penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan
5. Asas kepastian hukum, dimaksudkan agar baik pelaku usaha dan konsumen
menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaran perlindungan konsumen serta negara
Di indonesia dasar hukum yang menjadikan seorang konsumen dapat mengajukan perlindungan konsumen adalah:
1. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 5 ayat 1, Pasal 21 ayat 1, Pasal 21 ayat
1, Pasal 27 dan Pasal 23. 2.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen . 3.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang larangan Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Tidak usaha tidak sehat.
4. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa. 5.
Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 Tentang Pembinaan Pengawasan dan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen.
6. Surat Edaran Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Noor 235DJPDNVII2001
tentang Penangananan Pengaduan Konsumen yang dtiujukan kepada Seluruh Dinas Indag PropKabKota.
7. Surat Edaran Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Nomor
795DJPDNSE122005 tentang Pedoman Pelayanan Pengaduan Konsumen .
B. Ruang Lingkup Perlindungan Konsumen
Universitas Sumatera Utara
Ruang lingkup perlindungan konsumen pada dasarnya meliputi hak dan kewajiban pelaku usaha dan konsumen. Seperti halnya dengan prestasi yang harus
dipenuhi oleh masing-masing pihak, disaat pelaku usaha memiliki hak disaat yang bersamaan pula konsumen memiliki kewajiban. Disaat konsumen memiliki hak
disaat yang bersamaan pula pelaku usaha memiliki kewajiban. Berikut ruang lingkup perlindungan konsumen yang diatur sesuai dengan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen : 1. Hak dan kewajiban
Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyatakan hak-hak dan kewajiban yang dimiliki konsumen, antara
lain: a.
Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang danatau jasa.
b. Hak untuk memilih barang danatau jasa serta mendapatkan barang
danatau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.
c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai konsidi dan
jaminan barang danatau jasa. d.
Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang danatau jasa yang digunakan.
e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian
sengketa perlindungan konsumen secara patut. f.
Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen.
Universitas Sumatera Utara
g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif.
22
h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi danatau penggantian,
apabila barang danatau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya. Sebagai kontra prestasi atas hak-hak dari konsumen, Pasal 5 Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen juga mengatur dengan rinci kewajiban yang harus dipenuhi oleh konsumen, antara lain:
a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau
pemanfaatan barang danatau jasa, demi keamanan dan keselamatan. b.
Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang danatau jasa. c.
Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati. d.
Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
2. Perbuatan yang dilarang Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
memberikan batasan larangan yang tegas kepada pelaku usaha sebagai bentuk perlindungan atas hak-hak dari konsumen dalam menggunakan barang danatau
jasa yang ditawarkan oleh pelaku usaha. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
22
Penjelasan Pasal 4 huruf g UUPK: “Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif berdasarkan suku, agama, budaya, daerah,
pendidikan, kaya, miskin, dan status social lainnya.”
Universitas Sumatera Utara
tentang Perlindungan Konsumen secara eksplisit mengatur larangan bagi pelaku usaha dari Pasal 8 sampai dengan Pasal 17.
Pasal 8 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa menjelaskan bahwa pada pasal ini tertuju pada dua
hal yaitu larangan memproduksi barang danatau jasa dan larangan memperdagangkan barang danatau jasa yang dimaksud. Larangan-larangan
tersebut agar barang danatau jasa yang beredar di masyarakat merupakan produk yang layak edar, antara lain asal-usul, kualitas sesuai dengan informasi pengusaha
baik melalui label, etiket, iklan dan lain sebagainya.
23
23
Husni Syawili dan Neni Sri Imaniyati, Hukum Perlindungan Konsumen, Bandung: Mandar maju, 2000, hal,18
Berbeda dengan produk-produk lainnya, terhadap barang-barang yang berupa sediaan farmasi mendapat perlakuan khusus, karena kalau barang jenis ini
rusak, cacat atau bekas, tercemar maka dilarang untuk diperdagangkan, walaupun disertai dengan informasi yang lengkap dan benar tentang barang tersebut.
Sedangkan barang lainnya tetap dapat diperdagangkan asal disertai dengan informasi yang lengkap dan benar atas barang tersebut.
Larangan-larangan yang tertuju pada produk sebagaimana dimaksudkan pada Pasal 8 adalah untuk memberikan perlindungan terhadap kesehatanharta
konsumen dari penggunaan barang dengan kualitas yang di bawah standar atau kualitas yang lebih rendah dari pada nilai harga yang dibayar. Dengan adanya
perlindungan yang demikian, maka konsumen tidak akan diberikan barang dengan kualitas yang lebih rendah daripada harga yang dibyarnya atau yang tidak sesuai
dengan informasi yang diperolehnya.
Universitas Sumatera Utara
Secara garis besar larangan yang dikenakan dalam Pasal 8 Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dapat dibagi ke
dalam dua larangan pokok, yaitu: a.
Larangan mengenai produk itu sendiri, yang tidak memenuhi syarat dan standar yang layak untuk dipergunakan atau dipakai atau dimanfaatkan
oleh konsumen; b.
Larangan mengenai ketersediaan informasi yang tidak benar, dan tidak akurat, yang menyesatkan konsumen.
Ada larangan-larangan yang diberlakukan kepada pelaku usaha sesuai dengan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen yang menyatakan bahwa: a.
Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu barang danatau jasa secara tidak benar, danatau seolah-olah:
1 Barang tersebut telah memenuhi danatau memiliki potongan harga
khusus, standar mutu tertentu, gaya atau mode tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu;
2 Barang tersebut dalam keadaan baik danatau baru;
3 Barang danatau jasa tersebut telah mendapatkan danatau memiliki
sponsor, persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciri- ciri kerja, atau aksesori tertentu;
4 Barang danatau jasa tersebut dibuat oleh perusahaan yang mempunyai
sponsor, persetujuan atau afiliasi; 5
Barang danatau jasa tersebut tersedia;
Universitas Sumatera Utara
6 Barang tersbut tidak mengandung cacat tersembunyi;
7 Barang tersebut merupakan kelengkapan dari barang tertentu;
8 Barang tersebut berasal dari daerah tertentu;
9 Secara langsung atau tidak langsung merendahkan barang danatau
jasa lain; 10
Menggunakan kata-kata yang berlebihan, seperti aman, tidak berbahaya, tidak mengandung risiko, atau efek sampingan tanpa
keterangan yang lengkap; 11
Menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti. b.
Barang danatau jasa sebagaiman dimaksud pada ayat 1 dilarang untuk diperdagangkan kembali karena bertentangan dengan ketentuan yang telah
dibuat. c.
Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap ayat 1 dilarang untuk melanjutkan penawaran, promosi, dan pengiklanan barang danatau
jasa tersebut. Dalam substansi ketentuan Pasal 9, pada intinya merupakan bentuk
larangan yang tertuju pada “perilaku” produsen farmasi atau pelaku usaha. Pasal 9 ini melarang bagi produsen produk farmasi “membohongi” konsumen seolah-olah
bahwa produk farmasi yang diedarkan sudah mempunyai standar yang layak, kegunaan yang mujarab tanpa efek samping, kata-kata yang berlebihan seperti
“aman, tidak beresiko, tanpa efek samping, dibuat dari bahan alami” tanpa keterangan yang lengkap. Intinya bahwa produsen produk farmasi diwajibkan
untuk jujur dalam berusaha dan tidak membohongi konsumen dengan produk
Universitas Sumatera Utara
yang seolah-olah sudah memenuhi standar kelayakan untuk diproduksi dan diedarkan
Pasal 10 UUPK menyatakan bahwa, pelaku usaha dalam menawarkan barang danatau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang menawarkan,
mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai:
a. Harga atau tarif suatu barang danatau jasa;
b. Kegunaan suatu barang danatau jasa;
c. Kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang
danatau jasa; d.
Tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan; e.
Bahaya penggunaan barang danatau jasa. Pasal 10 di atas berisi larangan menawarkan, mempromosikan,
mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan terhadap barang danatau jasa tertentu, maka secara otomatis larangan dalam Pasal
10 juga menyangkut persoalan larangan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 9. Pasal 11 UUPK menyatakan bahwa, pelaku usaha dalam hal penjualan
yang dilakukan melalui cara obral atau lelang, dilarang mengelabuimenyesatkan konsumen dengan:
a. Menyatakan barang danatau jasa tersebut seolah-olah telah memenuhi
standar mutu tertentu; b.
Menyatakan barang danatau jasa tersebut seolah-olah tidak mengandung cacat tersembunyi;
Universitas Sumatera Utara
c. Tidak berniat untuk menjual barang yang ditawarkan melainkan dengan
maksud untuk menjual barang lain; d.
Tidak menyediakan barang dalam jumlah tertentu danatau jumlah yang cukup dengan maksud menjual barang yang lain;
e. Tidak menyediakan jasa dalam kapasitas tertentu atau dalam jumlah cukup
dengan maksud menjual jasa yang lain; f.
Menaikkan harga atau tarif barang danatau jasa sebelum melakukan obral. Pasal 12 UUPK menyatakan bahwa, pelaku usaha dilarang menawarkan,
mempromosikan, atau mengiklankan suatu barang danatau jasa dengan harga atau tarif khusus dalam waktu dan jumlah tertentu, apabila pelaku usaha tidak
memiliki niat untuk melaksanakannya sesuai dengan yang telah ditawarkan , dipromosikan atau diiklankan.
Pasal 13 ayat 1 UUPK menyatakan bahwa, pelaku usaha dilarang untuk mempromosikan, atau mengiklankan suatu barang dengan cara menjanjikan
pemberian hadiah berupa barang secara cuma-cuma dengan maksud untuk tidak merealisasikan apa yang telah dijanjikan sebelumnya atau pun tidak seperti yang
telah dijanjikan oleh pelaku usaha tersebut. Pasal 13 ayat 2 UUPK menyatakan bahwa, pelaku usaha dilarang
menawarkan, mempromosikan, atau mengiklankan obat, obat tradisional, suplemen makanan, alat kesehatan, dan jasa pelayanan kesehatan dengan cara
menjanjikan pemberian hadiah berupa barang danatau jasa dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang danatau jasa lain.
Universitas Sumatera Utara
Pasal 14 UUPK menyatakan bahwa, adanya beberapa larangan yang diberikan kepada pelaku usaha dalam menawarkan barang danatau jasa yang
ditujukan untuk diperdagangkan dengan memberikan hadiah melalui cara undian, seperti:
a. Tidak melakukan penarikan hadiah setelah batas waktu yang dijanjikan;
b. Mengumumkan hasilnya tidak melalui media massa;
c. Memberikan hadiah tidak sesuai dengan yang dijanjikan;
d. Mengganti hadiah yang tidak setara dengan nilai hadiah yang dijanjikan.
Pasal 15 UUPK menyatakan bahwa, pelaku usaha dilarang melakukan pemaksaan yang menimbulkan gangguan baik fisik maupun psikis terhadap
konsumen dalam hal menawarkan barang danatau jasa. Pelaku usaha dilarang keras melakukan kekerasan dalam melakukan penawaran barang danatau jasa
karena melanggar ketentuan yang telah dibuat dan dapat beresiko dijatuhi hukuman pidana karena telah melakukan pemaksaan dengan unsur kekerasan.
Pasal 16 UUPK menyatakan bahwa, pelaku usaha dilarang menawarkan barang danatau jasa melalui pesanan apabila tidak menepati pesanan danatau
kesepakatan waktu penyelesaian sesuai dengan yang dijanjikan dan tidak menepati janji atas suatu pelayanan danatau prestasi yang telah dijanjikan.
Pasal 17 ayat 1 UUPK menyatakan bahwa, pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan yang:
a. Mengelabui konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan kegunaan dan
harga barang danatau tarif jasa serta ketepatan waktu penerimaan barang danatau jasa;
Universitas Sumatera Utara
b. Mengelabui jaminangaransi terhadap barang danatau jasa;
c. Memuat informasi yang keliru, salah, atau tidak tepat mengenai barang
danatau jasa; d.
Tidak memuat informasi mengenai risiko pemakaian barang danatau jasa; e.
Mengeksploitasi kejadian danatau seseorang tanpa seizin yang berwenang atau persetujuan yang bersangkutan;
f. Melanggar etika danatau ketentuan peraturan perundang-undangan
mengenai periklanan. Pasal 17 ayat 2 UUPK menyatakan bahwa, pelaku usaha periklanan
dilarang melanjutkan peredaran iklan yang telah melanggar ketentuan pada ayat 1.
3. Ketentuan pencantuman klausula baku Istilah klausula baku atau perjanjian baku berasal dari terjemahan dari
bahasa Inggris yaitu standard contract. Standar kontrak merupakan perjanjian yang telah ditentukan dan telah dituangkan dalam bentuk formulir. Kontrak ini
telah ditentukan secara sepihak oleh salah satu pihak terutama pihak eonomi kuat terhadap ekonomi lemah.
24
24
H. Salim HS, Perkembangan Hukum Kontrak di lur KUHPerdata, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2006, hal, 145
Pasal 1 angka 10 UUPK menyatakan bahwa klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan
dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen danatau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh
konsumen.
Universitas Sumatera Utara
Mariam Badrulzaman mengemukakan bahwa standard contract merupakan perjanjian yang telah dibakukan dan ia juga mengemukakan bahwa
ciri-ciri perjanjian baku yaitu:
25
a. Isinya ditetapkan secara sepihak oleh pihak yang posisi ekonominya kuat
b. Masyarakat debitur sama sekali tidak ikut bersama-sama menentukan isi
perjanjian c.
Terdorong oleh kebutuhannya debitur terpaksa menerima perjanjian itu d.
Bentuk tertentu tertulis e.
Dipersiapkan secara masal dan kolektif Gunawan menyebutkan bahwa dengan penggunaan perjanjian standar
menyebabkan asas kebebasan berkontrak kurang atau bahkan tidak dapat diwujudkan.
26
Senada dengan itu, Mariam Darus Badrulzaman juga menyatakan bahwa perjanjian baku itu secara teoritis yuridis tidak memenuhi dalam Pasal
1320 jo Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata.
27
25
Ibid., Salim HS . Halaman 146.
26
Johannes Gunawan. “Penggunaan Perjanjian Standard dan Implikasinya Pada Asas Kebebasan Berkontrak” Majalah Ilmu Hukum dan Pengetahuan Masyarakat No. 3, . 1987. Jilid
XVII, Bandung PT. Alumni. Halaman 55; dalam Djaja S. Meliala. 2008. Perkembangan Hukum Perdata tentang Benda dan Hukum Perikatan, cetakan kedua. Bandung: Penerbit Nuansa Aulia.
Halaman 97.
27
Ibid. Mariam Darus Badrulzaman. 1980. Perjanjian Baku standar, Perkembangannya di Indonesia Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar, Medan: Universitas Sumatera Utara. Halaman
13 dan 17; dalam Ibid. Djaja S. Meliala. Halaman 98.
Pelaku usaha ekspedisi pada umumnya menjalankan kegiatan usaha pengiriman ekspedisi menggunakan suatu kontrak yang isinya sudah dibakukan
secara sepihak untuk mempermudah dan menghemat waktu serta biaya yang diperlukan untuk merancang suatu kontrak.
Universitas Sumatera Utara
Klausul dari suatu kontrak yang sudah dibakukan, pada umumnya ditentukan secara sepihak oleh pihak yang lebih dominan posisinya, dalam hal ini
pelaku usaha ekspedisi, sehingga konsumen sebagai pemakai jasa tidak mempunyai kekuatan untuk bernegosiasi lagi bargaining power, sehingga rentan
dirugikan oleh klausul yang ditentukan sepihak oleh pelaku usaha. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
adalah payung hukum yang melindungi kepentingan konsumen, memberikan batasan bagi pelaku usaha dalam mencantumkan klausula baku di dalam kontrak
bisnis yang mereka terbitkan dalam menjalankan kegiatan usaha. Pasal 18 UUPK menyatakan, bahwa:
a. Pelaku usaha dalam menawarkan barang danatau jasa yang ditujukan
untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen danatau perjanjian apabila
28
1 Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha pelaku usaha
tidak bisa melepaskan hak dan tanggung jawabnya kepada pihak ketiga.
:
2 Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali
barang yang dibeli konsumen pelaku usaha harus tetap bertanggung jawab atas barang yang telah dijualnya karena suatu waktu barang
tersebut bisa dikembalikan karena tidak sesuai dengan apa yang telah diperjanjikan.
28
Penjelasan Pasal 18 ayat 1 UUPK : “ Larangan ini dimaksudkan untuk menempatkan kedudukan konsumen setara dengan pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak.”
Universitas Sumatera Utara
3 Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali
uang yang dibayarkan atas barang danatau jasa yang dibeli oleh konsumen atas ganti rugi terhadap barang yang telah dijual tidak
sesuai dengan apa yang telah diperjanjiakan, pelaku usaha berkewajiban mengembalikan uang konsumen
4 Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha
baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh
konsumen secara angsuran setiap pemberian kuasa merupakan ha dari setiap orang termasuk konsumen dalam menjalankan aktivitasnya
termasuk dalam hal jual beli. 5
Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen terkait dengan
pembuktian, badan peradilan ataupun badan lain yang memiliki kewenangan dalam melakukan pembuktian adalah badan yang
memiliki hak atas pembuktian yang ada dalam mencari kebenaran yang ada.
6 Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa
atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa pelaku usaha untuk merugikan konsumen dalam hal
pemanfaatan apa yang telah diperjual belikan oleh pelaku usaha termasuk mengurangi manfaat produk-produk yang dihasilkan oleh
pelaku usaha.
Universitas Sumatera Utara
7 Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa
aturan baru, tambahan, lanjutan danatau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen
memanfaatkan jasa yang dibelinya setiap peraturan tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, maka apabila aturan baru yang
dibuat oleh pelaku usaha dengan mengenyampingkan Pasal 1320 KUHPerdata, maka aturan yang dibuat oleh pelaku usaha batal demi
hukum. 8
Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan
terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran pembebanan ini sangat dilarang karena hak pelaku usaha untuk
melakukannya sama sekali tidak ada. 9
Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas agar dapat
lebih mudah untuk dimengerti pelaku usaha dilarang untuk membuat hal-hal yang merugikan konsumen dengan cara mengelabuinya.
10 Apabila ketentuan klausula baku yang dibuat memenuhi unsur yang
terdapat pada ayat 1 dan ayat 2, maka dinyatakan batal demi hukum.
11 Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan
dengan Undang-undang ini.
Universitas Sumatera Utara
4. Tanggungjawab pelaku usaha
Dalam hal menjalankan kegiatan usaha, hubungan antara pelaku usaha dan konsumen tidak selalu berjalan mulus tanpa halangan. Jikalau ada hak dari
konsumen yang dilanggar oleh pelaku usaha, maka timbul sengketa konsumen. Sengketa konsumen timbul karena ada tanggung jawab dari pelaku usaha
yang tidak dipenuhi sehingga mengakibatkan kerugian pada hak konsumen. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen sudah
mengatur juga secara eksplisit dan rinci tanggung jawab pelaku usaha dari Pasal 19 sampai dengan Pasal 28.
Pasal 19 UUPK menyatakan bahwa, a.
Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, danatau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang
danatau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. b.
Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang danatau jasa yang sejenis
atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan danatau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. c.
Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 tujuh hari setelah tanggal transaksi.
d. Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2
tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.
Universitas Sumatera Utara
e. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 tidak berlaku
apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen
Pasal 20 UUPK menyatakan bahwa, pelaku usaha periklanan diwajibkan untuk bertanggung jawab apabila iklan yang diproduksi tersebut menimbulkan
akibat yang merugikan. Misalnya melakukan produksi iklan yang bersifat mengintimidasi ataupun menjatuhkan produk milik orang lain.
Pasal 21 UUPK menyatakan bahwa, importir barang wajib bertanggung jawab selaku pembuat barang yang diimpor apabila importasi barang tersebut
tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan produsen luar negeri. Importir juga bertanggung jawab dalam penyediaan jasa apabila penyedia jasa tersebut tidak
dilakukan oleh agen atau perwakilan dari penyedia jasa asing. Pasal 22 UUPK menyatakan bahwa, pembuktian terhadap ada tidaknya
unsur kesalahan dalam kasus pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat 4, Pasal 20, dan Pasal 21 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha
menutup kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian.
29
29
Penjelasan Pasal 22 UUPK: “Ketentuan ini dimaksudkan untuk menerapkan sistem beban pembuktian terbaik.”
Pasal 23 UUPK menyatakan bahwa, pelaku usaha yang menolak danatau tidak memberi tanggapan danatau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan
konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat 1, ayat 2, ayat 3, dan ayat 4, dapat digugat melalui badan penyelesaian sengketa konsumen atau
mengajukan ke badan peradilan di tempat kedudukan konsumen. Pasal 24 UUPK menyatakan bahwa:
Universitas Sumatera Utara
a. Pelaku usaha yang menjual barang danatau jasa kepada pelaku usaha lain
bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi danatau gugatan konsumen apabila :
1 Pelaku usaha lain menjual kepada konsumen tanpa melakukan
perubahan apapun atas barang danatau jasa tersebut. 2
Pelaku usaha lain, di dalam transaksi jual beli tidak mengetahui adanya perubahan barang danatau jasa yang dilakukan oleh pelaku usaha atau
tidak sesuai dengan contoh, mutu, dan komposisi. b.
Pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dibebaskan dari tanggung jawab atas tuntutan ganti rugi danatau gugatan konsumen
apabila pelaku usaha lain yang membeli barang danatau jasa menjual kembali kepada konsumen dengan melakukan perubahan atas barang
danatau jasa yang tersebut. Pasal 25 UUPK menyatakan bahwa, pelaku usaha yang memproduksi
barang yang pemanfaatannya berkelanjutan dalam batas waktu sekurang- kurangnya 1 satu tahun wajib menyediakan suku cadang danatau fasilitas purna
jual dan wajib memenuhi jaminan atau garansi sesuai dengan yang diperjanjikan. Pelaku usaha juga harus bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi gugatan
konsumen apabila pelaku usaha tersebut : a.
Tidak menyediakan atau lalai menyediakan suku cadang danatau fasilitas perbaikan.
b. Tidak memenuhi atau gagal memenuhi jaminan atau garansi yang
diperjanjikan.
Universitas Sumatera Utara
Pasal 26 UUPK menyatakan bahwa, pelaku usaha yang memperdagangkan jasa wajib memenuhi jaminan danatau garansi yang disepakati danatau
diperjanjikan sebelum menyepakati perjanjian dengan konsumen agar konsumen memiliki pegangan yang kuat setelah melakukan hubungan kerja dengan pelaku
usaha. Pasal 27 UUPK, merupakan pasal yang sangat membantu bagi pelaku
usaha yang melepaskannya dari tanggung jawab untuk memberikan ganti rugi kepada konsumen. Pasal 27 UUPK menyatakan bahwa, pelaku usaha yang
memproduksi barang dibebaskan dari tanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen, apabila :
a. Barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak
dimaksudkan untuk diedarkan; b.
Cacat barang timbul pada kemudian hari;
30
c. Cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang;
31
d. Kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen;
e. Lewatnya jangka waktu penuntutan 4 empat tahun sejak barang dibeli
atau lewatnya jangka waktu yang diperjanjikan.
32
Pasal 28 UUPK menyatakan bahwa, pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19,
Pasal 22, dan Pasal 23 memang merupakan beban dan tanggung jawab pelaku
30
Penjelasan Pasal 27 huruf b UUPK: “Cacat timbul di kemudian hari adalah sesudah tanggal yang mendapat jaminan dari pelaku usaha sebagaimana diperjanjikan, baik tertulis maupun
lisan.”
31
Penjelasan Pasal 27 huruf b UUPK: “Yang dimaksud dengan kualifikasi barang adalah ketentuan standarisasi yang telah ditetapkan pemerintah berdasarkan kesepakatan semua pihak.”
32
Penjelasan Pasal 27 huruf e UUPK: “Jangka waktu yang diperjanjikan itu adalah masa garansi.”
Universitas Sumatera Utara
usaha karena telah diatur dan menjadi kewajiban pelaku usaha untuk bertanggungjawab.
Pasal 28 ini menentukan bahwa beban pembuktian berada di tangan produsen pelaku usaha. Inilah prinsip pembuktian terbalik, jadi setiap produsen
atau pelaku usaha yang dapat membuktikan bahwa kesalahan yang timbul dalam sengketa konsumen bukan merupakan kesalahannya, maka dapat dibebaskan dari
pertanggungjawaban untuk memberikan ganti rugi kepada konsumen. Hal-hal yang harus dibuktikan oleh produsen atau pelaku usaha agar dapat
bebas dari pertanggungjawaban atas kerugian yang diderita oleh konsumen ialah dengan membuktikan hal-hal yang telah disebut dalam Pasal 27 UUPK, yaitu
karena faktor-faktor pencurian, cacat yang timbul dikemudian hari, kesalahan konsumen dan kadaluwarsa hak untuk menuntut.
5. Pembinaan dan pengawasan
Pemerintah selain memiliki fungsi legilasi, dalam hal ini pembentukan dan pengesahan UUPK, juga mempunyai fungsi untuk membina dan mengawasi
penyelenggaran perlindungan konsumen serta menjamin terlaksananya ketentuan UUPK dalam lalu lintas usaha barang danatau jasa antara konsumen dengan
pelaku usaha. Pembinaan dan pengawasan penyelenggaran perlindungan konsumen
dilaksanakan oleh menteri danatau menteri teknis terkait pada bidang danatau jasa yang berkaitan dengan bidang yang dibawah pengawasan kementerian
tersebut. Dalam hal pembinaan, dapat dilihat ketentuan yang tercantum di dalam Pasal 29 UUPK yang menyatakan bahwa:
Universitas Sumatera Utara
a. Pemerintah bertanggung jawab atas pembinaan penyelenggaraan
perlindungan konsumen yang menjamin diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta dilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku
usaha b.
Pembinaan oleh pemerintah atas penyelenggaraan perlindungan konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilaksanakan oleh Menteri danatau
menteri teknis terkait c.
Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat 2 melakukan koordinasi atas penyelenggaraan perlindungan konsumen.
d. Pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen sebagaimana
dimaksud pada ayat 2 meliputi upaya untuk: 1
Terciptanya iklim usaha dan tumbuhnya hubungan yang sehat antara pelaku usaha dan konsumen;
2 Berkembangnya lembaga perlidungan konsumen swadaya masyarakat;
3 Meningkatkan kualitas sumber daya manusia serta meningkatnya
kegiatan penelitian dan pengembangan di bidang perlindungan konsumen.
e. Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan penyelenggaraan
perlindungan konsumen diatur dengan Peraturan Pemerintah. Dalam hal pengawasan penyelenggaraan perlindungan konsumen , dapat
dilihat di dalam pasal 30 UUPK yang menjelaskan bahwa melalui pemberdayaan setiap unsur yang ada yaitu
Universitas Sumatera Utara
Masyarakat dan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat disamping pemerintah sendiri melalui menteri danatau menteri teknis yang
terkait. Apabila diperhatikan isi Pasal 30 tersebut, maka akan terlihat bahwa pengawasan lebih banyak menitikberatkan pada peran masyarakat dan Lembaga
Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat dibanding dengan peran pemerintah yang pelaksanaannya dilakukan oleh menteri dan atau menteri teknis
yang terkait. Dalam Pasal 30 tersebut juga terlihat pemerintah diberikan tugas melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen serta
penerapan ketentuan peraturan perundang-undangannya
C. Perlindungan Konsumen Atas Pemakaian Jasa Dari Pelaku Usaha Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen
Pelaku usaha ekpedisi pengiriman barang melalui kapal dan konsumen pengirim barang selaku pengguna jasa ekpedisi mempunyai ikatan hukum yang
telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen . Beberapa hal yang dapat dipahami mengenai hubungan hukum
antara pelaku usaha ekpedisi dengan konsumen pengirim barang jikalau terjadi sengketa diantara pihak tersebut, antara lain:
1. Pelaku usaha ekpedisi dan konsumen pengirim barang tidak berbeda dengan
pelaku usaha dan konsumen pada umumnya, sehingga kedua pihak tersebut mempunyai hak-hak, kewajiban, tanggung jawab dan larangan yang telah
diatur secara rinci dan tegas dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen .
Universitas Sumatera Utara
2. Hak-hak dan kewajiban konsumen merupakan bentuk kontra prestasi dengan
hak-hak dan kewajiban pelaku usaha, dengan kata lain bahwa hak dari konsumen adalah kewajiban dari pelaku usaha serta sebaliknya.
3. Klausula-klausula dalam kontrak perjanjian ekpedisi umumnya ditentukan
secara sepihak oleh pelaku usaha kontrak bakustandard contract. Klausula baku sering kali merugikan hak-hak konsumen sehingga Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen memberikan batasan sebagaimana kontrak baku yang wajar untuk dipergunakan dalam lalu lintas
jasa pengiriman ekspedisi. 4.
Pemerintah selain mempunyai fungsi legislasi untuk membentuk dan mengesahkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen , juga mempunyai fungsi pengawasan dalam pelaksanaan perlindungan konsumen sehingga tujuan dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen itu diharapkan dapat tercapai. 5.
Jikalau ada hak-hak dari konsumen yang dilanggar oleh pelaku usaha ekspedisi, maka timbul sengketa konsumen. Sengketa konsumen dapat
diselesaikan dengan 3 tiga cara, antara lain: a.
Dengan cara kekeluargaan antara pelaku usaha dengan konsumen. b.
Dengan menempuh penyelesaian sengketa non-litigasi yang dapat berupa menggugat ke BPSK, mediasi, negosiasi, konsiliasi dan arbitrase.
c. Dengan menempuh penyelesaian sengketa jalur litigasi melalui
mendaftarkan gugatan konsumen ke pengadilan negeri tempat kedudukan konsumen.
Universitas Sumatera Utara
Pada dasarnya perlindungan atas konsumen terhadap pemakaian jasa atau produk dari pelaku usaha telah dijelaskan pada Pasal 19 UUPK dimana pelaku
usaha bertanggungjawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran dan atau kerugian konsumen dalam mengkonsumsi barang atau jasa yang dihasilkan.
Sudah sangat jelas bentuk tanggung jawab yang dibebankan undang-undang kepada pelaku usaha terhadap konsumen tersebut. Dan apabila pelaku usaha
menolak untuk mengganti rugi atas kerugian yang diderita oleh konsumen, maka konsumen dapat mengajukan gugatan kepada BPSK atau ke badan peradilan.
Universitas Sumatera Utara
BAB III PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA EKSPEDISI MUATAN
KAPAL LAUT ATAS KERUGIAN YANG DIALAMI PEMILIK BARANG AKIBAT TENGGELAMNYA KAPAL PENGIRIM BARANG
Pertanggungjawaban merupakan salah satu kewajiban salah satu pihak terhadap pihak lain apabila terjadi suatu kerugian yang timbul.
Pertanggungjawaban pada umunya dapat terjadi karena akibat faktor kesengajaan atau kelalaian salah satu pihak sehingga menimbulkan kerugian.
Pasal 31 Kitab Undang-undang Hukum Dagang menyebutkan bahwa: 1.
Pengusaha kapal terikat oleh perbuatan-perbuatan hukum yang dilakukan oleh mereka yang dalam dinas tetap atau sementara dari kapal iu di dalam
pekerjaannya dalam lingkungan kewenagannya. 2.
Ia bertanggung jawab terhadap kerugian yang ditimpakan pada pihak ketiga karena perbuatan melawan hukum dari mereka yang dalam dinas tetap atau
sementara pada kapal karena jabatannya atau karena melaksanakannya kegiatannya ada di kapal melakukan pekerjaan untuk kapal atau muatan.
Adanya pertanggungjawaban pemilik kapalpengusahapelaku
usahaekspeditur diawalai dengan adanya suatu perjanjian. Perjanjian antara pihak-pihak yang terdapat dalam pengangkutan laut menyebabkan adanya
hubungan hukum yang kuat antara satu pihak dengan pihak yang lain.
A. Perjanjian Pengangkutan Barang Melalui Laut