Pengertian Perbuatan Berlanjut Voortgezette Handeling

Delima Mariaigo Simanjuntak : Penerapan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Secara BerlanjutStudi Kasus No. 1636Pid.B2006PN-MDN dan No. 354PID2006PT-MDN, 2008. USU Repository © 2009 lain. Bukti-bukti dari sana sini menunjukkan bahwa luas perkembangan korupsi berkaitan dengan modernisasi sosial dan ekonomi yang cepat.” 76 Para ahli hukum pidana menterjemahkan voortgezette handeling dengan sebutan perbuatan berlanjut. Utrecht menyebutnya dengan “perbuatan terus- menerus” dimana Utrecht menyatakan bahwa voortgezette handeling merupakan bentuk khusus concursus realis yang diatur dalam KUHP.

3. Pengertian Perbuatan Berlanjut Voortgezette Handeling

77 Voorgezette handeling oleh pembentuk undang-undang telah diatur dalam Pasal 64 ayat 1 KUHP yang rumusannya berbunyi: “Apabila antara beberapa perilaku itu terdapat hubungan yang sedemikian rupa, sehingga perilaku-perilaku tersebut harus dianggap sebagai suatu tindakan yang berlanjut, walaupun tiap-tiap perilaku itu masing-masing merupakan kejahatan atau pelanggaran, maka diberlakukanlah hanya satu ketentuan pidana saja, dan apabila terdapat perbedaan, maka yang diberlakukan adalah ketentuan pidana yang mempunyai ancaman hukuman pokok yang terberat”. Schravendijk dan Wirjono Prodjodikoro menyebutnya dengan “perbuatan yang dilanjutkan”, Soesilo menyebutnya dengan “perbuatan yang diteruskan”. 78 76 Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hal. 20 selanjutnya disebut buku II 77 Utrecht, Hukum Pidana II, Pustaka Tinta Mas, Surabaya, 2000, hal. 192 selanjutnya disebut buku II 78 Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Edisi Ketiga, Cetakan Ke-, PT. Refika Aditama, Bandung, 2003, hal. 147 Delima Mariaigo Simanjuntak : Penerapan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Secara BerlanjutStudi Kasus No. 1636Pid.B2006PN-MDN dan No. 354PID2006PT-MDN, 2008. USU Repository © 2009 Berdasarkan rumusan ayat 1 tersebut, dapat ditarik unsur-unsur dari perbuatan berlanjut, yakni: a. adanya beberapa perbuatan, meskipun berupa: pelanggaran atau kejahatan; b. antara perbuatan yang satu dengan yang lain terdapat hubungan yang sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai perbuatan yang berlanjut. Berbeda dengan kenyataan yang terdapat di dalam Memorie van Toelicthting, dimana pembentuk undang-undang telah berbicara mengenai apa yang disebut voortgezet misdrijf dan voortegezette overtrading kejahatan berlanjut dan pelanggaran berlanjut, maka di dalam rumusan ketentuan pidana menurut pasal 64 ayat 1 KUHP di atas, pembentuk undang-undang telah berbicara mengenai beberapa perilaku yang seolah-olah berdiri sendiri-sendiri, akan tetapi yang karena terdapat suatu hubungan yang demikian rupa, maka perilaku-perilaku tersebut harus dianggap sebagai suatu tindakan yang berlanjut. Ini berarti bahwa tiap-tiap perilaku itu harus dituduhkan secara sendiri-sendiri dan harus dibuktikan pula secara sendiri-sendiri. Tiap-tiap perilaku itu dapat mempunyai locus delictinya sendiri, tempus delictinya sendiri, dan mempunyai verjaringstermijnnya sendiri. 79 Beberapa penulis berpendapat bahwa di dalam perilaku-perilaku seperti dimaksud di atas bukan tidak mungkin dapat terjadi adanya suatu deelneming atau suatu keturutsertaan. Mengenai kemungkinan adanya suatu deelneming atau keturutsertaan tersebut Simons berpendapat bahwa: “Pemberlakuan pasal 64 KUHP itu hanya berkenaan dengan masalah penjatuhan hukuman dan bukan 79 P.A.F. Lamintang buku I, op. cit., hal. 706 Delima Mariaigo Simanjuntak : Penerapan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Secara BerlanjutStudi Kasus No. 1636Pid.B2006PN-MDN dan No. 354PID2006PT-MDN, 2008. USU Repository © 2009 dengan masalah pembentukan satu tindak pidana, dengan segala akibatnya yakni yang berkenaan dengan tempat terjadinya tindak pidana, dengan keturutsertaan, dengan masalah kadaluwarsa dan lain-lain”. 80 Undang-undang tidak memberikan penjelasan tentang bilamana beberapa perilaku itu harus dianggap sebagai suatu tindakan yang berlanjut. Di dalam memorie penjelasan mengenai pembentukan pasal 64 KUHP disebutkan: “bahwa berbagai perilaku itu haruslah merupakan pelaksanaan satu keputusan yang terlarang, dan bahwa suatu kejahatan yang berlanjut itu hanya dapat terjadi dari sekumpulan tindak pidana yang sejenis”. 81 Berdasarkan keterangan di dalam MvT tersebut, para ahli menarik kesimpulan tentang 3 tiga syarat adanya voortgezette handeling yang harus dipenuhi, yang sekaligus juga menggambarkan tentang “ada hubungan” sebagai ciri pokok dari perbuatan berlanjut itu, ialah: 82 a. harus adanya satu keputusan kehendak wilbesluit si pembuat; b. tindak pidana-tindak pidana dilakukan itu haruslah sejenis; c. jarak waktu antara melakukan tindak pidana yang satu dengan yang berikutnya berurutan tidak boleh terlalu lama. 80 Ibid. hal. 707 81 Ibid., hal. 708 82 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 2 Penafsiran Hukum Pidana, Dasar Peniadaan, Pemberatan dan Peringanan Kejahatan Aduan, Perbarengan dan Ajaran Kausalitas, Edisi Pertama, Cetakan Ke-I, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hal. 131 selanjutnya disebut buku II. Lihat juga A. Fuad Usfa dan Tongat, op. cit., hal. 120 Delima Mariaigo Simanjuntak : Penerapan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Secara BerlanjutStudi Kasus No. 1636Pid.B2006PN-MDN dan No. 354PID2006PT-MDN, 2008. USU Repository © 2009 Syarat pertama disimpulkan dari perkataan voortgezette dilanjutkan, syarat kedua disimpulkan secara a contrario dari bunyi rumusan ayat 2 pasal 64 KUHP, dan syarat yang ketiga agak kabur. 83 a. Adanya Satu Keputusan Kehendak Wilbesluit Dimaksudkan dengan satu putusan kehendak ini ialah berupa satu kehendak dasar wilbesluit yang terbentuk sebelum orang itu melakukan tindak pidana yang pertama kali, yang kemudian pada kehendak dasar ini, dan bukan niat yang ditujukan pada setiap kali berbuat. Satu kali kehendak dasar diputuskan, maka kehendak itu terus ditujukan pada semua tindak pidana yang akan dilakukan kemudian. 84 Kehendak dasar hanya terbit satu kali, sedangkan niat melakukan tindak pidana akan terbentuk pada setiap kali melakukan tindak pidana. Niat yang terbentuk yang ditujukan pada melakukan satu tindak pidana sekaligus juga terbentuk niat yang ditujukan untuk melakukannya lagi pada kesempatan yang lain, begitulah niat-niat itu terbentuk setiap kali hendak melakukan tindak pidana sampai kehendak dasar tadi tercapai. Jadi, sebelum putusan kehendak dicapai, niat yang diarahkan pada berbuat tindak pidana, selalu bersifat ganda, yaitu yang satu diarahkan pada tindak pidana yang segera diperbuat, dan yang lainnya bersamaan dengan itu diarahkan pula pada kesempatan yang lain akan diperbuat lagi, dan demikian seterusnya. Inilah sikap batin yang harus ada pada diri si pembuat dalam voortgezette handeling. 85 83 Wirjono Prodjodikoro, loc. cit. 84 Adami Chazawi buku II, op. cit., hal. 132 85 Ibid., hal. 133 Delima Mariaigo Simanjuntak : Penerapan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Secara BerlanjutStudi Kasus No. 1636Pid.B2006PN-MDN dan No. 354PID2006PT-MDN, 2008. USU Repository © 2009 b. Tindak Pidana-Tindak Pidana Harus Sejenis Arti perbuatan dalam perbuatan berlanjut bukan dalam arti perbuatan materil atau bukan pula dalam arti unsur tindak pidana, melainkan lebih tepat diartikan sebagai perbuatan yang melahirkan tindak pidana. Perbuatan dalam arti ini adalah perbuatan yang telah memenuhi semua syarat dari suatu tindak pidana tertentu sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang. 86 Pengertian sebagai perbuatan yang telah memenuhi semua syarat tindak pidana ini lebih sesuai dengan syarat yang kedua, yang disebut oleh Utrecht dengan “delik-delik itu harus sejenis”, atau yang oleh Lamintang disebutnya dengan “perilaku-perilaku seorang tertuduh itu telah menyebabkan terjadinya tindak pidana yang sejenis”. 87 Dalam perbuatan berlanjut dapat terjadi pada tindak pidana-tindak pidana yang berbeda berat ancaman maksimum pidana pokoknya, tetapi harus dalam kerangka jenis yang sama. Dalam hal demikian sistem penjatuhan pidananya yakni hisapan, dengan menerapkan aturan pidana yang terberat ancaman pidana pokoknya ayat 1 pasal 64 KUHP. 88 c. Jarak Waktu Antara Tindak Pidana yang Satu Dengan Tindak Pidana yang Berikutnya Tidak Boleh Terlalu Lama. Syarat tidak boleh terlalu lama, karena jika waktu itu telah terlalu lama, terdapat kesulitan untuk mencari hubungan antara tindak pidana yang dilakuka n itu dengan keputusan kehendak semula atau hubungannya dengan tindak pidana 86 Ibid., hal. 134 87 Ibid., hal. 135. Lihat juga P.A.F. Lamintang buku I, op. cit., hal. 680 88 Ibid. Delima Mariaigo Simanjuntak : Penerapan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Secara BerlanjutStudi Kasus No. 1636Pid.B2006PN-MDN dan No. 354PID2006PT-MDN, 2008. USU Repository © 2009 sejenis sebelumnya, dan ini artinya jika waktu itu sudah sekian lamanya tidak lagi menggambarkan suatu kelanjutan atau berlanjut, tetapi mungkin dapat dikatakan berulang bukan berlanjut. 89 Syarat tidak boleh terlalu lama tidak ada diatur dalam undang-undang maupun dalam praktek, yang penting lamanya tempo ini masih dalam batas wajar, batas wajar mana masih menggambarkan bahwa pelaksanaan tindak pidana oleh si pembuat tersebut ada hubungannya baik dengan tindak pidana sama yang diperbuat sebelumnya maupun dengan keputusan kehendak dasar semula. 90 Dalam hubungannya dengan berlangsungnya voortgezette handeling yang boleh dalam waktu bertahun-tahun asalkan jarak waktu antara masing-masing tindak pidana tidak terlalu lama, berbeda dengan tindak pidana yang berlangsung terus voortgezet delict, juga suatu tindak pidana yang terjadinya secara sempurna memerlukan tempo yang lama, tidak seketika. Perbedaan prinsip itu ialah: pada voortgezette handeling terdiri dari beberapa tindak pidana, karena itu perbuatan berlanjut ini bukan suatu tindak pidana, tetapi gabungan dari beberapa tindak pidana sejenis. Sedangkan pada tindak pidana berlangsung terus adalah satu tindak pidana, bukan gabungan dari tindak pidana, hanya untuk mewujudkannya secara sempurna, karena sifatnya maka memerlukan waktu yang lama, walaupun perbuatan unsur tindak pidana terjadinya seketika. 91 Menurut Utrecht dengan mengutip keterangan Jonkers, dalam hal tindak pidana berlangsung terus, orang dapat membayangkan hal seolah-olah pembuat 89 Ibid., hal. 136 90 Ibid. 91 Ibid., hal. 137 Delima Mariaigo Simanjuntak : Penerapan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Secara BerlanjutStudi Kasus No. 1636Pid.B2006PN-MDN dan No. 354PID2006PT-MDN, 2008. USU Repository © 2009 undang-undang melahirkan satu kesatuan yang khusus yang menjadi penting bagi persoalan tempat, waktu dan lewat waktunya tindak pidana yang dilakukan. Dalam hal perbuatan berlanjut, maka tidak perlu dibayangkan kesatuan buatan kunstmatig semacam ini. Pada perbuatan berlanjut, yang terjadi adalah tindak pidana-tindak pidana yang berdiri sendiri, maka untuk tiap-tiap tindak pidana mempunyai tempat, waktu dan tenggang daluwarsa sendiri-sendiri. Sedangkan untuk tindak pidana yang berlangsung terus, waktu dan tempat adalah waktu dan tempat berlangsungnya tindak pidana berlangsung terus itu. 92 Sistem penjatuhan pidana pada perbuatan berlanjut yakni sistem hisapan. Sistem hisapan pada perbuatan berlanjut dibedakan antara sistem hisapan umum, dan yang khusus. Sistem hisapan yang berlaku umum, berlaku dalam 2 kemungkinan dua macam, ditentukan dalam ayat 1, yaitu: 93 1 Dalam hal perbuatan berlanjut yang terdiri dari beberapa tindak pidana sejenis yang diancam dengan pidana pokok yang sama, maka yang diterapkan ialah satu aturan pidana saja tanpa ada pemberatan. 2 Dalam hal perbuatan berlanjut yang terdiri dari beberapa tindak pidana sejenis yang diancam dengan pidana pokok yang tidak sama beratnya, maka yang diterapkan adalah aturan pidana yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat tanpa pemberatan. Yang dimaksud dengan sistem hisapan khusus pada perbuatan berlanjut, ialah yang hanya berlaku khusus dalam tindak pidana yang disebutkan secara khusus 92 Utrecht buku II, op. cit., hal. 189 93 Adami Chazawi buku II, op. cit., hal. 138 Delima Mariaigo Simanjuntak : Penerapan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Secara BerlanjutStudi Kasus No. 1636Pid.B2006PN-MDN dan No. 354PID2006PT-MDN, 2008. USU Repository © 2009 oleh undang-undang, dan ini dapat dianggap sebagai perkecualian dari sistem hisapan umum. 94 Berdasarkan arrest Hoge Raad masing-masing tanggal 11 Juni 1894, W. 6515 dan tanggal 19 Oktober 1931, N.J. 1932 halaman 1319, W. 1290, antara lain mengatakan: “Untuk adanya suatu tindakan yang berlanjut itu tidaklah cukup jika beberapa tindak pidana itu merupakan tindak-tindak pidana yang sejenis, akan tetapi tindak-tindak pidana itu haruslah pula merupakan pelaksanaan satu maksud yang sama yang terlarang menurut undang-undang”. Sedangkan di dalam arrestnya tanggal 26 Juni 1905, W. 8255, Hoge Raad telah mengatakan bahwa: “Tindak-tindak pidana yang sejenis saja tidak mencukupi; apabila dua tindak pidana itu telah dipisahkan oleh suatu jangka waktu empat hari, dan tidak ternyata bahwa tertuduh pada waktu melakukan tindak pidananya yang pertama itu juga telah memutuskan apa yang akan dilakukannya kemudian, maka di situ tidak terdapat suatu tindakan yang berlanjut”. 95 Berdasarkan putusan kasasinya tanggal 5 Maret 1963 No. 162 KKr.1962 Mahkamah Agung Republik Indonesia telah memutuskan antara lain: “Penghinaan-penghinaan ringan yang telah dilakukan terhadap lima orang pada hari-hari yang berlainan, tidaklah mungkin didasarkan pada satu keputusan kehendak wilbesluit, maka perbuatan itu tidak dapat dipandang sebagai satu perbuatan dan tidak dapat semua perkaranya itu diberikan satu putusan”. 96 94 Ibid., hal. 139 95 P.A.F. Lamintang buku I, op. cit., hal. 709 96 Adami Chazawi buku II, op. cit., hal. 138 Sedangkan di dalam putusan kasasinya tanggal 28 April 1964 No. 156 Delima Mariaigo Simanjuntak : Penerapan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Secara BerlanjutStudi Kasus No. 1636Pid.B2006PN-MDN dan No. 354PID2006PT-MDN, 2008. USU Repository © 2009 KKr.1963, Mahkamah Agung Republik Indonesia telah memutuskan antara lain: “Masalah tindakan yang berlanjut atau voortgezette handeling itu hanyalah mengenai masalah penjatuhan hukuman strafoemeting dan tidak mengenai pembebasan dari tuntutan”. 97 Suatu contoh klasik dari suatu voortgezette handeling itu adalah misalnya seseorang yang mempunyai maksud mencuri seonggok besar batu kepunyaan orang lain. Untuk melaksanakan maksudnya itu orang tersebut terpaksa mengangkut batu-batu itu secara berulang kali dalam jumlah kecil sesuai dengan gerobak dorong yang ia pergunakan untuk mengangkut batu-batu tersebut. Dari contoh di atas kita dapat mengetahui bahwa tindakan-tindakan yang telah dilakukan oleh orang tersebut telah memenuhi syarat seperti yang pernah dikemukakan di atas, yakni: 98 a. bahwa perbuatan berulangkali mengambil sejumlah kecil batu dengan mempergunakan sebuah gerobak dorong itu merupakan pelaksanaan keputusannya yang terlarang menurut undang-undang; b. bahwa perbuatan-perbuatan orang tersebut telah menghasilkan beberapa tindak pidana yang sejenis, yaitu tindak-tindak pidana pencurian; c. bahwa antara perbuatannya yang satu dengan perbuatannya yang lain tidak diputuskan suatu jangka waktu yang relatif cukup lama.

G. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian 97 P.A.F. Lamintang buku I, op. cit., hal. 710 98 Ibid., hal. 711

Dokumen yang terkait

Pertanggungjawaban Pidana Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Korporasi (Studi Kasus Putusan Pengadilan Tinggi Banjarmasin No. 04/Pid. Sus/2011/Pt. Bjm)

1 140 155

Kajian Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Dalam Dunia Perbankan (Studi Putusan Nomor: : 79/Pid.Sus.K/2012/PN.MDN

1 55 94

Penyelesaian Tindak Pidana Malpraktek Yang Dilakukan Oleh Bidan Dalam Perawatan Pasiennya (Analisis Kasus No. 3344/pid.B/2006/PN Mdn)

6 166 101

Penyelesaian Tindak Pidana Malpraktek Yang Dilakukan Oleh Bidan Dalam Perawatan Pasiennya (Analisis Kasus No. 3344/pid.B/2006/PN Mdn)

3 71 101

Analisis Hukum Terhadap Putusan Bebas Dalam Tindak Pidana Pembunuhan (Studi Kasus Putusan No. 63 K/Pid/2007)

1 72 106

Analisis Hukum Terhadap Dakwaan Tindak Pidana Korupsi Oleh Jaksa Penuntut Umum (Putusan Mahkamah Agung No.2642 K/Pid/2006)

0 37 127

Analisis Kasus Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Karyawan PT. Bank mandiri (Studi Kasus No. 2120/ PID. B/ 2006/ PN. Mdn)

5 71 124

Asas Ne Bis In Idem Dalam Hukum Pidana (Pendekatan Kasus Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 1384 / Pid.B / Pn. Mdn / 2004 Jo Putusan Pengadilannegeri Medan No. 3259 / Pid.B / Pn. Mdn / 2008)

2 49 163

Hak Restitusi Sebagai Bentuk Perlindungang Terhadap Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (Studi Kasus Nomor 1554/Pid.B/2012/PN.MDN)

1 65 92

Pertanggungjawaban Pidana Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Korporasi (Studi Kasus Putusan Pengadilan Tinggi Banjarmasin No. 04/Pid. Sus/2011/Pt. Bjm)

3 98 139