tersebut, mendapat persetujuan dari wanita yang dilarikan, namun karena adanya faktor dari luar diri para pihak, yakni orang tua dari wanita tersebut
yang tidak menyetujui dari tindakannya, maka tindakan itu merupakan sebagai salah satu bentuk tindak pidana”
9
2. Pertanggungjawaban Pidana
.
Pertanggungjawaban pidana dalam istilah asing disebut juga dengan criminal responsibility yang menjurus kepada pemidanaan pelaku tindak
pidana dengan terlebih dahulu melihat pelaku tindak pidana tersebut dapat dimintakan pertanggungjawabannya atau tidak, terkait dengan tindak pidana
yang dilakukannya. Pada dasarnya tindak pidana adalah perbuatan atau serangkaian perbuatan yang padanya dilekatkan sanksi pidana. Dilihat dari
istilahnya, hanya sifat-sifat dari perbuatan saja yang meliputi suatu tindak pidana, sedangkan sifat-sifat orang yang melakukan tindak pidana tersebut
menjadi bagian dari persoalan lain, yaitu pertanggungjawaban pidana. Karakteristik orang yang melakukan tindak pidana berhubungan dengan
penentuan dapat dipertanggungjawabkannya yang bersangkutan. Aturan hukum mengenai pertanggungjawaban pidana berfungsi sebagai
penentu syarat-syarat yang harus ada pada diri seseorang sehingga sah jika dijatuhi pidana. Aturan mengenai pertanggungjawaban pidana merupakan
saringan pengenaan pidana, yaitu hanya dapat diterapkan terhadap mereka yang memiliki kesalahan dan pidana yang dikenakan sebatas kesalahannya
9
Ibid., hlm. 70.
Universitas Sumatera Utara
tersebut. Aturan mengenai pertanggungjawaban pidana bukan merupakan standar perilaku yang wajib ditaati masyarakat, tetapi regulasi mengenai
bagaimana memperlakukan mereka yang melanggar kewajiban tersebut.
a. Unsur-unsur pertanggungjawaban pidana
Penentuan dapat dipidananya seseorang sebagai pertanggungjawaban atas tindak pidana yang dilakukannya, tidak lepas dari
unsur-unsur yang terdapat dalam rumusan tindak pidana serta faktor-faktor yang dapat mengakibatkan hapusnya suatu pertanggungjawaban pidana.
Lebih lanjut, segi psikologis kesalahan juga harus dicari di dalam batin pelaku yang menunjukkan adanya hubungan batin dengan perbuatan yang
dilakukan sehingga pelaku dapat mempertanggung jawabkan perbuatannya. Seseorang yang memiliki kelainan jiwa tidak dapat dikatakan memiliki
hubungan batin antara dirinya dengan perbuatan yang dilakukan, karena orang tersebut tidak menyadari akibat dari perbuatan yang dilakukannya.
Persoalan dalam aspek psikologis adalah ketika mencari tahu mengenai sikap batin seseorang yang melakukan tindak pidana karena
seseorang tersebut tentu saja dapat melakukan kebohongan dan tidak ada yang dapat menjamin seseorang tersebut jujur atau tidak, oleh karena itu
harus dipakai cara untuk mengetahuinya dengan menggeserkan kesalahan dalam pengertian psikologis menjadi pengertian secara normatif yuridis,
yaitu menurut ukuran yang biasa dipergunakan oleh masyarakat dalam menilai apakah perbuatan tersebut meruapakan suatu kesalahan atau tidak.
Universitas Sumatera Utara
Rumusan tindak pidana, pada umumnya mengedepankan unsur kesengajaan sebagai salah satu unsur yang terpenting. Apabila dalam suatu
rumusan tindak pidana terdapat perbuatan dengan sengaja opzettelijk, maka unsur dengan sengaja ini akan menguasai atau meliputi semua unsur
lain yang ditempatkan dibelakangnya dan harus dibuktikan. Sengaja berarti juga adanya kehendak yang disadari yang ditujukan untuk melakukan
kejahatan tertentu, maka berkaitan dengan pembuktian bahwa perbuatan yang dilakukan tersebut merupakan perbuatan yang disengaja, terkandung
pengertian menghendaki dan mengetahui atau biasa disebut dengan willens en wetens, yaitu seseorang yang melakukan suatu perbuatan dengan sengaja
itu harus memenuhi rumusan menghendaki willens dari apa yang diperbuat dan memenuhi unsur mengetahui wettens dari apa yang diperbuat.
Unsur kehendak atau menghendaki dan mengetahui dalam kaitannya dengan unsur kesengajaan tidak dapat dibuktikan dengan jelas
secara materiil karena memang maksud dan kehendak seseorang tersebut sulit untuk dibuktikan secara materiil, maka pembuktian adanya unsur
kesengajaan dalam pelaku melakukan tindakan melanggar hukum sehingga perbuatannya dapat dipertanggung jawabkan kepada pelaku seringkali
hanya dikaitkan dengan keadaan serta tindakan dari pelaku pada saat melakukan perbuatan melanggar hukum yang dituduhkan.
Disamping unsur kesengajaan, terdapat juga unsur kelalaian atau kealpaan culpa yang dalam doktrin hukum pidana disebut sebagai
kealpaan yang tidak disadari onbewuste schuld dan kealpaan yang disadari
Universitas Sumatera Utara
bewuste schuld. Dalam unsur ini faktor terpenting adalah pelaku dapat menduga terjadinya akibat dari perbuatanya atau pelaku kurang berhati-hati.
Wilayah culpa terletak antara sengaja dan kebetulan. Kelalaian dapat didefinisikan sebagai apabila seseorang melakukan
sesuatu perbuatan dan perbuatan itu menimbulkan suatu akibat yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang, maka
walaupun perbuatan itu tidak dilakukan dengan sengaja namun pelaku dapat berbuat secara lain sehingga tidak menimbulkan akibat yang dilarang oleh
undang-undang, atau pelaku dapat untuk tidak melakukan perbuatan tersebut sama sekali. Unsur terpenting dalam culpa atau kelalaian adalah
pelaku mempunyai kesadaran atau pengetahuan yang mana pelaku seharusnya dapat membayangkan akan adanya akibat yang ditimbulkan dari
perbuatannya, atau dengan kata lain bahwa pelaku dapat menduga bahwa akibat dari perbuatannya itu akan menimbulkan suatu akibat yang dapat
dihukum dan dilarang dalam undang-undang. Berdasarkan uraian tersebut diatas, dapat dikatakan bahwa jika ada
hubungan antara batin pelaku dengan akibat yang timbul karena perbuatannya itu atau ada hubungan lahir yang merupakan hubungan causal
antara perbuatan pelaku dengan akibat yang dilarang tersebut, maka hukuman pidana dapat dijatuhkan kepada pelaku tersebut, tetapi jika
hubungan causal tersebut tidak ada, maka pelaku tidak dapat dijatuhkan suatu hukuman pidana.
Universitas Sumatera Utara
b. Hapusnya pertanggungjawaban pidana
Hal penting lainnya yang terkait dengan masalah pertanggungjawaban pidana adalah mengenai peniadaan dan pengecualian
atas pertanggungjawaban pidana yang diberikan kepada pelaku tindak pidana, maksudnya adalah dimana seseorang tidak dapat dipidana meskipun
telah memenuhi semua rumusan unsur-unsur pidana, baik unsur obyektif maupun unsur subyektif sebagaimana yang telah ditentukan.
Alasan-alasan pembenar atau alasan-alasan pemaaf atas tindak pidana yang dilakukan merupakan sesuatu hal yang dapat dianggap sebagai
alasan yang dapat menghapuskan sifat melawan hukum perbuatan itu, sehingga hal itu menjadi sesuatu yang bukan sebagai tindak pidana
meskipun tindakan atau perbuatan tersebut sesuai dengan rumusan yang dilarang oleh undang-undang.
Alasan-alasan pemaaf yang dimana kesalahannya ditiadakan straffuitsluiting grand dan alasan-alasan pembenar yang sifat melawan
hukumnya ditiadakan rechtsuaar diging grand yang dasar-dasarnya ditentukan dalam KUHP, sebagai berikut:
1 Alasan pemaaf kesalahan
a Pasal 44 ayat 1
“Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya, disebabkan karena
jiwanya cacat dalam tumbuhnya gebrekkige ontwikkeling atau terganggu karena penyakit ziekelijke storing, tidak
dipidana.”
Universitas Sumatera Utara
b Pasal 48
“Barangsiapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana.”
c Pasal 49 ayat 2
“Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh kegoncangan jiwa yang hebat karena
serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana.”
2 Alasan pembenar peniadaan sifat melawan hukum
a Pasal 49 ayat 1
“Barangsiapa terpaksa melakukan perbuatan untuk pembelaan, karena ada serangan atau ancaman serangan
ketika itu yang melawan hukum, terhadap diri sendiri maupun orang lain, terhadap kehormatan kesusilaan
eerbaarheid atau harta benda sendiri maupun orang lain, tidak dipidana.”
b Pasal 50
“Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang, tidak dipidana.”
c Pasal 51 ayat 1
“Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang
berwenang, tidak dipidana.”
Berkaitan dengan unsur-unsur kesalahan yang bersifat psikologis dan normatif, unsur-unsur pertanggungjawaban dalam pidana serta dasar
untuk di hapusnya suatu pertanggungjawaban pidana seperti yang telah dipaparkan diatas, maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa
Universitas Sumatera Utara
pertanggungjawaban pidana hanya dapat dikenakan kepada pelaku tindak pidana apabila secara mutlak dan tidak terpisahkan dapat memenuhi
beberapa unsur-unsur, yaitu: 1
Adanya kemampuan bertanggungjawab pada diri si pelaku, dalam arti jiwa si pelaku dalam keadaan sehat dan normal;
2 Adanya hubungan batin antara si pelaku dengan perbuatannya
baik yang disengaja dolus maupun karena kealpaan culpa; 3
Tidak adanya alasan pelaku yang dapat menghapus kesalahan.
3. Aturan Pidana dalam Regulasi Penerbangan terhadap Kecelakaan Pesawat Terbang