Keaslian Penulisan Tinjauan Kepustakaan

kepada konsumen sendiri agar lebih berani dalam meningkatkan kemampuan dan kemandirian untuk melindungi diri.

D. Keaslian Penulisan

Setelah ditelusuri seluruh daftar skripsi di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan arsip yang ada di Departemen Hukum Pidana, akan tetapi tidak ditemukan adanya kesamaan judul ataupun permasalahan dengan judul dan permasalahan yang akan diangkat yaitu tentang “TINDAK PIDANA DI BIDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DARI PERSPEKTIF KEBIJAKAN PENANGGULANGAN KEJAHATAN STUDI PUTUSAN No. 1821Pid.B2008PN Mdn”. Oleh karena itu, tulisan ini merupakan buah karya asli yang disusun berdasarkan dengan asas-asas keilmuan yang jujur, rasional dan ilmiah. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa skripsi yang disusun ini merupakan karya asli dan tidak meniru dari kepunyaan orang lain. Skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan apabila ditemukan adanya kesamaan judul dan permasalahan skripsi ini dengan skripsi yang sebelumnya yang terdapat di perpustakaan Departemen Hukum Pidana. Universitas Sumatera Utara

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Tindak Pidana Istilah tindak pidana terdapat dalam WvS Hindia Belanda KUHP yaitu “strafbaar feit”, tapi tidak ada penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit itu, karena itu para ahli hukum berusaha untuk memberikan arti dan isi dari istilah itu, namun sayangnya sampai kini belum ada keseragaman pendapat. 6 Hukum pidana Belanda memakai istilah strafbaar feit, kadang-kadang juga delict yang berasal dari bahasa Latin delictum. Sedangkan hukum pidana Negara-negara Anglo Saxon memakai istilah offense atau criminal act untuk maksud yang sama. Oleh karena KUHP Indonesia bersumber pada WvS Belanda, maka istilah aslinya pun sama yaitu strafbaar feit. Kemudian timbullah masalah untuk menerjemahkan istilah strafbaar feit itu ke dalam Bahasa Indonesia. 7 Para sarjana Barat merumuskan istilah strafbaar feit ini mempunyai pemikiran yang berbeda-beda, maka didapat pengertian atau batasan yang berbeda pula, seperti : Oleh karena tidak ada penjelasan resmi yang wajib ditaati mengenai penerjemahan kata strafbaar feit itulah muncul berbagai istilah yang berkembang di kalangan para sarjana, baik sarjana dari Barat maupun sarjana dari Indonesia sendiri. 8 6 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana I, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hal. 67 7 Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2008, hal. 86 8 E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Storia Grafika, Jakarta, 2002, hal. 204 Universitas Sumatera Utara a. Simons Simons merumuskan bahwa: Een srafbaar feit adalah suatu handeling tindakan atau perbuatan yang diancam dengan pidana oleh undang- undang, bertentangan dengan hukum onrechtmatig dilakukan dengan kesalahan schuld oleh seseorang yang mampu bertanggungjawab. Kemudian beliau membaginya dalam dua golongan unsur, yaitu : unsur- unsur objektif yang berupa tindakan yang dilarangdiharuskan, akibat keadaanmasalah tertentu dan unsur subjektif yang berupa kesalahan schuld dan kemampuan bertanggungjawab toerekeningsvatbaar dari petindak. b. Van Hamel Van Hamel merumuskan strafbaar feit itu sama dengan yang dirumuskan oleh Simons, hanya ditambahkannya dengan kalimat “tindakan mana bersifat dapat dipidana”. c. Vos Vos merumuskan strafbaar feit adalah suatu kelakuan gedrading manusia yang dilarang dan oleh undang-undang diancam dengan pidana. d. Pompe Pompe merumuskan strafbaar feit adalah suatu pelanggaran kaidah penggangguan ketertiban hukum, terhadap mana pelaku mempunyai kesalahan untuk mana pemidanaan adalah wajar untuk menyelenggarakan Universitas Sumatera Utara ketertiban hukum dan menjamin kesejahteraan umum. Pompe juga membedakan pengertian strafbaar feit adalah : 9 1 definisi menurut teori memberikan pengertian strafbaar feit adalah suatu pelanggaran terhadap norma, yang dilakukan karena kesalahan si pelanggar dan diancam dengan pidana untuk mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum; 2 definisi menurut hukum positif, merumuskan pengertian strafbaar feit adalah suatu kejadian feit yang oleh peraturan perundang-undangan dirumuskan sebagai perbuatan yang dapat dihukum. e. J. E. Jonkers 10 J. E. Jonkers memberikan definisi strafbaar feit menjadi dua pengertian, yaitu : 1 definisi pendek memberikan pengertian strafbaar feit adalah suatu kejadian yang dapat diancam pidana oleh undang-undang; 2 definisi panjang atau lebih mendalam yang memberikan pengertian strafbaar feit adalah suatu kelakuan yang melawan hukum berhubung dilakukan dengan sengaja atau alpa oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan. Beberapa sarjana Indonesia mengemukakan pengertian strafbaar feit sebagai perbuatan pidana, peristiwa pidana, tindak pidana, perbuatan yang boleh dihukum, pelanggaran pidana, dan delik. Kesimpangsiuran perumusan istilah strafbaar feit ini semakin bertambah manakala di dalam perundang-undangan 9 Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1994, hal. 91 10 Ibid., hal. 90 Universitas Sumatera Utara Indonesia yang telah menggunakan seluruh istilah yang telah disebutkan di atas, dalam berbagai undang-undang. Istilah-istilah tersebut juga digunakan oleh para sarjana Indonesia di antaranya adalah sebagai berikut : 11 a. Perbuatan yang boleh dihukum, digunakan oleh MR. Karni, Susilo, H.J van Schravendijk b. Peristiwa pidana, digunakan oleh Mr. R. Tresna, E. Utrecht, Wirjono Prodjodikoro. c. Tindak Pidana, digunakan oleh Satochid Kartanegara, oleh Wirjono Prodjodikoro, Subekti Kemudian muncul lagi beberapa penafsiran tentang pengertian istilah- istilah yang dijabarkan sebagai strafbaar feit, diantaranya adalah : a. Peristiwa pidana yang juga disebut tindak pidana delict ialah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan yang dapat dikenakan hukuman pidana. 12 Istilah peristiwa pidana atau tindak pidana adalah sebagai terjemahan dari istilah bahasa Belanda strafbaar feit atau delict. 13 b. Tindak pidana adalah perbuatan atau serangkaian perbuatan yang padanya dilekatkan sanksi pidana. Jika dilihat dari istilahnya, hanya sifat-sifat dari perbuatan saja yang melakukan tindak pidana tersebut menjadi bagian dari persoalan lain, yaitu pertanggungjawaban pidana. 14 11 E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Op. Cit., hal. 206 12 R. Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hal. 175 13 C.S.T Kansil dan Christine S.T Kansil, Pokok-Pokok Hukum Pidana selanjutnya disebut Buku I , Pradnya Paramitha, Jakarta, 2007, hal. 37 14 Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Prenada Media, Jakarta, 2006, hal. 15 Universitas Sumatera Utara c. Tindak Pidana adalah sebagai suatu tindakan pada tempat, waktu dan keadaan tertentu yang dilarang atau diharuskan dan diancam dengan pidana oleh undang-undang, bersifat melawan hukum serta dengan kesalahan dilakukan oleh seseorang yang mampu bertanggungjawab. 15 Menurut teori dalam hukum pidana, perbuatan yang dapat dihukum ialah kelakuan orang yang bertentangan dengan keinsafan hukum sehingga kelakuan itu diancam dengan hukuman, asal dilakukan oleh seseorang yang dapat dipersalahkan. 16 Istilah tindak pidana erat kaitannya dengan istilah kejahatan yang merupakan suatu tindakan yang menyimpang dari kenyataan yang seharusnya. 17 Menurut M. Hamdan, pengertian tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana. 18 Perumusan tindak pidana di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana KUHP secara garis besar dan secara teoritis dibagi menjadi tiga, yaitu tindak pidana yang hanya mencantumkan klasifikasinya saja nama tindak pidananya, tindak pidana yang hanya menyebutkan elemennya saja unsur dari tindak pidana itu dan tindak pidana yang mencantumkan kedua-duanya nama dan unsur dari tindak pidana. 19 15 E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Op. Cit., hal. 211 16 C.S.T Kansil dan Christine S.T Kansil, Hukum Pidana selanjutnya disebut Buku II, Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hal. 163 17 Mien Rukmini, Op. Cit., hal. 66 18 M. Hamdan, Politik Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997, hal. 59 19 Waluyadi, Hukum Pidana Indonesia, Djambatan, Jakarta, 2003, hal. 67 Universitas Sumatera Utara Agar suatu perbuatan itu tergolong dalam suatu tindak pidana, haruslah memenuhi beberapa unsur-unsur yang melekat pada tindak pidana, diantaranya adalah : a. Unsur Subjektif Harus ada subjek hukum dan pada orang itu terdapat kesalahan, dengan perkataan lain, jika dikatakan telah terjadi suatu tindak pidana, berarti ada orang sebagai subjek nya dan pada orang itu terdapat kesalahan. 20 Asas hukum pidana menyatakan “tidak ada hukuman kalau tidak ada kesalahan. Kesalahan yang dimaksud disini adalah kesalahan yang diakibatkan oleh kesengajaan intentionopzetdolus dan kealpaan schuldnegligence. Pada umumnya para pakar telah menyetujui bahwa kesengajaan terdiri atas tiga bentuk, yakni : 21 1 kesengajaan sebagai maksud oogmerk; 2 kesengajaan dengan keinsafan pasti opzet als zekerheidsbewutzijn; 3 kesengajaan dengan keinsafan akan kemungkinan dolus eventualis b. Unsur Objektif Unsur objektif merupakan unsur dari luar diri pelaku yang terdiri atas: 22 1 perbuatan manusia berupa act yakni perbuatan aktif atau positif, dan omission yakni perbuatan pasif yaitu perbuatan yang mendiamkan atau membiarkan. 2 akibat result perbuatan manusia meliputi akibat yang membahayakan atau merusak, bahkan menghilangkan kepentingan yang dipertahankan oleh hukum, misalnya nyawa, badan, kemerdekaan, hak milik, kehormatan, dan sebagainya. 20 E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Op. Cit., hal. 213 21 Leden Marpaung, Asas,Teori, Praktik Hukum Pidana, Jakarta, 2008, hal. 9 22 Ibid. Universitas Sumatera Utara 3 keadaan-keadaan circumstances, dibedakan lagi atas keadaan pada saat perbuatan dilakukan dan keadaan setelah perbuatan dilakukan. 4 sifat dapat dihukum dan sifat melawan hukum, adapun sifat dapat dihukum berkenaan dengan alas an-alasan yang membebaskan si pelaku dari hukuman, sedangkan sifat melawan hukum adalah apabila perbuatan itu bertentangan dengan hukum yakni berkenaan dengan larangan atau perintah. Harus terdapat suatu perbuatan atau tindakan yang bertentangan dengan hukum dan mengindahkan akibat yang oleh hukum dilarang dengan ancaman hukum, yang menjadi titik utama dari unsur objektif ini adalah tindakannya. 23 Sedangkan waktu, tempat dan keadaan termasuk juga dalam unsur objektif lainnya. 24 C.S.T. Kansil menyebutkan bahwa tindak pidana atau delik ialah tindakan yang mengandung lima unsur, yakni : 25 a. Harus ada suatu kelakuan gedraging; b. Kelakuan itu harus sesuai dengan uraian Undang-Undang wettelijkeomschrijving; c. Kelakuan itu adalah kelakuan tanpa hak; d. Kelakuan itu dapat diberatkan kepada pelaku; e. Kelakuan itu diancam dengan hukuman. C. S. T. Kansil menyebutkan bahwa diantara beberapa istilah tersebut, yang paling tepat untuk dipakai adalah istilah peristiwa pidana, karena yang 23 R. Abdoel Djamali, Op. Cit., hal. 175 24 E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Op Cit, hal. 211 25 C.S.T Kansil dan Christine S.T Kansil Buku II, Op. Cit., hal. 37 Universitas Sumatera Utara diancam dengan pidana bukan saja yang berbuat atau bertindak tetapi juga yang tidak berbuat melanggar suruhan atau gebod atau tidak bertindak. 26 Moeljatno, lebih banyak menggunakan istilah perbuatan pidana. Menurut beliau, perbuatan pidana adalah: 27 Seperti yang dikutip Roeslan Saleh, Beccaria pernah mengatakan bahwa hanya undang-undang yang boleh menentukan perbuatan mana sajakah yang dapat dipidana, sanksi-sanksi apakah dan atas perbuatan-perbuatan mana pula dapat dijatuhkan dan bagaimanakah peradilan pidana harus terjadi. “Perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana asal saja dalam pada itu diingat bahwa larangan ditujukan kepada perbuatan, yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang, sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu, ada hubungan yang erat pula.” 28 Suatu perbuatan baru dapat dikatakan tindak pidana, jika perbuatan itu juga bersifat melawan hukum. Namun, bukan berarti tindak pidana yang tidak memuat perkataan “melawan hukum”, tidak dapat bersifat melawan hukum. Sifat melawan hukumnya akan tersimpul dari unsur tindak pidana yang lain. Dengan demikian, perbuatan melawan hukum itu dibuktikan sepanjang menjadi rumusan tindak pidana. Hal tersebut juga berdampak pada bunyi putusan. Dalam praktik pada umumnya, jika tidak terbukti adanya sifat melawan hukum yang disebutkan dalam rumusan tindak pidana, menyebabkan putusan bebas vrijspraak. Berbeda 26 Ibid., hal. 37 27 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1993, hal. 54 28 Chairul Huda, Op. Cit., hal 20 Universitas Sumatera Utara halnya, jika melawan hukum tidak dirumuskan, karena tidak terbuktinya hal ini menyebabkan putusannya lepas dari segala tuntutan hukum. 29 2. Pengertian Pidana Istilah pidana sering disamakan dengan pidana sering disamakan dengan istilah hukuman yang berasal dari kata straf. Namun, ada pula yang menyebutkan bahwa istilah pidana tidak sama dengan hukuman. Menurut Andi Hamzah, hukuman adalah suatu pengertian umum, sebagai suatu sanksi yang menderitakan atau nestapa yang sengaja ditimpakan kepada seseorang. Sedangkan pidana merupakan suatu pengertian khusus yang berkaitan dengan hukum pidana. 30 a. Sudarto mendefinisikan bahwa yang dimaksud dengan pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu. Oleh karena tidak ada pengertian pidana secara konkrit dan jelas, maka beberapa ahli hukum di Indonesia, mengemukakan pengertian pidana dengan pandangan mereka sendiri, yaitu : 31 b. Sahetapy mengemukakan bahwa dalam pengertian pidana tersimpul unsur penderitaan. Tetapi penderitaan dalam tujuan membebaskan bukanlah semata-mata untuk penderitaan agar si pelaku menjadi takut atau merasa menderita akibat suatu pembalasan dendam, melainkan derita itu harus 29 Chairul Huda, Op. Cit., hal. 51 30 Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, Pradnya Paramitha, Jakarta, 1993, hal. 1 31 Mustafa Abdullah dan Ruben Achmad, Intisari Hukum Pidana, Jakarta, Ghalia Indonesia, hal. 48 Universitas Sumatera Utara dilihat sebagai obat atau sebagai kunci jalan keluar yang membebaskan dan memberi kemungkinan bertaubat dengan penuh keyakinan. 32 c. Roeslan Saleh mengartikan bahwa yang dimaksud dengan pidana adalah reaksi atas delik dan ini berwujud suatu nestapa yang sengaja ditimpakan Negara pada pembuat delik . 33 Menurut Pasal 10 KUHP, jenis pidana terdiri dari : a. Pidana pokok yaitu : 1 pidana mati; 2 pidana penjara; 3 pidana kurungan; 4 pidana denda; b. Pidana tambahan, yaitu : 1 Pencabutan hak yang tertentu 2 Perampasan barang-barang tertentu 3 Pengumuman putusan hakim Di samping jenis sanksi yang berupa pidana, dalam hukum pidana positif dikenal juga jenis sanksi yang berupa tindakan, misalnya : 34 a. penempatan di rumah sakit jiwa bagi orang yang tidak mampu bertanggungjawab karena jiwanya cacat pertumbuhannya atau terganggu karena penyakit Pasal 44 ayat 2 KUHP; b. bagi anak yang belum berumur enam belas tahun melakukan tindak pidana, hakim dapat mengenakan tindakan berupa : 32 Waluyadi, Op Cit, hal. 67 33 Roeslan Saleh dalam Waluyadi, Op. Cit., hal. 3 34 Mustafa Abdullah dan Ruben Achmad, Op. Cit., hal. 49 Universitas Sumatera Utara 1 Mengembalikan kepada orang tuanya, wali atau pemeliharanya atau; 2 Memerintahkan agar anak tersebut diserahkan kepada pemerintah. Walaupun pemakaiannya sering disamakan, namun sebenarnya antara “tindakan” dan “pidana” memiliki perbedaan. Letak perbedaan antara pidana dan tindakan ialah pidana dimaksudkan sebagai pembalasan atau pengimbalan terhadap kesalahan si pembuat, sedang tindakan dimaksudkan untuk perlindungan masyarakat terhadap orang yang melakukan perbuatan yang membahayakan masyarakat dan untuk pembinaan dan perawatan si pembuat. 3. Pengertian Konsumen Konsumen berasal dari kata consumer dalam Bahasa Inggris dan consument dalam Bahasa Belanda yang secara harfiah diartikan sebagai orang atau perusahaan yang membeli barang tertentu atau menggunakan jasa tertentu, atau sesuatu atau seseorang yang menggunakan suatu persediaan atau sejumlah barang. Namun, ada juga yang mengartikan “setiap orang yang menggunakan barang atau jasa”. Dari pengertian tersebut terlihat bahwa adanya pembedaan antara konsumen sebagai orang alami atau pribadi kodrati dengan konsumen sebagai perusahaan atau badan hukum. Pembedaan ini penting untuk membedakan apakah konsumen tersebut menggunakan barang tersebut untuk dirinya atau untuk tujuan komersial dijual lagi kepada pihak lain. 35 35 Arrianto Mukti Wibowo, et.al., Kerangka Hukum Digital Signature Dalam Electronic Commerce, Grup Riset Digital Security dan Electronic Commerce Depok, Jawa Barat, Fakultas Ilmu Komputer UI, 1999, dalam Husni Syawali, dan Neni Sri Imaniyani ed, Hukum Perlindungan Konsumen, Bandung, Mandar Maju, 2000 hal. 102 Universitas Sumatera Utara Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian konsumen adalah pemakai barang hasil produksi bahan pakaian, makanan, dsb; kepentingannya pun harus diperhatikan, diantaranya adalah penerima pesan iklan, pemakai jasa pelanggan, dan sebagainya. 36 Pengertian konsumen dalam UU Perlindungan Konsumen ini tidak hanya konsumen secara individu, juga meliputi pemakaian barang untuk kepentingan makhluk hidup lain, seperti binatang peliharaan, tetapi tidak diperluas pada individu pihak ketiga yang dirugikan atau menjadi korban akibat pengguna atau pemanfaatan suatu produk barang atau jasa. Dikenal istilah konsumen akhir dan konsumen antara di dalam kepustakaan ekonomi. Konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaatan akhir dari suatu produk, sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses produksi suatu produk lainnya. Pengertian konsumen dalam undang-undang perlindungan konsumen adalah konsumen akhir, dimana masyarakat sebagai penikmat suatu barang menggunakan barang tersebut untuk keperluan sendiri. Menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen dalam Pasal 1 angka 1, yang dimaksud dengan konsumen adalah setiap orang pemakai barang danatau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. 37 36 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, Balai Pustaka, Jakarta, 2005, hal 590 37 Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari Hukum cara Serta Kendala Implementasinya, Kencana, Jakarta, 2008, hal. 63 Universitas Sumatera Utara Pengertian konsumen dalam UU Perlindungan Konsumen lebih luas bila dibandingkan dengan Rancangan UU Perlindungan Konsumen yang diajukan oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia yang menentukan bahwa konsumen adalah pemakai barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, bagi kepentingan diri sendiri atau keluarganya atau orang lain yang tidak untuk diperdagangkan kembali. 38 Naskah final Rancangan Akademik UU Perlindungan Konsumen yang disusun oleh Fakultas Hukum Universitas Indonesia bekerjasama dengan Badan Penelitian dan Pengembangan Perdagangan Departemen Perdagangan Republik Indonesia menentukan bahwa konsumen adalah setiap orang atau keluarga yang mendapatkan barang untuk dipakai dan untuk diperdagangkan. 39 Selain di Indonesia, beberapa Negara lain juga memberikan pengertian konsumen menurut negara mereka masing-masing, misalnya saja di Amerika Serikat menyebutkan bahwa konsumen meliputi korban produk yang cacat yang bukan hanya meliputi pembeli, tapi juga korban yang bukan pembeli tapi pemakai, bahwa korban yang bukan pemakai memperoleh perlindungan yang sama dengan pemakai. 38 Yayasan Lembaga Konsumen, Perlindungan Konsumen Indonesia, Suatu sumbangan pemikiran tentang Rancangan Undang-UndangPerlindungan Konsumen, Yayasan Lembaga Konsumen, Jakarta, 1981, hal. 2 dalam Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op. Cit., hal. 5 39 Universitas Indonesia dan Departemen Perdagangan, Rancangan Akademik UU Perlindungan Konsumen, Jakarta, 1992 dalam Ibid, hal. 5-6 Universitas Sumatera Utara 4. Pengertian Perlindungan Konsumen Menurut Undang-Undang tentang Pelindungan Konsumen, yang dimaksud dengan perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Pengertian pelaku usaha yang dijabarkan dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen ini menyebutkan bahwa pelaku usaha tidak harus suatu badan hukum, tetapi dapat pula orang perorangan termasuk juga penjual grosir, leveransir sampai pengecer yang berlaku baik bagi pelaku usaha ekonomi kuat maupun bagi pelaku usaha ekonomi lemah. Pelaku usaha menurut undang-undang ini juga termasuk pelaku usaha perorangan yang berkewarganegaraan Indonesia atau badan hukum Indonesia, pelaku usaha perorangan yang bukan berkewarganegaraan Indonesia atau badan hukum asing sepanjang mereka melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia. 40 Melalui pengertian perlindungan konsumen di atas, muncul kerangka umum tentang sendi-sendi pokok pengaturan perlindungan konsumen, yang dapat dijabarkan sebagai berikut: 41 a. Kesederajatan antara konsumen dan pelaku usaha; b. Konsumen mempunyai hak; c. Pelaku usaha mempunyai kewajiban; d. Pengaturan tentang perlindungan konsumen berkontribusi pada pembangunan nasional; e. Perlindungan konsumen dalam iklim bisnis yang sehat; 40 Susanti Adi Nugroho, Op. Cit., hal. 67 41 Happy Susanto, Hak-Hak Konsumen Jika Dirugikan, Visimedia, Jakarta, 2008, hal. 5 Universitas Sumatera Utara f. Keterbukaan dalam promosi brang atau jasa; g. Pemerintah selalu berperan aktif; h. Masyarakat juga perlu berperan serta; i. Perlindungan konsumen memerlukan terobosan hukum dalam berbagai bidang; j. Konsep perlindungan konsumen memerlukan pembinaan sikap. Perlindungan Konsumen ini dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu: 42 a. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung akses dan informasi, serta menjamin kepastian hukum; b. Melindungi kepentingan konsumen pada khususnya dan melindungi kepentingan pelaku usaha pada umumnya; c. Meningkatkan kualitas barang dan pelayanan jasa; d. Memberikan perlindungan kepada konsumen dari praktik usaha yang menipu dan menyesatkan; e. Memadukan penyelenggaraan, pengembanagn dan pengaturan perlindungan konsumen dengan bidang-bidang perlindungan pada bidang-bidang lainnya. 5. Pengertian Kebijakan Penanggulangan Kejahatan Secara gradual dan fundamental, terminologi “kebijakan” berasal dari istilah policy Inggris atau politiek Belanda. Terminologi itu dapat diartikan sebagai prinsip-prinsip umum yang berfungsi untuk mengarahkan pemerintah 42 Husni Syawali, dan Neni Sri Imaniyani ed, Op. Cit., , hal 7 dalam buku Happy Susanto, Ibid., hal. 18 Universitas Sumatera Utara dalam artian luas termasuk penegak hukum dalam mengelola, mengatur atau menyelesaikan urusan-urusan publik, masalah-masalah masyarakat atau bidang- bidang penyusunan peraturan perundang-undangan dan mengalokasikan hukumperaturan dengan suatu tujuan umum yang mengarah pada upaya mewujudkan kesejahteraan atau kemakmuran masyarakat warga negara. 43 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata kebijakan sendiri diartikan sebagai: 44 Pengertian kejahatan yaitu merupakan tindak pidana yang tergolong berat, lebih berat dari pelanggaran, perbuatan yang sangat anti sosial. “Kepandaian, kemahiran; rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana di pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan dan cara bertindak; pernyataan cita-cita, tujuan, prinsip atau maksud sebagai garis pedoman untuk manajemen di usaha mencapai sasaran.” 45 Kebijakan penanggulangan kejahatan dalam bahasa Hoefnagels disebut Criminal Policy. Kejahatan atau tindakan kriminal merupakan salah satu bentuk dari perilaku menyimpang yang selalu ada dan melekat pada tiap bentuk masyarakat. Perilaku menyimpang itu merupakan suatu ancaman yang nyata atau ancaman terhadap norma-norma sosial dan merupakan ancaman real atau potensial bagi berlangsungnya ketertiban sosial, dan juga merupakan masalah kemanusiaan. 46 43 Lilik Mulyadi, Kapita Selekta Hukum Pidana Kriminologi dan Victimologi Selanjutnya disebut Buku I, Djambatan, Jakarta, 2007, hal. 26 44 Departemen Pendidikan Nasional, Op. Cit., hal. 149 45 Ilham Gunawan, M. Martius Sahrani, Kamus Hukum, Restu Agung, Jakarta, 2002 dalam Mien Rukmini, Op. Cit., hal. 66 46 Mahmud Mulyadi, Criminal Policy, Pendekatan Integral Penal Policy dan Non-Penal Policy dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2008, hal. 50 Kebijakan penanggulangan kejahatan dapat dilakukan melalui dua cara yaitu melalui jalur penal dan jalur non penal. Keberhasilan Universitas Sumatera Utara penanggulangan kejahatan harus diisyaratkan pada integralitas berbagai pendekatan, yang secara garis besarnya dapat kita bagi menjadi pendekatan penal, melalui penerapan hukum pidana dan upaya non-penal, yaitu kebijakan penanggulangan tanpa penerapan hukum pidana, melainkan dititik tekankan pada berbagai kebijakan sosial. 47 Penanggulangan kejahatan dengan sarana penal merupakan penal policy atau penal law enforcement policy yang fungsionalisasioperasionalisasinnya melalui beberapa tahap, yaitu: 48 a. formulasi kebijakan legislatif; b. aplikasi kebijakan yudikatif; c. eksekusi kebijakan eksekutifadministratif. Dengan demikian, sekiranya kebijakan penanggulangan kejahatan dilakukan dengan menggunakan sarana penal, maka kebijakan hukum pidana khususnya tahap yudikatifaplikatif harus memperhatikan dan mengarah pada tercapainya tujuan dari kebijakan social, berupa social welfare dan social defence. 49 Pada dasarnya, sebagai kebijakan yang berdiri sendiri untuk penanggulangan kejahatan, kebijakan hukum pidana merupakan bagian dari tujuan kriminal. Hamdan menyebutkan bahwa pengertian politik kriminal adalah usaha rasional dari masyarakat untuk menanggulangi kejahatan. Usaha ini 47 Ibid., hal. 55 48 Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan Selanjutmya disebut Buku I, Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 2001. hal.75 49 Ibid., hal. 73 Universitas Sumatera Utara meliputi aktivitas dari pembentuk undang-undang, kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan aparat eksekusi pemidanaan. 50 Kebijakan penanggulangan kejahatan dimaksudkan sebagai upaya penegakan hukum pidana melalui penerapan norma yang terdapat dalam undang- undang. Menurut Wisnubroto, kebijakan hukum pidana merupakan tindakan yang berhubungan dalam hal-hal : 51 a. bagaimana upaya pemerintah untuk menanggulangi kejahatan dengan hukum pidana; b. bagaimana merumuskan hukum pidana agar sesuai dengan kondisi masyarakat; c. bagaimana kebijakan pemerintah untuk mengatur masyarakat dengan hukum pidana; d. bagaimana menggunakan hukum pidana untuk mengatur masyarakat dalam rangka mencapai tujuan lebih besar. Sudarto, menyebutkan bahwa kebijakan penanggulangan dapat disebut dengan kebijakan kriminal. Menurut beliau, terdapat tiga arti mengenai kebijakan kriminal, yaitu : 52 a. Dalam arti sempit, ialah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana; 50 Lilik Mulyadi Buku I, Op. Cit., hal. 30 51 Lilik Mulyadi, Bunga Rampai Hukum Pidana Selanjutnya disebut Buku II, Alumni, Bandung, 2008, hal. 391 52 Sudarto, Bahan Penataran Kriminologi Fakultas Hukum UNPAR, Bandung, 1991 dalam Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana Selanjutnya disebut Buku II, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal. 1 Universitas Sumatera Utara b. Dalam arti luas, ialah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi; dan c. Dalam arti paling luas yang beliau ambil dari Jorgen Jepsen, ialah keseluruhan kebijakan yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi, yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat. Ada dua hal yang harus diperhatikan dalam kebijakan penanggulangan kejahatan dengan menggunakan upaya penal, yaitu : a. Perlu ada pendekatan integral antara kebijaksanaan penal dan non penal; b. Perlu pendekatan kebijakan dan pendekatan nilai dalam penggunaan sanksi pidana. Kebijakan penanggulangan kejahatan melalui jalur non penal lebih bersifat pencegahan sebelum terjadinya kejahatan. Oleh karena itu, sasaran utamanya adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan yang berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan kejahatan. Kejahatan sebagai salah satu konflik sosial yang terjadi di masyarakat, harus ditangani secepatnya karena kalau tidak akan dapat menyebabkan terganggunya keseimbangan dalam masyarakat dan rusaknya stabilitas hukum di negara kita. Kejahatan dapat juga dicegah melalui upaya preventif seperti meningkatkan kesadaran dalam masyarakat serta meningkatkan kesejahteraan dalam masyarakat. Pencegahan kejahatan harus didasarkan pada penghapusan sebab-sebab dan kondisi-kondisi yang menyebabkan timbulnya kejahatan. Universitas Sumatera Utara

F. Metode Penelitian