tentang pengeluaran dan pemasukan barang-barang di pelabuhan, bea cukai dan lain-lain.
C. Hak dan Kewajiban Para Pihak
Para pihak dalam perjanjian pengangkutan barang melalui laut terdiri dari pihak pengangkut dan pengirimpenerima barang. Secara garis besarnya, pihak
pengangkut mempunyai kewajiban menjaga keselamatan barang yang diangkutnya sejak dimuat sampai dengan penyerahannya di pelabuhan, sedangkan
pemilik barangpenerima barang berkewajiban untuk membayar ongkos-ongkos pengangkutan freight atas pengangkutan barang yang diperintahkannya untuk
diangkut tersebut. Maka segala sesuatu yang mengganggu keselamatan penumpang atau barang menjadi tanggung jawab pengangkut. Dengan demikian,
berarti pengangkut berkewajiban menanggung segala kerugian yang diderita oleh penumpang atau barang yang diangkutnya tersebut.
45
Pasal 1 ayat 2 dari The Hague Rules 1924 menjelaskan mengenai perjanjian pengangkutan dengan mengatakan bahwa
46
45
Ridwan Khairandy, Pengantar Hukum Dagang, Yogyakarta: Penerbit FH UII Press, 2006, hal. 184.
46
Taufiq Yulianto Puji Wahyumi, Batas Tanggung Gugat Perusahaan Pelayaran Dalam Pengangkutan Barang Melalui Laut, Majalah Orbith Volume 9, 1 Maret 2013, hal. 35
“Contract of carriage, applies only the contracts of carriage covered by a bill of lading or any similar
document of title, insofar as such document related to the carriage of goods by sea, including any bill of lading or any similar document as aforesaid issued
under a pursuant to a charter-party from the moment at which such bill of lading or similar document of title regulates the relations between a carrier and a holder
of the same”.
Universitas Sumatera Utara
Dapat dipahami dari penjelasan di atas, bahwa perjanjian pengangkutan mewajibkan pihak pengangkut untuk menjaga keselamatan barang yang harus
diangkutnya, mulai saat diterimanya barang hingga saat diserahkannya barang tersebut. Hal seperti itu sama dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 468
KUHD. 1. Hak dan Kewajiban pelaku usaha
Dalam perjanjian pengangkutan, pihak pengangkut dapat dikatakan sudah mengakui menerima barangpenumpang dan menyanggupi untuk membawanya ke
tempat yang dituju dan menyerahkannya kepada si alamat yang dituju, dengan dibuktikan oleh diserahkannya surat muatan bagi pengangkutan barang atau
dengan tiket untuk pengangkutan penumpang. Mengenai kewajiban pengangkut diatur dalam Pasal 468, Pasal 521, dan Pasal 522 KUHD. Pasal 468 KUHD
menyatakan bahwa “Dalam persetujuan pengangkutan, mewajibkan pengangkut untuk menjaga akan keselamatan barang yang harus diangkutnya, mulai saat
diterimanya hingga saat diserahkannya barang tersebut”. Kemudian, Pasal 521 KUHD menyatakan bahwa “Pengangkutan dalam
arti ini adalah barang siapa yang baik dengan suatu carter menurut waktu atau carter menurut perjalanan baik dengan sesuatu persetujuan lain, mengikatkan
dirinya untuk menyelenggarakan pengangkutan barang, seluruhnya atau sebagian melalui lautan”.
Selanjutnya, Pasal 522 KUHD juga menyatakan bahwa “Persetujuan pengangkutan mewajibkan pengangkut untuk menjaga keselamatan barang, sejak
dimuat hingga menyerahkannya kepada penerima di pelabuhan tiba”. Selain hal
Universitas Sumatera Utara
tersebut di atas, pengangkut juga harus bertanggung jawab, dalam arti harus mengganti segala yang disebabkan kerugian karena kerusakan pada barang atau
kehilangan barang karena pengangkutan. Kecuali, apabila dapat dibuktikan bahwa rusaknya barang disebabkan oleh kejadian yang selayaknya tak dapat dicegah
maupun dihindarkan, ataupun karena kesalahan pengirim sendiri. Hak pengangkut ialah menerima ongkos pengangkutan sesuai apa yang diperjanjikan di dalam BL.
Disebutkan pada Pasal 249 KUHD, ”Untuk kerusakan atau kerugian yang timbul dari sesuatu cacat, kebusukan sendiri, atau yang langsung ditimbulkan dari sifat
dan macam barang yang dipertanggungkan sendiri, tak sekali-kali si penanggung bertanggung jawab, kecuali apabila dengan tegas telah diadakan pertanggungan
juga untuk itu”.128 Yang berarti bahwa pihak pengangkut tidak bertanggung jawab untuk mengganti kerugian yang diakibatkan oleh:
47
a. Kerusakan terhadap barang yang dijamin
b. Barang tersebut membusuk secara alami
c. Sifat pada umumnya barang itu.
2. Hak dan pemilik barang Pengirimpenerima barang yang akan menggunakan jasa pengangkutan
laut, tinggal membayar ongkos barang yang akan diangkut sesuai ketentuan yang disebutkan dalam surat muatan, yang disebut dengan pembayaran ongkosbiaya
angkut freight. Di sisi yang lain, dia juga memiliki hak untuk menerima barang yang dikirimkannyaakan diterimanya dengan keadaan selamat atau tidak
mengalami kerusakan apapun.
47
Djoko Prakoso, Hukum Asuransi Indonesia, Jakarta: Penerbit Rineka Cipta, 2004, hal. 122.
Universitas Sumatera Utara
D. Bentuk Tanggung jawab Pelaku Usaha Ekspedisi Muatan Kapal Laut Atas Kerugian yang Dialami Pemilik Barang Akibat Tenggelamnya Kapal
Pengirim Barang
Dalam pengangkutan laut yang berkedudukan sebagai pengangkut adalah pemiilik kapal , sedangkan nahkoda dan anak buah kapal berkedudukan sebagai
buruh atau orang yang dipekerjakan. Ekspeditur seperti yang telah dijelaskan sebelumnya merupakan pihak perantara antara pemilik barang dengan pengangkut
pemilik kapal akan tetapi terkadang tidak jarang ekspeditur adalah pihak yang juga memiliki kapal.
Terkait dengan apabila ekspeditur juga adalah pemilik kapal maka ekspeditur dikenakan tanggung jawab sesuai dengan ketentuan Pasal 481 ayat 1
KUHD yang menyatakan bahwa perjanjian pengangkutan mewajibkan pengangkut untuk menjaga keselematan barang yang diangkut sejak saat
penerimaan sampai saat penyerahannya. Dengan demikian dapat dipahami bahwa tanggung jawab pengangkut secara umum adalah melaksanakan pengangkutan
barang dengan selamat dari tempat pemuatan sampai tempat tujuan. Suatu barang dikatakan selamat jika barang-barang tersebut tidak menyangkutmenimpa hal-hal
berikut: 1.
Barang-barang yang diangkut sampai di tempat tujuan, tetapi ada yang rusak atau musnah sehingga tidak dapat dipergunakan sebagaimana mestinya
2. Barang-barang yang diangkut tidak ada, baik karena terbakar atau tenggelam
atau dicuri orang lain atau dibuang ke laut.
Universitas Sumatera Utara
Perihal dengan tenggelamnya kapal sehingga merugikan barang, maka ada beberapa hal yang harus dilihat penyebab dari tenggelamnya kapal tersebut
apakah dari kesalahan manusia sendiri human error atau disebabkan karena overmacht keadaan memaksa.
Di dalam KUHPerdata dikenal dengan adanya suatu keadaan kahar atau force majeure yang mana sebagai alasan pemaaf tidak dilaksanakannya suatu
kontrak. Pada umumnya perikatan yang tidak terpenuhi merupakan tanggung jawab debitur baik secara sengaja maupun atas kelalaiannya sendiri. Namun
apabila debitur tidak memenuhi prestasi yang diakibatkan diluar dari kehendaknya atau sesuatu yang tidak disengaja maka debitur berhadapan dengan sesuatu apa
yang disebut dengan keadaan memaksa yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya.
Menurut Subekti overmacht atau keadaan memaksa adalah suatu alasan untuk dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi.
48
Sedangkan menurut R. Setiawan, keadaan memaksa adalah suatu keadaan yang terjadi setelah dibuatnya
persetujuan yang menghalangi debitur untuk memenuhi prestasinya, dimana debitur tidak dapat dipersalahkan dan tidak harus menanggung resiko serta tidak
dapat menduga pada waktu persetujuan dibuat. Kesemuanya itu sebelum debitur lalai untuk memenuhi prestasinya pada saat timbulnya keadaan tersebut.
49
Menurut Abdulkadir Muhammad, force majeure adalah suatu peristiwa yang tidak dapat diduga akan terjadi karena keadaann ini tidak dapat diprediksi,
oleh karena itu force majeure tidak mewajibkan debitur mengganti rugi segala
48
Op.Cit. Subekti hal. 55.
49
Handri Raharjo, Hukum Perjanjian di Indonesia. Jakarta: Pustaka Yustisia , 2009, hal.344.
Universitas Sumatera Utara
kerugian yang diderita oleh kreditur. Dengan perkataan lain, bahwa peristiwa yang merupakan force majeure tersebut tidak termasuk ke dalam asumsi dasar
basic asumption dari para pihak ketika kontrak tersebut dibuat.
50
Sedangkan menurut Handri Raharjo
51
Menurut Munir Fuady, pengaturan force majeure dalam KUHPerdata adalah sebagai berikut:
yang di dalam bukunya Hukum Perjanjian di Indonesia memberikan arti overmacht adalah sebagai suatu keadaan tidak terduga, tidak
sengaja dan tidak dapat dipertanggungjawabkan oleh debitur, dimana debitur tidak dapat melakukan prestasinya kepada kreditur dan dengan terpaksa peraturan
hukum juga tidak diindahkan sebagaimana mestinya, hal ini disebabkan adanya kejadian yang berada diluar kekuasaannya dan keadaan ini dapat dijadikan
sebagai alasan untuk dapat dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi
52
1. Tidak ada pengaturan force majeure secara umum
Tidak ada pengaturan secara khusus ataupun secara umum mengenai force majeure di dalam KUHPerdata, sehingga dalam hal ini tidak ada yang menjadi
patokan dalam mengartikan force majeure ataupun juga maksudnya. Oleh karena itu untuk menafsirkan force majeure dalam KUHPerdata adalah dengan menarik
kesimpulan-kesimpulan umum dari pengaturan-pengaturan khusus yaitu pengaturan khusus tentang force majeure yang terdapat di dalam bagian tentang
ganti rugi atau pengaturan resiko akibat force majeure untuk kontrak sepihak ataupun dalam bagian kontrak khusus bernama. Untuk kontrak sepihak yakni
50
Ibid
51
Handri Raharjo, Hukum Perjanjian di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2009, hlm.103.
52
Ibid
Universitas Sumatera Utara
yang prestasinya dilakukan oleh salah satu pihak saja yaitu seperti dalam Pasal 1237 KUHPerdata yakni yang mengatur tentang resiko. Pasal 1237 KUHPerdata
menyatakan bahwa dalam hal adanya perikatan untuk memberikan suatu kebendaan tertentu, maka sejak perikatan-perikatan dilahirkan benda tersebut
menjadui tanggungan pihak kreditur. 2.
Pengaturan force majeure dalam hubungan dengan ganti rugi Force majeure selalu dikaitkan dengan adanya masalah ganti rugi dari
suatu kontrak. Karena force majeure membawa konskuensi hukum, bukan saja hilangnya atau tertundanya kewajiban-kewajiban untuk melaksanakan presasi
yang terbit dari suatu kontrak, melainkan juga suatu force majeure dapat juga membebaskan para pihak untuk memberikan ganti rugi akibat tidak terbebaskan
kepada para pihak untuk memberikan ganti rugi sebagai akibat tidak terlaksananya kontrak yang bersangkutan. Dalam hal ganti rugi, KUHPerdata
mengaturnya dalam Pasal 1244 dan 1245. 3.
Pengaturan force majeure untuk kontrak tertentu Untuk kontrak-kontrak tertentu atau bernama, terdapat pasal-pasal khusus
dalam KUHPerdata yang mengatur mengenai force majeure, khususnya pengaturan resiko sebagai akibat dari peristiwa force majeure, yaitu:
a. Force majeure dalam kotrak jual beli
Force majeure untuk kontrak jual beli yang terkait dengan ganti rugi diatur dalam Pasal 1460 KUHPerdata, yaitu jika kebendaan yang dijual itu
berupa suatu barang yang sudah ditentukan, maka barang ini sejak saat pembelian adalah atas tanggungan si pembeli, meskipun penyerahannya
Universitas Sumatera Utara
belum dilakukan dan si penjual berhak menuntu harganya. Apabila dipahami atas Pasal 1460 KUHPerdata ini, maka resiko beralih kepada
pihak penjual walaupun benda belum diserahkan setelah adanya penandatanganan. Bukan merupakan suatu keadilan apabila Pasal 1640
KUHPerdata ini diterapkan karena satu sisi resiko sudah ditanggung penjual sementara itu barang belum diserahkan. Berdasarkan ketentuan ini,
maka Mahkamah Agung Republik Indonesia melalu Surat Edarannya No. 3 Tahun 1963 agar tidak memberlakukan Pasal 1460 KUHPerdata
tersebut. Dengan demikian force majeure dalam Pasal 1460 KUHPerdata tidak dipakai sebagai pedoman untuk mengartikan resiko dalam hukum
kontrak secara umum. b.
Force majeure dalam kontrak dalam tukar menukar Kontrak tukar menukat atas pengaturan resikonya diatur dalam Pasal 1545
KUHPerdata, yaitu jika suatu barang tertentu yang telah dijanjikan untuk ditukar musnah diluar salah pemiliknya, maka kontrak dianggap gugur,
dan siapa yang dari pihaknya telah memenuhi kontrak, dapat menuntut kembali barang yang telah dia berikan dalam tukar menukar. Ketentuan ini
menjelaskan bahwa suatu kontrak timbal balik maka resiko dari force majeure ditanggung bersama oleh para pihak. Jika ada para pihak yang
terlanjur berprestasi dapat memintakan kembali prestasinya tersebut. Jadi kontrak tersebut dianggap gugur. Dengan demikian pengaturan resiko
dalam kontrak tukar menukar ini dianggap pengaturan resiko yang adil, sehingga dapat dicontoh pengaturan resikonya.
Universitas Sumatera Utara
c. Force majeure dalam kontrak sewa-menyewa
Pengaturan force majeure untuk sewa menyewa diatur dalam Pasal 1553 KUHPerdata yaitu jika selama waktu sewa, barang yang disewakan sama
sekali musnah karena suatu kejadian yang tidak disengaja maka kontrak sewa menyewa tersebut gugur demi hukum. Jika barangnya hanya
sebagian musnah, pihak penyewa dapat memilih menurut keadaan apakah dia akan meminta pengurangan harga sewa ataukah dia akan meminta
pembatalan sewa menyewa. Dalam kedua hal tersebut, dia tidak berhak untuk meminta ganti rugi. Ketentuan resiko dalam Pasal 1553
KUHPerdata ini menempatkan kedua belah pihak untuk menanggung resiko dari keadaan force majeure tanpa adanya hak dari pihak yang
merasa dirugikan untuk meminta ganti rugi. Menurut Mariam Darus Badrulzaman, overmacht atau keadaan memaksa
didasarkan pada 2 dua teori, yaitu:
53
1. Mutlakabsolutobjektif, yaitu suatu keadaan memaksa yang menyebabkan
suatu perikatan bagaimanapun juga tidak mungkin dijelaskan 2.
Relatifnisbisubjektif, yaitu suatu keadaan memaksa yang menyebabkan suatu perikatan hanya dapat dilaksanakan dengan pengorbanan yang besar sehingga
lagi tidak pantas pihak kreditur menuntut pelaksanaannya. Dalam hal ini ada 2 dua ukuran, yaitu:
a. Subjektif: dilihat orang perorangan misalnya si A takut pada ulat
b. Objektif: dilihat pada umumnya misalnya, semua orang takut pada
53
Mariam Darus Badrulzaman, KUHPerdata Buku III, bandung: Alumni, 2006, hal. 37
Universitas Sumatera Utara
Tuhan Klasifikasi force majeure dapat dibedakan menjadi 2 duabentuk, yaitu:
54
1. Force majeure yang objektif
Force majeure yang bersifat objektif ini terjadi atas benda yang merupakan objek kontrak tersebut. artinya keadaan benda tersebut sedemikian rupa
sehingga tidak mungkin lagi dipenuhi prestasi sesuai kontrak tanpa adanya unsur kesalahan dari pihak debitur. misalnya benda tersebut terbakar. karena
itu pemenuhan prestasi sama sekali tidak mungkin dilakukan. karena yang terkena adalah benda yang merupakan objek dari kontrak, maka Force
majeure seperti ini disebut juga dengan physical impossibility. 2.
Force majeure yang subjektif Force majeure yang bersifat terjadi ketika Force majeure terjadi bukan dalam
hubungannya dengan objek yang merupakan bedan dari kontrak yang bersangkutan, tetapi dalam hubungannya dengan perbuatan atau kemampuan
debitur itu sendiri. misalnya jika si debitur sakit berat sehingga tidak mungkin
berprestasi lagi. Force majeure juga dapat dibedakan dari segi kemungkinan
pelaksanaan prestasinya dalam kontrak yaitu: a.
Force majeure yang absolut Force majeure absolut adalah suatu force majeure yang terjadi sehingga
prestasi dari kontrak sama sekali tidak mungkin dilakukan. contohnya barang yang merupakan objek dari kontrak musnah. dalam hal ini kontrak
tersebut tidak mungkin untuk dilaksanakan. Keadaan memaksa absolut
54
Munir fuady, Op.Cit.. hal,115-116
Universitas Sumatera Utara
adalah suatu keaadan dimana debitur sama sekali tidak dapat memenuhi perutangannya kepada kreditur, oleh karena adanya gempa bumi, banjir
bandang, dan adanya lahar. Contohnya, si A ingin membayar utangnya pada si B. Namun tiba-tiba pada saat si A ingin melakukan pembayaran
utang, terjadi gempa bumi. Maka si A sama sekali tidak dapat membayar utangnya pada si B.Kalau keadaan memaksa mengakibatkan, bahwa suatu
hak atau kewajiban dalam perhubungan hukum sama sekali tidak dapat dilaksanakan oleh siapapun juga dan bagaimanapun juga, maka keadaan
memaksa itu dinamakan “absolut”. Keadaan memaksa yang bersifat mutlak absolut yaitu dalam halnya sama sekali tidak mungkin lagi
melaksanakan perjanjiannya misalnya barangnya sudah hapus karena bencana alam.
b. Force majeure yang relatif
Force majeure relatif memiliki arti dimana pemenuhan prestasi secara normal tidak mungkin dilakukan, sungguhpun secara tidak normal masih
mungkin dilakukan. misalnya terhadap kontrk impor-ekspor dimana setelah kontrak dibuat terdapat larangan impor atas barang tersebut. dalam
hal ini barang tersebut tidak mungkin lagi diserahkan diimpor. Keadaan memaksa yang relatif adalah suatu keadaan yang menyebabkan debitur
mungkin untuk melaksanakan prestasinya. Tetapi pelaksanaan prestasi itu harus dilakukan dengan memberikan korban yang besar yang tidak
seimbang atau menggunakan kekuatan jiwa yang di luar kemampuan manusia atau kemungkinan tertimpa bahaya kerugian yang sangat besar.
Universitas Sumatera Utara
Contohnya, A telah meminjam, kredit usaha tani dari KUD, dengan janji akan dibayar pada musim panen. Tetapi sebelum panen, padinya diserang
oleh ulat. Dengan demikian, pada saat itu ia tidak mampu membayar kredit usaha taninya kepada KUD, tetapi ia akan membayar pada musim
panen mendatang. Keadaan memaksa dinamakan “relatif”, apabila keadaan itu pelaksanaan hak-hak dan kewajiban-kewajiban pada suatu
perhubungan hukum tidak dapat dibilangkan sama sekali tidak dapat terjadi bagaimanapun juga, akan tetapi demikian sukarnya dan dengan
pengorbanan dari yang harus melaksanakan, sedemikian rupa, sehingga patutlah, bahwa keharusan untuk melaksanakan hak-hak dan kewajiban-
kewajiban yang bersangkutan dianggap lenyap Disisi lain, force majeure juga dapat dibedakan dari segi jangka waktu berlakunya keadaan yang
menyebabkan terjadinya Force majeure, yaitu: 1
Force majeure permanen Suatu force majeure dikatakan bersifat permanen jika sama sekali
sampai kapanpun prestasi yang terbit dari kontrak tidak mungkin dilakukan lagi. contohnya jika barang yang merupakan objek dari
kontrak tersebut musnah diluar kesalahan debitur. 2
Force majeure temporer Force majeure temporer adalah pemenuhan prestasi dari kontrak
tersebut tidak mungkin dilakukan untuk sementara waktu, misalnya karena terjadi peristiwa tertentu, dimana setelah peristiwa tersebut
berhenti, prestasi tersebut dapat dipenuhi kembali. suatu barang dari
Universitas Sumatera Utara
objek suatu kontrak tidak mungkin dikirim ke tempat kreditur karena terjadinya pergolakan sosial ditempat kreditur tersebut. akan tetapi
nantinya ketika keadaan sudah menjadi aman, tentunya barang tersebut masih mungkin dikirim kembali.
Untuk ruang lingkup force majeure, berdasarkan Pasal 1244 dan 1245 KUHPerdata, yaitu:
55
1. Force majeure karena sebab-sebab yang tidak terduga;
2. Force majeure karena keadaan memaksa;
3. Force majeure karena perbuatan tersebut dilarang.
Ruang lingkup atau jenis peristiwa force majuere menurut Mariam Darus Badrulzaman terdiri dari:
56
1. Bentuk umum:
a. Keadaan ikilm
b. Kehilangan
c. Pencurian
2. Bentuk umum:
a. Undang-undang atau pengaturan pemerintah
b. Sumpah
c. Tingkah laku pihak ketiga
d. Pemogokan
55
Ibid. hal.14.
56
Mariam Darus Badrulzaman, Op.Cit.,. hal.38-39
Universitas Sumatera Utara
Unsur-unsur keadaan memaksa atau overmacht itu terdiri dari:
57
1. Tidak dipenuhi prestasi karena suatu peristiwa yang membinasakan atau
memusnahkan benda yang menjadi objek perikatan. Ini selalu bersifat tetap 2.
Tidak dapat dipenuhi prestasi karena suatu peristiwa yang menghalangi perbuatan debitur untuk berprestasi. Ini dapat bersifat tetap atau sementara
3. Peristiwa itu tidak dapat diketahui atau diduga akan terjadi pada waktu
membuat perikatan, baik oleh debitur maupun oleh kreditur. Jadi bukan karena kesalahan pihak-pihak khususnya debitur.
Keadaan memaksa diatur dalam Pasal 1244 dan 1245 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata, yang menyebutkan bahwa “keadaan memaksa adalah
debitur terhalang dalam memenuhi prestasinya karena suatu keadaan yang tidak terduga lebih dulu dan tidak dapat dipertanggungkan kepadanya, maka debitur
dibebaskan untuk mengganti biaya rugi dan bunga”. Akibat dari overmacht ini yaitu debitur tidak perlu ganti rugi, kreditur
tidak berhak atas pemenuhan prestasi sekaligus memiliki kebebasan untuk menyerahkan kontraprestasi dan beban resiko tidak berubah terutama pada
keadaan memaksa yang sementara. Maka dengan kata lain ekspeditur atau pemilik kapal tidak perlu harus mengganti rugi atas kerusakan barang akibat
tenggelamnya kapal yang diakibatkan diluar dari kemampuan si pengantgkut atau pemilik kapal.
57
P. N. H Simanjuntak, Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia, cetakan keempat. Jakarta: Djambatan, 2009, hal. 343.
Universitas Sumatera Utara
Beda halnya apabila kapal tersebut tenggelam diakibatkan karena kesalahan atau kelalaian si pengangkut atau ekspeditur. Tanggung jawab atas
kelalaian ngeligence adalah suatu prinsip tanggung jawab yang bersifat subjektif yaitu suatu tanggung jawab yang ditentukan oleh perilaku produsen. Kelalaian
pemilik kapal yang berakibat pada munculnya kerugian pemilik barang konsumen untuk mengajukan tuntutan ganti rugi kepada pengangkut.
Jelaslah bahwa yang harus bertanggung jawab apabila terjadi kelalaian yang mengakibatkan tenggelamnya kapal sehingga merugikan pemilik barang
adalah pengusahapemilik kapal. Tanggung jawab yang harus dilakukan oleh pemilik kapal tersebut adalah dengan mengganti rugi keseluruhan yang diderita
oleh pemilik barang. Dasar Hukum yang digunakan dalam kasus kerugian yang berupa
kehilangan barang adalah perjanjian pengangkutan Bill of Lading, Haque Rules 19241968, Sales and purchase contract jika kerugian yang berupa kekurangan
barang disebabkan oleh kesalahan atau kelalaian dari penjual seller. Proses pengangkutan adalah sebagai berikut:
1. Pertama, Eksportir akan memuat stuffing kargonya ke dalam kontainer
digudangnyagudang CFS pihak yang terlibat disini adalah eksportir atau warehousing
2. Kargo dibawa dengan truk ke container yard pelabuhan muat port of loading
pihak yang terlibat adalah perusahaan trucking dan pihak pelabuhan muat
Universitas Sumatera Utara
3. Kargo dimuat ke atas kapal dan dibongkar di container yard pelabuhan
bongkar port of discharge yang terlibat adalah perusahaan pelayaran Shipping Line dan Pihak Pelabuhan Bongkar
4. Kargo dibawa ke Gudang dengan truk ke gudang Importir Gudang CFS pihak
yang terlibat adalah Perusahaan Trucking dan ImportirWarehousing. Untuk melaksanakan pengangkutan tersebut maka pihak eksportirimportir biasanya
akan mensubkontrakan ke satu pihak yaitu freight forwarder dan freight forwarder akan mensubkontrakan ke pihak-pihak yang terlibat dalam proses
pengangkutan seperti disebut dalam tahap pertama sampai dengan tahap keempat.
Melihat dari proses tersebut maka potensi terjadinya kehilangan kargo ada pada setiap tahap tersebut dan pihak-pihak yang terlibat tersebut adalah pihak
yang berpotensi untuk bertanggung jawab. Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 1998 tentang Pemeriksaan Kecelakaan Kapal sebagaimana telah diubah terakhir
dengan Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 1998 tentang Pemeriksaan Kecelakaan Kapal
selanjutnya disebut PP 11998, pemeriksaan pendahuluan kecelakaan kapal dilaksanakan atas dasar laporan kecelakaan kapal. Pemeriksaan pendahuluan
kecelakaan kapal ini dilaksanakan untuk mencari keterangan danatau bukti2 awal atas terjadinya kecelakaan kapal Pasal 9 PP 11998. Apabila berdasarkan hasil
pemeriksaan kapal, Menteri berpendapat adanya dugaan kesalahan danatau kelalaian dalam menerapkan standar profesi kepelautan yang dilakukan oleh
Nakhoda atau pemimpin kapal danatau perwira kapal atas terjadinya kecelakaan
Universitas Sumatera Utara
kapal, maka selambat-lambatnya dalam jangka waktu 14 empat belas hari sejak diterimanya hasil pemeriksaan pendahuluan kapal, Menteri meminta Mahkamah
Pelayaran melakukan pemeriksaan lanjutan kecelakaan kapal Pasal 15 ayat 1 PP 11998.
Selambat-lambatnya dalam jangka waktu 7 tujuh hari sejak diterimanya permintaan pemeriksaan lanjutan kecelakaan kapal, ketua Mahkamah Pelayaran
membentuk Majelis Mahkamah Pelayaran Pasal 30 PP 11998. Selambat- lambatnya dalam jangka waktu 30 tiga puluh hari sejak dibentuknya, Majelis
harus telah melaksanakan Sidang Majelis yang pertama Pasal 33 PP 11998. Sidang Majelis Pelayaran ini dilakukan untuk melihat apakah ada atau
tidak adanya kesalahan atau kelalaian yang dilakukan oleh Nakhoda atau pemimpin kapal, atau perwira kapal dalam melakukan tugas profesinya Pasal 44
ayat 3 huruf 3 PP 11998. Selain itu, sebagaimana terdapat dalam Pasal 40 Undang-Undang No. 17
Tahun 2008 tentang Pelayaran selanjutnya disebut UU Pelayaran, pada dasarnya perusahaan angkutan di perairan memang bertanggung jawab terhadap
keselamatan dan keamanan penumpang danatau barang yang diangkutnya Perusahaan angkutan di perairan bertanggung jawab terhadap muatan
kapal sesuai dengan jenis dan jumlah yang dinyatakan dalam dokumen muatan danatau perjanjian atau kontrak pengangkutan yang telah disepakati Pasal 40
ayat 2 UU Pelayaran. Dalam Pasal 41 ayat 1 UU Pelayaran dikatakan bahwa tanggung jawab perusahaan angkutan dapat ditimbulkan sebagai akibat
pengoperasian kapal, berupa:
Universitas Sumatera Utara
1. Kematian atau lukanya penumpang yang diangkut;
2. Musnah, hilang, atau rusaknya barang yang diangkut;
3. Keterlambatan angkutan penumpang danatau barang yang diangkut; atau
4. Kerugian pihak ketiga.
Akan tetapi, jika perusahaan angkutan dapat membuktikan bahwa kerugian dalam Pasal 41 ayat 1 huruf b, huruf c, dan huruf d UU Pelayaran
bukan disebabkan oleh kesalahannya, perusahaan angkutan di perairan dapat dibebaskan sebagian atau seluruh tanggung jawabnya Pasal 41 ayat 2 UU
Pelayaran. Berkaitan dengan tanggung jawab pengangkut , Pasal 470 ayat 1 KUHD,
melarang pengangkut untuk memperjanjikan: 1.
Dia sama sekali tidak bertanggung jawab atau 2.
Hanya mau memberikan ganti rugi kerugian terbatas pada suatu jumlah tertentu terhadap kerugian yang disebabkan karena
a. Kurang diusahakannya pemeliharaan, perlengkapan atau kurang anak buah
kapal; b.
Kurang diusahakan kelaikan kapal pengangkutan dan c.
Salah memperlakukan atau kurangnya penjagaan barang yang diangkut kapal.
Pentingnya ekspert dalam pertanggungjawaban pengangkut adalah bertujuan untuk memudahkan pemeriksaan dalam penentuan besar kecilnya
kerugian yang dialami pemilik barang. Ekspert adalah seseorang yang memiliki keahlian dalam menilai barang-barang yang diangkut. Jenis keahlian ekspert
Universitas Sumatera Utara
haruslah sesuai dengan jenis barang yang diangkut. Pemeriksaan ekspert dianggap tidak perlu jika:
1. Nilai barang muatan yang akan dimintakan pemeriksaan begitu kecil sehingga
tidak seimbang dengan biaya pemeriksaan, dan 2.
Pengangkut telah mengakui adanya kerusakan atau kekurangan barang yang dilaporkan kepadanya dan siap untuk mengganti kerugian sejumlah yang
ditentukan oleh pengadilan.
Universitas Sumatera Utara
BAB IV UPAYA HUKUM PEMILIK BARANG TERHADAP PELAKU USAHA
EKSPEDISI MUATAN KAPAL LAUT ATAS KERUGIAN YANG DIALAMI AKIBAT TENGGELAMNYA KAPAL PENGIRIM BARANG
DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
Tanggung jawab pengangkut kapalpemilik kapal yang lalai sehingga menyebabkan kapal tenggelam dan merugikan pemilik barang adalah mengganti
rugi segala kerugian yang dialami oleh pemilik barang. Dalam Pasal 1244 KUHPerdata menyebutkan bahwa dengan cukup alasan apabila pengangkut dapat
diminta pertanggungjawaban dengan membayar ganti rugi biaya dan bunga terhadap yang dirugikan.
Selain mengenai kerugian yang di derita oleh pemilik barang, pemilik barang juga dapat menggunakan jalur hukum dalam penyelesaian sengketa antara
pemilik barang dengan pemilik kapal. Hal ini terjadi karena penyelesaian damai sudah tidak dapat dipergunakan. Badan Penyelesaian Sengketa dan Badan
Peradilan adalah cara yang dapat dipergunakan dalam penyelsaiannya. Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, penyelesaian sengketa konsumen dapat dibagi menjadi dua, yaitu melalui jalan peradilan litigasi maupun di luar pengadilan non-litigasi. Mereka
yang bersengketa harus memilih jalan untuk menyelesaikan sengketa mereka. Penyelesaian dengan cara di luar pengadilan bisa dilakukan melalui Penyelesaian
Sengketa Alternatif Alternative Dispute Resolution di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen BPSK, Lembaga Perlindungan Konsumen Swaadaya
Universitas Sumatera Utara
Masyarakat LPKSM dan Direktorat Perlindungan Konsumen atau lokasi-lokasi lain baik untuk kedua belah pihak yang telah disetujui.
Pasal 46 UUPK menentukan bahwa hanya orang danatau kelompok tertentu yang kriterianya telah ditentukan sesuai dengan pasal tersebut yang dapat
mengajukan gugatan atas sengketa konsumen, antara lain: 1.
Gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh : a.
Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan; b.
Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama; c.
Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hokum atau yayasan, yang dalam anggaran
dasarnya menyebutkna dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah
melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya; d.
Pemerintah danatau instansi terkait apabila barang danatau jasa yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar
danatau korban yang tidak sedikit. 2.
Gugatan yang diajukan oleh sekelompok konsumen, lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat, atau pemerintah sebagaiman dimaksud pada
ayat 1 huruf b, huruf c, atau huruf d diajukan kepada peradilan umum. 3.
Ketentuan lebih lanjut mengenai kerugian materi yang besar danatau korban yang tidak sedikit sebagaiman dimaksud pada ayat 1 huruf d diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Universitas Sumatera Utara
Ketika kedua pihak telah memutuskan untuk melakukan penyelesaian dengan jalan di luar pengadilan, nantinya ketika mereka akan pergi ke pengadilan
pengadilan negeri tempat kedudukan konsumen untuk masalah yang sama, mereka hanya dapat mengajukan gugatan mereka di pengadilan jika penyelesaian
melalui jalur non-litigasi gagal. Penyelesaian Sengketa Alternatif PSA menjadi salah satu pilihan
penyelesaian sengketa berdasarkan pertimbangan bahwa penyelesaian perkara melalui jalur litigasi di Indonesia memiliki kecenderungan proses yang sangat
formal, panjang, memakan waktu dan biaya yang mahal. Proses penyelesaian sengketa melalui Lembaga Perlindungan Konsumen
Swadaya Masyarakat LPKSM menurut UUPK dapat ditempuh dengan cara negosiasi, mediasi, konsiliasi dan arbitrase. Dalam prosesnya para pihak yang
bersengketabermasalah bersepakat memilih cara penyelesaian tersebut. Hasil proses penyelesaiannya dituangkan dalam bentuk kesepakatan Agreement secara
tertulis, yang wajib ditaati oleh kedua belah pihak dan peran Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat LPKSM hanya sebagai mediator,
konsiliator dan arbiter. Penentuan butir-butir kesepakatan mengacu pada peraturan yang dimuat dalam UUPK serta undang-undang lainnya yang mendukung.
A. Upaya Hukum Melalui Non-Litigasi