Macam-macam Metode Dakwah Ruang Lingkup Metode Dakwah
16
dakwah dengan hikmah , yakni seorang da’i berdialog dengan kata-kata bijak
sesuai dengan tingkat kepandaian p ara mad’u. terhadap kaum awam.
Diperintahkan untuk menerapkan mau’izhah, yakni seorang da’i memberikan
nasihat dan perumpamaan yang menyentuh jiwa sesuai dengan taraf pengetahuan para mad’u yang sederhana. Sedangkan terhadap ahli kitab dan
penganut agama lain yang diperintahkan adalah mujadalah , yakni seorang da’i
memberikan materi dengan logika dan retorika yang halus, lepas dari kekerasan dan umpatan.
15
Metode dakwah yang meliputi tiga cakupan, yaitu: a.
Al-Hikmah Kata
“hikmah” dalam Al-Quran disebut sebanyak 20 kali baik dalam bentuk nakiroh maupun ma’rifat. Bentuk masdarnya adalah
“hukman” yang artinya secara makna asli adalah mencegah. Jika dikaitkan dengan hukum berarti mencegah dari kezaliman, dan jika dikaitkan dengan
dakwah maka berarti menghindari hal-hal yang kurang relevan dalam melaksanakan tugas dakwah.
16
Menurut Syeikh Muhammad Abduh, hikmah adalah mengetahui rahasia dari faedah segala sesuatu unsur yang tercakup dalam pelaksanaan
dakwah yaitu: isi dakwah, unsur manusia yang dihadapi, unsur kondisi ruang dan waktu, unsur bentuk dan cara dakwah metode dakwah.
17
Hikmah merupakan suatu metode pendekatan komunikasi yang dilaksanakan atas dasar persuasif, karena dakwah bertumpu pada human
15
M. Quraish Shihab, Tafsir Mishbah, Jakarta: Lentera Hati, 2005 Cet ke-4, hal. 384
16
H. Munzier Suparta, H. Harjani Hefni, Metode Dakwah, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009 Cet ke-3, hal. 8
17
Rubiyanah dan Ade Masturi, Pengantar Ilmu Dakwah, Jakarta: Lembaga Penelitian, 2010 hal. 91
17
oriented maka konsekuensi logisnya adalah pengakuan dan penghargaan pada hak-hak yang bersifat demokratis.
18
Dalam dunia dakwah, hikmah adalah penentuan sukses atau tidaknya dakwah d
alam menghadapi mad’u yang beragam tingkat pendidikan, strata sosial, dan latar belakang budaya. Da’i memerlukan
hikmah sehingga ajaran Islam mampu memasuki ruang hati para mad’u
dengan tepat . Oleh karena itu, para da’i dituntut untuk mampu mengerti
dan memahami sekaligus memanfaatkan latar belakangnya, sehingga ide- ide yang diterima dirasakan sebagai sesuatu yang menyentuh dan
menyejukkan kalbunya. Da’i tidak boleh hanya sekedar menyampaikan ajaran agama tanpa
mengamalkannya. Seharusnya da’ilah orang pertama yang mengamalkan apa yang diucapkannya. Kemampuan da’i untuk menjadi contoh nyata
umatnya dalam bertindak adalah hikmah yang seharusnya tidak boleh di tinggalkan oleh seorang da’i. Para da’i tidak sulit untuk berbicara banyak,
akan tetapi gerak mereka adalah dakwah yang jauh lebih efektif dari sekedar berbicara.
b. Mau’izhah Hasanah
Secara bahasa, mau’izhah hasanah terdiri dari dua kata mau’izhah
dan hasanah. Kata mau’izhah berasal dari kata
ظعو -
ظعي -
اًظعو -
ًةظع
berarti; nasihat, bimbingan, pendidikan dan peringatan. Sementara hasanah merupakan kebalikan dari
sayyi’ah yang artinya kebaikan lawannya kejelekan.
19
18
Samsul Munir Amin, Ilmu Dakwah, Jakarta: Amzah, 2009 hal. 98
19
H. Munzier Suparta, H. Harjani Hefni, Metode Dakwah, Jakarta: Kencana Prenada Media Group: 2009 Cet ke-3, hal. 15
18
Menurut Abd.Hamid al-Bilali mau’izhah hasanah merupakan salah
satu manhaj metode dalam dakwah untuk mengajak ke jalan Allah dengan memberikan nasehat atau bimbingan dengan lemah lembut agar
mereka mau berbuat baik. Mau’izhah hasanah yang disampaikan dengan
lembut dan penuh pancaran kasih sayang akan menyisakan kebahagiaan pada diri umat manusia.
Adapun menurut Ali Mustafa Yakup bahwa mau’izhah hasanah
adalah “ucapan berisi nasihat-nasihat baik dan bermanfaat bagi orang yang
mendengarkannya atau argumen-argumen yang memuaskan sehingga pihak mad’u dapat membenarkan apa yang disampaikan oleh seorang da’i.”
20
Jadi, kesimpulan dari mau’izhah hasanah mengandung arti yaitu:
kata-kata yang masuk ke dalam kalbu dengan penuh kasih sayang dan ke dalam perasaan dengan penuh kelembutan yang akan mudah melahirkan
kebaikan. Seorang da’i sebagai subjek dakwah harus mampu menyesuaikan
dan mengarahkan pesan dakwah sesuai dengan tingkat berfikir dan lingkup pengalaman dari objek dakwahnya, agar tujuan dakwah sebagai ikhtiar
untuk mengaktualisasikan nilai-nilai ajaran Islam ke dalam kehidupan pribadi atau masyarakat dapat terwujud.
c. Al-Mujadalah Bi al-Lati Hiya Ahsan
Dari segi etimologi bahasa lafadz mujadalah terambil dari kata “jadala” yang bermakna memintal, melilit. Apabila ditambahkan alif pada
huruf jim yang mengikuti wajan faa „ala, “jaadala” dapat bermakna
berdebat, dan “mujaadalah” perdebatan.
20
Samsul Munir Amin, Ilmu Dakwah, Jakarta: Amzah, 2009 hal 100
19
Kata “jadala” dapat bermakna menarik tali dan mengikatnya guna
menguatkan sesuatu. Orang yang berdebat bagaikan menarik dengan ucapan untuk meyakinkan lawannya dengan menguatkan pendapatnya
melalui argumentasi yang disampaikan. Dari segi terminology istilah terdapat beberapa pengertian al-
mujadalah al-Hiwar berarti upaya tukar pendapat yang dilakukan oleh dua pihak secara sinergis, tanpa adanya suasana yang mengharuskan
lahirnya permusuhan di antar kedua nya. Sedangkan menurut Dr. Sayyid Muhammad Thantawi ialah
“suatu upaya yang bertujuan untuk mengalahkan pendapat lawan dengan cara menyajikan argumentasi dan
bukti yang kuat. ”
21
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa al-Mujadalah merupakan tukar pendapat yang dilakukan oleh dua pihak secara sinergis,
yang tidak dapat melahirkan permusuhan dengan tujuan agar lawan menerima pendapat yang diajukan dengan memberikan argumentasi dan
bukti yang kuat. Antara satu dengan lainnya saling menghargai dan menghormati pendapat keduanya berpegang kepada kebenaran, mengakui
kebenaran pihak lain dan ikhlas menerima hukuman kebenaran tersebut. Al-Mujadalah merupakan cara terakhir yang digunakan untuk
berdakwah manakala kedua cara terakhir yang digunakan untuk orang- orang yang taraf berfikirnya cukup maju, dan kritis seperti ahli kitab yang
memang telah memiliki bekal keagamaan dari para utusan sebelumnya. Oleh karena itu, al-
Qur’an juga telah memberikan perhatian khusus kepada
21
H. Munzier Suparta, H. Harjani Hefni, Metode Dakwah, Jakarta: Kencana Prenada Media Group: 2009 Cet ke-3, hal. 18
20
ahli kitab yaitu melarang berdebat dengan mereka kecuali dengan cara terbaik.
Kemudian yang terakhir, Sayyid Qutub menambahkan satu sehingga menjadi empat, yaitu selain dari tiga tersebut diatas ditambah
dengan Mu’aaqabat bi al- Miitsal sesuai firman Allah SWT dalam QS. an-
Nahl : ayat 126
Artinya: ”Dan jika kamu memberikan balasan, Maka balaslah dengan
balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, Sesungguhnya Itulah yang lebih
baik bagi orang-orang yang sabar ”.
Jika ayat sebelumnya menjelaskan bagaimana sasaran dakwah yang dapat menerima ajakan tanpa membantah atau bersikeras menolak, serta
dapat menerima ajakan setelah berdiskusi. Sedangkan ayat diatas menjelaskan bagaimana menghadapi
mad’u yang membangkang dan melakukan kejahatan terhadap pelaku dakwah da’i.
22
d. Mu’aqabah bi al-Mitsl
Menurut Sayyid Quthub, Tiga metode yang telah disebutkan hanya berlaku dan dipergunakan dalam kondisi normal. Ketiga metode tersebut
berubah atau tidak berlaku manakala terdapat permusuhan atau gangguan terhadap para pelaku dakwah. Dalam kondisi demikian, maka umat Islam
dapat melakukan tindakan balasan yang setimpal demi kelangsungan
22
M. Quraish Shihab, Tafsir Mishbah, Jakarta: Lentera Hati, 2005 Cet ke-4, hal. 387
21
dakwah Islam itu sendiri. Tindakan balasan dakwah dengan kekuatan dapat diambil demi menjaga kemuliaan kebenaran, dan agar kebatilan tidak
mengalahkan kebenaran. Namun tindakan balasan ini harus seimbang dan tidak boleh berlebihan atau melampaui batas.
23
Pendekatan semacam itu disebut dengan pendekatan mu’aqabah bi
al-Mitsl yang artinya “dakwah dengan balasan setimpal”. Pendekatan
dakwah iniadalah untuk menolak fitnah terhadap dakwah Islam, menghadirkan kebebasan beragama dan menumpas kesewenang-wenangan.
Sebagai pendekatan dakwah dengan basis kekerasan atau ketegasan, dakwah
mu’aqabah bi al-mitsl dalam praktiknya tidak menghendaki perlakuan yang keras dengan diikuti oleh hawa nafsu, lebih dari itu tetap
diputuskan diatas hikmah dan moral Islami. Karena itu, dalam praktiknya pendekatan dakwah ini dibatasi dengan banyaknya persyaratan yang ketat,
bahkan menurut ketentuan al-Qur ’an.
24
Ada pun bentuk-bentuk dalam penyampaian dakwah diantaranya: a.
Bil Lisan Dakwah adalah ajakan yang bersifat Islami sedangkan kata
“lisan” dalam bahasa Arab berarti “bahasa”. Maka dakwah bil lisan bisa diartikan
sebagai penyampaian pesan dakwah melalui lisan berupa ceramah atau komunikasi langsung antara da’i dan mad’u.
Rasulullah SAW merupakan komunikator yang efektif , hal ini ditandai dengan bisa diserapnya ucapan, dan perbuatannya. Keahlian dan
23
A. Ilyas Ismail, Paradigma Dakwah Sayyid Quthub, Jakarta: Penamadani, 2008 Cet ke-2, hal. 252
24
A. Ilyas Ismail dan Prio Hotman, Filsafat Dakwah Rekayasa membangun Agama dan Peradaban Islam, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011 hal. 209
22
keliahaian Rasullullah SAW dapat berkomunikasi telah menarik banyak manusia dizamannya untuk mengikuti ajaran Islam. Dalam menyampaikan
pesan dakwah, da’i harus berbicara dengan gaya bahasa yang berkesan, menyentuh dan komunikatif.
25
Seperti dalam al-Qur ’an surat Al-Ahzab
ayat 70:
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah
dan berkatalah dengan perkataan yang benar” Perkataan yang benar qaulan sadidan pada yat diatas, dari sudut
bahasa mengandung arti: tepat mengenai sasaran. Al-Qasyani menafsirkan kalimat
اًدْيدس ًاْوق dengan makna “perkataan yang lurus qawiman,
perkataan yang benar haqqan, perkataan yang tepat shawaban. Dari penjelasan ini dapat disimpulkan, bahwa lisan yang harus digunakan dalam
berdakwah yaitu perkataan yang jujur, solutif terhadap permasalahan yang dihadapi mad’u, menyentuh kalbu, santun, menyejukkan, tidak agitatif dan
provokatif serta tidak mengandung fitnah.
26
Dakwah bil lisan sebagai kegiatan penyampaian pesan-pesan kebenaran yang bersumber dari al-
Qur’an dan as-Sunnah harus memerlukan sebuah kemasan penyampaian pesan yang cermat, jitu, dan
akurat sehingga tepat mengenai sasaran. b.
Bil Qalam Dakwah bil qalam adalah dakwah dengan menggunakan media
tulisan, seperti buku-buku, majalah, surat kabar, bulletin, brosur, dan jenis
25
Rubiyanah dan Ade Masturi, Pengantar Ilmu Dakwah, Jakarta: Lembaga Penelitian, 2010 hal. 42
26
Ibid. hal. 43
23
lainnya. Dalam memanfaatkan media ini, hendaknya ditampilkan dengan gaya bahasa lancar, mudah dicerna, dan menarik minat publik.
27
Dakwah bil qalam merupakan bentuk dakwah yang telah di praktikan oleh Rasulullah SAW. Dakwah dalam tulisan yang dilakukan
oleh Rasulullah SAW adalah dengan mengirim surat-surat yang berisi seruan, ajakan, atau panggilan untuk menganut ajaran Islam kepada raja-
raja dan kepala pemerintahan dari negara yang bertetangga dengan negara Arab.
28
c. Bil Hal
Kata al-hal secara etimologis berarti “keadaan”, artinya
menunjukkan realitas yang terwujud dalam perbuatan nyata. Dakwah bil hal dapat diartikan mengajak atau menyeru ke jalan Allah untuk
kebahagiaan dunia dan akhirat melalui perbuatan nyata yang sesuai dengan keadaan manusia.
29
Dakwah bil hal merupakan aktivitas dakwah Islam yang dilakukan dengan tindakan nyata atau amal nyata terhadap kebutuhan penerima
dakwah. Sehingga tindakan nyata tersebut sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh penerima dakwah.
Dakwah bil hal harus menjadi teladan tindakan secara nyata bagi seorang da’i, karena da’i akan menjadi contoh bagi pada mad’u. Sasaran
dakwah bil hal mengacu kepada pengembangan masyarakat secara
27
Fathur Bahri An-Nabiry, Buku Meneliti Jalan D akwah Bekal Perjuangan Para Da’i,
Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2008 Cet ke-1, hal 236
28
Siti Muriah, Metodelogi Dakwah Kontenporer, Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2002 hal. 72
29
Rubiyanah dan Ade Masturi, Pengantar Ilmu Dakwah, Jakarta: Lembaga Penelitian, 2010 hal. 60
24
keseluruhan. Dakwah bil hal bisa diperankan oleh siapa saja yang minat menyebarkan dan mempraktikkan kebaikan, keadilan, kesejahteraan, dan
kecerdasan.
30
Rasulullah SAW pun mempunyai beberapa pendekatan dalam metode dakwah yang selalu dilakukannya, diantaranya:
31
a. Pendekatan personal
Pendekatan ini terjadi dengan cara individual yaitu antara da’i dan mad’u, dengan langsung bertatap muka sehingga materi yang
disampaikan langsung diterima. Pendekatan ini pernah dilakukan pada zaman Rasulullah SAW ketika berdakwah secara rahasia, meskipun
demikian tidak menutup kemungkinan di zaman era modern seperti sekarang ini pendekatan personal harus tetap dilakukan karena mad’u
terdiri dari berbagai karakteristik. Dalam ilmu komunikasi pendekatan personal dapat dikatakan
sebagai komunikasi interpersonal antarpribadi. Situasi komunikasi interpersonal adalah proses berlangsung secara dialogis. Komunikasi
yang berlangsung secara dialogis selalu lebih baik dari pada secara monologis. Pendekatan personal atau komunikasi interpersonal yang
dilakukan oleh seorang da’i kepada mad’unya akan menumbuhkan keakraban sesama.
b. Pendekatan pendidikan
Pada masa Nabi, dakwah lewat pendidikan dilakukan beriringan dengan masuknya Islam kepada para kalangan sahabat.
30
Ibid. hal. 62
31
H. Munzier Suparta, H. Harjani Hefni, Metode Dakwah, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009 Cet ke-3, hal. 21-23
25
Begitu juga pada masa sekarang, dapat dilihat pendekatan pendidikan teraplikasi dalam lembaga-lembaga pendidikan pesantren, yayasan
yang bercorak Islam atau perguruan tinggi yang di dalamnya tedapat meteri-materi keislaman.
c. Pendekatan diskusi
Pendekatan diskusi pada era sekarang sering dilakukan lewat berbagai diskusi keagamaan, da’i berperan sebagai nara sumber.
Sedangkan mad’u berperan sebagai pendengar atau penyimak. Tujuan dari diskusi adalah membahas dan menemukan pemecahan semua
problematika yang ada kaitannya dengan dakwah sehingga apa yang menjadi permasalahan dapat ditemukan jalan keluarnya.
d. Pendekatan penawaran
Pendekatan penawaran yang dilakukan Nabi adalah ajakan untuk beriman kepada Allah SWT tanpa menyekutukan-Nya dengan
yang lain. Cara ini dilakukan Nabi dengan memakai metode yang tepat tanpa paksaan sehingga mad’u ketika meresponinnya tidak dalam
keadaan tertekan bahkan Nabi melakukannya dengan niat yang timbul dari hati yang paling dalam.
e.
Pendekatan misi
Pendekatan misi adalah pengiriman tenaga para da’i ke daerah- daerah di luar tempat domisili. Ada banyak organisasi yang bergerak di
bidang dakwah mengirimkan da’i-da’i untuk disebar luaskan ke daerah-daerah yang minim akan ilmu agamanya.
26
Menurut Slamet Muhaimin Abda, metode dakwah dapat dilihat dari berbagai segi, yaitu segi cara, jumlah, audiens dan penyampaian.
32
Metode dilihat dari dua segi cara:
a. Cara tradisional
Cara tradisional adalah sistem ceramah umum. Dalam metode ini d
a’i aktif berbicara dan mendominasi situasi, sedangkan komunikan hanya pasif saja mendengarkan
apa yang disampaikan da’i. Komunikasi hanya berlangsung satu arah one way communication yaitu dari
komunikator da’i kepada komunikan mad’u kelebihan metode ini yaitu sangat tepat jika digunakan untuk menyebarkan suatu informasi
kepada masyarakat secara serentak. Kelemahan metode ini yaitu komunikan atau mad’u tidak dapat dimonitor atau dipantau sejauh mana
pemahaman informasi yang disebarkan da’i. b.
Cara modern, Cara modern seperti diskusi, seminar dan sejenis dimana terjadi
komunikasi dua arah two way communication. Kelebihan dari metode ini peserta dapat mengikuti diskusi dan seminar, peserta mempunyai
persepsi yang jelas tentang pokok persoalan yang telah dibicarakan. Maka dari itu dalam metode ini terjadi nya dialog terbuka antara peserta
dan penyaji. Sedangkan kelemahan metode ini yaitu keterbatasan dalam menampung peserta dalam jumlah banyak masal, juga keterbatasan
dalam kecocokan dalam satu kalangan berpendidikan cukup dan berwawasan luas.
32
Selamet Muhaimin Abda, Prinsip-prinsip Metodologi Dakwah, Surabaya: Al-Ikhlas, 1994, hal. 80
27