, 1980; Caldwell & Mc. Donald, 1981) yang dikutip oleh Ware (1984, 193) ditemukan hubungan antara tingkat pendidikan ibu dengan kelangsungan hidup anak walaupun berbeda antara satu kebudayaan dengan kebudayaan lainnya. Tingkat pendidikan mempengaruhi cara berpikir dan perilaku. Selanjutnya dikatakan bahwa untuk mengukur tingkat pendidikan ibu dapat dibagi dalam dua kategori yaitu Pendidikan Dasar dan Pendidikan Lanjutan (Ware, 1984 : 193-196 dalam Dahlia Simanjuntak).

Ibu dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi cenderung memberikan susu botol lebih dini (Castle et al, 188 : 107) dan ibu yang mempunyai pendidikan formal lebih banyak memberikan susu botol pada usia 2 minggu disbanding ibu tanpa pendidikan formal (Davies & Adetugbo & Ojofeitimi, 1996 : 115). Ibu dengan tingkat pendidikan rendah lebih sering terlambat memulai menyusui dan membuang kolostrum tetapi praktek memberikan makanan pralakteal kecenderungannya serupa antara ibu yang berpendidikan dan tidak berpendidikan (Utomo, 1996 : 171). Pada penelitian


(34)

Sulistiorini (1994, 70) tidak ditemukan hubungan tingkat pendidikan dengan pemberian MP-ASI dini.

g. Pekerjaan Ibu

Pada penelitian Winikoff et al di empat negara menunjukkan bahwa status ibu bekerja saja tidak dapat dipakai sebagai ukuran untuk menduga penggunaan susu formula dan lamanya bayi disusui. Karakteristik pekerjaan, apakah harus meninggalkan rumah atau tanpa meninggalkan rumah perlu dipertimbangkan. Ibu yang bekerja meninggalkan rumah berhubungan positif dengan penggunaan susu botol dan penyapihan dini (Winikoff, 1988 dalam Asnan Padang, 2007). Praktek pemberian makan pada bayi dari ibu bekerja di rumah sama dengan pada ibu yang tidak bekerja. Ibu yang bekerja dengan meninggalkan rumah 2 kali lebih besar kemungkinannya memperkenalkan susu botol pada bayinya dalam waktu dini dibanding yang bekerja tanpa meninggalkan rumah dan 4 kali dibanding ibu yang tidak bekerja. Pertukaran jam kerja yang kaku, tidak tersedianya tempat penitipan anak, jarak lokasi bekerja yang jauh dan kebijakan cuti melahirkan yang kurang mendukung menyebabkan ibu harus meninggalkan bayinya selama beberapa jam sehingga sulit untuk menyusui on demand (Edmond, 2006).

h. Pengetahuan Ibu Tentang Pemberian MP-ASI

Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Pengetahuan dipengaruhi oleh berbagai factor seperti pengalaman, keyakinan, fasilitas dan sosio budaya. (Notoatmodjo, 1993 : 94 & 101). Penelitian tentang pengetahuan, sikap dan praktek ibu dan anak balita terhadap kesehatannya di 7 propinsi di Indonesia menunjukkan bahwa sebagian besar ibu belum mengetahui ASI. Alasan kebiasaan tersebut adalah karena sudah merupakan tradisi. Sebagian besar ibu juga belum memahami makanan pendamping ASI (MP-ASI), sehingga makanan tersebut diberikan sejak usia 2-3 bulan (Depkes, 2005).

Dalam penelitian Ragil Marini (2001), ibu dengan pengetahuan yang baik tentang ASI 70% memberikan kolostrum pada bayinya sedangkan yang


(35)

berpengetahuan kurang baik, hanya 21,7% yang memberikan kolostrum. Angka yang lebih tinggi (72%) terdapat pada ibu dengan pengetahuan baik tentang kolostrum (Marini, 2001).

Penelitian Depkes 1992 di sepuluh kota menunjukan kebanyakan ibu pada kehamilan pertama tidak diberi informasi tentang manfaat ASI dan kolostrum. Ibu-ibu tidak mengetahui manfaat pemberian ASI eksklusif. Para ibu percaya bahwa campuran susu formula dengan ASI baik untuk bayinya. MP-ASI sudah mulai diberikan pada bulan kedua/ketiga dengan alas an bayi menangis dan menuruti nasehat keluarga (Briawan, 2004).

Menurut Diana Nur Afifah (2007), pengetahuan yang dimiliki ibu tentang ASI Eksklusif sebatas pada tingkat “tahu bahwa” sehingga tidak begitu mendalam dan tidak memiliki keterampilan untu mempraktekkannya. Jika pengetahuan ibu lebih luas dan mempunyai pengalaman tentang ASI Eksklusif baik yang dialami sendiri maupun dilihat dari teman, tetangga atau keluarga, maka subjek akan lebih terinspirasi untuk mempraktekkannya (Afifah,2007).

i. Pemberian ASI Pertama

Roesli (2001 : 47) mengatakan bahwa pemberian ASI pertama pada usia 20-30 menti, menyebabkan ibu lebih mudah menyusui bayinya untuk jangka waktu yang lebih lama. Bila terjadi keterlambatan walaupun hanya beberapa jam, proses menyusui lebih sering menjadi gagal. Pemberian ASI pertama pada 20-30 menti merupakan saat terbaik karena :

1) Pada 20-30 menit sesudah kelahiran reflex isap bayi sangat kuat dan merupakan saat terbaik untuk belajar mengisap. Menyusui pada saat ini bukan untuk pemberian makan awal, tetapi untuk pengenalan.

2) Isapan bayi akan merangsang produksi hormone oksitosin melalui let down reflex yang menyebabkan pengerutan otot rahim sehingga akan membantu menghentikan pendarahan paska persalinan.

3) Bayi akan mendapatkan kolostrum dan jam pertama merupakan saat yang terpenting menjalin ikatan antara ibu dan bayi.


(36)

Jadi menyusui lebih tepat bila dimulai di ruang persalinan, tetapi pemberian makanan pralakteal sudah menjadi kebiasaan pada sebagian besar sarana persalinan, berupa susu formula, susu sapi atau air gula (Roesli, 2001 : 50), (Akre, 1994 : 75). Petugas kesehatan khawatir bayi lapar atau kekurangan air sebab beberapa hari pertama ASI masih dianggap sedikit. Sebenarnya makanan pralaktal tidak dibutuhkan karena bayi yang lahir normal mempunyai cadangan air yang cukup. Pemberian makanan pralaktal akan mengganggu proses menyusui dan dapat menjadi jalan masuk kuman ke dalam tubuh bayi (Cox, 2006).

3. Faktor Ekonomi Keluarga

Tingkat penghasilan keluarga berhubungan dengan pemberian MP-ASI dini. Penurunan prevalensi menyusui lebih cepat terjadi pada masyarakat golongan ekonomi menengah ke atas . Penghasilan keluarga yang lebih tinggi berhubungan positif secara signifikan dengan pemberian susu botol pada waktu dini dan makanan buatan pabrik (Zulfanetti, 1998). Disamping itu, ibu dengan status ekonomi lebih rendah cenderung terlambat memulai menyusui, membuang kolostrum dan memberikan makanan pralaktal (Utomo, 1996 : 171). Selanjutnya, menurut penelitian Zulfanetti di Jambi, ibu-ibu dengan penghasilan keluarga Rp.260-000 –Rp.360.000 yang memberikan MP-ASI berupa susu formula sebesar 30%, 26% pada ibu-ibu dengan pendapatan keluarga sebesar Rp.361.000-Rp.560.000, sedangkan ibu-ibu dengan pendapatan keluarga lebih dari Rp.561.000 memberikan MP-ASI berupa susu formula sebesar 44% (Zulfanetti, 1998).

2.1.5 Saran-saran Untuk Pengenalan Makanan Tambahan

a. Dalam memberikan nasehat harus diperhatikan lingkungan sosial budaya dari keluarga yang bersangkutan. Sikap dari orang tuanya dan situasi dari hubungan ibu dan anak,

b. Pada umumnya makanan tambahan sebaiknya jangan diberikan sebelum umur tiga bulan atau lebih dari enam bulan. Sebaiknya dimulai dalm jumlah sedikit-sedikit dan jenis serta jumlahnya harus ditambah dengan perlahan-lahan.


(37)

c. Pada umur 6 bulan tidak lebih dari 50% kebutuhan energy harus berasal dari makanan tambahan. Untuk enam bulan berikutnya air susu ibu harus terus diberikan. Jika ASI sudah tidak ada lagi, maka susu formula dapat diberikan dalam jumlah sekurang-kurangnya 500 ml.

d. Tidak perlu diperinci jenis makanan tambahan (serealia,buah-buahan,sayuran) yang harus diberikan lebih dulu. Dalam kaitan ini kebiasaan-kebiasaan setempat dan faktro-faktor ekonomi harus dipertimbangkan.

e. Makanan yang mengandung glutein jangan diberikan sebelum umur empat bulan. Bahkan penundaan sampai umur enam bulan akan lebih baik.

f. Makanan yang mengandung kadar nitrat yang potensial tinggi, seperti bayam dan akar biet harus dihindari selama enam bulan pertama.

g. Pertimbangan khusus harus diberikan terhadap pemberian makanan tambahan kepada bayi-bayi yang mempunyai sejarah keluarga alergi secara umum, yang harus secara ketat menghindari makanan yang dapat menimbulkan alergi (Kellymom, 2010)

Makanan campuran berbagai bahan makanan dapat memberikan mutu yang lebih tinggi dari pada mutu masing-masing bahan penyusunnya. Dengan bercampurnya beragam bahan makanan tersebut, maka bahan yang kurang dalam zat-zat gizi tertentu dapat ditutupi oleh bahan makanan yang mengandung lebih banyak zat-zat yang bersangkutan. Dengan demikian masing-masing bahan makanan mempunyai efek komplementer yang berakibat meningkatnya mutu gizi makanan (Sentra Laktasi Indonesia, 2010.

Campuran antara pangan sumber karbohidrat utama dengan pangan sumber protein dengan perbandingan yang tertentu, memberikan nilai protein sebesar 5-6 gram serta energy 350 kalori. Ini berarti bila diberikan kepada anak sekitar umur dua tahun dapat memenuhi kebutuhannya sebesar sepertiganya (Suhardjo,1995).

2.2 Perilaku

Perilaku adalah suatu reaksi psikis seseorang tehadap lingkungannya. Reaksi tersebut mempunyai bentuk bermacam–macam yang pada hakekatnya digolongkan


(38)

menjadi 2 yakni dalam bentuk positif (tanpa tindakan nyata atau konkrit), dan dalam bentuk aktif (dengan tindakan konkrit).

Bentuk perilaku ini dapat diamati melalui sikap dan tindakan. Namun demikian tidak berarti bentuk perilaku ini hanya dapat dilihat dari sikap dan tindakan saja. Perilaku ini juga dapat berpotensial, yakni dalam bentuk pengetahuan, motivasi dan persepsi.

Menurut Lawrence Greeen (1993) bahwa kesehatan seseorang dan masyarakat dipengaruhi oleh faktor – faktor yakni faktor perilaku dan faktor diluar perilaku, selanjutnya perilaku itu sendiri ditentukan atau dibentuk oleh 3 faktor :

1. Faktor predisposisi (predisposing factors) yang terwujud dalam pengetahuan, sikap , kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai dan sebagainya. 2. Faktor pendukung (enabling factors) yang terwujud dalam lingkungan

fisik tersedianya atau tidak tersedianya fasilitas-failitas atau sarana.

3. Faktor pendorong (reinforcing factors) yang terwujud dalam sikap dan perilaku petugas ang merupakan kelempok referensi dari perilaku masyarakat.

2.2.1 Faktor predisposisi

Bila dikaitkan dengan fenomena epidemiologi maka pengetahuan yang dimaksudkan adalah sejauh mana masyarakat mengetahui tentang penyakit, gejala penyebaran distribusi maupun dampak dari penyakit tertentu. Sedangkan sikap disini meliputi bagaimana tanggapan individu atau masyarakat tentang penyakit yang diwujudkan dalam pernyataan stuju atau tidaknya terhadap pencegahan dan pengobatan suatu penyakit. Kepercayaan merupakan tahap selanjutnya dari perilaku, bahwa jika pengetahuan dan sikapnya sudah diwujudkan dalam kepercayaan maka biasanya perilaku lebih sulit untuk diubah. Sedangkan tradisi yang dimaksud adalah apakah tradisi yang dimasyarakat lebih memungkinkan seseorang berperilaku tidak sehat , misalnya tradisi tidak memberikan ASI pada bayi. Memberikan ASI tidak sampai 2 tahun dan memberikan makan MP-ASI terlalu dini dan sebagainya. Disamping itu perlu juga diketahui tradisi dalam masyarakat yang mendukung dalam


(39)

perilaku sehat. Nilai-nilai dan norma sosial dalam hal ini dapat berupa sejauh mana aktifitas-aktifitas seperti pencegahan pengobatan diterima oleh masyarakat.

2.2.2. Faktor pendukung

Faktor pendukung anatar lain: 1). Sarana dan prasarana kesehatan dan 2).Kemudahan dalam mencapai sarana kesehatan tersebut. Sarana dan prasarana kesehatan meliputi seberapa banyak fasilitas-fasilitas kesehatan, konseling maupun pusat- pusat informasi bagi individu masyarakat. Kemudahan bagaimana kemudahan untuk mencapai sarana tersebut termasuk biaya, jarak, waktu lama pengobatan dan juga hambatan budaya seperti malu mengalami penyakit tertentu jika diketahui masyarakat.

2.2.3 Faktor pendorong

Faktor pendorong meliputi : Sikap dan perilaku petugas kesehatan dan sikap dan perilaku guru, orangtua, teman sebaya, tokoh masyarakat, keluarga dan lain lain. Sikap dan perilaku petugas kesehatan merupakan salah satu faktor penting dalam perilaku kesehatan. Sementara itu peranan guru,orang tua dan teman sebaya dan tokoh masyarakat merupakan hal yang tidak dapat diabaikan dalam perubahan perilaku. Contoh dalam kasus pemberian ASI, apabila seorang ibu telah mendapat penjelasan tentang pemberian ASI yang benar dan mencoba menerapkannya, akan tetapi karena lingkungannya belum ada ynag menerapkan maka ibu tersebut menjadi asing dimasyarakat dan bukan tidak mungkin ia menjadi kembali dengan pemberian ASI yang salah (Notoatmodjo dan Sarwono, 1985).


(40)

BAB 3

KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DAN DEFENISI OPERASIONAL

3.1 Kerangka Teori

Dari teri faktor – faktor yang mempengaruhi prilaku pemberian makanan pada bayi, yang dikemukakan oleh Lawrence (1994: 194). (Jellife & Jellife (1978: 221) dalam Dahlia Simanjuntak (2001), dibuat kerangka teori sebagai berikut :

Bagan 3.1

Kerangka Teori Faktor – Faktor yang mempengaruhi prilaku pemberian makan pada bayi

Faktor Predisposisi : 1. Umur

2. Pendidikan 3. Pengetahuan 4. Sikap

5. Status Ekonomi 6. Kebiasaan

makan pada bayi 7. Paritas

Faktor Pendukung : 1. Sarana dan

prasarana 2. Ketersediaan

bahan makanan 3. Layanan

Kesehatan 4. Media massa

Faktor Pendorong : 1. Sikap dan

tindakan petugas 2. Dukungan

keluarga dan masyarakat

Prilaku Lingkungan

Pelayanan Kesehatan


(41)

3.2 Kerangka Konsep

Berdasarkan kerangka teori tersebut dan adanya keterbatasan sumber daya yang dimiliki penulis tapi tetap memperhatikan tujuan penelitian maka penulis membuat sedikit penyederhanaan dalam bentuk kerangka konsep yang akan menjadi pedoman dalam proses selanjutnya sebagai berikut :

Bagan 3.2

Kerangka Konsep Faktor Faktor yang Berhubungan dengan pemberian MP-ASI dini

Variabel Independen Variabel Dependen

3.3 Variabel dan Definisi Operasional

Yang menjadi variabel bebas dalam penelitian ini adalah : pekerjaan, pengetahuan, pendidikan, peran petugas kesehatan, dan pemberian ASI pertama kali. Sedangkan variabel dependen adalah : Pemberian MP-ASI dini pada bayi.

Pendidikan

Pekerjaan

Pengetahuan

Peran Petugas Kesehatan

Pemberian MP-ASI dini

Pemberian ASI Pertama kali


(42)

Definisi Operasional dan Skala Pengukuran

• Pendidikan Ibu

Pendidikan ibu diukur dari pendidikan formal tertinggi yang ditamatkan oleh ibu.

Alat Ukur : Kuesioner

Hasil Ukur : 0 = Rendah : (Tidak sekolah, SD) 1 = Sedang : ( SLTP, atau SLTA) 2 = Tinggi : akademi / universitas Skala Ukur : Ordinal

• Pekerjaan

Pekerjaan ibu diukur melalui pekerjaan yang dilakukan oleh ibu untuk memperoleh upah, dapat dilakukan di rumah atau di luar rumah. Alat Ukur : Kuesioner

Hasil Ukur : 0 = Tidak bekerja (ibu rumah tangga )

1 = Bekerja di rumah (salon, menjahit, MLM dll) 2 = Pekerjaan diluar rumah (PNS, swasta, guru) Skala Ukur : Ordinal

• Pengetahuan :

Pengetahuan ibu diukur melalui pengetahuan ibu tentang pemberian MP-ASI yang benar, serta dampak pemberian MP-ASI dini bagi bayi. Alat Ukur : Kuesioner

Hasil Ukur : 1 = Kurang(total skor < median) 0 = Baik (total skor ≥ median Skala Ukur : Ordinal

• Peran Petugas Kesehatan

Peran petugas kesehatan diukur melalui persepsi Ibu terhadap petugas kesehatan dalam pemberian informasi, edukasi, dan motivasi pemberian MP-ASI.


(43)

Alat Ukur : Kuesioner

Hasil Ukur : 0 = Baik (total skor ≥ median) 1 = Kurang (total skor < median) Skala Ukur : Ordinal

• Pemberian ASI pertama kali

Pemberian ASI pertama kali diukur melalui Jarak waktu kelahiran bayi dan pemberian ASI pertama kali

Alat Ukur : Kuesioner

Hasil Ukur : 0 = Disusui < 1 jam sesudah lahir 1= Disusui ≥ 1 jam setelah lahir Skala Ukur : Ordinal

• Pemberian MP-ASI dini

Pemberian MP-ASI dini diukur melalui pemberian makanan prelakteal dan pemberian makanan/minuman < 6 bulan

Alat Ukur : Kuesioner Hasil Ukur : 0 = diberikan

1 = tidak diberikan Skala Ukur : Ordinal

3.4. Hipotesis Penelitian

1. Ada hubungan antara pendidikan Ibu dan pemberian MP-ASI dini pada bayi 6-24 bulan.

2. Ada hubungan antara pengetahuan Ibu dan pemberian MP-ASI dini pada bayi 6-24 bulan

3. Ada hubungan antara pekerjaan Ibu dan pemberian MP-ASI dini pada bayi 6-24 bulan

4. Ada hubungan antara peran petugas kesehatan dan pemberian MP-ASI dini pada bayi 6-24 bulan


(44)

5. Ada hubungan antara waktu pemberian ASI pertama kali dengan pemberian MP-ASI dini pada bayi 6-24 bulan


(45)

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1. Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analitik yang akan menilai pengaruh pendidikan, pengetahuan, pekerjaan, tingkat ekonomi, dan peran petugas kesehatan dengan pemberian MP-ASI dini pada bayi. Sifat penelitian ini adalah dengan menggunakan pendekatan pengukuran data secara cross sectional, artinya dengan satu kali pengamatan pada rentang waktu tertentu, akan diketahui faktor-faktor apa saja yang dapat mempengaruhi pemberian MP-ASI pada bayi 6 -24 bulan. 4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di bulan Juli - Oktober 2010 di Kelurahan Pematang Kandis Bangko, Kabupaten Merangin, Propinsi Jambi. Dengan pertimbangan untuk memilih lokasi ini ialah bahwa pada lokasi ini belum pernah dilakukan sebelumnya penelitian tentang pemberian MP-ASI pada bayi 6-24 bulan.

4.3. Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi penelitian ini berasal dari data sekunder yaitu semua bayi berumur 6 – 24 bulan di Kelurahan Pematang Kandis Bangko, Kabupaten Merangin, Propinsi Jambi. Penetapan populasi pada rumah tangga yang memiliki bayi umur 6 – 24 bulan dengan pertimbangan diharapkan ibu ibu bayi masih ingat umur berapa waktu pertama kali memberikan MP ASI serta kegiatan dalam pengasuhan bayi.

Sampel dalam penelitian ini adalah ibu yang mempunyai anak 6 – 24 bulan. Dimana ibu dalam keadaan sehat dan tidak memiliki hambatan menyusui begitu juga dengan anaknya. Berdasarkan rumus, sampel yang diperoleh sebanyak 106 orang yang diperoleh dengan menggunakan rumus ( Lwanga dan Lameshow, 1997) Perkiraan besar sampel minimal pada penelitian ini diambil berdasarkan rumus uji hipotesis satu arah di bawah ini (Sastroasmoro, 2008):


(46)

dimana:

n = Besar sampel minimal.

Zα = Tingkat kepercayaan. Digunakan 95%, nilai dalam rumus: 1,645. Zβ = Power. Digunakan 90%, nilai dalam rumus 1,282

Po = Proporsi di populasi. Bayi yang mendapat MP-ASI dibawah 6 bulan 50%

Pa = Perkiraan proporsi yang diteliti. Ditetapkan 60%

Pa-Po = Selisih perkiraan proporsi yang diteliti dengan proporsi di populasi.

Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan simple random sampling. Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah ibu yang sehat yang mempunyai bayi yang sehat usia 6 – 24 bulan, dengan harapan responden masih mampu mengingat umur pertama kali pemerian MP-ASI pada sang bayi. Sedangkan kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah jika responden tidak bersedia untuk mengisi kuesioner setelah dilakukan penjelasan sebanyak 3 kali, maka digantikan dengan responden lain.

4.4 Metode Pengumpulan Data

Pada pelaksanaan penelitian penulis mengumpulkan data menggunakan kuisioner. Data primer yang dikumpulkan adalah semua data yang termasuk variabel independen, variabel dependen.

4.5 Uji Coba Kuesioner

Alat ukur yang digunakan adalah kuesioner tertutup yang sebelumnya sudah diuji coba terlebih dahulu. Uji coba dilakukan terhadap 20 orang ibu yang mempunyai bayi usia 6-24 bulan yang bukan responden. Uji coba dilakukan untuk mendapat masukan tentang kejelasan pilihan jawaban apakah cukup dimengerti atau perlu dikurangi atau


(47)

perlu ditambahkan. Uji coba statistik untuk alat ukur dilakukan guna menguji validitas dan reliabilitas alat ukur dengan menggunakan perangkat lunak komputer. Teknik korelasi yang dipakai adalah korelasi Pearson. Sedangkan untuk memperoleh hasil uji reliabilitas dilakukan dengan uji koefisien menggunakan uji Cronbach (Cronbach Alpha). Dari uji yang dilakukan koefisien alpha yang diperoleh menunjukkan bahwa pengukuran yang dilakukan dalam penelitian ini valid dan reliabel (Lampiran). Baik uji validitas maupun reliabilitas dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 4.1. Hasil uji validitas dan reabilitas untuk setiap pertanyaan dalam kuesioner

Pertanyaan Total Pearson Correlation

Status Alpha Status

1 0,482 Valid 0,943 Reliabel

2 0,732 Valid Reliabel

3 0.745 Valid Reliabel

4 0,598 Valid Reliabel

5 0,671 Valid Reliabel

6 0,535 Valid Reliabel

7 0,487 Valid Reliabel

8 0,508 Valid Reliabel

9 0,482 Valid Reliabel

10 0,699 Valid Reliabel

11 0,639 Valid Reliabel

12 0,482 Valid Reliabel

13 0,471 Valid Reliabel

14 0,625 Valid Reliabel

15 0,752 Valid Reliabel

16 0,482 Valid Reliabel

17 0,575 Valid Reliabel

18 0,732 Valid Reliabel

19 0,660 Valid Reliabel

20 0,598 Valid Reliabel


(48)

Pengolahan data dilakukan dengan langkah sebagai berikut : Editing, Koding dan Entery Data, dan pembersihan data. Analisis statistik dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak komputer sebagai berikut :

• Analisis Univariat

Analisis univariat digunakan untuk mengetahui distribusii frekuensi variabel independen dan variabel dependen. Ini perlu untuk mengidentifikasi karakteristik responden dan memperoleh gambaran pemberian MP-ASI dini pada bayi.

• Analisis Bivariat

Untuk menganalisa adanya hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat digunakan uji Chi-Square dengan derajat kemaknaan α = 0,05. Apabila p value lebih kecil dari 0,05 maka hubungan bermakna dan apabila lebih besar dari 0,05 maka hubungan tidak bermakna.

• Analisis Multivariat

Untuk menganalisis variabel independen yang paling kuat hubungannya dengan variabel dependen, digunakan regresi logistik karena bentuk variabel independennya kategorik dan variabel dependen berbentuk kategori/dikotom. Analisis dilakukan melalui beberapa tahapseperti sebagai berikut ; Tahap pertama dilakukan analisis bivariat antara variabel independen dengan variabel dependen untuk mendapatkan variabel yang akan masuk model multivariat bila nilai p < 0,25 (Hastono,2001). Tahap kedua adalah proses permodelan yaitu penilaian variabel utama yang dapat masuk ke multivariat bila nilai p < 0,05 dan selanjutnya didapati variabel yang paling berhubungan dengan variabel dependen.


(49)

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1. Gambaran Umum Daerah Penelitian 5.1.1. Keadaaan Geografis

Kelurahan Pematang Kandis yang terletak di Ibu Kota Kecamatan Bangko dan di tengah-tengah jantung Ibu Kota Kabupaten Merangin dengan luas wilayah kurang lebih 600 Ha, dan mempunyai batas-batas wilayah sebagai berikut :

- Sebelah utara berbatasan dengan Desa Sungai Ulak

- Sebelah timur berbatasan dengan Kelurahan Dusun Bangko - Sebelah selatan berbatasan dengan Sei. Mesumai/Kelurahan Pasar - Sebelah barat berbatasan dengan Desa Salam Buku

Secara astronomi Kelurahan Pematang Kandis terletak pada skala 2,50° Lintang Selatan (LS) sampai dengan garis 102,20° Bujur Timur (BT). Keadaan alam wilayah Kelurahan Pematang Kandis dengan kondisi geografis topografinya terletak pada dataran tinggi dengan ketinggian terendah 200 meter dari permukaan laut dan ketinggian tertinggi 1000 meter dari permukaan laut, serta pada umumnya wilayah Pematang Kandis merupakan dataran rendah. Jarak dari Ibu kota Kabupaten 0,2 km jarak dari Ibu Kota Propinsi 270 km dan dari Ibu kota Negara 12.000 km. Iklim dan Cuaca Kelurahan Pematang Kandis yang terletak di dataran rendah dengan topografi 1000 meter dari permukaan laut, suhu udara berkisar dari 30 s/d 36° C.

Luas wilayah kelurahan Pematang Kandis lebih kurang 600 Ha, dengan jumlah penduduk 12.243 jiwa, dengan perincian sebagai berikut :

- Laki-laki : 5.942 jiwa - Perempuan: 6.301 jiwa - Jumlah KK : 2.898 KK 5.1.2. Karakteristik Penduduk

Karakteristik penduduk menurut agama dan kepercayaan, usia, tingkat pendidikan, dan mata pencaharian dapat dilihat pada tabel berikut :


(50)

Tabel 5.1:

Jumlah Penduduk Menurut Agama dan Kepercayaan :

Agama Jumlah

Islam 11.628 orang

Kristen Protestan 438 orang

Kristen Katolik 135 orang

Hindu 22 orang

Budha 22 orang

Tabel 5.2:

Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Usia :

Kelompok Usia Jumlah

0-3 tahun 899

4-6 tahun 1.765

7-12 tahun 968

13-15 tahun 820

16-18 tahun 4893

19 tahun keatas 1788

Tabel 5.3:

Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan

Tingkat Pendidikan Jumlah

Lulusan Taman Kanak-kanak 235

Sekolah Dasar 2670

SLTP 1300

SLTA 900

Akademi/D3 350


(51)

Tabel 5.4:

Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencaharian

Mata Pencaharian Jumlah

Pegawai Negri Sipil 1555 orang

ABRI 200 orang

Swasta 1500 orang

Wiraswasta/Pedagang 2000 orang

Tani 180 orang

Pertukangan 275 orang

Buruh Tani 285 orang

Pensiunan 510 orang

Jasa 260 orang

5.1.3. Sarana Kesehatan

Di kelurahan Pematang Kandis Bangko, Kabupaten Merangin, Propinsi Jambi terdapat 1 Rumah Sakit Umum Daerah, 1 Puskesmas, 3 praktek dokter umum, 2 praktek dokter spesialis, dan 5 orang bidan.

5.2. Analisis Univariat dan Bivariat

Analisis univariat digunakan untuk mengetahui gambaran distribusi frekuensi variabel-variabel yang diteliti meliputi : umur, pendidikan, pekerjaan, pengetahuan, peran petugas kesehatan, pemberian ASI pertama kali, dan pemberian MP-ASI. 5.2.1. Umur


(52)

Tabel 5.5

Distribusi Responden Menurut Umur di Kelurahan Pematang Kandis Bangko, Kabupaten Merangin, Jambi.

Umur Responden n %

< 17 tahun 3 3

17 – 30 tahun 82 77

> 30 tahun 21 20

Total 106 100

Dari tabel di atas, terlihat bahwa responden paling banyak adalah kelompok umur 17 – 30 tahun, yaitu sebesar 77%, dan responden dengan proporsi 3% berasal dari kelompok umur < 17 tahun.

5.2.2. Pendidikan

Distribusi pendidikan formal tertinggi yang ditamatkan responden dapat dilihat pada tabel 5.6 berikut ini

Tabel 5.6

Distribusi Responden Menurut Tingkat Pendidikan di Kelurahan Pematang Kandis Bangko, Kabupaten Merangin, Jambi.

Pendidikan n %

< SD 6 5,6

SLTP-SLTA 56 52,3

Perguruan Tinggi 44 41,1

Total 106 100.0

Dari tabel di atas tampak bahwa 5,6% responden berpendidikan SD kebawah, 52,3 % responden berpendidikan SLTP-SLTA dan 41,1 % responden berpendidikan Perguruan Tinggi ke atas. Sedangkan hasil analisis bivariat, antara pendidikan dan pemberian MP-ASI dini dapat dilihat pada tabel 5.7 berikut :


(53)

Tabel 5.7

Hubungan Pendidikan Responden dengan Pemberian MP-ASI Dini Pada Bayi di Kelurahan Pematang Kandis Bangko, Kabupaten Merangin, Jambi.

Pendidikan

MP – ASI Dini

TOTAL

Ya Tidak

n % N % N %

< SD 3 50 3 50 6 100

SLTP-SLTA

31 55,3 25 44,6 56 100

Perguruan Tinggi

17 38,7 27 61,3 44 100

Total 51 48,2 55 51,8 106 100

x² = 2,769 df = 2 p = 0,251

Responden dengan pendidikan sedang (SLTP/Tsanawiyah dan SLTA/Aliyah) yang memberikan MP-ASI dini yaitu sebanyak 55,3%, kelompok dengan pendidikan tinggi (Akadeni/D3/Politeknik dan S1/S2/S3) memberikan MP-ASI dini sebanyak 38,7%. Dan kelompok pendidikan rendah yang memberikan MP-ASI sebanyak 50%. Hubungan pendidikan responden dengan pemberian MP-ASI dini tidak bermakna, nilai p > 0,05.

5.2.3. Pekerjaan

Adapun distribusi atau penyebaran pekerjaan responden dapat dilihat pada tabel berikut ini :

Tabel 5.8

Distribusi Responden Menurut Tingkat Pekerjaan di Kelurahan Pematang Kandis Bangko, Kabupaten Merangin, Jambi

Pekerjaan n %

Tidak bekerja 50 46,7

Bekerja tanpa harus meninggalkan rumah (usaha sendiri, MLM, dll)

24 20.3

Bekerja harus meninggalkan rumah 32 28.0


(54)

Dari tabel di atas terlihat bahwa responden yang tidak bekerja sebanyak 46,7% , 20,3 % responden bekerja tanpa harus meninggalkan rumah dan 28,0 % responden bekerja harus meninggalkan rumah. Hasil analisis bivariat dapat dilihat pada tabel dibawah ini :

Tabel 5.9

Hubungan Pekerjaan Responden dengan Pemberian MP-ASI dini Pada Bayi di Kelurahan Pematang Kandis Bangko, Kabupaten Merangin, Jambi.

Pekerjaan

MP – ASI Dini

TOTAL

Ya Tidak

n % n % N %

Tidak bekerja 29 58 21 42 50 100

Ya, bekerja tanpa

meninggalkan rumah

12 50 12 50 24 100

Ya, bekerja meninggalkan rumah

10 31,5 22 68,7 32 100

Total 51 48,2 55 51,8 106 100

x² = 5,637 df = 2 p = 0,061

Responden yang tidak bekerja 58% memberikan MP-ASI dini, diikuti responden yang bekerja tanpa meninggalkan rumah sebanyak 50% dan responden yang bekerja harus meninggalkan rumah sebanyak 31,5%. Hubungan status pekerjaan responden dengan Pemberian MP-ASI dini tidak bermakna, nilai p > 0,05.

5.2.4. Pengetahuan Tentang MP-ASI

Dalam penelitian ini pengetahuan dinilai dengan mengajukan 9 pertanyaan tentang pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI). Dari seluruh responden, rentang nilai akhir adalah yang paling rendah 9 (sembilan) sebanyak 1 orang (0,9%) dan nilai tertinggi 27 (dua puluh tujuh) sebanyak 9 orang (8,5 %). Nilai rata-ratanya


(55)

adalah 23,60, median (nilai tengah) adalah 24 dan modus (yang sering muncul) adalah 25 sebanyak 29 orang (27,4 %). Responden dengan kategori pengetahuan baik sebanyak 64 orang (60,4%) dan dengan kategori kurang sebanyak 42 orang (39,6%) (Lampiran). Distribusi responden dengan pengetahuan baik dan kurang dapat dilihat pada tabel 5.8 berikut :

Tabel 5.10

Distribusi Tingkat Pengetahuan Responden tentang pemberian MP-ASI pada bayi di Kelurahan Pematang Kandis Bangko, Kabupaten Merangin, Jambi.

Pengetahuan N %

Baik 64 60,3

Kurang 42 39,6

Total 106 100.0

Dari hasil analisis bivariat didapatkan bahwa responden dengan tingkat pengetahuan kurang tentang pemberian MP-ASI pada bayi, sebanyak 69% memberikan MP-ASI dini pada bayinya. Sedangkan yang berpengatahuan baik sebanyak 34,3%. Hubungan pengetahuan responden tentang pemberian MP-ASI dini pada bayi bermakna, nilai p < 0,001. Hal tersebut dapat dilihat pada tabel 5.9 di bawah ini :


(1)

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid air putih 4 3.8 3.8 3.8

biskuit/bubur 62 58.5 58.5 62.3

susu formula 40 37.7 37.7 100.0

Total 106 100.0 100.0

REGRESI LOGISTIK

Classification Tablea

Observed

Predicted mp_asidini

Percentage Correct tidak diberikan diberikan

Step 1 mp_asidini tidak diberikan 40 15 72.7

diberikan 20 31 60.8

Overall Percentage 67.0

a. The cut value is .500

Variables in the Equation

B S.E. Wald df Sig. Exp(B)

95% C.I.for EXP(B) Lower Upper

Step 1a waktumenyusui 1.117 .476 5.507 1 .019 3.055 1.202 7.765

pengetahuan 1.136 .468 5.890 1 .015 3.116 1.244 7.801


(2)

pekerjaan -.266 .270 .976 1 .323 .766 .452 1.300

Constant -1.268 .533 5.669 1 .017 .281

a. Variable(s) entered on step 1: waktumenyusui, pengetahuan, peranpetugas, pekerjaan.

Variables in the Equation

B S.E. Wald df Sig. Exp(B)

95% C.I.for EXP(B) Lower Upper Step 1a pengetahuan 1.347 .439 9.418 1 .002 3.847 1.627 9.094

waktumenyusui 1.176 .465 6.390 1 .011 3.241 1.302 8.066

Constant -1.402 .423 11.007 1 .001 .246

a. Variable(s) entered on step 1: pengetahuan, waktumenyusui.

Model Fitting Information

Model

Model Fitting

Criteria Likelihood Ratio Tests -2 Log

Likelihood Chi-Square df Sig. Intercept Only 34.104

Final 14.891 19.213 2 .000

Skor Kuesioner Pengetahuan

Pertanyaan Skor

1. Apa kepanjangan MP-ASI ?

A. Makanan Pengganti ASI

B. Makanan Pendamping ASI

C. Makanan Pokok ASI

D. Tidak Tahu

2 3 1 0

2.Menurut Ibu, berapa usia yang tepat untuk memberikan makanan lain di samping ASI ?

A. 2 – 4 bulan

B. ≥ 6 bulan

2 3 1 0


(3)

C. > 1 tahun D.Tidak Tahu

3.Menurut Ibu, Makanan Pendamping ASI yang baik untuk bayi ≥ 6 bulan adalah ...

A. Makanan lunak, seperti nasi tim B. Makanan lumat, seperti bubur susu C. Makanan biasa (keluarga) seperti nasi dan lauk pauk

D. Tidak Tahu

2 3 1 0

4.Menurut Ibu, Makanan Pendamping ASI yang baik untuk bayi 9-12 bulan adalah ... A. Makanan lunak, seperti nasi tim B. Makanan lumat, seperti bubur susu C. Makanan biasa (keluarga) seperti nasi dan lauk pauk

D. Tidak Tahu

3 1 2 0

5.Menurut Ibu, Makanan Pendamping ASI yang baik untuk bayi ≥ 24 bulan adalah ... A. Makanan lunak, seperti nasi tim B. Makanan lumat, seperti bubur susu C. Makanan biasa (keluarga) seperti nasi dan lauk pauk

D. Tidak Tahu

1 2 3 0

6.Syarat pemberian Makanan Pendamping ASI yang baik adalah ...

A. Lembut, mudah dicerna, gizi seimbang

B. Makanan Pendamping ASI yang

mengandung kalori tinggi

C. Makanan atau minuman yang

bermerek

D. Tidak Tahu

3 2 1 0

7.Apakah yang dimaksud dengan MP-ASI dini ?

A. Makanan yang diberikan sebelum ASI keluar

B. Makanan yang diberikan pada bayi

2 3 1


(4)

berusia < 6 bulan

C. Makanan yang diberikan pada bayi

prematur

D. Tidak Tahu

0

8.Menurut Ibu, apa yang akan terjadi jika bayi diberi makanan atau minuman selain ASI, sebelum 6 bulan

A. Bayi akan menderita diare dan

penyakit infeksi

B. Status gizi bayi lebih baik dan lebih sehat

C. Bayi akan menjadi bayi cerdas

D. Tidak Tahu

3 2 1 0

9.Menurut Ibu, pertumbuhan bayi lebih cepat bila diberi ....

A. ASI saja hingga usia 6 bulan

B. ASI dan susu formula mulai bayi

berusia 4 bulan

C. Vitamin dan susu formula

D. Tidak Tahu

3 2 1 0

Pengetahuan Responden Tentang Pemberian Makanan Pendamping ASI

(MP-ASI) Pada Bayi di Kelurahan Pematang Kandis Bangko, Kabupaten Merangin,

Jambi.

No

Pertanyaan

n

%

1.

Apa kepanjangan MP-ASI ? A. Makanan Pengganti ASI B. Makanan Pendamping ASI C. Makanan Pokok ASI D. Tidak Tahu

9 89

5 3

8,5 84,0

4,7 2,8

2.

Menurut Ibu, berapa usia yang tepat untuk memberikan makanan lain di samping ASI ?


(5)

B. ≥ 6 bulan C. > 1 tahun D. Tidak Tahu

85 1 1

80,2 0,9 0,9

3.

Menurut Ibu, Makanan Pendamping ASI yang baik

untuk bayi ≥ 6 bulan adalah ...

A. Makanan lunak, seperti nasi tim B. Makanan lumat, seperti bubur susu

C. Makanan biasa (keluarga) seperti nasi dan lauk pauk

D. Tidak Tahu

19 86 0 1

17,9 81,1 0 0,9

4.

Menurut Ibu, Makanan Pendamping ASI yang baik

untuk bayi 9-12 bulan adalah ...

A. Makanan lunak, seperti nasi tim B. Makanan lumat, seperti bubur susu

C. Makanan biasa (keluarga) seperti nasi dan lauk pauk

D. Tidak Tahu

76 27 0 3

71,7 25,5 0 2,8

5. Menurut Ibu, Makanan Pendamping ASI yang baik

untuk bayi ≥ 24 bulan adalah ...

A. Makanan lunak, seperti nasi tim B. Makanan lumat, seperti bubur susu

C. Makanan biasa (keluarga) seperti nasi dan lauk pauk

D. Tidak Tahu

56 4 46

0

52,8 3,8 43,3

0

Distribusi Responden Berdasarkan Persepsi dari Responden terhadap Petugas Kesehatan formal Seperti Bidan, Perawat, Dokter dan lainnya tentang praktek pemberian MP-ASI

No Pertanyaan n %

1. Apakah Dokter, Bidan atau Perawat pernah menjelaskan


(6)

A. Pernah

B. Tidak Pernah

14 13,2

2. Apakah Dokter, Bidan atau Perawat pernah

menganjurkan tidak memberikan MP-ASI sampai bayi berumur 6 bulan?

A. Pernah

B. Tidak Pernah

55 51

51,9 48,1

3. Apakah Dokter, Bidan atau Perawat pernah memberikan peragaan atau gambar-gambar tentang MP-ASI ?

A. Pernah

B. Tidak Pernah

82 24

77,4 22,6

4. Berapa kali Ibu mendapatkan informasi kesehatan tentang MP-ASI dalam 3 bulan terakhir ?

A. 1-2 kali

B. ≥ 3 kali

C. Tidak Pernah

19 57 30

17,9 53,8 28,3

5. Apakah petugas kesehatan pernah memberikan

informasi/petunjuk bahan makanan sumber zat gizi (Kalori, Protein, Lemak dan Vitamin)?

A. Pernah

B. Tidak Pernah

86 20

81,1 18,9


Dokumen yang terkait

Hubungan Pengetahuan dan Sikap Ibu terhadap Pemberian Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) pada Bayi dan Baduta (6– 24 Bulan) di Puskesmas Kabanjahe Kabupaten Karo Tahun 2016

1 16 124

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI IBU DALAM PEMBERIAN MAKANAN PENDAMPING ASI (MP-ASI) PADA BAYI USIA 0 - 6 BULAN DI KELURAHAN JUNGKE KECAMATAN KARANGANYAR KABUPATEN KARANGANYAR.

0 1 9

Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Pemberian Mp-asi Dini Pada Bayi Usia &lt;6 Bulan: Suatu Kajian Literatur.

0 0 2

Hubungan Pengetahuan dan Sikap Ibu terhadap Pemberian Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) pada Bayi dan Baduta (6– 24 Bulan) di Puskesmas Kabanjahe Kabupaten Karo Tahun 2016

0 1 14

Hubungan Pengetahuan dan Sikap Ibu terhadap Pemberian Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) pada Bayi dan Baduta (6– 24 Bulan) di Puskesmas Kabanjahe Kabupaten Karo Tahun 2016

0 0 25

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERILAKU PEMBERIAN MAKANAN PENDAMPING ASI BAYI USIA <6 BULAN

0 0 12

FAKTOR – FAKTOR YANG MELATARBELAKANGI PEMBERIAN MAKANAN PENDAMPING ASI (MP - ASI) PADA BAYI USIA 0 – 6 BULAN DI DESA SIMONGAGROK DAWARBLANDONG MOJOKERTO

0 0 19

PENGETAHUAN DENGAN SIKAP IBU MENYUSUI TENTANG PEMBERIAN MAKANAN PENDAMPING ASI (MP-ASI) PADA BAYI USIA 6-12 BULAN

0 0 6

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PEMBERIAN MP-ASI DINI PADA USIA 7-24 BULAN DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS NANGGULAN KULON PROGO TAHUN 2012 NASKAH PUBLIKASI - FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PEMBERIAN MP-ASI DINI PADA USIA 7-24 BULAN DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS

0 0 10

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KETEPATAN WAKTU PEMBERIAN MAKANAN PENDAMPING ASI PADA BAYI 6-11 BULAN DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS SEWON I BANTUL TAHUN 2014 NASKAH PUBLIKASI - Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ketepatan Waktu Pemberian Makanan Pendamping ASI

0 0 10