Pelaku Tindak Pidana Narkotika dan Psikotropika

B. Pelaku Tindak Pidana Narkotika dan Psikotropika

Dalam hal penggunaan narkoba pada awalnya digunakan untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan dunia kesehatan. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika adalah merupakan upaya politik hukum pemerintah Indonesia sebagai langkah penanggulangan terhadap peredaran gelap narkoba di masyarakat melalui sistem penegakan hukum pidana. Efektivitas penegak hukum dan peran serta masyarakat yang memegang peranan utama dalam penegakan hukum terutama dalam penerapan sanksi bagi terpidana kasus narkoba. Tindak pidana narkotika dan psikotropika adalah merupakan kejahatan internasionaltransnasional yang terorganisir rapih dan bergerak cepat tanpa mengenal batas negara. Merujuk Konvensi PBB tentang kejahatan transnasional terorganisasi, di Palermo tahun 2000, memberikan karakteristik tentang kejahatan transnasional, sebagai berikut: 1 Dilakukan lebih dari satu negara. 2 Dilakukan di satu negara tetapi bagian substansial dari persiapan, perencanaan, petunjuk atau pengendaliannya dilakukan di negara lain. 3 Dilakukan disebuah negara, tetapi melibatkan organisasi kejahatan lebih dari satu negara. 4 Dilakukan di salah satu negara, tetapi menimbulkan efek substansial bagi negara-negara lain. 36 Untuk memeranginya, seluruh kekuatan regional dan internasional harus dipadukan dalam dalam kerjasama yang bersifat strategis maupun operasional yang M. Tavip : Pelaksanaan Therapeutic Community Dan Rehabilitasi Terpadu Bagi Narapidana Narkotika Dan Psikotropika Di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Medan Dihubungkan Dengan Tujuan Sistem Pemasyarakatan, 2009 36 Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Semarang : Universitas Diponegoro, 2002, hlm. 192. ditindak lanjuti dalam berbagai kerjasama bilateral, regional, dan internasional. Pada Tahun 1988 telah dilaksanakan konvensi PBB tentang pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika Dan Psikotropika United Nations Convention Against Ilecit Trafic In Narcotic Drug And Psicotropic Substances, 1988. Konvesi ini merupakan penegasan dan penyempurnaan sarana hukum yang lebih efektif dalam rangka kerjasama internasional di bidang kriminal dalam upaya mencegah dan memberantas organisasi kejahatan transnasional yang melakukan peredaran gelap narkotika dan psikotropika. 37 Dalam perkembangannya narkotika dan psikotropika di Inggris dan Amerika Serikat mempergunakan istilah Narcotic And Dangerous Drough Narkotika dan Obat-obat berbahaya. Ada beberapa pengertian tentang narkotika dari beberapa pendapat seperti dalam buku narkotika dan psikotropika dalam hukum pidana mengutip beberapa pendapat Smith Clini dan Frenches Clinical Staff dan Biro Bea Cukai Amerika Serikat. Smith Cline dan France Clinical Staff 1968 berpendapat tentang defenisi sebagai berikut: 38 Narcotics Are Looks Wich Produce Insesibility Or Stupor Due To Their Depressent Efect On The Central Nervous System. Included In this Definition Are Opium Derevaties Morphine, Cocain, Heroin And Synthetic Opiates Meperidine, 37 Siswanto Sunarso, Penegakan Hukum Psikotropika Dalam Kajian Sosiologi Hukum,, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2007, hlm. 60. M. Tavip : Pelaksanaan Therapeutic Community Dan Rehabilitasi Terpadu Bagi Narapidana Narkotika Dan Psikotropika Di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Medan Dihubungkan Dengan Tujuan Sistem Pemasyarakatan, 2009 38 Hari Sasangka, Narkotika Dan Psikotropika Dalam Hukum Pidana, Bandung : Mandar Madju, 2003, hlm 33, yang dikutip dari N. Ridha Ma’roef 1976 : 14-15 dari buku Narkotika Masalah dan Bahayanya. Keduanya mengutip beberapa pendapat Smith Cline dan France Clinical Staff 1968 serta biro dan bea cukai Amerika Serikat dalam buku Narcotics Identification Manual 1973. Methadone. Definisi menurut Smith Cline dan France Clinical Staff 1968 yang artinya Narkotika merupakan obatracun yang mana menghasilkan insesibilitas atau pingsan dalam hal ini obat racun tersebut merupakan depresent yang berakibat buruk pada sistem saraf pusat. Yang termasuk dalam definisi ini adalah candu atau derefaties morphine, obat dari bahan bius, heroin. Candu buatan mepheridine methadone. Pengertian lainnya dari biro bea dan cukai Amerika Serikat, antara lain mengatakan bahwa yang dimaksud dengan narkotika adalah candu, ganja, kokain, zat-zat yang bahan mentahnya dari bahan-bahan tersebut yakni morphine, heroin, codein, hashis, kokain dan termasuk juga narkotika sintesis yang menghasilkan zat- zat, obat-obat yang tergolong dalam halucinogen, depresant, dan stimulant. Menurut Ensiklopedi Indonesia, narkotika atau opiat ialah “drug”, obat atau racun, yang mempunyai pengaruh terhadap jasmani dan rohani, maka dapat digunakan untuk pengobatan dan riset. Yang tergolong dalam narkotika ialah candu dan komponen yang aktif, yakni morfin, kokain, heroin, kodein dan ganja. Jika narkotika disalahgunakan, dan demikianlah kenyataannyaa, maka bahaya penyalahgunaan itu tidak sekedar terhadap diri pecandu yang bersangkutan, tetapi dapat membawa dampak lebih jauh, yaitu timbul gangguan terhadap tata kehidupan masyarakat. Proses ketergantungan orang pada narkotika berbeda-beda menurut kadar jenis zat dan banyaknya takaran yang digunakan. Tetapi proses berlangsung mula-mula dengan penggunaan sekali-sekali, kemudian semakin kerap, dan kemudian menjadi bergantung dan ketagihan. Ada 2 dua sifat ketergantungan dalam hal narkotika, yaitu ketergantungan kejiwaan dan ketergantungan jasmaniah. Diantara kedua- duanya ketergantungan jasmaniah paling membahayakan. 39 Menurut batasan WHO 1969 yang dimaksud obat drug adalah setiap zat yang apabila masuk kedalam organisme hidup akan mengadakan perubahan pada satu M. Tavip : Pelaksanaan Therapeutic Community Dan Rehabilitasi Terpadu Bagi Narapidana Narkotika Dan Psikotropika Di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Medan Dihubungkan Dengan Tujuan Sistem Pemasyarakatan, 2009 39 Van Hoeve, Ensiklopedi Indonesia, Jakarta : Ikhtiar Baru, 1990, hlm. 374 atau lebih fungsi-fungsi organ tubuh. Narkoba narkotika dan obat-obat berbahaya ialah zat kimiawi yang mampu mengubah pikiran, perasaan, fungsi, mental dan perilaku seseorang. Sedangkan pengertian narkotika menurut Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika adalah sebagai berikut: ”Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintesis maupun semi sintesis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran hilangnya rasa mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan.” Sedangkan pengertian psikotropika menurut ketentuan Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika adalah sebagai berikut: ”Psikotropika adalah zat atau obat baik alamiah maupun sintesis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan khas pada aktifitas mental dan perilaku.” Batasan mengenai tindak pidana narkotika dan psikotropika yang diambil dari ketentuan yang mengacu pada Pasal 3 ayat 1 dan ayat 2 Konvensi Wina 1988, tentang narkotika dan psikotropika yang meliputi tindakan: 1 Menanam, membeli memperdagangkan, mengangkut serta mendistribusikan narkotika dan psikotropika; 2 Menyusun suatu organisasi manajemen dan membiayai tindakan-tindakan tersebut pada butir 1; M. Tavip : Pelaksanaan Therapeutic Community Dan Rehabilitasi Terpadu Bagi Narapidana Narkotika Dan Psikotropika Di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Medan Dihubungkan Dengan Tujuan Sistem Pemasyarakatan, 2009 3 Mentransfer harta kekayaan yang diperoleh dari tindakan tersebut pada butir 1; dan 4 Mempersiapkan, percobaan pembujukan dan pemufakaan untuk melakukan tindakan-tindakan tersebut pada butir 1. Salah satu agenda reformasi yang penting dan mendesak untuk dilaksanakan adalah reformasi dalam penegakan hukum. Penegakan hukum yang dapat dilakukan dengan baik dan efektif merupakan salah satu tolak ukur suatu negara dalam upaya mengangkat harkat dan martabat bangsanya di bidang hukum terutama dalam memberikan perlindungan hukum terhadap warganya. 40 Sebaliknya, penegakan hukum yang tidak berjalan sebagaimana mestinya merupakan indikator bahwa negara yang bersangkutan belum sepenuhnya mampu memberikan perlindungan hukum kepada warganya. Penegakan hukum yang baik ialah apabila sistem peradilan pidana bekerja secara objektif dan tidak bersifat secara memihak serta memperhatikan dan mempertimbangkan secara seksama nilai-nilai yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. 41 Hukum sebagai satu kaidah di dalamnya merupakan seperangkat norma-norma yang membuat anjuran, larangan, sanksi yang sebagai salah satu fungsi pokoknya sebagai sarana kontrol sosial dengan tujuan menjaga ketertiban sosial dang kepentingan masyarakat. Indonesia sebagai negara yang berdasarkan hukum the rule of law Tidak ada seorang pun yang dapat dipidana sebelum ada Undang-undang yang 40 Bambang Suroso, Aktualita Hukum dalam Era Reforasi,Jakarta : Rineka Cipta, 2004, hlm 57. M. Tavip : Pelaksanaan Therapeutic Community Dan Rehabilitasi Terpadu Bagi Narapidana Narkotika Dan Psikotropika Di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Medan Dihubungkan Dengan Tujuan Sistem Pemasyarakatan, 2009 41 Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Eksistensionalisme dan Abolisionalisme, Bandung : Bina Cipta, 1995, hlm 39. mengaturnya. Sebagaimana dikenal dalam asas hukum pidana Pasal 1 ayat 1 KUHP yaitu asas legalitas. Dengan asas legalitas ini dimaksudkan bahwa: 1 Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam pidana kalau terlebih dahulu tidak dinyatakan dalam aturan Undang-undang; 2 Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi; M. Tavip : Pelaksanaan Therapeutic Community Dan Rehabilitasi Terpadu Bagi Narapidana Narkotika Dan Psikotropika Di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Medan Dihubungkan Dengan Tujuan Sistem Pemasyarakatan, 2009 3 Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut retroakif. Penjatuhan hukuman yang merupakan pelaksanaan dari suatu sistem pemidanaan dan tentunya akan berpengaruh besar terhadap berlangsungnya sistem pembinaan narapidana pada lembaga pemasyarakatan di Indonesia. Sahardjo berpandangan bahwa pemasyarakatan sebagai tujuan pidana penjara tidak hanya terbatas pembinaan narapidana semata, tetapi untuk menunjang kebijakan penanggulangan kejahaan, disamping itu juga pidana penjara tidak lagi dipandang sebagai bentuk prefentif. Disamping itu juga, pidana diharapkan sebagai suatu usaha perdamaian antara narapidana dan masyarakat melalui cara penghapusan rasa bersalah terpidana, dengan cara memaksimalkan pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan dengan demikian Sahardjo dapat juga dipandang sebagai kaum utilitaris serta pemikirannyapun lebih dekat kepada pemikiran PBB tentang Konsepsi Minimum Rules The Prefention of Crime And The Treatment Offenders 1967” Karena memproyeksikan tujuan pidana dalam pencegahan kejahatan maupun penurunan jumlah pelanggaran hukum. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika mengatur perbuatan-perbuatan yang termaasuk tindak pidana narkotika, yang dimulai dari Pasal 78 sampai dengan Pasal 100. Ketentuan dalam pasal-pasal tersebut merupakan ketentuan khusus. Ketentuan pidana dalam peraturan hukum ini terdiri atas: 1. Tindak pidana yang menyangkut produksi narkotika. Tindak pidana yang diatur dalam Pasal 80 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika ini melarang perbuatan memproduksi, mengolah, mengekstraksi, mengkonversi, merakit atau menyediakan narkotika. Dalam pasal ini jika narkotika yang dimaksud ialah narkotika Golongan I, maka ancaman hukumannya adalah hukuman mati, penjara seumur hidup, atau penjara paling lama 20 dua puluh tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,- satu milyar rupiah. Jika Golongan II, maka ancaman hukumannya adalah pidana penjara paling lama 15 lima belas tahun dan denda paling banyak sebesar Rp. 500.000.000,- lima ratus juta rupiah. Sedangkan jika Golongan III, maka ancaman hukumannya adalah pidana penjara paling lama 7 tujuh tahun dan denda paling banyak sebesar Rp.200.000.000,- dua ratus juta rupiah. 2. Tindak pidana yang menyangkut jual - beli narkotika. M. Tavip : Pelaksanaan Therapeutic Community Dan Rehabilitasi Terpadu Bagi Narapidana Narkotika Dan Psikotropika Di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Medan Dihubungkan Dengan Tujuan Sistem Pemasyarakatan, 2009 Tindak pidana ini diatur dalam Pasal 82 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika, dimana dalam pasal ini terdapat larangan untuk mengimpor, mengekspor, menawarkan untuk dijual, menyalurkan, menjual, membeli, menyerahkan, menerima, menjadi perantara dalam jual - beli, atau menukar narkotika. Dalam pasal ini jika narkotika yang dimaksud adalah Golongan I, maka ancaman hukumannya adalah pidana mati, penjara seumur hidup, atau penjara paling lama 20 dua puluh tahun, denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,- satu milyar rupiah. Jika Golongan II, maka ancaman hukumannya adalah pidana penjara paling lama 15 lima belas tahun dan denda paling banyak Rp. 500.000.000,- lima ratus juta rupiah. Sedangkan jika Golongan III, maka ancaman hukumannya adalah pidana penjara paling lama 10 sepuluh tahun dan denda paling banyak Rp. 300.000.000,- tiga ratus juta rupiah. Selain itu dalam pasal ini terdapat pemberatan terhadap pelanggaran ketentuan ini jika kejahatan tersebut didahului dengan permufakatan jahat, dilakukan secara terorganisasi atau dilakukan oleh korporasi. 3. Tindak pidana yang menyangkut pengangkutan narkotika. Tindak pidana yang menyangkut masalah pengangkutan narkotika ini diatur dalam Pasal 81 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Pasal ini melarang setiap pihak untuk membawa, mengirim, mengangkut atau mentransito narkotika golongan I, golongan II, dan golongan III. Jika narkotika tersebut adalah golongan I, maka ancaman hukuman paling lama 15 lima belas tahun penjara dan denda paling banyak Rp.750.000.000,- tujuh ratus lima puluh juta rupiah. Sedangkan jika golongan II, maka diancam hukuman penjara paling lama 10 sepuluh tahun dan denda paling banyak Rp. 500.000.000,- lima ratus juta rupiah. Jika narkotika golongan III, maka diancam pidana penjara paling lama 7 tujuh tahun dan denda paling banyak Rp. 200.000.000,- dua ratus juta rupiah. Dalam pasal ini terdapat pula pemberatan terhadap tindak pidana yang didahului dengan permufakatan jahat, dilakukan secara terorganisasi atau dilakukan oleh korporasi. M. Tavip : Pelaksanaan Therapeutic Community Dan Rehabilitasi Terpadu Bagi Narapidana Narkotika Dan Psikotropika Di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Medan Dihubungkan Dengan Tujuan Sistem Pemasyarakatan, 2009 4. Tindak Pidana yang menyangkut penguasaan narkotika. Tindak pidana ini diatur dalam Pasal 78 dan 79 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Pasal 78 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika mengatur bahwa terdapat larangan untuk menanam, memelihara, mempunyai dalam persediaan, memiliki, menyimpan atau narkotika golongan I dalam bentuk tanaman serta memiliki, menyimpan untuk dimiliki atau untuk persediaan, atau menguasai narkotika golongan I bukan tanaman. Dalam pasal ini juga diatur mengenai masalah pemberatan yang dapat dijatuhkan dalam hal kejahatan tersebut dilakukan dengan didahului permufakatan jahat, atau dilakukan secara terorganisasi atau dilakukan oleh korporasi. Sedangkan dalam Pasal 79 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika diatur mengenai masalah larangan untuk memiliki, menyimpan untuk dimiliki atau persediaan, atau menguasai narkotika golongan II dan golongan III. Jika narkotika tersebut adalah golongan II, maka ancaman hukumannya adalah pidana penjara paling lama 7 tujuh tahun dan denda paling banyak Rp.250.000.000,-dua ratus lima puluh juta rupiah. Sedangkan jika narkotika golongan III, maka dapat diancam pidana penjara paling lama 5 lima tahun dan denda paling banyak Rp.100.000.000,- seratus juta rupiah. Selain itu terdapat juga pemberatan terhadap kejahatan ini jika didahului dengan permufakatan jahat, dilakukan secara terorganisir atau dilakukan oleh korporasi. M. Tavip : Pelaksanaan Therapeutic Community Dan Rehabilitasi Terpadu Bagi Narapidana Narkotika Dan Psikotropika Di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Medan Dihubungkan Dengan Tujuan Sistem Pemasyarakatan, 2009 5. Tindak pidana yang menyangkut penyalahgunaan narkotika. Tindak pidana ini dapat dibagi menjadi 2 dua, yaitu perbuatannya tersebut dilakukan untuk orang lain dan dilakukan untuk dirinya sendiri. Untuk penyalahgunaan narkotika yang dilakukan untuk orang lain diatur dalam Pasal 84 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Dalam pasal tersebut terdapat larangan untuk menggunakan narkotika terhadap orang lain atau memberikan narkotika golongan I, golongan II dan golongan III. Untuk narkotika golongan I, maka dapat diancam hukuman penjara paling lama 15 lima belas tahun dan denda paling banyak Rp. 750.000.000,- tujuh ratus lima puluh juta rupiah. Sedangkan untuk golongan II dapat diancam pidana penjara paling lama 10 sepuluh tahun dan denda paling banyak Rp.500.000.000,- lima ratus juta rupiah. Untuk golongan III ancaman hukumannya adalah pidana penjara paling lama 5 lima tahun dan denda paling banyak Rp.250.000.000,- dua ratus lima puluh juta rupiah. Sedangkan penyalahgunaan narkotika yang dilakukan bagi dirinya sendiri diatur dalam Pasal 85 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Dalam pasal ini terdapat larangan untuk menggunakan narkotika golongan I, II dan III. Ancaman hukuman yang dapat dijatuhkan untuk pelanggaran tersebut adalah pidana penjara 4 emapt tahun bila narkotika golongan I, pidana penjara 2 dua tahun jika golongan II, dan 1 satu tahun jika golongan III. M. Tavip : Pelaksanaan Therapeutic Community Dan Rehabilitasi Terpadu Bagi Narapidana Narkotika Dan Psikotropika Di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Medan Dihubungkan Dengan Tujuan Sistem Pemasyarakatan, 2009 6. Tindak pidana yang menyangkut tidak melaporkan pecandu narkotika. Dalam kejahatan ini diatur dalam Pasal 86 jo Pasal 46 ayat 1 dan Pasal 88 jo Pasal 46 ayat 2 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Pasal- pasal tersebut diatur mengenai kewajiban bagi orangtua atau wali dari pecandu narkotika yang belum cukup umur untuk melaporkan kepada pejabat yang ditunjuk oleh pemerintah untuk mendapatkan pengobatan danatau perawatan. Selain itu diatur juga kewajiban bagi pecandu narkotika yang telah cukup umur untuk melaporkan diri atau dilaporkan oleh keluarganya kepada pejabat yang ditunjuk oleh pemerintah untuk mendapatkan pengobatan danatau perawatan. Mengenai tindakan tidak melaporkan yang seharusnya dilakukan oleh orangtua atau wali tersebut adalah termasuk delik dolus dengan sengaja tidak melapor, sehingga jika orangtua atau wali tersebut lalai atau tidak mengetahui hal tersebut dianggap merupakan tindak pidana. 7. Tindak pidana yang menyangkut label dan publikasi. M. Tavip : Pelaksanaan Therapeutic Community Dan Rehabilitasi Terpadu Bagi Narapidana Narkotika Dan Psikotropika Di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Medan Dihubungkan Dengan Tujuan Sistem Pemasyarakatan, 2009 Dalam ketentuan Pasal 41 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika, pabrik obat diwajibkan mencantumkan label pada kemasan narkotika baik dalam bentuk obat jadi maupun bahan baku narkotika. Sedangkan dalam Pasal 42 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika terdapat ketentuan bahwa narkotika hanya dapat dipublikasikan kepada media cetak ilmiah kedokteran atau media cetak ilmiah farmasi. Berdasarkan Pasal 89 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika, maka bagi pelanggaran terhadap ketentuan tersebut dapat diancam pidana penjara paling lama 7 tujuh tahun dan denda paling banyak Rp. 200.000.000,- dua ratus juta rupiah. 8. Tindak pidana yang menyangkut jalannya peradilan. Berdasarkan Pasal 92 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika, maka setiap pihak yang menghalangi atau mempersulit penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan perkara narkotika tanpa hak dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 lima tahun dan denda paling banyak Rp.150.000.000,- seratus lima puluh juta rupiah. 9. Tindak pidana yang menyangkut penyitaan dan pemusnahan narkotika. M. Tavip : Pelaksanaan Therapeutic Community Dan Rehabilitasi Terpadu Bagi Narapidana Narkotika Dan Psikotropika Di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Medan Dihubungkan Dengan Tujuan Sistem Pemasyarakatan, 2009 Barang yang berhubungan dengan tindak pidana narkotika akan disita dan dijadikan barang bukti dalam persidangan. Apabila barang tersebut ternyata terbukti dipergunakan dalam tindak pidana, maka harus ditetapkan untuk dirampas dan dimusnahkan. Kadangkala barang bukti yang disita tersebut berupa tanaman yang jumlahnya sangat banyak sehingga tidak mungkin untuk diajukan ke pengadilan seluruhnya. Untuk itu berdasarkan Pasal 71 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika, maka barang bukti yang demikian disisihkan secara wajar dan sisanya dimusnahkan. Semua tindakan penyidik tersebut yang berupa penyitaan, penyisihan dan pemusnahan tersebut haruslah dibuat berita acaranya. Sehubungan dengan hal tersebut, maka berdasarkan Pasal 94 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika, bagi penyidik yang tidak melaksanakan kewajibannya dapat dikenakan sanksi pidana. Jika hal tersebut dilakukan oleh Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil PPNS, maka dapat dipidana kurungan paling lama 6 enam bulan atau denda paling banyak Rp. 1.000.000,- satu juta rupiah. Sedangkan jika dilakukan oleh Pejabat Polisi Negara Indonesia maka dapat dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 10. Tindak pidana yang menyangkut keterangan palsu. Dalam Pasal 95 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika, disebutkan bahwa saksi yang memberikan keterangan tidak benar dalam pemeriksaan perkara tindak pidana narkotika dimuka sidang pengadilan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 sepuluh tahun, dan denda paling banyak Rp. 300.000.000,- tiga ratus juta rupiah. Ketentuan dalam pasal tersebut adalah merupakan lex specialis dari ketentuan Pasal 242 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang mengatur mengenai memberikan keterangan palsu. Dengan adanya ketentuan dalam Pasal 95 tersebut, maka dalam perkara tindak pidana narkotika yang dipakai adalah ketentuan dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. 11. Tindak pidana yang menyangkut penyimpangan fungsi lembaga. Berdasarkan Pasal 99 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika, maka lembaga-lembaga yang diberikan kewenangan untuk memproduksi, menyalurkan, atau menyerahkan narkotika, tetapi melakukan kegiatannya tersebut tidak sesuai dengan tujuannya dapat dijatuhi hukuman. Bagi pelanggaran terhadap ketentuan ini dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 sepuluh tahun dan denda paling banyak Rp. 200.000.000,- dua ratus juta rupiah. 12. Tindak pidana yang menyangkut pemanfaatan anak di bawah umur. M. Tavip : Pelaksanaan Therapeutic Community Dan Rehabilitasi Terpadu Bagi Narapidana Narkotika Dan Psikotropika Di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Medan Dihubungkan Dengan Tujuan Sistem Pemasyarakatan, 2009 Kejahatan yang menyangkut pemanfaatan anak di bawah umur ini diatur didalam Pasal 87 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Dimana dalam pasal tersebut terdapat larangan untuk menyuruh, memberi atau menjanjikan sesuatu, memberikan kesempatan, menganjurkan, memberikan kemudahan, memaksa dengan ancaman, memaksa dengan kekerasan, melakukan dengan tipu muslihat atau membujuk anak yang belum cukup umur untuk melakukan tindak pidana. Pengaturan pelaku tindak pidana psikotropika diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, yaitu : 1. Tindak pidana psikotropika yang berkaitan dengan Golongan I. Zat atau obat psikotropika Golongan I mempunyai potensi amat kuat sehingga engakibatkan sindroma ketergantungan. Oleh karena itu di dalam penggunaannya hanya diperuntukkan untuk tujuan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi. Hal ini berbeda dengan Psikotropika Golongan II, III dan IV yang dipergunakan untuk terapi. 2. Tindak pidana psikotropika yang berkaitan dengan produksi. Pengertian produksi adalah kegiatan atau proses menyiapkan, membuat, menghasilkan, mengemas, danatau mengubah bentuk psikotropika yang dapat diproduksi oleh pabrik obat yang telah memiliki izin sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. 3. Tindak pidana psikotropika yang berkaitan dengan peredaran. M. Tavip : Pelaksanaan Therapeutic Community Dan Rehabilitasi Terpadu Bagi Narapidana Narkotika Dan Psikotropika Di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Medan Dihubungkan Dengan Tujuan Sistem Pemasyarakatan, 2009 Peredaran psikotropika terdiri dari penyaluran dan penyerahan. Pengertian peredaran adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan penyaluran atau penyerahan psikotropika, baik dalam rangka perdagangan, bukan perdagangan maupun pemindahtanganan. Terhadap psikotropika yang tidak didaftarkan terlebih dahulu, lalu diedarkan diancam dengan Pasal 60 ayat 1 huruf c Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika. 4. Tindak pidana psikotropika yang berkaitan dengan ekspor dan impor. Pengaturan ekspor dan impor psikotropika dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika meliputi: a Surat persetujuan ekspor dan surat persetujuan impor; b Pengangkutan; c Transito; d Pemeriksaan. Pada dasarnya ekspor dilakukan oleh pabrik obat atau pedagang besar farmasi PBF, yang telah memiliki izin. Sedangkan untuk impor psikotropika dilakukan oleh lembaga penelitian atau lembaga pendidikan. Hanya saja untuk lembaga penelitian atau lembaga pendidikan dilarang mengedarkan psikotropika yang di impornya Pasal 16 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika. Penyimpangan terhadap ekspor dan impor dari ketentuan tersebut, merupakan tindak pidana yang di ancam dalam Pasal 61 ayat 1 huruf a Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika. 5. Tindak pidana psikotropika yang berkaitan dengan pemusnahan. Pasal 53 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika memberikan ketentuan tentang alasan dan pelaksanaan pemusnahan psikotropika. Alasan pemusnahan psikotropika adalah: M. Tavip : Pelaksanaan Therapeutic Community Dan Rehabilitasi Terpadu Bagi Narapidana Narkotika Dan Psikotropika Di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Medan Dihubungkan Dengan Tujuan Sistem Pemasyarakatan, 2009 a Berhubungan dengan tindak pidana. b Diproduksi tanpa memenuhi standar dan persyaratan yang berlaku danatau tidak dapat digunakan dalam proses produksi psikotropika danatau kadaluarsa danatau tidak memenuhi syarat untuk digunakan pada pelayanan kesehatan danatau untuk kepentingan ilmu pengetahuan. Ancaman terhadap pemusnahan psikotropika yang tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 53 ayat 1 2 dan 3 diancam dengan ketentuan Pasal 63 ayat 2 huruf d Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997. 6. Tindak pidana psikotropika yang berkaitan dengan peran serta masyarakat dan pelapor. Banyak tindak pidana yang saat ini pemberantasannya melibatkan masyarakat dalam mewujudkan upaya pencegahan penyalahgunaan narkoba. Masyarakat dalam hal ini wajib melaporkan kepada pihak yang berwenang, bila mengetahui tentang psikotropika yang disalahgunakan atau dimiliki secara tidak sah Pasal 54 ayat 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika. Bagi masyarakat yang tidak melapor kepada pihak yang berwenang bila mengetahui tentang psikotropika yang disalahgunakan, atau dimiliki secara tidak sah, diancam dengan pidana dengan Pasal 65 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika. 7. Tindak pidana psikotropika yang berkaitan dengan label dan iklan. Ada kewajiban bagi pabrik obat untuk mencantumkan label pada kemasan psikotropika. Pengertian label psikotropika adalah setiap keterangan mengenai psikotropika yang dapat berbentuk tulisan, kombinasi gambar dan tulisan, atau bentuk lain yang disertakan pada kemasan atau dimasukkan dalam kemasan, ditempelkan, atau merupakan bagian dari wadah danatau kemasannya Pasal 30 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika. Apabila tulisan berupa keterangan yang M. Tavip : Pelaksanaan Therapeutic Community Dan Rehabilitasi Terpadu Bagi Narapidana Narkotika Dan Psikotropika Di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Medan Dihubungkan Dengan Tujuan Sistem Pemasyarakatan, 2009 dicantumkan pada label psikotropika, tidak lengkap dan menyesatkan, diancam dengan ketentuan Pasal 63 ayat 2 huruf b Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika. Di dalam dunia farmasi, juga tidak lepas dengan adanya iklan di dalam pemasarannya, psikotropika hanya dapat diiklankan pada media cetak ilmiah kedokteran danatau media cetak ilmiah farmasi Pasal 31 ayat 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika. Untuk itu materi iklan psikotropika diatur lebih lanjut oleh Menteri Kesehatan. Mengiklankan psikotropika pada media cetak selain media cetak ilmiah kedokteran atau media cetak farmasi diancam dengan ketentuan Pasal 63 ayat 2 huruf c Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika. M. Tavip : Pelaksanaan Therapeutic Community Dan Rehabilitasi Terpadu Bagi Narapidana Narkotika Dan Psikotropika Di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Medan Dihubungkan Dengan Tujuan Sistem Pemasyarakatan, 2009

C. Pembinaan Narapidana