Faktor-faktor yang mempengaruhi pemberian MP-ASI dini pada bayi

5. Bahan-bahan makanan tambahan yang merugikan Makanan tambahan mungkin mengandung komponen-komponen alamiah yang jika diberikan pada waktu dini dapat merugikan. Suatu bahan yang lazim adalah sukrosa. Gula ini adalah penyebab kebusukan pada gigi, dan telah dikemukakan bahwa penggunaan gula ini pada umur yang dini dapat membuat anak terbiasa akan makanan yang rasanya manis. Dalam beberapa sayuran seperti bayam dan wortel. Kepekatan yang tinggi dan nitrat dapat terjadi dan menimbulkan bahaya pada bayi-bayi dibawah umur 3-4 tahun, yang mekanisme dalam badan untuk melawan racun belum diketahui. Banyak dari serealia yang mengandung glutein dapat menambah risiko penyakit perut pada umur yang muda, mungkin juga timbul kesulitan- kesulitan diagnostic, karena sifat tidak mau menerima protein dari susu sapi dapat menyajikan suatu gambaran klinis yang sama dengan gejala-gejala penyakit perut. Juga ada kemungkinan bahwa sensitifitas terhadap glutein dapat ditimbulkan secara lebih mudah pada umur dini. Sekurang-kurangnya pada bayi-bayi yang mendapat susu formula Suhardjo,1995.

2.1.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi pemberian MP-ASI dini pada bayi

Menurut Lawrence 1994 dan jelliffe Jelliffe, 1978:219 dalam Dahlia Simanjuntak 2002 beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku meyusui dan pemberian MP-ASI pada waktu dini adalah faktor : 1. Biologi 2. Sosial budaya 3. Faktor ekonomi 1. Faktor Biologi Berdasarkan studi tentang pemberian makanan bayi Ebrahim, 1986 Winikoff, 1998 Suharyono, 1994 dalam Dahlia Simanjuntak 2002, faktor biologi yang berpengaruh pada keberhasilan menyusui dan pemberian MP-ASI adalah usia ibu, paritas, pemakaian kontrasepsi serta kesehatan bayi dan ibu. Usia ibu dan paritas berpengaruh pada kelangsungan hidup anak usia satu tahun ke bawah Moesly Chen, 1984:32. Pada umumnya kemampuan untuk menyusui pada perempuan yang lebih muda lebih baik dari yang lebih tua. Salah satu faktor penyebab mungkin semacam disuse atrophy Ebrahim, 1986. Pada penelitian Winikoff et al di Semarang ditemukan bahwa ibu yang berusia 20 tahun dan 35 tahun ke atas, lebih banyak yang sudah memberikan susu botol kepada bayinya di usia 4 bulan dibandingkan dengan ibu berusia 20 tahun sampai 34 tahun Winikoff et al, 198 : 184. Ibu yang menyusui anak ke dua dan selanjutnya cenderung lebih baik dibanding ibu yang mempunyai anak pertama. Ini menunjukkan bahwa untuk menyusui juga diperlukan trial runs latihan sebelum dicapai kemampuan yang optimal. Ibu dengan paritas lebih tinggi lebih sedikit memperkenalkan botol pada waktu dini dibandingkan ibu dengan paritas rendah. Demikian juga penemuan Budi Utomo, ibu dengan anak pertama cenderung menggunakan botol dan kempeng disbanding ibu yang mempunyai anak dua orang atau lebih Utomo, 1996 : 175. Pemakaian pil kontrasepsi yang mengandung hormon estrogen dapat menekan produksi ASI, jadi kurang tepat bila diberikan kepada ibu menyusui terutama hingga usia 6 bulan pertama Suharyono, 1994 : 25. 2. Sosial Budaya Faktor sosial budaya yang mempengaruhi kegagalan menyusui pemberian makanan selain ASI pada usia dini di negara berkembang terutama di daerah perkotaan antara lain adalah : a. Pengaruh langsung budaya barat b. Urbanisasi c. Sikap terhadap payudara d. Pengaruh Iklan e. Pengaruh petugas kesehatan f. Tingkat pendidikan ibu g. Pekerjaan ibu Jeliffe Jellife, 1978 : 221. Laukaran et al menambahkan perilaku makan sebelumnya, pengetahuan dan sikap terhadap makanan bayi berperan dalam praktek pemberian makanan pada bayi Laukaran et al, 1996 : 1236. Selain faktor di atas, waktu pemberian ASI pertama kali juga turut mempengaruhi keberhasilan menyusui Roesli, 2001 : 47. a. Pengaruh Langsung Budaya Barat Masuknya budaya barat di bidang industri, kesehatan, gizi dan lain- lain dirasakan manfaatnya oleh negara berkembang khususnya negara bekas jajahan. Keberhasilan dalam memecahkan berbagai masalah kesehatan seperti penyakit beri-beri, gondok riketsia melalui fortifikasi vitamin ke dalam makanan diraskan langsung oleh masyarakat luas. Teknologi Barat dianggap lebih tinggi nilainya dibanding cara-cara tradisional. Pandangan ini juga berpengaruh pada pemberian makanan bayi termasuk susu botol Jelliffe Jelliffe, 1978 : 221 dalam Dahlia Simanjuntak, 2002. b. Urbanisasi Perpindahan penduduk dalam jumlah besar ke kota seperti Jakarta misalnya, menyebabkan masalah seperti : fasilitas sosial yang terbatas, kebersihan lingkungan terutama air dan sarana pembuangan kotoran yang tidak memenuhi syarat kesehatan. Ibu yang pindah ke kota terpaksa harus bekerja untuk menambah penghasilan. Mereka berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru dalam situasi yang serba terbatas. Keadaan ini akan berpengaruh pada pola pengasuhan dan perawatan bayinya termasuk dalam perilaku menyusui. Ibu ikut-ikutan memberikan susu botol dalam situasi ekonomi yang kurang, pengetahuan yang kurang dan status gizi serta kesehatan ibu yang kurang Sri Mahyuni, 2003. Selain itu, menurut Dodi Briawan 2004, pada kebanyakan wanita di perkotaan, sudah terbiasa menggunakan susu formula dengan pertimbangan lebih modern dan praktis, dan juga karena mereka tidak pernah melihat model menyusui ASI dari lingkungannya Briawan, 2004. Menurut Valdes and Schooley 1996, wanita yang berada dalam lingkungan modern di perkotaan, tidak pernah melihat ibu dan kerabatnya menyusui Valdes and Schooley, 1996. Bahkan yang dilihat di sekelilingnya adalah ibu-ibu kebanyakan menggunakan susu formula. Pada waktu kecil kebiasaan main bagi anak perempuan adalah boneka bayi dan susu botol. Saat remaja dan dewasa mereka juga terbiasa terekspose susu formula melalui berbagai poster, tv, radio, majalah dan berbagai media massa lainnya Perinasia, 1994. c. Sikap terhadap payudara Beberapa mitos tentang menyusui ASI yang terjadi di masyarakat menurut Roesli 2001 adalah: Menyusui akan merubah bentuk payudara ibu, menyusui sulit untuk menurunkan berat badan ibu, ASI tidak cukup pada hari- hari pertama, sehingga bayi perlu makanan tambahan, ibu bekerja tidak dapat memberikan ASI eksklusif, payudara ibu yang kecil tidak dapat menghasilkan ASI, dan ASI dari ibu kekurangan gizi, kualitasnya tidak baik Roesli, 2001. Selain itu menurut Jelliffe Jelliffe, 1978 : 225 Pada budaya tradisional payudara perempuan terutama dihubungkan dengan sikap keibuan, merupakan pengorbanan, cinta, kesuburan dan pertolongan serta mempunyai fungsi pemeliharaan, asuhan dan sebagai sumber makanan bergizi untuk bayi. Pada budaya Eropa dan Amerika Utara, peran dan simbol payudara perempuan lebih menekankan pada fungsi keindahan. Ibu-ibu berorientasi pada bintang film, iklan dan model pakaian dirancang sedemikian rupa sehingga sulit untuk menyusui. Pandangan ini meluas ke negara berkembang terutama pada ibu dari kalangan atas. Menyusui menjadi sesuatu yang tabu pada ibu di perkotaan dan pasti tidak dilakukan di tengah orang banyak Jelliffe Jelliffe, 1978 : 225 Pada penelitian Castle et al 1988 di Semarang, 99 responden setuju atas ajaran Islam yang menganjurkan untuk menyusui anak sampai usia 2 tahun, tetapi sepertiga mengatakan tidak dapat dilaksanakan. Ibu yang tidak menyusui bayinya bersikap negative terhadap efek menyusui pada ukuran dan bentuk payudara Castle, 1988 : 101 103. d. Pengaruh iklan Promosi ASI tidak cukup kuat menandingi promosi pengganti ASI Sukmaningsih 2001. Promosi susu formula dilakukan sangat gencar di berbagai media massa. Produsen susu formula juga mulai mengalihkan promosi produknya dari iklan langsung ke konsumen, di lingkungan kesehatan dan institusi pelayanan kesehatan seperti Rumah Sakit RS,Rumah Bersalin, dan tempat praktik bidan. Selain memasang poster dan kalender, juga dilakukan pemberian sampel gratis kepada ibu yang baru melahirkan. Semua praktik ini jelas melanggar Kode Etik Internasional Pemasaran Pengganti Air Susu Ibu PASI maupun peraturan pemerintah yang berlaku. Tahun 1981 World Health Assembly WHA dan UNICEF menerbitkan sebuah kode international code untuk mengatur promosi makanan untuk bayi. Kode yang disetujui 118 negara tersebut bertujuan untuk melindungi bayi dan ibu dari tindakan pemasaran agresif produsen susu bayi. Di Indonesia kode tersebut diatur dalam SK Menteri Kesehatan Nomor 2731997 sebelumnya SK No 2401985 tentang Pemasaran Susu Pengganti ASI PASI Briawan, 2004. Selain itu diketahui pula, ada sebagian petugas kesehatan secara halus mendorong ibu untuk tidak member ASI melainkan susu formula kepada bayinya Siswono, 2001a. Pada beberapa penelitian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia ditemukan bahwa pada tahun 1997, dari 41 kasus yang diteliti di 10 kota, ditemukan sebanyak 27 memberikan sampel gratis susu formula bayi, 29 sampel gratis susu formula lanjutan dan 44 sampel gratis MP-ASI dan pada tahun 1998, 8,7 Rumah Sakit Bersalin memberikan susu formula gratis ketika pasien hendak pulang Sukmaningsih, 2001. Penelitian Zumrotin SH, 1990 terhadap 4 rumah sakit dan 3 rumah sakit bersalin menunjukkan bahwa sebelum memberi ASI, 2 rumah sakit dan 1 rumah sakit bersalin memberi PASI sepenuhnya, 2 rumah sakit bersalin memberi air mineral. Diantara yang memberi PASI penuh ada yang memberikan susu formula dengan satu merek tertentu dan ada yang memberi banyak merek. Yang menjadi perhatian adalah bahwa semuanya mengatakan menerima PASI secara gratis dan rutin sementara rumah sakit yang hanya memberikan PASI bila ada kontra indikasi menyusui harus membeli Zumrotin, 1991 : 5. Pada tahun 1997, ditemukan beberapa produsen yang memberikan sumbangan uang kepada institusi kesehatan Suksmaningsih, 2001 dan Bidan merupakan key persons yang didekati oleh produsen secara intensif Winikoff, 1988 : 115. Penelitian Rulina Suradi yang dilaporkan oleh Suharyono menunjukkan 16 ibu-ibu berhenti menyusui karena pengaruh iklan Suharyono, 91 : 17 dan ibu yang menerima sampel susu formula cenderung memberi susu botol lebih dini dibanding yang tidak menerimanya Winikoff, 1988 : 144. e. Pengaruh Pelayanan Kesehatan Kurikulum pendidikan kedokteran dan pendidikan kesehatan lainnya masih berorientasi ke Barat disamping banyak petugas yang memperoleh kesempatan menuntut ilmu di Eropa atau Amerika Utara menyebabkan petugas kurang menyadari bahaya pemberian MP-ASI dini di negara berkembang dengan tingkat pendidikan ibu yang relatif masih rendah dan kesehatan lingkungan yang masih jauh dari memadai. Penelitian Suyatno et al menunjukkan, 70,9 orang tua mengaku bahwa yang menganjurkan pemberian susu formula pada bayinya adalah dokter dan peran bidan untuk meningkatkan pemberian ASI secara eksklusif masih kurang Suyatno, 1977 : 20 42 dalam Dahlia Simanjuntak 2002. Pada penelitian Mary Ann Castle et al di Semarang menunjukkan 90 ibu menjalani perawatan sebelum bersalin. Seperempat di antaranya sudah mendiskusikan tentang makanan formula, 6 dianjurkan oleh dokter hanya memberikan susu botol, 39 kombinasi susu botol dan ASI. Hanya 2 dari pasien yang dianjurkan oleh bidan untuk memberi ASI secara eksklusif dan 21 dianjurkan memberi susu botol Winikoff, 1988: 111. Sebanyak 79 bayi yang lahir di rumah sakit diberi makanan pralakteal berupa susu formula selama dirawat. Hal ini akan memperkuat anggapan bahwa kolostrum tidak baik bagi kesehatan bayi Winikoff, 1988 : 104. Pemberian makanan pralakteal ini berhubungan positif dengan pemberian MP-ASI dini. Sebanyak 32,5 bayi yang lahir di rumah sakit swasta dan 15,9 bayi yang lahir di rumah sakit pemerintah sudah diperkenalkan dengan botol. Berdasarkan tenaga penolong persalinan 41 bayi yang lahir dengan pertolongan dokter dan 18,6 bayi yang lahir ditolong oleh bidan terlatih sudah diperkenalkan dengan botol pada usia dua bulan Castle Winikoff, 1988 : 152. Keadaan ini memperkuat pendapat : Bahwa petugas kesehatan dapat dikatakan belum atau masih kurang mendukung perlindungan dan peningkatan menyusui Jelliffe Jelliffe, 1978 : 108 dalam Dahlia Simanjuntak 2002. f. Pendidikan Ibu Pada beberapa hasil penelitian Behm, 1976-78; Haines Avery, 1978; Caldwell, 1979, Farah Preston, 1982; Cochrane, 1980; Caldwell Mc. Donald, 1981 yang dikutip oleh Ware 1984, 193 ditemukan hubungan antara tingkat pendidikan ibu dengan kelangsungan hidup anak walaupun berbeda antara satu kebudayaan dengan kebudayaan lainnya. Tingkat pendidikan mempengaruhi cara berpikir dan perilaku. Selanjutnya dikatakan bahwa untuk mengukur tingkat pendidikan ibu dapat dibagi dalam dua kategori yaitu Pendidikan Dasar dan Pendidikan Lanjutan Ware, 1984 : 193- 196 dalam Dahlia Simanjuntak. Ibu dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi cenderung memberikan susu botol lebih dini Castle et al, 188 : 107 dan ibu yang mempunyai pendidikan formal lebih banyak memberikan susu botol pada usia 2 minggu disbanding ibu tanpa pendidikan formal Davies Adetugbo Ojofeitimi, 1996 : 115. Ibu dengan tingkat pendidikan rendah lebih sering terlambat memulai menyusui dan membuang kolostrum tetapi praktek memberikan makanan pralakteal kecenderungannya serupa antara ibu yang berpendidikan dan tidak berpendidikan Utomo, 1996 : 171. Pada penelitian Sulistiorini 1994, 70 tidak ditemukan hubungan tingkat pendidikan dengan pemberian MP-ASI dini. g. Pekerjaan Ibu Pada penelitian Winikoff et al di empat negara menunjukkan bahwa status ibu bekerja saja tidak dapat dipakai sebagai ukuran untuk menduga penggunaan susu formula dan lamanya bayi disusui. Karakteristik pekerjaan, apakah harus meninggalkan rumah atau tanpa meninggalkan rumah perlu dipertimbangkan. Ibu yang bekerja meninggalkan rumah berhubungan positif dengan penggunaan susu botol dan penyapihan dini Winikoff, 1988 dalam Asnan Padang, 2007. Praktek pemberian makan pada bayi dari ibu bekerja di rumah sama dengan pada ibu yang tidak bekerja. Ibu yang bekerja dengan meninggalkan rumah 2 kali lebih besar kemungkinannya memperkenalkan susu botol pada bayinya dalam waktu dini dibanding yang bekerja tanpa meninggalkan rumah dan 4 kali dibanding ibu yang tidak bekerja. Pertukaran jam kerja yang kaku, tidak tersedianya tempat penitipan anak, jarak lokasi bekerja yang jauh dan kebijakan cuti melahirkan yang kurang mendukung menyebabkan ibu harus meninggalkan bayinya selama beberapa jam sehingga sulit untuk menyusui on demand Edmond, 2006. h. Pengetahuan Ibu Tentang Pemberian MP-ASI Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Pengetahuan dipengaruhi oleh berbagai factor seperti pengalaman, keyakinan, fasilitas dan sosio budaya. Notoatmodjo, 1993 : 94 101. Penelitian tentang pengetahuan, sikap dan praktek ibu dan anak balita terhadap kesehatannya di 7 propinsi di Indonesia menunjukkan bahwa sebagian besar ibu belum mengetahui ASI. Alasan kebiasaan tersebut adalah karena sudah merupakan tradisi. Sebagian besar ibu juga belum memahami makanan pendamping ASI MP-ASI, sehingga makanan tersebut diberikan sejak usia 2-3 bulan Depkes, 2005. Dalam penelitian Ragil Marini 2001, ibu dengan pengetahuan yang baik tentang ASI 70 memberikan kolostrum pada bayinya sedangkan yang berpengetahuan kurang baik, hanya 21,7 yang memberikan kolostrum. Angka yang lebih tinggi 72 terdapat pada ibu dengan pengetahuan baik tentang kolostrum Marini, 2001. Penelitian Depkes 1992 di sepuluh kota menunjukan kebanyakan ibu pada kehamilan pertama tidak diberi informasi tentang manfaat ASI dan kolostrum. Ibu-ibu tidak mengetahui manfaat pemberian ASI eksklusif. Para ibu percaya bahwa campuran susu formula dengan ASI baik untuk bayinya. MP-ASI sudah mulai diberikan pada bulan keduaketiga dengan alas an bayi menangis dan menuruti nasehat keluarga Briawan, 2004. Menurut Diana Nur Afifah 2007, pengetahuan yang dimiliki ibu tentang ASI Eksklusif sebatas pada tingkat “tahu bahwa” sehingga tidak begitu mendalam dan tidak memiliki keterampilan untu mempraktekkannya. Jika pengetahuan ibu lebih luas dan mempunyai pengalaman tentang ASI Eksklusif baik yang dialami sendiri maupun dilihat dari teman, tetangga atau keluarga, maka subjek akan lebih terinspirasi untuk mempraktekkannya Afifah,2007. i. Pemberian ASI Pertama Roesli 2001 : 47 mengatakan bahwa pemberian ASI pertama pada usia 20-30 menti, menyebabkan ibu lebih mudah menyusui bayinya untuk jangka waktu yang lebih lama. Bila terjadi keterlambatan walaupun hanya beberapa jam, proses menyusui lebih sering menjadi gagal. Pemberian ASI pertama pada 20-30 menti merupakan saat terbaik karena : 1 Pada 20-30 menit sesudah kelahiran reflex isap bayi sangat kuat dan merupakan saat terbaik untuk belajar mengisap. Menyusui pada saat ini bukan untuk pemberian makan awal, tetapi untuk pengenalan. 2 Isapan bayi akan merangsang produksi hormone oksitosin melalui let down reflex yang menyebabkan pengerutan otot rahim sehingga akan membantu menghentikan pendarahan paska persalinan. 3 Bayi akan mendapatkan kolostrum dan jam pertama merupakan saat yang terpenting menjalin ikatan antara ibu dan bayi. Jadi menyusui lebih tepat bila dimulai di ruang persalinan, tetapi pemberian makanan pralakteal sudah menjadi kebiasaan pada sebagian besar sarana persalinan, berupa susu formula, susu sapi atau air gula Roesli, 2001 : 50, Akre, 1994 : 75. Petugas kesehatan khawatir bayi lapar atau kekurangan air sebab beberapa hari pertama ASI masih dianggap sedikit. Sebenarnya makanan pralaktal tidak dibutuhkan karena bayi yang lahir normal mempunyai cadangan air yang cukup. Pemberian makanan pralaktal akan mengganggu proses menyusui dan dapat menjadi jalan masuk kuman ke dalam tubuh bayi Cox, 2006. 3. Faktor Ekonomi Keluarga Tingkat penghasilan keluarga berhubungan dengan pemberian MP-ASI dini. Penurunan prevalensi menyusui lebih cepat terjadi pada masyarakat golongan ekonomi menengah ke atas . Penghasilan keluarga yang lebih tinggi berhubungan positif secara signifikan dengan pemberian susu botol pada waktu dini dan makanan buatan pabrik Zulfanetti, 1998. Disamping itu, ibu dengan status ekonomi lebih rendah cenderung terlambat memulai menyusui, membuang kolostrum dan memberikan makanan pralaktal Utomo, 1996 : 171. Selanjutnya, menurut penelitian Zulfanetti di Jambi, ibu-ibu dengan penghasilan keluarga Rp.260-000 –Rp.360.000 yang memberikan MP-ASI berupa susu formula sebesar 30, 26 pada ibu-ibu dengan pendapatan keluarga sebesar Rp.361.000- Rp.560.000, sedangkan ibu-ibu dengan pendapatan keluarga lebih dari Rp.561.000 memberikan MP-ASI berupa susu formula sebesar 44 Zulfanetti, 1998.

2.1.5 Saran-saran Untuk Pengenalan Makanan Tambahan

Dokumen yang terkait

Hubungan Pengetahuan dan Sikap Ibu terhadap Pemberian Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) pada Bayi dan Baduta (6– 24 Bulan) di Puskesmas Kabanjahe Kabupaten Karo Tahun 2016

1 16 124

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI IBU DALAM PEMBERIAN MAKANAN PENDAMPING ASI (MP-ASI) PADA BAYI USIA 0 - 6 BULAN DI KELURAHAN JUNGKE KECAMATAN KARANGANYAR KABUPATEN KARANGANYAR.

0 1 9

Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Pemberian Mp-asi Dini Pada Bayi Usia <6 Bulan: Suatu Kajian Literatur.

0 0 2

Hubungan Pengetahuan dan Sikap Ibu terhadap Pemberian Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) pada Bayi dan Baduta (6– 24 Bulan) di Puskesmas Kabanjahe Kabupaten Karo Tahun 2016

0 1 14

Hubungan Pengetahuan dan Sikap Ibu terhadap Pemberian Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) pada Bayi dan Baduta (6– 24 Bulan) di Puskesmas Kabanjahe Kabupaten Karo Tahun 2016

0 0 25

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERILAKU PEMBERIAN MAKANAN PENDAMPING ASI BAYI USIA <6 BULAN

0 0 12

FAKTOR – FAKTOR YANG MELATARBELAKANGI PEMBERIAN MAKANAN PENDAMPING ASI (MP - ASI) PADA BAYI USIA 0 – 6 BULAN DI DESA SIMONGAGROK DAWARBLANDONG MOJOKERTO

0 0 19

PENGETAHUAN DENGAN SIKAP IBU MENYUSUI TENTANG PEMBERIAN MAKANAN PENDAMPING ASI (MP-ASI) PADA BAYI USIA 6-12 BULAN

0 0 6

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PEMBERIAN MP-ASI DINI PADA USIA 7-24 BULAN DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS NANGGULAN KULON PROGO TAHUN 2012 NASKAH PUBLIKASI - FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PEMBERIAN MP-ASI DINI PADA USIA 7-24 BULAN DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS

0 0 10

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KETEPATAN WAKTU PEMBERIAN MAKANAN PENDAMPING ASI PADA BAYI 6-11 BULAN DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS SEWON I BANTUL TAHUN 2014 NASKAH PUBLIKASI - Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ketepatan Waktu Pemberian Makanan Pendamping ASI

0 0 10