tetapi hasil penelitian tidak menghasilkan bukti kuat, karena penelitian lain tidak mendapatkan hubungan yang signifikan antara keguguran berulang
dengan parameter analisis sperma yang ada Sbracia et al, 1996. Berbagai Uji fungsi sperma seperti tes reaksi acrosomal, uji kromatin dekondensasi
nucleus dan uji pembengkakan hipoosmotik juga telah gagal untuk menunjukkan hubungan yang signifikan dengan kejadian keguguran berulang
Saxena et al, 2008.
5.2 Dampak fragmentasi DNA sperma terhadap kejadian keguguran berulang idiopatik dini
Akhir-akhir ini, ada tes sperma baru dikembangkan untuk melihat ke dalam integritas DNA sperma. Infertilitas pria berhubungan dengan integritas
sperma yang buruk Sharma et al, 2004. Berbagai penelitian telah menunjukkan hubungan fragmentasi DNA dan tingkat keberhasilan
pengobatan infertilitas pria. Untuk IUI, kemungkinan kehamilan secara signifikan lebih tinggi pada kelompok dengan DFI ≤ 27 Evenson et al,
1999. Hasil IVF secara signifikan lebih rendah pada DFI 27 Bungum et al, 2004. Benchaib et al menemukan kehamilan tidak diperoleh dengan DFI
20 dalam siklus IVF ICSI dan. Kegagalan IVF yang berulang sering ditemukan dalam sperma DNA denganfragmentasi yang tinggi tanpa
penurunan nyata dari kualitas zigot dan embrio Tesarik et al, 2004. Embrio kualitas buruk dihasilkan dalam siklus ICSI bila
fragmentasi DNA sperma ≥ 38 Tahtamouni et al, 2009. Keguguran klinis pada siklus ICSI lebih tinggi
pada pasien dengan fragmentasi DNA sperma tinggi. Pengaruh tahap lanjut dari ayah dapat ditemukan pada perkembangan embyo yang mana terkait
dengan fragmentasi DNA sperma Borini et al, 2006 dan Sergerie dkk bahkan telah membuat nilai ambang yang
lebih rendah off ≥ 20 DFI untuk membedakan pria fertil dan subfertile Sergerie et al, 2005 .
Ada banyak teknik dalam pengujian fragmentasi DNA sperma seperti TUNEL, Komet, Anniline biru acridin orange ,FISH, In situ nick translation
assay, SCSA dan SCD. Kami menggunakan teknik SCD Halosperm dalam penelitian ini karena dapat dipercaya, praktis, sensitif, sederhana dan dapat
diulang. Hasil SCD sebanding dengan SCSA Fernandez et al, 2005.
Universitas Sumatera Utara
Analisa reliabilitas interobserver dengan menggunakan uji alpha cornbach menunjukkan kualitas yang baik dari pengukuran antara pengamat
dengan nilai 0,978. Dalam penelitian ini kami menemukan perbedaan yang signifikan dari
DFI antara pria subur dan pria dari pasangan dengan keguguran dini p = 0,000. Ada korelasi antara DFI tinggi dengan keguguran. Oosit memiliki
kemampuan terbatas untuk memperbaiki kerusakan DNA sperma, jika kerusakan terlalu banyak, maka kemampuan perbaikan oosit akan tidak
cukup, dan itu akan menghasilkan embrio yang rusak dan menyebabkan pertumbuhan abnormal embrio dan janin yang akan berakhir dengan
keguguran Ahmadi dan Ng, 1999. Masalah yang paling serius adalah peningkatan kejadian penyakit yang tercatat pada keturunan yang berasal dari
pria dengan kerusakan DNA sperma yang signifikan termasuk penyakit genetik dominan Apert sindrom, achondroplasia, infertilitas, dan kanker
Aitken, 2007. Dua penelitian telah menemukan peningkatan yang signifikan dalam
fragmentasi DNA sperma pada pasangan kegugur an berulang tidak dapat dijelaskan Carreil et al, 2003; Kazerooni et al, 2009, sedangkan Gill Villa dkk
tidak menemukan adanya hubungan antara DFI dengan keguguran berulang Gill Villa et al, 2010. Ketiga studi menunjukkan hasil yang bertentangan dan
tidak menunjukkan hasil yang konsisten mengenai korelasi DFI dan keguguran berulang.
Kami menemukan bahwa pasien deng an DFI ≥ 30 berhubungan
dengan keguguran. Hal ini sejalan dengan temuan adanya peningkatan keguguran
npada pasien ICSI dengan DFI ≥ 27 Bungum, 2004. Ide untuk membuat DFI cutoff ≥ 30 dalam penelitian ini berasal dari Studi Faktor
Infertilitas Pria Georgetown. Data kesuburan dari studi ini digunakan untuk
menetapkan ambang statistik DFI 30 sebagai ambang signifikansi status kesuburan Spano et al, 2000.
Rasio Odd dari DFI ≥ 30 untuk keguguranan adalah 9,1. Ini berarti bahwa adanya probabilitas yang tinggi terjadinya kegugur
an jika DFI ≥ 30. Studi lebih lanjut dengan desain yang tepat perlu dilakukan untuk mencari nilai
batas yang baru dari DFI untuk menentukan risiko keguguran, karena nilai DFI ≥ 30 sebenarnya untuk menentukan status kesuburan. Nilai ambang
yang baru seharusnya lebih rendah dari 30.
Universitas Sumatera Utara
Berbagai faktor telah didalilkan sebagai penyebab fragmentasi DNA sperma melalui proses gangguan metilasi DNA, apoptosis gagal, gangguan
pada protamine, reactive oxygen species oksidatif yang merusak stabilitas struktur DNA Sakkas D et al, 2003.
Gangguan metilasi DNA dapat muncul baik sebagai hipermethilasi atau hyipomethilasi. Hipomethilasi DNA dikaitkan dengan aktivitas transkripsi gen
dan hipermethilasi dikaitkan dengan inkativasi gen. Metilasi DNA sperma yang menyimpang lebih dominan dalam bentuk hipometilasi, yang sering
terlihat pada pria infertil Zamudio et al, 2008. Hipometilasi DNA dapat mempengaruhi proses genetik dan epigenetik.
Dalam proses genetik, hipometilasi mengganggu struktur asam nukleat dan deoxiribose dan pada akhirnya akan menyebabkan kerusakan DNA.
Kekurangan protaminasi sebagai bagian dari proses epigenetik akan menyebabkan ikatan DNA longgar dan rentan terhadap serangan dari radikal
bebas Oliva, 2006. Studi di sperma manusia menunjukkan bahwa gen dari ayah dicetak,
H19 memiliki metilasi yang terhapus dalam kehidupan janin awal. Remetilasi dimulai dalam testis manusia dewasa sebagai spermatogonia memasuki
meiosis untuk membentuk spermatosit. Alel paternal dari H19 gen biasanya dimetilasi dan inaktif dalam germline ayah. Sering terjadi hipomethilasi akan
mengaktifkan transkripsi aktif H19, yang seharusnya dalam keadaan iinaktif sampai dia disatukan kedalam oosit Rousseaux, 2005.
5.3 Homosistein paternal dan fragmentasi DNA sperma dengan kejadian keguguran berulang idiopatik dini
Salah satu sumber utama dari substrat metil adalah proses enzimatik perubahan homosistein menjadi metionin dan sistein melalui Metionin
synthase dan CBS. Interferensi dengan proses ini akan menurunkan produksi dari kelompok metil dan akan mempengaruhi proses metilasi dalam DNA
Nelson dan Cox, 2000. Peningkatan kadar homosistein dalam tubuh menunjukkan gangguan
dalam sistem metabolisme homosistein, tubuh tidak memiliki kemampuan untuk memproses homosistein menjadi metionin dan sistein. Hal ini akan
menyebabkan penurunan pasokan metil dan menyebabkan fragmentasi lebih lanjut dari DNA sperma. Selain itu, produksi sistein juga berkurang dan ini
Universitas Sumatera Utara
sistein disulfida obligasi memainkan peran dalam stabilisasi DNA Aubard, 2000.
Homosistein pada bagian lain juga menginduksi pelepasan sitokin proinflamasi seperti monosit chemoattractant protein-1 MCP-1 yang
mengatur migrasi dan aktivasi monosit makrofag dan Interleukin-8 IL-8, yang merupakan chemoattractant penting bagi neutrofil dan T-limfosit Aitken
et al, 1992. Dalam cairan semen terdapat leukosit yang berlimpah dan akan menjadi salah satu sumber utama ROS.
Homosistein itu sendiri juga merangsang produksi spesies oksigen reaktif dengan autooksidasi kelompok tiol sangat reaktif dari homosistein dan
menghasilkan pembentukan superoksida dan radikal peroksil yang jika tidak dalam keadaan seimbang dengan antioksidan dapat menyebabkan kerusakan
lebih lanjut pada DNA sperma Zini dan Lamirande, 1993 . Pada 35 tahun yang lalu, McCully dan Wilson mengusulkan teori pengaruh
perubahan arteriosclerotis homosistein, yang membuat pembuluh darah menjadi kurang elastisitas dan menebal Passwater, 2002. Homosistein
bertindak langsung pada dinding pembuluh darah menyebabkan fibrosis vaskuler dan perubahan dalam sel endotel. Sel-sel endotel mengalami
vakuolalisasi dan cenderung deskuamasi, merusak lapisan subendothelial dan aktivasi thrombogenesis .
Selain homosistein yang secara langsung memiliki efek trombotik sebagai berikut: secara in vitro, mengurangi ekspresi dari glikosaminoglikan
mengaktifkan anti-trombin III. Ini dapat menurunkan ekspresi thrombomodulin dan aktivasi protein C. Akhirnya, ini mengurangi ekspresi reseptor t-AP,
aktivator utama sistem fibrinolitik Wilcken dan Dudman, 1989. Ini menjadi pengaruh yang berganda dalam patogenesis multifaktorial dalam penyakit
pembuluh darah, seperti stroke, infark miokard, penebalan dinding karotid intima medial, oklusi vena retina sentral, dan tromboses vena.
Hiperhomosisteinemia muncul sebagai faktor risiko independen untuk penyakit vaskular Malinow, 1993.
Dalam proses hiperhomosistienemia kronis, mungkin mendorong proses aterogenik pada pembuluh darah aliran darah pada testis yang akan
mengganggu pasokan gizi dan oksigen ke testis dan lebih lanjut akan menyebabkan gangguan pada spermatogenesis.
Universitas Sumatera Utara
Menilai dari semua hasil dari banyak penelitian di atas, kami mencoba untuk menghubungkan homosistein ayah dan fragmentasi DNA sperma dan
kehilangan kehamilan berulang idiopatik dini. Dalam studi ini menunjukkan bahwa homosistein serum memiliki
korelasi signifikan dengan DFI p = 0,000, r = 0,498. Ada korelasi yang jelas pada akhirnya melalui mekanisme ini menyebabkan peningkatan insiden
keguguran berulang. Hiperhomosisteinemia didefenisikan sebagai peningkatan ringan atau
moderat dari asam amino homosistein dalam darah atau plasma, sedangkan homosisteinuria mengacu pada peningkatan yang tinggi dari kadar
homosistein dan terdeteksi dalam jumlah yang besar dalam urin Aubard et al, 2000.
Model ideal untuk definisi konsentrasi homocysteine yang tinggi harus didasarkan pada luaran kesehatan yang sama, seperti risiko untuk penyakit
vaskular. Namun, ambang batas konsentrasi homosistein total yang terkait dengan peningkatan risiko untuk penyakit vaskular belum pernah diteliti.
Kebanyakan konsentrasi homosistein 10- 12.5μmol L atau lebih tinggi secara
signifikan berhubungan dengan peningkatan risiko untuk penyakit vaskular. Malinow dan rekan menemukan peningkatan risiko penebalan intima arteri
carotic media dengan kadar homosistein serendah 8.3μmolL.
Kekurangan data dan definisi berdasarkan risiko penyakit, Selhub dkk menggunakan referensi batas atas dewasa muda yang diberikan vitamin
untuk menentukan total konsentrasi homosistein yang tinggi . Mereka menemukan nilai-
nilai cutoff dari 11.4μmol L untuk pria dan 10.4μmol L untuk wanita yang jika disesuaikan dengan berbagai penelitian yang
didasarkan pada risiko penyakit, masih berada dalam kisaran nilai yang terkait dengan peningkatan risiko untuk penykait vaskular.
Berbagai nilai ambang untuk defenisi hiperhomocsieinemia telah dinyatakan dan dapat menyebabkan interpretasi yang berbeda dalam
berbagai penelitian. Kami telah menggunakan ambang 12μmol L untuk
definisi hiperhomosisteinemia Malinow, 1999; Passwater, 2002. Ada sebanyak 36,25 kasus hiperhomosisteinemia ditemukan dari
semua pasien baik dalam kelompok kontrol maupun kasus. Tidak ada data tentang berapa banyak nilai prevalensi di Indonesia. Tampaknya angka ini
lebih tinggi daripada populasi barat. Ini belum termasuk kasus MTHFR varian
Universitas Sumatera Utara
termolabil yang hanya dapat dideteksi dengan menggunakan tes pembebanan metionin. Karena ambang yang berbeda dari yang ditetapkan
untuk defenisi dari hiperhomosisteinemia sehingga perbandingan angka insidensi ini menjadi sulit. Beberapa studi menggunakan ambang
15μmol L Aubard et al, 2000 dan ada yang menggunakan ambang
11.4μmol L untuk pria Selhub et al, 1999.
Jumlah kasus hiperhomosisteinemia lebih tinggi pada pasien keguguran berulang dibandingkan dengan pria fertil normal dengan rasio Odd
sebesar 3,2. Ini berarti bahwa probabilitas tinggi keguguran berulang akan terjadi jika kadar homosi
stein 12μmol L. Jumlah kasus hiperhomosisteinemia dengan pria DFI 30 secara
signifikan lebih tinggi daripada pria dengan DFI 30 laki-laki. Ini membuktikan bahwa hiperhomosisteinemia dapat menyebabkan fragmentasi DNA sperma.
5.4 Homosistein seminal dan fragmentasi DNA sperma