Manfaat Penelitian Metode Penelitian

Delima Mariaigo Simanjuntak : Penerapan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Secara BerlanjutStudi Kasus No. 1636Pid.B2006PN-MDN dan No. 354PID2006PT-MDN, 2008. USU Repository © 2009

E. Manfaat Penelitian

1. Secara Teoritis a. Diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu hukum pada umumnya. b. Menambah informasi yang lebih konkret bagi usaha pembaharuan hukum pidana, khususnya dalam upaya mengurangi terjadinya tindak pidana korupsi. 2. Secara Praktis Dapat memberikan masukan kepada lembaga-lembaga yang terkait dalam pengambilan kebijakan terhadap tindak pidana korupsi baik eksekutif, yudikatif dan legislatif agar dapat diperoleh solusi dalam menangani kasus- kasus korupsi yang timbul.

F. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian Tindak Pidana

Sebelum menguraikan mengenai pengertian korupsi, terlebih dahulu akan diuraikan pengertian tindak pidana. Tindak pidana sering juga disebut dengan kata “delik”. 12 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti delik diberi batasan sebagai berikut: “Perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap undang-undang; tindak pidana”. 13 12 Kata “delik” disebut juga dengan delictum Latin, delict Jerman dan Belanda, dan delit Prancis. 13 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 2001 Delima Mariaigo Simanjuntak : Penerapan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Secara BerlanjutStudi Kasus No. 1636Pid.B2006PN-MDN dan No. 354PID2006PT-MDN, 2008. USU Repository © 2009 Menurut van der Hoeven, rumusan tersebut tidak tepat karena yang dapat dihukum bukan perbuatannya tetapi manusianya. 14 Tirtaamidjaja menggunakan istilah “pelanggaran pidana” untuk kata “delik”. Kartanegara lebih condong untuk menggunakan istilah “delict” yang telah lazim dipakai untuk perumusan strafbaar feit. 15 Para pakar hukum pidana menyetujui istilah straafbaar feit untuk menyebutkan nama tindak pidana. 16 Dalam bahasa Belanda straafbaar feit terdapat dua unsur pembentuk kata, yaitu straafbaar dan feit. Perkataan feit dalam bahasa Belanda diartikan “sebagian dari kenyataan” sedangkan straafbaar berarti “dapat dihukum”, sehingga secara harfiah perkataan straafbaar feit berarti “sebagian dari kenyataan yang dapat dihukum”. 17 Keberatan van der Hoeven tersebut sesungguhnya kurang beralasan jika diperhatikan pasal 1 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP yang berbunyi: “Tiada suatu perbuatan boleh dihukum melainkan atas kekuatan aturan pidana dalam undang-undang yang telah ada sebelum perbuatan itu dilakukan”. 18 Dalam hal ini, tepat yang dikatakan van Hattum bahwa perbuatan dan orang yang melakukannya sama sekali tidak dapat dipisahkan. 19 14 P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Cetakan ke-III, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung 1997, hal. 192 selanjutnya disebut buku I 15 Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah, Bagian I, Balai Lektur Mahasiswa, Tanpa Tahun, hal. 74 16 Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hal. 5 17 Wojowasito, Kamus Umum Belanda Indonesia, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1999 18 Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Cetakan Ke-I, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hal. 7 selanjutnya disebut buku I 19 P.A.F. Lamintang buku I, op.cit., hal. 184 Delima Mariaigo Simanjuntak : Penerapan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Secara BerlanjutStudi Kasus No. 1636Pid.B2006PN-MDN dan No. 354PID2006PT-MDN, 2008. USU Repository © 2009 Mengenai “delik” dalam arti straafbaar feit, para pakar hukum pidana masing-masing memberikan definisi sebagai berikut. 1. Simons Dalam rumusannya straafbaar feit itu adalah “tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggung jawabkan atas tindakannya dan oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum”. 20 a. untuk adanya suatu straafbaar feit diisyaratkan bahwa di situ terdapat suatu tindakan yang dilarang ataupun yang diwajibkan dengan undang-undang dimana pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban seperti itu telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum; Alasan dari Simons mengapa harus dirumuskan seperti di atas karena: b. agar suatu tindakan seperti itu dapat dihukum maka tindakan itu harus memenuhi semua unsur dari delik seperti yang dirumuskan dengan undang- undang; c. setiap straafbaar feit sebagai pelanggaran terhadap suatu larangan atau kewajiban menurut undang-undang itu, pada hakikatnya merupakan tindakan melawan hukum atau suatu onrechmatige handeling. 21 Jadi, sifat melawan hukum timbul dari suatu kenyataan bahwa tindakan manusia bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, hingga pada 20 C.S.T. Kansil Christine S.T. Kansil, Pokok-Pokok Hukum Pidana, Cetakan Ke-I, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 2004, hal. 37 21 P.A.F. Lamintang buku I, op. cit., hal.185, lihat juga Satochid Kartanegara, op. cit., hal. 74 Delima Mariaigo Simanjuntak : Penerapan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Secara BerlanjutStudi Kasus No. 1636Pid.B2006PN-MDN dan No. 354PID2006PT-MDN, 2008. USU Repository © 2009 dasarnya sifat tersebut bukan suatu unsur dari delik yang mempunyai arti tersendiri seperti halnya dengan unsur lain. 22 Menerjemahkan straafbaar feit dengan istilah peristiwa pidana yang sering juga ia sebut dengan delik, karena peristiwa itu suatu perbuatan handelen atau doen-positif atau suatu melalaikan nalaten-negatif, maupun akibatnya keadaan yang ditimbulkan karena perbuatan atau melalaikan itu. Peristiwa pidana merupakan suatu peristiwa hukum rechtsfeit, yaitu peristiwa kemasyarakatan yang membawa akibat yang diatur oleh hukum. 2. E. Utrecht 23 Pompe memberikan dua macam definisi terhadap perbuatan pidana, yaitu yang bersifat teoritis dan yang bersifat perundang-undangan. Berdasarkan definisi teoritis maka perbuatan pidana adalah pelanggaran normakaedahtata hukum yang diadakan karena kesalahan pelanggar, dan yang harus diberikan pidana Tindakan semua unsur yang disinggung oleh suatu ketentuan pidana dijadikan unsur yang mutlak dari peristiwa pidana. Hanya sebagian yang dapat dijadikan unsur-unsur mutlak suatu tindak pidana. Yaitu perilaku manusia yang bertentangan dengan hukum unsur melawan hukum, oleh sebab itu dapat dijatuhi suatu hukuman dan adanya seorang pembuat dalam arti kata bertanggung jawab. 3. Pompe 22 Evi Hartanti, op. cit., hal 6 23 Utrecht, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I, Pustaka Tinta Mas, Surabaya, 2000, hal. 251 selanjutnya disebut buku I Delima Mariaigo Simanjuntak : Penerapan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Secara BerlanjutStudi Kasus No. 1636Pid.B2006PN-MDN dan No. 354PID2006PT-MDN, 2008. USU Repository © 2009 untuk dapat mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum. Sedangkan dari sisi perundang-undangan, perbuatan pidana ialah suatu peristiwa yang oleh undang-undang ditentukan mengandung perbuatan dan pengabaian atau tidak berbuat. Tidak berbuat ini biasanya dilakukan dalam beberapa keadaan yang merupakan bagian suatu peristiwa. Uraian perbuatan dan keadaan yang ikut serta itulah yang disebut uraian delik. 24 Dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi, meskipun perbuatannya memenuhi delik an objective of penol provision, namun hal tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana. Untuk pemidanaan masih perlu adanya syarat, bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah subjective built. Di sini berlaku “tiada pidana tanpa kesalahan” kiene strafe ohne schuld atau geen straaf zonder schuld atau nulla poena sine culpa. 25 “Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan yang mana disertai sanksi berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar aturan tersebut”. Dapat juga dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang hukum dan diancam pidana asal saja dalam hal itu diingat bahwa larangan ditujukan pada perbuatan yaitu kejadian atau keadaan yang ditimbulkan Culpa di sini dalam arti luas, meliput i juga kesengajaan. 4. Moeljatno 24 A. Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, Cetakan Ke-I, Sinar Grafika, Jakarta, 1995, hal. 225 25 A. Fuad Usfa dan Tongat, Pengantar Hukum Pidana, Edisi Pertama, Cetakan Ke-I, UMM Press, Malang, 2004, hal. 78 Delima Mariaigo Simanjuntak : Penerapan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Secara BerlanjutStudi Kasus No. 1636Pid.B2006PN-MDN dan No. 354PID2006PT-MDN, 2008. USU Repository © 2009 oleh kelakuan orang, sedang ancaman pidananya ditujukan pada orang yang menimbulkan kejahatan. 26

a. Unsur-Unsur Tindak Pidana

Menurut doktrin, unsur-unsur delik terdiri atas unsur subjektif dan unsur objektif. 27 Terhadap unsur-unsur tersebut dapat diutarakan sebagai berikut. 28 1 Unsur Subjektif Unsur subjektif adalah unsur yang berasal dari dalam diri pelaku. Unsur- unsur subjektif daripada perbuatan dapat berupa kesalahan schuld dan dapat dipertanggungjawabkan toerekeningsvatbaarheid. 29 Asas hukum pidana menyatakan “tiada hukuman tanpa kesalahan” An act does not make a person guilty unless the mind is guilty or actus non facit reum nisi mens sit rea. 30 Kesalahan yang dimaksud di sini adalah kesalahan yang diakibatkan oleh kesengajaan intentionopzetdolus dan kealpaan negligence or schuld. Pada umumnya para pakar telah menyetujui bahwa “kesengajaan” terdiri atas 3 tiga bentuk, yakni: 31 a kesengajaan sebagai maksud oogmerk; b kesengajaan dengan keinsafan pasti opzet als zekerheidsbewustzijn; 26 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Cetakan Ke-II, Jakarta, Bina Aksara, 1984, hal. 54 27 Leden Marpaung, Unsur-Unsur Perbuatan yang Dapat Dihukum Delik, Sinar Grafika, Jakarta, 1991, hal. 6-7 selanjutnya disebut buku II 28 Leden Marpaung buku I, op. cit., hal. 9-10 29 Satochid Kartanegara, op.cit., hal. 86. Lihat juga P.A.F. Lamintang buku I, op. cit., hal. 193 30 D. Schaffmeister et al, dalam J.F. Sahetapy ed, Hukum Pidana, Edisi Pertama Cetakan Ke-I, Yogyakarta, Liberty, 1995, hal. 1. Lihat juga Moeljatno, op. cit., hal. 23 31 Moeljatno, op. cit., hal. 172-173. Lihat juga Leden Marpaung buku I, op. cit., hal. 15 Delima Mariaigo Simanjuntak : Penerapan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Secara BerlanjutStudi Kasus No. 1636Pid.B2006PN-MDN dan No. 354PID2006PT-MDN, 2008. USU Repository © 2009 c kesengajaan dengan keinsafan akan kemungkinan dolus eventualis. Kealpaan adalah bentuk kesalahan yang lebih ringan dari kesengajaan. Kealpaan terdiri atas dua bentuk, yakni: tak berhati-hati dan dapat menduga akibat perbuatan itu. Seseorang dapat dikatakan mampu bertanggung jawab apabila dalam diri orang itu memenuhi tiga syarat, yaitu: 32 a Keadaan jiwa orang itu adalah sedemikian rupa, sehingga ia dapat mengerti akan nilai perbuatannya dan karena juga mengerti akan nilai dari akibat perbuatannya itu. b Keadaan jiwa orang itu sedemikian rupa, sehingga ia dapat menentukan kehendaknya terhadap perbuatan yang ia lakukan. c Orang itu harus sadar perbuatan mana yang dilarang dan perbuatan mana yang tidak dilarang oleh undang-undang. 2 Unsur Objektif Unsur objektif merupakan unsur dari luar diri pelaku yang terdiri atas: 33 a Perbuatan handeling manusia, berupa: i. act, yakni perbuatan aktif atau perbuatan positif; ii. omission, yakni perbuatan pasif atau perbuatan negatif, yaitu perbuatan yang mendiamkan atau membiarkan. b Akibat resultgevolg perbuatan manusia 32 Satochid Kartanegara, op. cit., hal. 242. Lihat juga Tongat, Hukum Pidana Materil, Edisi Pertama, Cetakan Ke-1, UMM Press, Malang, 2002, hal. 5 33 Ibid., hal. 84-87. Lihat juga ibid., hal. 4 Delima Mariaigo Simanjuntak : Penerapan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Secara BerlanjutStudi Kasus No. 1636Pid.B2006PN-MDN dan No. 354PID2006PT-MDN, 2008. USU Repository © 2009 Akibat tersebut membahayakan atau merusak, bahkan menghilangkan kepentingan-kepentingan yang dipertahankan oleh hukum, misalnya nyawa, badan, kemerdekaan, hak milik, kehormatan, dan sebagainya. c Keadaan-keadaan circumstancesomstandigheid Pada umumnya, keadaan tersebut dibedakan antara lain: 34 i. keadaan pada saat perbuatan dilakukan; ii. keadaan setelah perbuatan dilakukan. d Sifat dapat dihukum dan sifat melawan hukum Sifat dapat dihukum berkenaan dengan alasan-alasan yang membebaskan si pelaku dari hukuman. Adapun sifat melawan hukum adalah apabila perbuatan itu bertentangan dengan hukum, yakni berkenaan dengan larangan atau perintah. 35 Adami Chazawi membedakan unsur-unsur tindak pidana ke dalam dua sudut pandang, yakni: 1 dari sudut teoritis dan 2 dari sudut undang-undang. Teoritis maksudnya berdasarkan pendapat para ahli hukum yang tercermin pada bunyi rumusannya. Sedangkan sudut undang-undang adalah bagaimana kenyataan Semua unsur delik tersebut merupakan satu kesatuan. Salah satu unsur saja tidak terbukti, bisa menyebabkan terdakwa dibebaskan pengadilan. 34 P.A.F. Lamintang buku I, op. cit., hal. 187-189. Dijelaskan juga bahwa menurut Pompe, keadaan ini terbagi atas keadaan-keadaan penyerta begeleidende omstandigheden dan keadaan-keadaan yang dating kemudian nakomende omstandigheden. Begeleidende omstandigheden atau keadaan-keadaan yang menyertai sesuatu tindakan itu dalam beberapa rumusan delik disebutkan beberapa syarat tertentu, yaitu misalnya: a. bahwa cara melakukan sesuatu tindak pidana atau sarana yang digunakan untuk melakukan tindak pidana tersebut haruslah memenuhi syarat-syarat tertentu; b. bahwa subjek maupun objek dari sesuatu tindak pidana itu haruslah mempunyai sifat-sifat tertentu; dan c. bahwa waktu dan tempat dilakukannya sesuatu tindak pidana itu haruslah sesuai dengan syarat- syarat tertentu. 35 Ibid., hal. 27. Lihat juga Leden Marpaung buku I, op. cit., hal. 10 Delima Mariaigo Simanjuntak : Penerapan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Secara BerlanjutStudi Kasus No. 1636Pid.B2006PN-MDN dan No. 354PID2006PT-MDN, 2008. USU Repository © 2009 tindak pidana itu dirumuskan menjadi tindak pidana tertentu dalam pasal-pasal peraturan perundang-undangan yang ada. 36 1 Unsur Tindak Pidana Menurut Beberapa Teoritisi Menurut Moeljatno, unsur tindak pidana adalah: 37 a perbuatan; b yang dilarang oleh aturan hukum; c ancaman pidana bagi yang melanggar larangan. Berdasarkan pendapat sarjana yang menganut paham dualisme tersebut tidak ada perbedaan mengenai unsur-unsur tindak pidana. Uraian di atas menunjukkan bahwa unsur-unsur tersebut tidak menyangkut diri si pembuat atau dipidananya pembuat, semata-mata mengenai perbuatannya. Berbeda halnya dengan pendapat penganut paham monoisme seperti berikut ini. Menurut Jonkers unsur-unsur tindak pidana adalah: 38 a perbuatan yang; b melawan hukum yang berhubungan dengan; c kesalahan yang dilakukan oleh orang yang dapat; d dipertanggungjawabkan. 36 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana bagian I Stelsel Pidana, Teori-teori Pemidanaan, dan Batas Berlakunya Hukum Pidana, Edisi Pertama, Cetakan Ke-I, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hal. 78 selanjutnya disebut buku I 37 D. Schaffmeister et al, dalam J.F. Sahetapy ed, op. cit., hal. 27. Dijelaskan juga bahwa menurut R. Tresna, tindak pidana terdiri dari unsur-unsur, yakni: perbuatanrangkaian perbuatan manusia; yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; dan diadakan tindakan penghukuman. Sedangkan menurut bunyi batasan yang dibuat oleh Vos, dapat ditarik unsur-unsur tindak pidana adalah: kelakuan manusia; diancam dengan pidana; dan dalam peraturan perundang-undangan. Lihat juga Moeljatno, op. cit., hal. 54 38 Ibid., hal. 81. Dijelaskan juga bahwa menurut Schravendijk unsur-unsur tindak pidana sebagai berikut: kelakuan orang yang; bertentangan dengan keinsyafan hukum; diancam dengan hukuman; dilakukan oleh orang yang dapat; dipersalahkankesalahan. Delima Mariaigo Simanjuntak : Penerapan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Secara BerlanjutStudi Kasus No. 1636Pid.B2006PN-MDN dan No. 354PID2006PT-MDN, 2008. USU Repository © 2009 Walaupun rincian tersebut berbeda-beda, namun pada hakekatnya ada persamaannya yakni tidak memisahkan antara unsur-unsur mengenai perbuatannya dengan unsur yang mengenai diri orangnya. Mahmud Mulyadi merangkum kesimpulan yang dibuat oleh Moeljatno mengenai unsur-unsur atau elemen-elemen yang harus ada dalam suatu perbuatan pidana, yaitu: 39 a Kelakuan dan akibat dapat disamakan dengan perbuatan; b Hal atau keadaan yang menyertai perbuatan; c Keadaan tambahan yang memberatkan pidana; d Unsur melawan hukum yang objektif; dan e Unsur melawan hukum yang subjektif. 2 Unsur Rumusan Tindak Pidana Dalam Undang-Undang Buku II KUHP memuat rumusan-rumusan perihal tindak pidana tertentu yang masuk dalam kelompok kejahatan dan Buku III adalah pelanggaran. Berdasarkan rumusan-rumusan tindak pidana tertentu dalam KUHP tersebut, maka dapat diketahui adanya 8 delapan unsur tindak pidana, yaitu: 40 a Unsur tingkah laku Tingkah laku adalah unsur mutlak tindak pidana. Tingkah laku dalam tindak pidana terdiri dari tingkah laku aktif atau positif handelen, juga dapat disebut perbuatan materiil materieel feit dan tingkah laku pasif atau negatif 39 Mahmud Mulyadi, Proses Pembuktian dan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Tindak Pidana Lingkungan Hidup tesis, Program Pascasarjana USU, 2001, hal. 49-50 40 Adami Chazawi buku I, op. cit., hal. 81-82 Delima Mariaigo Simanjuntak : Penerapan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Secara BerlanjutStudi Kasus No. 1636Pid.B2006PN-MDN dan No. 354PID2006PT-MDN, 2008. USU Repository © 2009 nalaten. Dilihat dari syarat penyelesaian tindak pidananya, maka tingkah laku dibedakan menjadi 2 macam, yakni 1 tingkah laku sebagai syarat penyelesaian tindak pidana, 2 tingkah laku yang harus mengandung akibat sebagai syarat penyelesaian tindak pidana. 41 b Unsur melawan hukum Melawan hukum adalah suatu sifat tercelanya atau terlarangnya dari suatu perbuatan, yang sifat tercela mana dapat bersumber pada undang-undang melawan hukum formilformelle wederrechtelijk dan dapat bersumber pada masyarakat melawan hukum materiilmaterieel wederrechtelijk. 42 Dari sudut undang-undang, suatu perbuatan tidaklah mempunyai sifat melawan hukum sebelum perbuatan itu diberi sifat terlarang wederrechtelijk dengan memuatnya sebagai dilarang dalam peraturan perundang-undangan, artinya sifat terlarang itu disebabkan atau bersumber pada dimuatnya dalam peraturan perundang- undangan. 43 D. Schaffmeister et al. membedakan sifat melawan hukum itu menjadi empat bentuk, yaitu: 44 1 Sifat melawan hukum umum Sifat ini diartikan sebagai syarat umum untuk dapat dipidana yang tersebut dalam rumusan pengertian perbuatan pidana, yaitu suatu rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dapat dicela. 41 Ibid. halaman 83-85 42 A. Fuad Usfa dan Tongat, op. cit. hal. 70. Lihat juga Indriyanto Seno Adji, Korupsi, Kebijakan Aparatur Negara dan Hukum Pidana, Edisi Pertama, Cetakan Ke-II, CV. Diadit Media, Jakarta, 2007, hal. 133 43 S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Alumni- Ahaem-Petehaem, Jakarta, hal. 141 44 D. Schaffmeister et al, op. cit., hal. 39 Delima Mariaigo Simanjuntak : Penerapan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Secara BerlanjutStudi Kasus No. 1636Pid.B2006PN-MDN dan No. 354PID2006PT-MDN, 2008. USU Repository © 2009 2 Sifat melawan hukum khusus Sifat ini tercantum secara tertulis dalam rumusan delik yang merupakan syarat tertulis untuk dapat dipidana. Sifat ini juga dinamakan “sifat melawan hukum faset”. 3 Sifat melawan hukum formal Sifat ini berarti, semua bagian yang tertulis dari rumusan delik telah dipenuhi yaitu memenuhi semua syarat tertulis untuk dapat dipidana. 4 Sifat Melawan hukum materil Berarti melanggar atau membahayakan kepentingan hukum yang hendak dilindungi oleh pembentuk undang-undang dalam rumusan delik tertentu. c Unsur kesalahan Kesalahan schuld adalah unsur mengenai keadaan atau gambaran batin orang sebelum atau pada saat memulai perbuatan, karena itu unsur ini selalu melekat pada diri pelaku dan bersifat subjektif. Kesalahan dalam hukum pidana adalah berhubungan dengan pertanggungan jawab, atau mengandung beban pertanggungan jawab pidana, yang terdiri dari kesengajaan dolus atau opzet dan kelalaian culpa. 45 Kesengajaan adalah orang yang menghendaki dan orang yang mengetahui sehingga kesengajaan itu ada dua, yakni kesengajaan berupa kehendak dan kesengajaan berupa pengetahuan yang diketahui. 46 45 A. Fuad Usfa dan Tongat, op. cit., hal. 77-78 46 Sudarto, Hukum Pidana I, Penerbit Yayasan Sudarto, Semarang, 1991, hal. 102-105 selanjutnya disebut buku I. Lihat juga A. Zainal Abidin Farid, op. cit., hal. 282-285 Menurut teori kehendak, kesengajaan adalah kehendak yang ditujukan untuk melakukan perbuatan, artinya Delima Mariaigo Simanjuntak : Penerapan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Secara BerlanjutStudi Kasus No. 1636Pid.B2006PN-MDN dan No. 354PID2006PT-MDN, 2008. USU Repository © 2009 untuk mewujudkan perbuatan itu memang telah dikehendaki sebelum seseorang itu sungguh-sungguh berbuat. Menurut teori pengetahuan, kesengajaan adalah mengenai segala apa yang ia ketahui tentang perbuatan yang akan dilakukan dan beserta akibatnya. Tidaklah mungkin menghendaki atas segala sesuatu yang tidak diketahui. 47 Kelalaian culpa sering juga disebut dengan tidak sengaja, lawan dari kesengajaan opzettelijk atau dolus atau sering juga disebut dengan schuld dalam arti sempit. Unsur kesalahan dan melawan hukum merupakan unsur subjektif sedangkan selebihnya merupakan unsur objektif. 48 d Unsur akibat konstitutif Unsur akibat konstitutif ini terdapat pada: 1 tindak pidana materiil materieel delicten atau tindak pidana di mana akibat menjadi syarat selesainya tindak pidana, 2 tindak pidana yang mengandung unsur akibat sebagai syarat pemberat pidana, dan 3 tindak pidana di mana akibat merupakan syarat dipidananya pembuat. 49 e Unsur keadaan yang menyertai Unsur keadaan yang menyertai adalah unsur tindak pidana yang berupa semua keadaan yang ada dan berlaku dalam mana perbuatan dilakukan. Unsur keadaan yang menyertai ini dalam kenyataan rumusan tindak pidana dapat: 50 1 mengenai cara melakukan perbuatan; 2 mengenai cara untuk dapatnya dilakukan perbuatan; 3 mengenai objek tindak pidana; 4 mengenai subjek 47 A. Fuad Usfa dan Tongat, op. cit., hal. 79 48 Adami Chazawi buku I, op. cit., hal. 93 49 Ibid., hal. 103 50 Ibid., hal. 106 Delima Mariaigo Simanjuntak : Penerapan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Secara BerlanjutStudi Kasus No. 1636Pid.B2006PN-MDN dan No. 354PID2006PT-MDN, 2008. USU Repository © 2009 tindak pidana; 5 mengenai tempat dilakukannya tindak pidana; dan 6 mengenai waktu dilakukannya tindak pidana. f Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dituntut pidana Unsur ini hanya terdapat pada tindak pidana aduan. Tindak pidana aduan adalah tindak pidana yang hanya dapat dituntut pidana jika adanya pengaduan dari yang berhak mengadu. 51 g Unsur syarat tambahan untuk memperberat pidana Unsur ini adalah berupa alasan untuk diperberatnya pidana. Unsur syarat tambahan untuk memperberat pidana dapat terletak pada bermacam-macam, yakni: 52 1 pada akibat yang timbul setelah perbuatan dilakukan, misalnya luka berat atau kematian. 2 pada objek tindak pidananya, misalnya pada anggota keluarga, pejabat yang sedang menjalankan tugasnya, terhadap orang yang bekerja padanya. 3 pada cara melakukan perbuatan, misalnya dengan tulisan, gambar, memberikan bahan berbahaya bagi nyawa atau kesehatan, dan sebagainya. 4 pada subjek hukum tindak pidana, misalnya dokter, bidan, juru obat. 5 pada waktu dilakukannya tindak pidana, misalnya belum lewat 2 tahun. 6 pada berulangnya perbuatan, misalnya pencarian atau kebiasaan. h Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dipidana. Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dipidana adalah berupa unsur keadaan-keadaan tertentu yang timbul setelah perbuatan dilakukan, yang 51 Ibid., hal. 108 52 Ibid., hal. 110 Delima Mariaigo Simanjuntak : Penerapan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Secara BerlanjutStudi Kasus No. 1636Pid.B2006PN-MDN dan No. 354PID2006PT-MDN, 2008. USU Repository © 2009 menentukan untuk dapat dipidananya perbuatan. Nilai bahayanya bagi kepentingan hukum dari perbuatan itu adalah terletak pada timbulnya unsur syarat tambahan, bukan semata-mata pada perbuatan. 53

b. Jenis Tindak Pidana

KUHP kita yang berlaku sekarang membagi jenis tindak pidana menjadi dua kelompok, yaitu kejahatan yang diatur dalam Buku Kedua dan pelanggaran yang diatur dalam Buku Ketiga. Di samping itu dalam Ilmu Hukum Pidana dikenal beberapa jenis tindak pidana, diantaranya adalah: 54 1 Tindak pidana formil Tindak pidana formil adalah tindak pidana yang perumusannya dititikberatkan kepada perbuatan yang dilarang. Jadi tindak pidana tersebut telah selesai dengan dilakukannya perbuatan yang dilarang sebagaimana yang tercantumdirumuskan dalam peraturan perundang-undangan pidana. 2 Tindak pidana materil Tindak pidana materil adalah tindak pidana yang perumusannya dititikberatkan kepada akibat yang dilarang dalam suatu undang-undang. Jadi tindak pidana ini baru selesai apabila akibat yang dilarang dari suatu perbuatan itu telah terjadi. 3 Tindak pidana comisionis 53 Ibid., hal. 110-111 54 M. Hamdan, Tindak Pidana Suap dan Money Politics, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2006, hal. 9 Delima Mariaigo Simanjuntak : Penerapan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Secara BerlanjutStudi Kasus No. 1636Pid.B2006PN-MDN dan No. 354PID2006PT-MDN, 2008. USU Repository © 2009 Tindak pidana comisionis adalah tindak pidana yang berupa pelanggaran terhadap aturan yang telah ditetapkan oleh undang-undang. 4 Tindak pidana omisionis Tindak pidana omisionis adalah tindak pidana yang berupa pelanggaran terhadap perintah yang telah ditetapkan oleh undang-undang. 5 Dolus dan Culpa Dolus adalah tindak pidana yang dilakukan dengan sengaja sedangkan culpa adalah tindak pidana yang dilakukan dengan kelalaian atau karena kealpaan. 6 Tindak pidana aduan klachtdelict Tindak pidana yang dilakukan itu baru dapat dilakukan penuntutan apabila ada pengaduan. Jadi jika tidak ada pengaduan maka tindak pidana tersebut tidak akan dituntut.

c. Tempat dan Waktu Tindak Pidana

Tidak mudah untuk menentukan secara pasti tentang waktu dan tempat dilakukannya tindak pidana. Hal ini disebabkan oleh hakikat tindak pidana merupakan tindakan manusia, dimana pada waktu melakukan tindakannya seringkali manusia menggunakan alat yang dapat menimbulkan akibat pada waktu dan tempat yang lain di mana orang tersebut telah menggunakan alat-alat itu. Dapat pula terjadi bahwa tindakan dari seorang pelaku telah menimbulkan akibat pada waktu dan tempat dimana pelaku tersebut telah melakukan perbuatannya. Jadi, tempus delicti adalah waktu di mana telah terjadi suatu tindak pidana sedangkan locus delicti adalah tempat tindak pidana berlangsung. Menurut van Delima Mariaigo Simanjuntak : Penerapan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Secara BerlanjutStudi Kasus No. 1636Pid.B2006PN-MDN dan No. 354PID2006PT-MDN, 2008. USU Repository © 2009 Bemmelen yang dipandang sebagai tempat dan waktu dilakukannya tindak pidana pada dasarnya adalah tempat dimana seorang pelaku telah melakukan perbuatannya secara materil. 55 1 tempat dimana seorang pelaku itu telah melakukan sendiri perbuatannya; Yang dianggap sebagai locus delicti adalah: 2 tempat di mana alat yang telah dipergunakan oleh seseorang itu bekerja; 3 tempat di mana akibat langsung dari suatu tindakan itu telah timbul; 4 tempat di mana akibat konstitutif itu telah timbul. Undang-undang tidak memberikan penjelasan perihal waktu dan tempat tindak pidana. Oleh sebab itu teori-teori mengenai waktu dan tempat ini menjadi sangat penting dalam praktik hukum, karena teori-teori itulah yang dapat menjadi pegangan hakim dalam memecahkan persoalan yang menyangkut tentang waktu dan tempat. Teori yang dimaksud, yaitu: 56 1 Teori perbuatan jasmani leer van het materiele feit Menurut teori perbuatan jasmani atau perbuatan materiil, waktu dan tempat tindak pidana adalah waktu dan tempat di mana perbuatan jasmani yang menjadi unsur tindak pidana itu pada kenyataannya diwujudkan. 57 2 Teori alat leer van het instrument Menurut teori alat, waktu dan tempat tindak pidana adalah waktu dan tempat di mana alat digunakan dan bekerja efektif dalam hal terwujudnya tindak pidana. 58 55 Evi Hartanti, op. cit., hal. 8 56 A. Zainal Abidin Farid, op. cit., hal.177 57 Adami Chazawi buku I, op. cit., hal. 136. Lihat juga Suharto, Hukum Pidana Materil Unsur-Unsur Obyektif Sebagai Dasar Dakwaan, Edisi Kedua, Cetakan Ke-I, Sinar Grafika, Jakarta, 1996, hal. 32 Delima Mariaigo Simanjuntak : Penerapan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Secara BerlanjutStudi Kasus No. 1636Pid.B2006PN-MDN dan No. 354PID2006PT-MDN, 2008. USU Repository © 2009 3 Teori akibat leer van het gevolg Menurut teori ini, waktu dan tempat tindak pidana adalah waktu dan tempat di mana akibat dari perbuatan itu timbul. Mengenai waktu dan tempat tindak pidana pasif omissi berupa tindak pidana pelanggaran terhadap kewajiban hukum untuk berbuat, misalnya mengabaikan panggilan hakim untuk menjadi saksi ahli atau juru bahasa di persidangan pengadilan pasal 522 KUHP adalah waktu dan tempat di mana ia seharusnya memenuhi kewajiban hukum itu dilakukan. 59 Terhadap perbarengan concursus atau samenloop, oleh karena terjadinya beberapa tindak pidana yang berlain-lainan, maka perihal waktu dan tempat tindak pidana adalah pada waktu dan tempat masing-masing terwujudnya tindak pidana itu. Terhadap penyertaan khususnya antara pelaku penganjur uitlokker dengan pelaku pelaksana pleger, dimana antara waktu dan tempat perbuatan menganjurkan tindak pidana dengan tindak pidana diwujudkan oleh pelaku pelaksananya tidak sama, maka dapat dipandang sebagai waktu dan tempat tindak pidana adalah waktu dan tempat di mana perbuatan penganjuran itu terjadi. 60 Terjadinya pelaku pembantu sebelum tindak pidana diwujudkan dengan pelaku pelaksana, dimana waktu dan tempat pemberian bantuan misalnya meminjamkan pistol berlainan dengan dilaksanakannya tindak pidana oleh pelaku pelaksananya menembak korban dengan pistol itu, dan matilah korban, 58 Lihat al: Zainal A. Farid, op. cit., hal 178-179; Adami Chazawi buku I, op. cit., hal. 136; A. Fuad Usfa dan Tongat, op. cit., hal. 53-54; dan Suharto, op. cit., hal. 32 59 Ibid. 60 Adami Chazawi, op. cit., hal. 140 Delima Mariaigo Simanjuntak : Penerapan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Secara BerlanjutStudi Kasus No. 1636Pid.B2006PN-MDN dan No. 354PID2006PT-MDN, 2008. USU Repository © 2009 maka waktu dan tempat tindak pidana pembunuhan adalah waktu dan tempat di mana akibat matinya korban karena tembakan itu. 61

a. Pengertian Korupsi

2. Korupsi

Korupsi berasal dari bahasa Latin “Coruptio” atau “Corruptus”, dalam bahasa Perancis dan Inggris disebut “Corruption” 62 1 kejahatan, kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan, dan ketidak jujuran. , dalam bahasa Belanda disebut “Corruptie”. Secara harfiah pengertian korupsi dapat berupa: 63 2 perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dan sebagainya. 64 3 korup artinya busuk; suka menerima uang suapsogok; memakai kekuasaan untuk kepentingan sendiri dan sebagainya. Korupsi artinya perbuatan busuk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dan sebagainya. Koruptor berarti orang yang korupsi. 65 61 Ibid., hal. 141 62 Dani Krisnawati et. al. dalam Eddy O. S. Hiariej ed, Bunga Rampai Hukum Pidana Khusus, Cetakan Ke-I, Pena Pundi Aksara, Jakarta, 2006, hal. 35-36. Dijelaskan juga bahwa berdasarkan isi The Lexicon Webster Dictionary The Lexicon Webster Dictionary, English Language Institute of America, Inc. dimuat arti kata corrupt al. sbb.: “corruption L. corruption n- The act of corrupting or the state of being corrupt; putrefactive decomposition. putrid matter; moral perversion; depravity, perversion of integrity; corrupt or dishonest proceedings, bribery; perversion from a state of purity; debasement, as of a language; a debased from of a word”. 63 S. Wojowasito dan W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Lengkap Inggris-Indonesia, Indonesia-Inggris, Penerbit Hasta, Bandung 64 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Penerbit Balai Pustaka, 1976 65 Muhammad Ali, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Modern, Penerbit Pustaka Amani, Jakarta Delima Mariaigo Simanjuntak : Penerapan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Secara BerlanjutStudi Kasus No. 1636Pid.B2006PN-MDN dan No. 354PID2006PT-MDN, 2008. USU Repository © 2009 Dengan demikian, secara harfiah dapat ditarik kesimpulan bahwa sesungguhnya istilah korupsi memiliki arti yang sangat luas yaitu: 1 Korupsi, penyelewengan atau penggelapan uang negara atau perusahaan dan sebagainya untuk kepentingan pribadi dan orang lain; 2 Korupsi: busuk; rusak; suka memakai barang atau uang yang dipercayakan kepadanya; dapat disogok melalui kekuasaannya untuk kepentingan pribadi. 66 Carl J. Friesrich, mengatakan bahwa pola korupsi dapat dikatakan ada apabila seseorang memegang kekuasaan yang berwenang untuk melakukan hal- hal tertentu seseorang pejabat bertanggung jawab melalui uang atau semacam hadiah lainnya yang tidak diperbolehkan oleh undang-undang; membujuk untuk mengambil langkah yang menolong siapa saja yang menyediakan hadiah dan dengan demikian benar-benar membahayakan kepentingan umum. Menurut beberapa sarjana, korupsi dapat dirumuskan sebagai berikut: 67 Bayley menyatakan bahwa perkataan korupsi dikaitkan dengan perbuatan penyuapan yang berkaitan dengan penyalahgunaan wewenang atau kekuasaan sebagai akibat adanya pertimbangan dari mereka yang memegang jabatan bagi keuntungan pribadi. M. Nc. Mullan, seorang pejabat pemerintah dikatakan “korup” apabila ia menerima uang yang dirasakan sebagai dorongan untuk melakukan sesuatu yang bisa ia lakukan dalam tugas jabatannya padahal ia selama menjalankan tugasnya seharusnya tidak boleh demikian. Atau dapat berarti menjalankan kebijaksanaannya secara sah untuk alasan yang tidak benar dan 66 Departemen P dan K, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 1989. 67 Martiman Prodjohamidjojo, Penerapan Pembuktian Terbalik dalam Delik Korupsi, Mandar Maju, Bandung. 2001, hal. 9 Delima Mariaigo Simanjuntak : Penerapan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Secara BerlanjutStudi Kasus No. 1636Pid.B2006PN-MDN dan No. 354PID2006PT-MDN, 2008. USU Repository © 2009 dapat merugikan kepentingan umum. Yang menyalahgunakan kewenangan dan kekuasaan. 68 Huntington menyebutkan bahwa korupsi adalah perilaku menyimpang dari public official ata para pegawai dari norma-norma yang diterima dan dianut oleh masyarakat dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan-keuntungan pribadi. Vito Tanzi mengemukakan bahwa korupsi adalah perilaku yang tidak mematuhi prinsip, dilakukan oleh perorangan di sector swasta atau pejabat publik, keputusan yang dibuat berdasarkan hubungan pribadi atau keluarga akan menimbulkan korupsi, termasuk juga konflik kepentingan dan nepotisme. 69

b. Sifat dan Ciri-ciri Korupsi

Baharuddin Lopa dalam bukunya Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum membagi korupsi menurut sifatnya dalam 2 dua bentuk, yaitu sebagai berikut: 70 1 Korupsi yang Bermotif Terselubung Yakni korupsi secara sepintas kelihatannya bermotif politik, tetapi secara tersembunyi sesungguhnya bermotif mendapatkan uang semata. Contoh: seorang pejabat menerima uang suap dengan janji akan menerima si pemberi suap menjadi pegawai negeri atau diangkat dalam suatu jabatan. Namun dalam kenyataannya 68 Ibid. Lihat juga I.G.M. Murdjana et. al. dalam Abdul Halim Barkatullah ed, Korupsi dan Illegal Loging Dalam Sistem Desentralisasi, Cetakan Ke-I, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2005, hal. 22 69 Chaerudin et. al., Strategi Pencegahan dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi, Cetakan ke-I, PT. Refika Aditama, Bandung, 2008, hal. 2 70 Evi Hartanti, op.cit., hal. 10 Delima Mariaigo Simanjuntak : Penerapan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Secara BerlanjutStudi Kasus No. 1636Pid.B2006PN-MDN dan No. 354PID2006PT-MDN, 2008. USU Repository © 2009 setelah menerima suap, pejabat itu tidak mempedulikan lagi janjinya kepada orang yang memberi suap tersebut. Yang pokok adalah mendapatkan uang tersebut. 2 Korupsi yang Bermotif Ganda Yaitu seseorang melakukan korupsi secara lahiriah kelihatannya hanya bermotifkan mendapatkan uang, tetapi sesungguhnya bermotif lain yakni kepentingan politik. Contoh: seseorang yang membujuk dan menyogok seorang pejabat agar dengan menyalahgunakan kekuasaannya pejabat itu dalam mengambil keputusannya memberikan suatu fasilitas pada si pembujuk itu meskipun sesungguhnya si pembujuk penyogok tidak memikirkan apakah fasilitas itu akan memberikan hasil kepadanya. Ciri-ciri korupsi dijelaskan oleh Syed Hussain Alatas dalam bukunya Sosiologi Korupsi sebagai berikut: 71 1 Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang. Hal ini tidak sama dengan kasus pencurian atau penipuan. Seorang operator yang korup sesungguhnya tidak ada dan kasus itu biasanya termasuk dalam pengertian penggelapan fraud. Contohnya adalah pernyataan tentang belanja perjalanan atau rekening hotel. Namun di sini seringkali ada pengertian diam-diam di antara pejabat yang mempraktikkan berbagai penipuan agar situasi ini terjadi. Salah satu cara penipuan adalah permintaan uang saku yang berlebihan, hal ini biasanya dilakukan dengan meningkatkan frekuensi perjalanan dalam pelaksanaan tugas. Kasus seperti inilah yang dilakukan para elit politik sekarang yang kemudian mengakibatkan polemic di masyarakat. 71 Ibid. hal. 10-11 Delima Mariaigo Simanjuntak : Penerapan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Secara BerlanjutStudi Kasus No. 1636Pid.B2006PN-MDN dan No. 354PID2006PT-MDN, 2008. USU Repository © 2009 2 Korupsi pada umumnya dilakukan secara rahasia, kecuali korupsi itu telah merajalela dan begitu dalam sehingga individu yang berkuasa dan mereka yang berada di dalam lingkungannya tidak tergoda untuk menyembunyikan perbuatannya. Namun, walaupun demikian motif korupsi tetap dijaga kerahasiannya. 3 Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik. Kewajiban dan keuntungan itu tidak selalu berupa uang. 4 Mereka yang mempraktikkan cara-cara korupsi biasanya berusaha untuk menyelubungi perbuatannya dengan berlindung di balik pembenaran hukum. 5 Mereka yang terlibat korupsi menginginkan keputusan yang tegas dan mampu untuk mempengaruhi keputusan-keputusan itu. 6 Setiap perbuatan korupsi mengandung penipuan, biasanya dilakukan oleh badan publik atau umum masyarakat. Setiap bentuk korupsi adalah suatu pengkhianatan kepercayaan.

c. Faktor Penyebab Korupsi

Faktor-faktor penyebab terjadinya korupsi adalah sebagai berikut: 72 1 Lemahnya pendidikan agama dan etika. 2 Kolonialisme. Suatu pemerintahan asing tidak menggugah kesetiaan dan kepatuhan yang diperlukan untuk membendung korupsi. 3 Kurangnya pendidikan. Namun kenyataannya sekarang kasus-kasus korupsi di Indonesia dilakukan oleh para koruptor yang memiliki kemampuan intelektual 72 Ibid. hal. 11-12 Delima Mariaigo Simanjuntak : Penerapan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Secara BerlanjutStudi Kasus No. 1636Pid.B2006PN-MDN dan No. 354PID2006PT-MDN, 2008. USU Repository © 2009 yang tinggi, terpelajar, dan terpandang sehingga alas an ini dapat dikatakan kurang tepat. 4 Kemiskinan. Pada kasus korupsi yang merebak di Indonesia, para pelakunya bukan didasari oleh kemiskinan melainkan keserakahan sebab mereka bukanlah dari kalangan yang tidak mampu melainkan para konglomerat. 5 Tidak adanya sanksi yang keras. 6 Kelangkaan lingkungan yang subur untuk pelaku antikorupsi. 7 Struktur pemerintahan. 8 Perubahan radikal. Pada saat sistem nilai mengalami perubahan radikal, korupsi muncul sebagai suatu penyakit transisional. 9 Keadaan masyarakat. Korupsi dalam suatu birokrasi bisa mencerminkan keadaan masyarakat secara keseluruhan. Faktor yang paling penting dalam dinamika korupsi adalah keadaan moral dan intelektual para pemimpin masyarakat. Keadaan moral dan intelektual dalam konfigurasi kondisi-kondisi yang lain. Beberapa faktor yang dapat menjinakkan korupsi, walaupun tidak akan memberantasnya adalah: 73 1 keterikatan positif pada pemerintahan dan keterlibatan spiritual serta tugas kemajuan nasional dan publik maupun birokrasi; 2 administrasi yang efisien serta penyesuaian struktural yang layak dari mesin dan aturan pemerintah sehingga menghindari penciptaan sumber-sumber korupsi; 3 kondisi sejarah dan sosiologis yang menguntungkan; 73 Ibid. Delima Mariaigo Simanjuntak : Penerapan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Secara BerlanjutStudi Kasus No. 1636Pid.B2006PN-MDN dan No. 354PID2006PT-MDN, 2008. USU Repository © 2009 4 berfungsinya suatu sistem yang antikorupsi; 5 kepemimpinan kelompok yang berpengaruh dengan standar moral dan intelektual yang tinggi. Andi Hamzah mengemukakan penyebab korupsi sebagai berikut: 74 1 Kurangnya gaji pegawai negeri sipil dibandingkan dengan kebutuhan yang makin hari makin meningkat. 2 Latar belakang kebudayaan atau kultur Indonesia yang merupakan sumber atau sebab meluasnya korupsi. 3 Manajemen yang kurang baik dan control yang kurang efektif dan efisien yang akan memberikan peluang orang untuk korupsi. 4 Modernisasi mengembangbiakkan korupsi. Menurut Fransisco Ramirez Torres, sebab-sebab korupsi mencakup penggunaan alkohol, judi, skandal di luar nikah contohnya: kasus kekasih gelap yang menuntut materi berkelebihan, sehingga demi cinta si pegawai negeri terpaksa korupsi, kerugian akibat spekulasi, kekacauan administrasi, rasa kesal terhadap perusahaan, frustasi terhadap pekerjaan, hasrat akan kekayaan, kesombongan, dan lain-lain penyebab. 75 Menurut Huntington penyebab korupsi ialah modernisasi. Huntington menulis sebagai berikut: “Korupsi terdapat dalam masyarakat, tetapi korupsi lebih umum dalam masyarakat yang satu daripada yang lain, dan dalam masyarakat yang sedang tumbuh korupsi lebih umum dalam suatu periode yang satu dari yang 74 Andi Hamzah, Perkembangan Hukum Pidana Khusus, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, 1991, hal. 18 selanjutnya disebut buku I 75 O.C. Kaligis, Pengawasan Terhadap Jaksa Selaku Penyidik Tindak Pidana Khusus dalam Pemberantasan Korupsi, PT. Alumni, Bandung, 2006, hal. 73 Delima Mariaigo Simanjuntak : Penerapan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Secara BerlanjutStudi Kasus No. 1636Pid.B2006PN-MDN dan No. 354PID2006PT-MDN, 2008. USU Repository © 2009 lain. Bukti-bukti dari sana sini menunjukkan bahwa luas perkembangan korupsi berkaitan dengan modernisasi sosial dan ekonomi yang cepat.” 76 Para ahli hukum pidana menterjemahkan voortgezette handeling dengan sebutan perbuatan berlanjut. Utrecht menyebutnya dengan “perbuatan terus- menerus” dimana Utrecht menyatakan bahwa voortgezette handeling merupakan bentuk khusus concursus realis yang diatur dalam KUHP.

3. Pengertian Perbuatan Berlanjut Voortgezette Handeling

77 Voorgezette handeling oleh pembentuk undang-undang telah diatur dalam Pasal 64 ayat 1 KUHP yang rumusannya berbunyi: “Apabila antara beberapa perilaku itu terdapat hubungan yang sedemikian rupa, sehingga perilaku-perilaku tersebut harus dianggap sebagai suatu tindakan yang berlanjut, walaupun tiap-tiap perilaku itu masing-masing merupakan kejahatan atau pelanggaran, maka diberlakukanlah hanya satu ketentuan pidana saja, dan apabila terdapat perbedaan, maka yang diberlakukan adalah ketentuan pidana yang mempunyai ancaman hukuman pokok yang terberat”. Schravendijk dan Wirjono Prodjodikoro menyebutnya dengan “perbuatan yang dilanjutkan”, Soesilo menyebutnya dengan “perbuatan yang diteruskan”. 78 76 Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hal. 20 selanjutnya disebut buku II 77 Utrecht, Hukum Pidana II, Pustaka Tinta Mas, Surabaya, 2000, hal. 192 selanjutnya disebut buku II 78 Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Edisi Ketiga, Cetakan Ke-, PT. Refika Aditama, Bandung, 2003, hal. 147 Delima Mariaigo Simanjuntak : Penerapan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Secara BerlanjutStudi Kasus No. 1636Pid.B2006PN-MDN dan No. 354PID2006PT-MDN, 2008. USU Repository © 2009 Berdasarkan rumusan ayat 1 tersebut, dapat ditarik unsur-unsur dari perbuatan berlanjut, yakni: a. adanya beberapa perbuatan, meskipun berupa: pelanggaran atau kejahatan; b. antara perbuatan yang satu dengan yang lain terdapat hubungan yang sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai perbuatan yang berlanjut. Berbeda dengan kenyataan yang terdapat di dalam Memorie van Toelicthting, dimana pembentuk undang-undang telah berbicara mengenai apa yang disebut voortgezet misdrijf dan voortegezette overtrading kejahatan berlanjut dan pelanggaran berlanjut, maka di dalam rumusan ketentuan pidana menurut pasal 64 ayat 1 KUHP di atas, pembentuk undang-undang telah berbicara mengenai beberapa perilaku yang seolah-olah berdiri sendiri-sendiri, akan tetapi yang karena terdapat suatu hubungan yang demikian rupa, maka perilaku-perilaku tersebut harus dianggap sebagai suatu tindakan yang berlanjut. Ini berarti bahwa tiap-tiap perilaku itu harus dituduhkan secara sendiri-sendiri dan harus dibuktikan pula secara sendiri-sendiri. Tiap-tiap perilaku itu dapat mempunyai locus delictinya sendiri, tempus delictinya sendiri, dan mempunyai verjaringstermijnnya sendiri. 79 Beberapa penulis berpendapat bahwa di dalam perilaku-perilaku seperti dimaksud di atas bukan tidak mungkin dapat terjadi adanya suatu deelneming atau suatu keturutsertaan. Mengenai kemungkinan adanya suatu deelneming atau keturutsertaan tersebut Simons berpendapat bahwa: “Pemberlakuan pasal 64 KUHP itu hanya berkenaan dengan masalah penjatuhan hukuman dan bukan 79 P.A.F. Lamintang buku I, op. cit., hal. 706 Delima Mariaigo Simanjuntak : Penerapan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Secara BerlanjutStudi Kasus No. 1636Pid.B2006PN-MDN dan No. 354PID2006PT-MDN, 2008. USU Repository © 2009 dengan masalah pembentukan satu tindak pidana, dengan segala akibatnya yakni yang berkenaan dengan tempat terjadinya tindak pidana, dengan keturutsertaan, dengan masalah kadaluwarsa dan lain-lain”. 80 Undang-undang tidak memberikan penjelasan tentang bilamana beberapa perilaku itu harus dianggap sebagai suatu tindakan yang berlanjut. Di dalam memorie penjelasan mengenai pembentukan pasal 64 KUHP disebutkan: “bahwa berbagai perilaku itu haruslah merupakan pelaksanaan satu keputusan yang terlarang, dan bahwa suatu kejahatan yang berlanjut itu hanya dapat terjadi dari sekumpulan tindak pidana yang sejenis”. 81 Berdasarkan keterangan di dalam MvT tersebut, para ahli menarik kesimpulan tentang 3 tiga syarat adanya voortgezette handeling yang harus dipenuhi, yang sekaligus juga menggambarkan tentang “ada hubungan” sebagai ciri pokok dari perbuatan berlanjut itu, ialah: 82 a. harus adanya satu keputusan kehendak wilbesluit si pembuat; b. tindak pidana-tindak pidana dilakukan itu haruslah sejenis; c. jarak waktu antara melakukan tindak pidana yang satu dengan yang berikutnya berurutan tidak boleh terlalu lama. 80 Ibid. hal. 707 81 Ibid., hal. 708 82 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 2 Penafsiran Hukum Pidana, Dasar Peniadaan, Pemberatan dan Peringanan Kejahatan Aduan, Perbarengan dan Ajaran Kausalitas, Edisi Pertama, Cetakan Ke-I, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hal. 131 selanjutnya disebut buku II. Lihat juga A. Fuad Usfa dan Tongat, op. cit., hal. 120 Delima Mariaigo Simanjuntak : Penerapan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Secara BerlanjutStudi Kasus No. 1636Pid.B2006PN-MDN dan No. 354PID2006PT-MDN, 2008. USU Repository © 2009 Syarat pertama disimpulkan dari perkataan voortgezette dilanjutkan, syarat kedua disimpulkan secara a contrario dari bunyi rumusan ayat 2 pasal 64 KUHP, dan syarat yang ketiga agak kabur. 83 a. Adanya Satu Keputusan Kehendak Wilbesluit Dimaksudkan dengan satu putusan kehendak ini ialah berupa satu kehendak dasar wilbesluit yang terbentuk sebelum orang itu melakukan tindak pidana yang pertama kali, yang kemudian pada kehendak dasar ini, dan bukan niat yang ditujukan pada setiap kali berbuat. Satu kali kehendak dasar diputuskan, maka kehendak itu terus ditujukan pada semua tindak pidana yang akan dilakukan kemudian. 84 Kehendak dasar hanya terbit satu kali, sedangkan niat melakukan tindak pidana akan terbentuk pada setiap kali melakukan tindak pidana. Niat yang terbentuk yang ditujukan pada melakukan satu tindak pidana sekaligus juga terbentuk niat yang ditujukan untuk melakukannya lagi pada kesempatan yang lain, begitulah niat-niat itu terbentuk setiap kali hendak melakukan tindak pidana sampai kehendak dasar tadi tercapai. Jadi, sebelum putusan kehendak dicapai, niat yang diarahkan pada berbuat tindak pidana, selalu bersifat ganda, yaitu yang satu diarahkan pada tindak pidana yang segera diperbuat, dan yang lainnya bersamaan dengan itu diarahkan pula pada kesempatan yang lain akan diperbuat lagi, dan demikian seterusnya. Inilah sikap batin yang harus ada pada diri si pembuat dalam voortgezette handeling. 85 83 Wirjono Prodjodikoro, loc. cit. 84 Adami Chazawi buku II, op. cit., hal. 132 85 Ibid., hal. 133 Delima Mariaigo Simanjuntak : Penerapan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Secara BerlanjutStudi Kasus No. 1636Pid.B2006PN-MDN dan No. 354PID2006PT-MDN, 2008. USU Repository © 2009 b. Tindak Pidana-Tindak Pidana Harus Sejenis Arti perbuatan dalam perbuatan berlanjut bukan dalam arti perbuatan materil atau bukan pula dalam arti unsur tindak pidana, melainkan lebih tepat diartikan sebagai perbuatan yang melahirkan tindak pidana. Perbuatan dalam arti ini adalah perbuatan yang telah memenuhi semua syarat dari suatu tindak pidana tertentu sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang. 86 Pengertian sebagai perbuatan yang telah memenuhi semua syarat tindak pidana ini lebih sesuai dengan syarat yang kedua, yang disebut oleh Utrecht dengan “delik-delik itu harus sejenis”, atau yang oleh Lamintang disebutnya dengan “perilaku-perilaku seorang tertuduh itu telah menyebabkan terjadinya tindak pidana yang sejenis”. 87 Dalam perbuatan berlanjut dapat terjadi pada tindak pidana-tindak pidana yang berbeda berat ancaman maksimum pidana pokoknya, tetapi harus dalam kerangka jenis yang sama. Dalam hal demikian sistem penjatuhan pidananya yakni hisapan, dengan menerapkan aturan pidana yang terberat ancaman pidana pokoknya ayat 1 pasal 64 KUHP. 88 c. Jarak Waktu Antara Tindak Pidana yang Satu Dengan Tindak Pidana yang Berikutnya Tidak Boleh Terlalu Lama. Syarat tidak boleh terlalu lama, karena jika waktu itu telah terlalu lama, terdapat kesulitan untuk mencari hubungan antara tindak pidana yang dilakuka n itu dengan keputusan kehendak semula atau hubungannya dengan tindak pidana 86 Ibid., hal. 134 87 Ibid., hal. 135. Lihat juga P.A.F. Lamintang buku I, op. cit., hal. 680 88 Ibid. Delima Mariaigo Simanjuntak : Penerapan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Secara BerlanjutStudi Kasus No. 1636Pid.B2006PN-MDN dan No. 354PID2006PT-MDN, 2008. USU Repository © 2009 sejenis sebelumnya, dan ini artinya jika waktu itu sudah sekian lamanya tidak lagi menggambarkan suatu kelanjutan atau berlanjut, tetapi mungkin dapat dikatakan berulang bukan berlanjut. 89 Syarat tidak boleh terlalu lama tidak ada diatur dalam undang-undang maupun dalam praktek, yang penting lamanya tempo ini masih dalam batas wajar, batas wajar mana masih menggambarkan bahwa pelaksanaan tindak pidana oleh si pembuat tersebut ada hubungannya baik dengan tindak pidana sama yang diperbuat sebelumnya maupun dengan keputusan kehendak dasar semula. 90 Dalam hubungannya dengan berlangsungnya voortgezette handeling yang boleh dalam waktu bertahun-tahun asalkan jarak waktu antara masing-masing tindak pidana tidak terlalu lama, berbeda dengan tindak pidana yang berlangsung terus voortgezet delict, juga suatu tindak pidana yang terjadinya secara sempurna memerlukan tempo yang lama, tidak seketika. Perbedaan prinsip itu ialah: pada voortgezette handeling terdiri dari beberapa tindak pidana, karena itu perbuatan berlanjut ini bukan suatu tindak pidana, tetapi gabungan dari beberapa tindak pidana sejenis. Sedangkan pada tindak pidana berlangsung terus adalah satu tindak pidana, bukan gabungan dari tindak pidana, hanya untuk mewujudkannya secara sempurna, karena sifatnya maka memerlukan waktu yang lama, walaupun perbuatan unsur tindak pidana terjadinya seketika. 91 Menurut Utrecht dengan mengutip keterangan Jonkers, dalam hal tindak pidana berlangsung terus, orang dapat membayangkan hal seolah-olah pembuat 89 Ibid., hal. 136 90 Ibid. 91 Ibid., hal. 137 Delima Mariaigo Simanjuntak : Penerapan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Secara BerlanjutStudi Kasus No. 1636Pid.B2006PN-MDN dan No. 354PID2006PT-MDN, 2008. USU Repository © 2009 undang-undang melahirkan satu kesatuan yang khusus yang menjadi penting bagi persoalan tempat, waktu dan lewat waktunya tindak pidana yang dilakukan. Dalam hal perbuatan berlanjut, maka tidak perlu dibayangkan kesatuan buatan kunstmatig semacam ini. Pada perbuatan berlanjut, yang terjadi adalah tindak pidana-tindak pidana yang berdiri sendiri, maka untuk tiap-tiap tindak pidana mempunyai tempat, waktu dan tenggang daluwarsa sendiri-sendiri. Sedangkan untuk tindak pidana yang berlangsung terus, waktu dan tempat adalah waktu dan tempat berlangsungnya tindak pidana berlangsung terus itu. 92 Sistem penjatuhan pidana pada perbuatan berlanjut yakni sistem hisapan. Sistem hisapan pada perbuatan berlanjut dibedakan antara sistem hisapan umum, dan yang khusus. Sistem hisapan yang berlaku umum, berlaku dalam 2 kemungkinan dua macam, ditentukan dalam ayat 1, yaitu: 93 1 Dalam hal perbuatan berlanjut yang terdiri dari beberapa tindak pidana sejenis yang diancam dengan pidana pokok yang sama, maka yang diterapkan ialah satu aturan pidana saja tanpa ada pemberatan. 2 Dalam hal perbuatan berlanjut yang terdiri dari beberapa tindak pidana sejenis yang diancam dengan pidana pokok yang tidak sama beratnya, maka yang diterapkan adalah aturan pidana yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat tanpa pemberatan. Yang dimaksud dengan sistem hisapan khusus pada perbuatan berlanjut, ialah yang hanya berlaku khusus dalam tindak pidana yang disebutkan secara khusus 92 Utrecht buku II, op. cit., hal. 189 93 Adami Chazawi buku II, op. cit., hal. 138 Delima Mariaigo Simanjuntak : Penerapan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Secara BerlanjutStudi Kasus No. 1636Pid.B2006PN-MDN dan No. 354PID2006PT-MDN, 2008. USU Repository © 2009 oleh undang-undang, dan ini dapat dianggap sebagai perkecualian dari sistem hisapan umum. 94 Berdasarkan arrest Hoge Raad masing-masing tanggal 11 Juni 1894, W. 6515 dan tanggal 19 Oktober 1931, N.J. 1932 halaman 1319, W. 1290, antara lain mengatakan: “Untuk adanya suatu tindakan yang berlanjut itu tidaklah cukup jika beberapa tindak pidana itu merupakan tindak-tindak pidana yang sejenis, akan tetapi tindak-tindak pidana itu haruslah pula merupakan pelaksanaan satu maksud yang sama yang terlarang menurut undang-undang”. Sedangkan di dalam arrestnya tanggal 26 Juni 1905, W. 8255, Hoge Raad telah mengatakan bahwa: “Tindak-tindak pidana yang sejenis saja tidak mencukupi; apabila dua tindak pidana itu telah dipisahkan oleh suatu jangka waktu empat hari, dan tidak ternyata bahwa tertuduh pada waktu melakukan tindak pidananya yang pertama itu juga telah memutuskan apa yang akan dilakukannya kemudian, maka di situ tidak terdapat suatu tindakan yang berlanjut”. 95 Berdasarkan putusan kasasinya tanggal 5 Maret 1963 No. 162 KKr.1962 Mahkamah Agung Republik Indonesia telah memutuskan antara lain: “Penghinaan-penghinaan ringan yang telah dilakukan terhadap lima orang pada hari-hari yang berlainan, tidaklah mungkin didasarkan pada satu keputusan kehendak wilbesluit, maka perbuatan itu tidak dapat dipandang sebagai satu perbuatan dan tidak dapat semua perkaranya itu diberikan satu putusan”. 96 94 Ibid., hal. 139 95 P.A.F. Lamintang buku I, op. cit., hal. 709 96 Adami Chazawi buku II, op. cit., hal. 138 Sedangkan di dalam putusan kasasinya tanggal 28 April 1964 No. 156 Delima Mariaigo Simanjuntak : Penerapan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Secara BerlanjutStudi Kasus No. 1636Pid.B2006PN-MDN dan No. 354PID2006PT-MDN, 2008. USU Repository © 2009 KKr.1963, Mahkamah Agung Republik Indonesia telah memutuskan antara lain: “Masalah tindakan yang berlanjut atau voortgezette handeling itu hanyalah mengenai masalah penjatuhan hukuman strafoemeting dan tidak mengenai pembebasan dari tuntutan”. 97 Suatu contoh klasik dari suatu voortgezette handeling itu adalah misalnya seseorang yang mempunyai maksud mencuri seonggok besar batu kepunyaan orang lain. Untuk melaksanakan maksudnya itu orang tersebut terpaksa mengangkut batu-batu itu secara berulang kali dalam jumlah kecil sesuai dengan gerobak dorong yang ia pergunakan untuk mengangkut batu-batu tersebut. Dari contoh di atas kita dapat mengetahui bahwa tindakan-tindakan yang telah dilakukan oleh orang tersebut telah memenuhi syarat seperti yang pernah dikemukakan di atas, yakni: 98 a. bahwa perbuatan berulangkali mengambil sejumlah kecil batu dengan mempergunakan sebuah gerobak dorong itu merupakan pelaksanaan keputusannya yang terlarang menurut undang-undang; b. bahwa perbuatan-perbuatan orang tersebut telah menghasilkan beberapa tindak pidana yang sejenis, yaitu tindak-tindak pidana pencurian; c. bahwa antara perbuatannya yang satu dengan perbuatannya yang lain tidak diputuskan suatu jangka waktu yang relatif cukup lama.

G. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian 97 P.A.F. Lamintang buku I, op. cit., hal. 710 98 Ibid., hal. 711 Delima Mariaigo Simanjuntak : Penerapan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Secara BerlanjutStudi Kasus No. 1636Pid.B2006PN-MDN dan No. 354PID2006PT-MDN, 2008. USU Repository © 2009 Jenis penelitian 99 yang digunakan adalah penelitian hukum normatif penelitian hukum doktrinal. Penelitian hukum normatif disebut juga sebagai penelitian kepustakaan atau studi dokumen. Penelitian hukum normatif disebut penelitian hukum doktriner karena penelitian ini dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan-peraturan yang tertulis atau bahan hukum yang lain. Penelitian hukum ini juga disebut sebagai penelitian kepustakaan ataupun studi dokumen disebabkan penelitian ini lebih banyak dilakukan terhadap data yang bersifat sekunder yang ada di perpustakaan. Penelitian kepustakaan demikian dapat pula dikatakan sebagai lawan dari penelitian empiris penelitian lapangan. 100 Penelitian hukum normatif terbagi dalam lima bentuk yakni, penelitian terhadap asas-asas hukum; penelitian terhadap sistematika hukum; penelitian terhadap sinkronisasi hukum; penelitian sejarah hukum; dan penelitian perbandingan hukum. 101 Penelitian huku m doktrinal terbagi atas tiga bagian, yaitu: penelitian yang berupa usaha inventarisasi hukum positif; penelitian yang berupa usaha penemuan asas-asas dan dasar falsafah dogma atau doktrin hukum positif; dan penelitian yang berupa usaha penemuan hukum in concreto yang layak diterapkan untuk menyelesaikan suatu perkara hukum tertentu. 102 99 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta, 1986, hal. 42 Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa dan konstruksi secara metodologis, sistematis dan konsisten. Metodologis berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu; sistematis adalah berdasarkan suatu sistem; sedangkan konsisten berarti tidak adanya hal- hal yang bertentangan dalam suatu kerangka tertentu. 100 Bambang Waluyo, Penelitian Hukum dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, 1986, hal. 13 101 Soerjono Soekanto, op. cit., hal. 44 102 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998, hal. 43. Dijelaskan juga bahwa penelitian in concreto merupakan penelitian yang hendak menguji apakah suatu postulat normatif tertentu memang dapat atau tidak dapat dipakai untuk memecahkan suatu masalah hukum tertentu in concreto. Delima Mariaigo Simanjuntak : Penerapan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Secara BerlanjutStudi Kasus No. 1636Pid.B2006PN-MDN dan No. 354PID2006PT-MDN, 2008. USU Repository © 2009 Berdasarkan hal di atas jika dikaitkan dengan permasalahan dalam skripsi ini maka dalam menjawab permasalahan digunakan penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif yang dilakukan pada penulisan skripsi dengan meneliti bahan-bahan kepustakaan hukum yang berkaitan dengan penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana korupsi. 2. Sumber dan Pengumpulan Data Materi dalam penelitian ini diambil dari data 103 3. Analisis Data sekunder yang dikumpulkan melalui studi kepustakaan library research. Studi kepustakaan library research yaitu mempelajari dan menganalisa secara sistematis buku- buku, majalah-majalah, surat kabar, peraturan perundang-undangan dan bahan- bahan lain yang berhubungan dengan materi yang dibahas dalam skripsi ini. Analisis data yang digunakan dalam skripsi ini adalah analisis kualitatif, yaitu data yang diperoleh kemudian disusun secara sistematis dan selanjutnya dianalisis secara kualitatif untuk mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas. Analisis kualitatif adalah menganalisa secara lengkap dan komprehensif keseluruhan data sekunder yang diperoleh sehingga dapat menjawab permasalahan-permasalahan dalam skripsi ini. 104 103 Lexi Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, Remaja Rosda Karya, Bandung, 1999, cetakan ke-10, hal. 103 104 Ronny Haritijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982, hal. 53 Delima Mariaigo Simanjuntak : Penerapan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Secara BerlanjutStudi Kasus No. 1636Pid.B2006PN-MDN dan No. 354PID2006PT-MDN, 2008. USU Repository © 2009

H. Sistematika Penulisan

Dokumen yang terkait

Pertanggungjawaban Pidana Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Korporasi (Studi Kasus Putusan Pengadilan Tinggi Banjarmasin No. 04/Pid. Sus/2011/Pt. Bjm)

1 140 155

Kajian Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Dalam Dunia Perbankan (Studi Putusan Nomor: : 79/Pid.Sus.K/2012/PN.MDN

1 55 94

Penyelesaian Tindak Pidana Malpraktek Yang Dilakukan Oleh Bidan Dalam Perawatan Pasiennya (Analisis Kasus No. 3344/pid.B/2006/PN Mdn)

6 166 101

Penyelesaian Tindak Pidana Malpraktek Yang Dilakukan Oleh Bidan Dalam Perawatan Pasiennya (Analisis Kasus No. 3344/pid.B/2006/PN Mdn)

3 71 101

Analisis Hukum Terhadap Putusan Bebas Dalam Tindak Pidana Pembunuhan (Studi Kasus Putusan No. 63 K/Pid/2007)

1 72 106

Analisis Hukum Terhadap Dakwaan Tindak Pidana Korupsi Oleh Jaksa Penuntut Umum (Putusan Mahkamah Agung No.2642 K/Pid/2006)

0 37 127

Analisis Kasus Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Karyawan PT. Bank mandiri (Studi Kasus No. 2120/ PID. B/ 2006/ PN. Mdn)

5 71 124

Asas Ne Bis In Idem Dalam Hukum Pidana (Pendekatan Kasus Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 1384 / Pid.B / Pn. Mdn / 2004 Jo Putusan Pengadilannegeri Medan No. 3259 / Pid.B / Pn. Mdn / 2008)

2 49 163

Hak Restitusi Sebagai Bentuk Perlindungang Terhadap Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (Studi Kasus Nomor 1554/Pid.B/2012/PN.MDN)

1 65 92

Pertanggungjawaban Pidana Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Korporasi (Studi Kasus Putusan Pengadilan Tinggi Banjarmasin No. 04/Pid. Sus/2011/Pt. Bjm)

3 98 139