Pertanggungjawaban Tindak Pidana Korupsi

Delima Mariaigo Simanjuntak : Penerapan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Secara BerlanjutStudi Kasus No. 1636Pid.B2006PN-MDN dan No. 354PID2006PT-MDN, 2008. USU Repository © 2009 a. Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya. b. Setiap orang yang memberi hadiah atau janji pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukannya dari pegawai negeri tersebut. Pelaku tindak pidana korupsi tersebut tidak perlu mempunyai maksud, tetapi sudah cukup jika pelaku tindak pidana korupsi itu pada waktu memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri ada hubungannya dengan kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukan atau yang oleh pelaku tindak pidana korupsi dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan pegawai negeri tersebut. 191 KUHP tidak ada mengatur tentang batasan dari “kemampuan bertanggung jawab”.KUHP hanya mengatur tentang pengertian negatifnya, yaitu kapan seseorang tidak dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya vide Pasal 44 KUHP. Pasal 44 KUHP menentukan sebagai berikut, bahwa barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, karena jiwanya cacat dalam tubuhnya atau jiwa yang terganggu karena penyakit, maka ia tidak boleh dihukum. Moeljatno berpendapat bahwa jika tidak dapat

C. Pertanggungjawaban Tindak Pidana Korupsi

191 Ibid. Delima Mariaigo Simanjuntak : Penerapan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Secara BerlanjutStudi Kasus No. 1636Pid.B2006PN-MDN dan No. 354PID2006PT-MDN, 2008. USU Repository © 2009 dipertanggungjawabkan itu disebabkan hal lain, misalnya jiwanya tidak normal karena jiwanya masih sangat muda, atau hal-hal lain, ketentuan dalam pasal itu tidak dapat diterapkan. 192 1. Mampu membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk yang sesuai dengan hukum dan yang melawan hukum. Berdasarkan hal tersebut di atas, terlihat bahwa untuk adanya kemampuan bertanggung jawab terdakwa harus: 2. Mampu menentukan kehendaknya menurut keinsafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi. Syarat pertama menyangkut faktor akal intellectual factor, yaitu dapat membeda-bedakan antara perbuatan yang dibolehkan atau tidak. Syarat yang kedua ialah faktor perasaan atau kehendak volition factor, yaitu dapat menyesuaikan perbuatan tadi dengan keinsafan terhadap perbuatan yang dibolehkan atau tidak. Hal ini berarti bahwa terdakwa yang tidak mampu untuk menentukan kehendak menurut keinsafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi, dia tidak mempunyai kesalahan, dan jika dia melakukan delik, terdakwa yang demikian itu tidak dapat dipertanggungjawabkan. Menurut Pasal 44 KUHP ketidakmampuan tadi harus dilandasi oleh alat-alat sakit atau cacat dalam tubuhnya. 193 Terkait dengan itu, Satochid Kartanegara mengatakan bahwa yang dapat dipertanggungjawabkan toerekeningsvatbaarheid adalah mengenai keadaan jiwa 192 Adami Chazawi buku III, op. cit., hal. 345. Lihat juga Moeljatno, op. cit., hal. 55 193 Ibid., hal. 165 Delima Mariaigo Simanjuntak : Penerapan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Secara BerlanjutStudi Kasus No. 1636Pid.B2006PN-MDN dan No. 354PID2006PT-MDN, 2008. USU Repository © 2009 seseorang, sedangkan pertanggungjawaban toerekendbaarheid adalah mengenai perbuatan yang dihubungkan dengan si pelaku atau pembuat. Satochid mengatakan seseorang dapat dipertanggungjawabkan, jika: 1. Keadaan jiwa orang itu adalah sedemikian rupa, sehingga dia dapat mengerti atau tahu akan nilai perbuatan yang dilakukan. 2. Keadaan jiwa orang itu adalah sedemikian rupa, sehingga dia dapat menentukan kehendaknya atas perbuatan yang dilakukan. 3. Orang itu sadar dan insaf, bahwa perbuatan yang dilakukan adalah perbuatan yang dilarang atau tidak dibenarkan dari sudut hukum, masyarakat, dan tata susila. 194 Simons mengatakan toerekeningsvatbaarheid dapat dipandang sebagai keadaan psikis sedemikian rupa, sehingga si pembuat atau pelaku mampu untuk menginsafi atau mengetahui, bahwa perbuatannya adalah melanggar hukum dan sesuai dengan keinsafan itu mampu untuk menentukan kehendaknya. E. Mezger menentukan tiga macam dalam pengertian kesalahan, yakni: 1. Kemampuan bertanggung jawab 2. Bentuk kesalahan berwujud kesengajaan dan kealpaan 3. Alasan-alasan penghapusan kesalahan. 195 Vos dan Mezger ada persamaan pendapat, yang tidak memasukkan unsur melawan hukum perbuatan dalam bidang kesalahan. Sedangkan Moeljatno dan Roeslan Saleh memisahkan antara perbuatan pidana dan pertanggungjawaban 194 Satochid Kartanegara, op. cit., hal. 243-244 195 Martiman Prodjohamidjojo, op. cit., hal. 32-33 Delima Mariaigo Simanjuntak : Penerapan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Secara BerlanjutStudi Kasus No. 1636Pid.B2006PN-MDN dan No. 354PID2006PT-MDN, 2008. USU Repository © 2009 pidana. Roeslan Saleh mengatakan bahwa untuk adanya kesalahan yang mengakibatkan dipidananya terdakwa, pada terdakwa harus ada: 1. Melakukan perbuatan pidana delik 2. Mampu bertanggung jawab 3. Dengan sengaja atau alpa 4. Tidak ada alasan pemaaf. 196 Selanjutnya Roeslan Saleh mengatakan bahwa dalam hal kemampuan bertanggung jawab ada dua faktor, yaitu: 1. Akal, dan 2. Kehendak Akal atau daya pikir seseorang dapat membedakan antara perbuatan yang dibolehkan dan perbuatan yang tidak dibolehkan. Dengan kehendak atau kemauan, atau keinginan orang dapat menyesuaikan tingkah laku mana yang diperbolehkan dan mana yang tidak diperbolehkan. Faktor kehendak bukan faktor yang menetukan mampu bertanggung jawab melainkan salah satu faktor dalam menentukan kesalahan, karena faktor kehendak bergantung dan kelanjutan dari faktor akal. Lagipula bahwa kemampuan bertanggung jawab hanya salah satu dari faktor kesalahan. 197 196 Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Dua Pengertian Dasar dalam Hukum Pidana, Centra, Jakarta, 1968, hal. 59-60 197 Ibid., hal. 61-62 Delima Mariaigo Simanjuntak : Penerapan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Secara BerlanjutStudi Kasus No. 1636Pid.B2006PN-MDN dan No. 354PID2006PT-MDN, 2008. USU Repository © 2009 Martiman Prodjohamidjojo memaparkan beberapa metode untuk menentukan suatu keadaan tidak mampu bertanggung jawab pada seseorang, sehingga dia tidak dipidana, yaitu: 198 1. Metode Biologis Metode biologis yaitu suatu cara dengan mengurai atau meninjau jiwa seseorang. Seorang psikiater telah menyatakan seseorang sakit gila dengan sendirinya orang tersebut tidak dipidana. 2. Metode Psikologis Metode psikologis yaitu dengan cara menunjukkan hubungan keadaan jiwa abnormal dengan perbuatannya. Metode ini mementingkan akibat penyakit jiwa terhadap perbuatannya, sehingga dapat dikatakan tidak mampu bertanggung jawab dan tidak dipidana. 3. Metode Gabungan Metode gabungan dari kedua cara tersebut, yakni metode biologis dan metode psikologis, dengan menunjukkan di samping menyatakan keadaan jiwa dan oleh sebab itu keadaan jiwa itu, kemudian dinilai dengan perbuatan untuk dinyatakan tidak mampu bertanggung jawab. KUHP menganut metode gabungan, yaitu tidak mampu bertanggung jawab itu dirumuskan secara deskriptif yaitu dengan rumusan akibatnya saja, sedangkan sebab-sebabnya tidak dirumuskan secara normatif. 199 198 Martiman Prodjohamidjojo, op. cit., hal. 34 199 Ibid. Delima Mariaigo Simanjuntak : Penerapan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Secara BerlanjutStudi Kasus No. 1636Pid.B2006PN-MDN dan No. 354PID2006PT-MDN, 2008. USU Repository © 2009 Kenyataan dalam praktek, maka harus dibuktikan terlebih dahulu tingkat penyakit ingatan itu adalah sedemikian rupa ringan, sedang, atau berat, kemudian diselidiki apakah orang yang dihinggapi jiwa seperti itu: 1. Dapat mengerti akan nilai-nilai perbuatannya, sehingga dapat mengerti akan nilai-nilai akibat perbuatannya. 2. Dapat menentukan kehendaknya terhadap perbuatan yang dilakukan. 3. Dapat menyadari bahwa perbuatan yang dilakukan itu adalah perbuatan yang dilarang. Jika ketiga syarat itu tidak dipenuhi maka baru ditentukan bahwa dia tidak dapat dipidana. 200 Teks Pasal 44 KUHP, menggunakan kata-kata verstandelijke vermogens kemampuan berpikir, sedangkan yang digolongkan verstandelijke vermogens, ialah idiot, imbisil, buta, tuli, dan bisu sejak lahir, orang-orang ini sebenarnya tidak sakit, akan tetapi cacat sejak lahir sehingga pikirannya seperti kanak-kanak. Dan yang termasuk kategori zekelijke storing der verstandelijke vermogens gangguan penyakit di dalam kemampuan berpikirnya, adalah: sakit gila, manie, histeri, epilepsy, melancholi dan macam-macam penyakit jiwa lainnya. Orang- orang yang terganggu pikirannya sebab mabuk karena minum keras pada umumnya tidak dapat digolongkan orang-orang tersebut di atas, kecuali dibuktikan sebaliknya bahwa mabuknya itu sedemikian rupa sehingga ingatannya hilang sama sekali. 201 200 Satochid Kartanegara, op. cit., hal. 248-249 201 Martiman Prodjohamidjojo, op. cit., hal. 35 Delima Mariaigo Simanjuntak : Penerapan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Secara BerlanjutStudi Kasus No. 1636Pid.B2006PN-MDN dan No. 354PID2006PT-MDN, 2008. USU Repository © 2009 Jonkers mengatakan bahwa kemampuan bertanggung jawab itu tidak termasuk dalam Pasal 44 KUHP, yang tidak disebutkan tidak mampu bertanggung jawab adalah alasan penghapus pidana yang umum, yang dapat disalurkan dari alasan-alasan yang khusus, seperti dalam Pasal 44, 48, 50, dan 51 KUHP. Jadi, orang yang tidak mampu bertanggung jawab itu bukan saja karena pertumbuhan jiwa yang cacat atau karena gangguan penyakit, tetapi juga karena umumnya masih muda, karena terkena hipnotis, dan sebagainya. Berdasarkan pendapat para pakar tersebut di atas terlihat hal-hal sebagai berikut: 1. Pertanggungjawaban pidana atau kesalahan dalam arti luas schuld in ruime zin mempunyai tiga bidang, yakni: a. Kemampuan bertanggung jawab orang yang melakukan perbuatan toerekeningsvatbaarheid b. Hubungan batin sikap psikis orang yang melakukan perbuatan dengan perbuatannya, yang ada: 1 Perbuatan yang ada kesengajaan, atau 2 Perbuatan yang lalai atau kurang hati-hati atau kealpaan, culpa schuld in enge zin c. Tidak ada alasan menghapuskan pertanggungjawaban pidana si pembuat anasir toerekendbaarheid 2. Kesalahan dalam arti sempit schuld in enge zin mempunyai bentuk, yaitu: a. kesengajaan dolus b. kealpaan culpos Delima Mariaigo Simanjuntak : Penerapan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Secara BerlanjutStudi Kasus No. 1636Pid.B2006PN-MDN dan No. 354PID2006PT-MDN, 2008. USU Repository © 2009 Bentuk dari kesengajaan yang berkembang dalam ilmu pengetahuan hukum pidana ada tiga jenis, yaitu: 202 1. Kesengajaan sebagai maksud oogmerk Kesengajaan sebagai maksud berarti, terjadinya suatu tindakan atau akibat tertentu yang sesuai dengan perumusan undang-undang hukum pidana, adalah betul-betul sebagai perwujudan dari maksud atau tujuan dan pengetahuan dari pelaku. Pada delik formal, contohnya: merusak barang seperti tersebut dalam Pasal 406 KUHP, perbuatan merusak ini adalah perwujudan dari kehendak dan pengetahuan dari pelaku. Sedangkan pada delik materil, sebagai contoh: menghilangkan jiwa orang seperti yang tersebut dalam Pasal 338 KUHP, matinya seseorang tersebut adalah merupakan perwujudan dari maksud dan tujuan dari pelaku. Terhadap dua hal tersebut di atas kesengajaan pelaku termasuk dalam gradasi kesengajaan sebagai maksud. 203 202 E.Y. Kanter et. al., Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Alumni: AHM-PTHM, Jakarta, 1982, hal. 172-178 203 Wirjono Prodjodikoro, op. cit., hal. 66-67 Pada Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi unsur kesengajaan sebagai maksud ini terdapat dalam beberapa pasal, yakni Pasal 3; Pasal 5 ayat 1 huruf a; Pasal 6 ayat 1 huruf a; Pasal 6 ayat 1 huruf b; Pasal 7 ayat 1 huruf b; Pasal 7 ayat 1 huruf d; Pasal 8; Pasal 9; Pasal 10 butir a; Pasal 10 butir b; Pasal 10 butir c; Pasal 12 huruf e; dan Pasal 12 huruf i. Delima Mariaigo Simanjuntak : Penerapan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Secara BerlanjutStudi Kasus No. 1636Pid.B2006PN-MDN dan No. 354PID2006PT-MDN, 2008. USU Repository © 2009 2. Kesengajaan sebagai kepastian opzet bij zekeirheids of noodzakelijkheidsbewutszijn Pada gradasi kesengajaan dengan kesadaran pasti, yang menjadi sandaran adalah seberapa jauh pengetahuan atau kesadaran pelaku tentang tindakan dan akibat yang merupakan salah satu unsur dari suatu delik yang terjadi. Dalam hal ini termasuk tindakan atau akibat-akibat lainnya yang pasti harus terjadi. Sebagai contoh: seorang penerbang membom tanggul sesuatu waduk dan ia harus pasti mengetahui bahwa tanggul itu akan hancur dan air dalam waduk akan tertumpah dan mengakibatkan banjir. 204 3. Kesengajaan dengan menyadari kemungkinan dolus eventualis Sedangkan di dalam Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi unsur kesengajaan sebagai kepastian ini terdapat dalam pasal-pasal yakni Pasal 7 ayat 1 huruf b dan d; Pasal 8; Pasal 9; Pasal 10 butir a, b, dan c; Pasal 11; Pasal 12 huruf a, b, c, d, f, g, h, dan i. Kesengajaan dengan kesadaran-mungkin, sebelumnya sebagai kesengajaan bersyarat atau dolus eventualis. Kesengajaan jenis ini bergradasi terendah, bahkan sering sukar membedakan dengan kealpaan. Yang menjadi sandaran jenis kesengajaan ini ialah sejauh mana pengetahuan atau kesadaran pelaku tentang tindakan dan akibat terlarang yang mungkin terjadi. Contoh: seorang penunggang kuda memacu kudanya di jalan yang banyak anak-anak bermain. Pada saat ia melalui anak-anak itu ia tidak memperlambat kudanya dan juga tidak mengambil keamanan atau kehati-hatian tertentu. Jika salah seorang anak itu mendapat luka 204 Adami Chazawi buku I, op. cit., hal. 96-97 Delima Mariaigo Simanjuntak : Penerapan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Secara BerlanjutStudi Kasus No. 1636Pid.B2006PN-MDN dan No. 354PID2006PT-MDN, 2008. USU Repository © 2009 atau mati diinjak oleh kuda tersebut maka tindakan itu telah masuk kepada kesengajaan jenis delik eventualis. 205 Sanksi pidana terhadap tindak pidana korupsi dijatuhkan apabila perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum vide Pasal 193 ayat 1 KUHAP berdasarkan alat-alat bukti yang diatur dalam Pasal 184 ayat 1 KUHAP. Pada Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi unsur ini terdapat dalam beberapa pasal yakni Pasal 7 ayat 1 huruf b dan d; Pasal 8; Pasal 9; Pasal 10 butir a, b, dan c; Pasal 11; Pasal 12 huruf a, b dan i.

D. Sanksi Pidana Terhadap Tindak Pidana Korupsi

Dokumen yang terkait

Pertanggungjawaban Pidana Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Korporasi (Studi Kasus Putusan Pengadilan Tinggi Banjarmasin No. 04/Pid. Sus/2011/Pt. Bjm)

1 140 155

Kajian Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Dalam Dunia Perbankan (Studi Putusan Nomor: : 79/Pid.Sus.K/2012/PN.MDN

1 55 94

Penyelesaian Tindak Pidana Malpraktek Yang Dilakukan Oleh Bidan Dalam Perawatan Pasiennya (Analisis Kasus No. 3344/pid.B/2006/PN Mdn)

6 166 101

Penyelesaian Tindak Pidana Malpraktek Yang Dilakukan Oleh Bidan Dalam Perawatan Pasiennya (Analisis Kasus No. 3344/pid.B/2006/PN Mdn)

3 71 101

Analisis Hukum Terhadap Putusan Bebas Dalam Tindak Pidana Pembunuhan (Studi Kasus Putusan No. 63 K/Pid/2007)

1 72 106

Analisis Hukum Terhadap Dakwaan Tindak Pidana Korupsi Oleh Jaksa Penuntut Umum (Putusan Mahkamah Agung No.2642 K/Pid/2006)

0 37 127

Analisis Kasus Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Karyawan PT. Bank mandiri (Studi Kasus No. 2120/ PID. B/ 2006/ PN. Mdn)

5 71 124

Asas Ne Bis In Idem Dalam Hukum Pidana (Pendekatan Kasus Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 1384 / Pid.B / Pn. Mdn / 2004 Jo Putusan Pengadilannegeri Medan No. 3259 / Pid.B / Pn. Mdn / 2008)

2 49 163

Hak Restitusi Sebagai Bentuk Perlindungang Terhadap Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (Studi Kasus Nomor 1554/Pid.B/2012/PN.MDN)

1 65 92

Pertanggungjawaban Pidana Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Korporasi (Studi Kasus Putusan Pengadilan Tinggi Banjarmasin No. 04/Pid. Sus/2011/Pt. Bjm)

3 98 139