Perjanjian Pengangkutan Barang Melalui Laut

BAB III PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA EKSPEDISI MUATAN KAPAL LAUT ATAS KERUGIAN YANG DIALAMI PEMILIK BARANG AKIBAT TENGGELAMNYA KAPAL PENGIRIM BARANG Pertanggungjawaban merupakan salah satu kewajiban salah satu pihak terhadap pihak lain apabila terjadi suatu kerugian yang timbul. Pertanggungjawaban pada umunya dapat terjadi karena akibat faktor kesengajaan atau kelalaian salah satu pihak sehingga menimbulkan kerugian. Pasal 31 Kitab Undang-undang Hukum Dagang menyebutkan bahwa: 1. Pengusaha kapal terikat oleh perbuatan-perbuatan hukum yang dilakukan oleh mereka yang dalam dinas tetap atau sementara dari kapal iu di dalam pekerjaannya dalam lingkungan kewenagannya. 2. Ia bertanggung jawab terhadap kerugian yang ditimpakan pada pihak ketiga karena perbuatan melawan hukum dari mereka yang dalam dinas tetap atau sementara pada kapal karena jabatannya atau karena melaksanakannya kegiatannya ada di kapal melakukan pekerjaan untuk kapal atau muatan. Adanya pertanggungjawaban pemilik kapalpengusahapelaku usahaekspeditur diawalai dengan adanya suatu perjanjian. Perjanjian antara pihak-pihak yang terdapat dalam pengangkutan laut menyebabkan adanya hubungan hukum yang kuat antara satu pihak dengan pihak yang lain.

A. Perjanjian Pengangkutan Barang Melalui Laut

Pasal 1313 KUHPerdata menyebutkan bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu Universitas Sumatera Utara orang lain atau lebih. Para sarjana hukum perdata pada umumnya berpendapat bahwa definisi perjanjian dalam ketentuan di atas tidak lengkap dan terlalu luas. 33 Setiawan menyatakan bahwa perjanjian merupakan suatu perbuatan hukum dimana satu orang lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. 34 Definisi perjanjian pengangkutan adalah sebagai perjanjian timbal balik dengan mana pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang atau orang dari suatu tempat ke tempat lain atau tujuan tertentu dengan selamat . Perjanjian pengangkutan adalah perjanjian antara pengangkut dengan pengirim, dimana pengangkut mengikatkan dirinya untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan atau orang dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat, sedangkan pengirim mengikatkan diri untuk membayar uang angkutan. 35 Suatu perjanjian timbal balik pada mana pihak pengangkut mengikat diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang danatau orang ketempat tujuan tertentu, sedangkan pihak lainnya berkeharusan untuk menunaikan pembayaran biaya tertentu untuk pengangkutan itu. 36 Perjanjian pengangkutan niaga adalah persetujuan dengan mana pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan penumpang dan atau barang dari satu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat, dan penumpang atau pengirim mengikatkan diri untuk membayar biaya angkutan. 33 Mariam Darus Badrulzaman, dkk, Kompilasi Hukum Perikatan, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2001, hal. 65. 34 R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Jakarta: Putra A Bardin, 1999, hal. 49 35 H.M.N. Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, cetakan III, Jakarta: Djambatan, 1984, hal. 1 36 Sution Usman Adji, Hukum Pengangkutan di Indonesia, Jakarta:Rineka Cipta, 1990, hal.6 Universitas Sumatera Utara Dari segi hukum, khususnya hukum perjanjian, pengangkutan merupakan perjanjian timbal balik antara pengangkut dan pengirim barang atau penumpang dimana pihak pengangkut mengikatkan dirinya untuk menyelengarakan pengangkutan barang atau orang ke suatu tempat tujuan tertentu, dan pihak pengirim barang atau penumpang mengikatkan diri untuk membayar ongkos angkutannya. 37 1. Perjanjian selalu menciptakan hubungan hukum. Perjanjian menimbulkan perikatan, yaitu perhubungan hukum antara 2 dua orang atau 2 dua pihak, atas dasar mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu prestasi dari yang lain, yang lain berkewajiban melaksanakan dan bertanggung jawab atas suatu prestasi. Dari penjelasan diatas dapat dilihat bahwa setiap perjanjian pada dasarnya akan meliputi hal-hal tersebut di bawah ini: 2. Perjanjian menunjukkan adanya kemampuan atau kewenangan menuntut menurut undang-undang. 3. Perjanjian mempunyai atau berisikan suatu tujuan, bahwa pihak yang satu akan memperoleh dari pihak yang lain suatu prestasi yang mungkin memberikan sesuatu, melakukan sesuatu, atau tidak melakukan sesuatu. 4. Dalam setiap perjanjian, kreditur berhak atas prestasi dari debitur, secara sukarela debitur akan memenuhinya. 5. Dalam setiap perjanjian, debitur wajib dan bertanggung jawab melakukan prestasinya sesuai dengan perjanjian. 37 Ibid. Universitas Sumatera Utara Pengangkutan adalah seorang atau badan yang berjanji menyelenggarakan pengangkutan barang-barang di laut seluruhnya atau sebagian secara time charter atau voyage-charter atau suatu perjanjian lain 38 . Pengangkutan tersebut merupakan pengangkutan niaga atau dagang. Pengertian niaga atau dagang di sini ialah hal menjalankan kegiatan usaha dengan cara membeli barang dan menjualnya kembali atau menyewakannya dengan tujuan memperoleh keuntungan. 39 Hukum pengangkutan merupakan bagian dari hukum dagang perusahaan yang termasuk dalam bidang hukum keperdataan. Dilihat dari segi susunan hukum normatif, bidang hukum keperdataan ialah subsistem tata hukum nasional. Jadi dengan demikian, pengangkutan ialah bagian dari subsistem tata hukum nasional. 40 P.W.D. Redmond Pengangkutan adalah bagian dari subsistem tata hukum nasional. Asas-asas tata hukum nasional merupakan asas-asas hukum pengangkutan KUHPerdata memang telah mengatur definisi perjanjian dalam Pasal 1313, namun tidak mengatur definisi perjanjian pengangkutan. Begitupun dengan Undang-undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran juga tidak memberikan definisi tentang perjanjian pengangkutan, namun hanya mengatur kewajiban pengangkut dalam perjanjian pengangkutan. 41 38 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Laut di Indonesia, Bandung: Sumur, 1960, hal. 107. 39 Soekardono, Hukum Dagang Indonesia II, Jakarta: Rajawali, 1986, hal. 12. 40 Abdulkadir Muhammad, Hukum Pengangkutan Niaga, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1998, hal. 5 41 P.W.D. Redmond, General Principles of English Law 1984, hal. 79. menjelaskan perjanjian sebagai berikut: “Acontract is a legally binding agreement, that is, an agreement imposing rights and obligations on the parties which will be enforced by the courts”. Definisi Universitas Sumatera Utara perjanjian itu merupakan definisi yang menjelaskan adanya hubungan hukum yang menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pihak yang dapat dipaksakan oleh hakim. Pengertian perjanjian pengangkutan juga dapat ditemukan di dalam Pasal 466 KUHD, yaitu: “Perjanjian timbal balik antara pengangkut dan pengirim, di mana pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan atau orang dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat. Di lain pihak pengirim mengikatkan diri untuk membayar uang angkut”. Perjanjian pengangkutan menurut Pasal 1319 KUHPerdata termasuk ke dalam perjanjian bernama, karena oleh undang-undang, perjanjian tersebut diberikan nama dan pengaturan secara khusus benoemde atau nominaatcontracten, baik di dalam KUHPerdata maupun KUHD, bahkan ada diatur pula di dalam undang-undang yang tersendiri. Perjanjian pengangkutan laut termasuk dalam kategori perjanjian bernama dan perjanjian campuran: 1. Perjanjian pengangkutan laut merupakan perjanjian bernama, karena KUHD baik dalam Buku II Bab VA dan VB secara khusus telah mengatur tentang pengangkut dan persetujuan pengangkutan maupun segala sesuatu yang berhubungan dengan pengangkutan orang dan barang. Jadi, meskipun perjanjian pengangkutan pada hakekatnya harus tunduk pada ketentuan umum perjanjian KUHPerdata, tetapi oleh undang-undang, perjanjian pengangkutan laut secara khusus telah diatur sedemikian rupa, yang antara lain menetapkan berbagai kewajiban khusus kepada pihak si pengangkut yang tidak boleh Universitas Sumatera Utara disingkirkan dalam perjanjian pengangkutan, yaitu sebagaimana yang diatur dalam Pasal 470 KUHD, bahwa “Melarang seorang pengangkut untuk memperjanjikan bahwa ia tidak akan menanggung atau hanya akan menanggung sebagian saja kerusakan-kerusakan pada barang yang diangkutnya, yang akan ditimbulkan oleh kurang baiknya alat pengangkutan atau kurang cakapnya pekerja-pekerja yang pakainya. Perjanjian yang dibuat dengan melanggar larangan tersebut, diancam dengan kebatalan. Dengan demikian perjanjian pengangkutan dapat dikategorikan perjanjian bernama”. 2. Perjanjian pengangkutan termasuk dalam perjanjian campuran, karena mengandung beberapa prinsipsifat atau ciri-ciri dari 2 dua atau lebih perjanjian bernama yang masing-masing tidak dapat dipisahkan. Sesuai teori perjanjian campuran, sebagaimana dinyatakan oleh Soekardono, perjanjian pengangkutan termasuk perjanjian campuran karena memuat unsur-unsur: a. Perjanjian penyimpananpenitipan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 486 KUHD, yaitu bahwa “Perjanjian pengangkutan mewajibkan pengangkut untuk menjaga keselamatan barangpenumpang yang diangkut, mulai saat diterimanya barang hingga saat diserahkannya barang tersebut”. Dari penjelasan tersebut terlihat adanya unsur perjanjian penitipan yang bersifat riil, yang artinya hal itu baru akan terjadi dengan dilakukannya suatu perbuatan yang nyata, yaitu dengan diserahkannya barang yang dititipkan sesuai Pasal 1694 dan Pasal 1698 KUHPerdata yang berbunyi: “Perjanjian terjadi, apabila seorang menerima barang dari seorang lain dengan syarat bahwa ia akan menyimpannya dan Universitas Sumatera Utara mengembalikannya dalam wujud asal”, dan “Persetujuan ini tidaklah telah terlaksana selain dengan penyerahan barangnya secara sungguh-sungguh atau dipersangkakan”. b. Prinsip perjanjian pelayanan berkala, yaitu perjanjian yang tidak terus- menerus, yang merupakan perjanjian untuk melakukan pekerjaan yang tidak tetap sebagaimana diatur Pasal 1601 b KUHPerdata. c. Perjanjian pemberian kuasa, hal ini sebagaimana yang diatur dalam Pasal 371 ayat 1 KUHD bahwa “Nakhoda diwajibkan selama perjalanan menjaga kepentingan para pemilik muatan, mengambil tindakan yang diperlukan untuk itu dan jika perlu untuk itu menghadap di muka hakim”. Selanjutnya, pada Pasal 371 ayat 3 KUHD dijelaskan bahwa “Dalam keadaan yang mendesak ia diperbolehkan menjual barang muatan atas sebagian dari itu, atau guna membiayai pengeluaran yang telah dilakukan guna kepentingan muatan tersebut, meminjam uang dengan mempertaruhkan muatan itu sebagai jaminan”. d. Bersifat perjanjian konsensual, menurut ketentuan undang-undang, perjanjian pengangkutan tidak diwajibkan tertulis, cukup dengan lisan asalkan ada persetujuan kedua belah pihak. Hal itu dapat dibaca pada Pasal 454 KUHD. Masing-masing pihak boleh menuntut dibuatkannya suatu akta tentang persetujuan charterparty yang merupakan salah satu bentuk perjanjian pengangkutan. Tanpa dokumen-dokumen pengangkutan, perjanjian pengangkutan tetap dianggap ada. Dokumen-dokumen tersebut bukanlah merupakan unsur dari perjanjian, hanya sebagai alat bukti saja, Universitas Sumatera Utara dan dengan sendirinya dokumen yang ada bisa digantikan dengan alat bukti lainnya, misalnya kuitansi pembayaran. Perjanjian menimbulkan perikatan, yaitu perhubungan hukum antara 2 dua orang atau 2 dua pihak, atas dasar mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu prestasi dari yang lain, yang lain berkewajiban melaksanakan dan bertanggung jawab atas suatu prestasi. Pihak pihak yang terkait di dalam perjanjian pengangkutan laut adalah pihak berdasarkan pengertian perjanjian pengangkutan sebelumnya adalah: 1. Pengangkut 2. Pengirim barang Penerima barang dalam kerangka perjanjian pengangkutan tidak menjadi para pihak. Penerima merupakan pihak ketiga yang berkepentingan atas penyerahan barang. Pengirim barang dan pengangkut diawali dengan serangkaian perbuatan tentang penawaran dan permintaan yang dilakukan oleh pengangkut dan pengirim secara timbal balik dengan cara antara lain: 42 1. Penawaran dari pihak pengangkut Cara terjadinya perjanjian pengangkutan dapat secara langsung antara pihak- pihak, atau secara tidak langsung dengan menggunakan jasa perantara ekspeditur. 42 Abdulkadir Muhammad, hukum Pengangkutan Darat, Laut dan Udara, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991, hal. 97 Universitas Sumatera Utara 2. Penawaran dari pihak pengirim Apabila penawaran dilakukan oleh ekspeditur, maka ekspeditur menghubungi pengangkut atas nama pengirim barang. Kemudian pengirim barang menyerahkan barang pada ekspeditur untuk diangkut. Dari adanya perjanjian pengangkutan laut tersebut menimbulkan hak dan kewajiban bagi pengangkut dan pengirim. Pengangkut mempunyai kewajiban untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan atau orang dari satu tempat ke ketempat tujuan tertentu dengan selamat, sedangkan pengirim mempunyai kewajiban untuk membayar angkutan. Antara pengangkut dan pengirim sama- sama saling mempunyai hak untuk melakukan penuntutan apabila salah satu pihak tidak memenuhi prestasi. 43

B. Hubungan Hukum antara Pelaku Usaha Ekspedisi Muatan Kapal Laut, Pemilik Barang dan Pemilik Kapal

Dokumen yang terkait

Tanggung Jawab Pelaku Usaha Terhadap Penyampaian Informasi Periklanan Barang Produksinya Ditinjau dari Undang-Undang No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

1 44 104

PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP IKLAN BARANG DAN JASA YANG TIDAK SESUAI DENGAN YANG DIJANJIKAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN.

0 1 1

TANGGUNG JAWAD PELAKU USAHA TERHADAP KERUGIAN KONSUMEN AKIBAT INFORMASI YANG TlDAKJELAS DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG No 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN.

0 0 6

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN SMART LAUNDRY ATAS KELALAIAN PELAKU USAHA YANG MENGAKIBATKAN KERUGIAN KONSUMEN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

1 2 72

Tanggung Jawab Pelaku Usaha Terhadap Penyampaian Informasi Periklanan Barang Produksinya Ditinjau dari Undang-Undang No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

0 0 7

Tanggung Jawab Pelaku Usaha Terhadap Penyampaian Informasi Periklanan Barang Produksinya Ditinjau dari Undang-Undang No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

0 0 1

Tanggung Jawab Pelaku Usaha Terhadap Penyampaian Informasi Periklanan Barang Produksinya Ditinjau dari Undang-Undang No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

0 0 14

Tanggung Jawab Pelaku Usaha Terhadap Penyampaian Informasi Periklanan Barang Produksinya Ditinjau dari Undang-Undang No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

0 0 37

Tanggung Jawab Pelaku Usaha Terhadap Penyampaian Informasi Periklanan Barang Produksinya Ditinjau dari Undang-Undang No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

0 0 4

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN ATAS PEMBELIAN PERUMAHAN BERSUBSIDI DI PANGKALPINANG DITINJAU DARI UNDANG- UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

0 0 16