1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara yang mempunyai wilayah hutan cukup luas yaitu sekitar 127 juta ha. Luas hutan ini tersebar di seluruh pulau
dengan luas yang berbeda-beda. Hutan terluas terdapat di Pulau Papua yaitu seluas 42,22 juta ha atau 33,3 persen dari total luas hutan Indonesia sedangkan
hutan terkecil berada di Pulau Bali dan Nusa Tenggara dengan luas 1,4 juta ha. Pulau Kalimantan menempati urutan kedua dan Pulau Sumatera pada urutan
ketiga dengan luas berturut-turut sebesar 36,4 juta ha dan 22,98 juta ha . Pulau- pulau lainnya memiliki luas hutan kurang dari 15 persen dari total luas hutan
Indonesia Tabel 1.
Tabel 1. Penyebaran Hutan pada Tujuh Kelompok Pulau Besar di Indonesia
No. Pulau
Luas Hutan Juta ha
1 Sumatera 22,98
2 Jawa 2,17
3 Kalimantan 36,49
4 Sulawesi 1,40
5 Bali Nusa
7,27 6 Maluku
42,22 7 Papua
10,90 Sumber : Departemen Kehutanan 2005
Kepemilikan atas hutan yang luas mendorong Indonesia untuk terus berusaha secara optimal memanfaatkan kekayaan alamnya tersebut. Hal ini
terlihat dari adanya kecenderungan yang meningkat pada PDB Produk Domestik Bruto sektor kehutanan. Pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa PDB sektor kehutanan
terus meningkat dari tahun 2000-2006 dimana peningkatan tertinggi terjadi pada tahun 2006 dengan perubahan sebesar 33 persen dari tahun sebelumnya.
Tabel 2. Produk Domestik Bruto Sektor Kehutanan Tahun 2000-2006 Atas Dasar Harga Berlaku.
No Tahun Produk Domestik Bruto PDB
Kehutanan Miliar Rupiah
Persentase Perubahan
1 2000 16.343,0
- 2 2001
16.962,1 3,78
3 2002 17.602,4
3,77 4 2003
18.414,6 4,61
5 2004 20.290,0
10,18 6 2005
22.561,8 11,20
7 2006
30.017,0 33,04
Sumber : Departemen Kehutanan 2006 diolah Keterangan :
: Angka sementara : Angka sangat sementara
Pengusahaan sektor kehutanan salah satunya dilakukan dengan pengembangan industri hasil hutan. Pengembangan industri hasil hutan didorong
oleh upaya pencapaian tujuan pembangunan ekonomi, diantaranya adalah peningkatan penerimaan devisa melalui ekspor, penciptaan lapangan kerja, dan
peningkatan nilai tambah. Pengembangan ini dilakukan dengan pola pengusahaan yang menjamin penerimaan dalam jumlah besar untuk negara tetapi tetap
mengutamakan pelestarian sumberdaya hutan. Salah satu bidang industri hasil hutan adalah industri woodworking kayu olahan.
Industri kayu olahan mulai berkembang setelah adanya kebijakan larangan ekspor kayu bulat pada tahun 1986 dan Surat Keputusan Bersama SKB Menteri
Kehutanan dan Menteri Perindustrian tahun 2001. SKB Menteri Kehutanan dan Menteri Perindustrian melarang ekspor kayu gergajian yang tebalnya melebihi 6
mm. Kebijakan pemerintah ini mengharuskan para pengusaha kayu bulat dan kayu gergajian berinvestasi sampai ke industri hilir dengan memproduksi produk
seperti finger jointed, wall flooring, moulding dan solid laminating. Kedua kebijakan tersebut menyebabkan industri kayu olahan menjadi
industri yang sangat penting untuk dikembangkan. Industri ini menyumbangkan
devisa dengan nilai yang lebih tinggi daripada industri kayu bulat dan kayu gergajian dari tahun 2001-2006. Pada tahun 2006 ekspor produk kayu olahan
sebesar 2.089,44 US sedangkan kayu bulat dan kayu gergajian berturut-turut sebesar 0,17 dan 37 US Tabel 3.
Tabel 3. Devisa Ekspor Hasil Hutan Tahun 2001-2006
Tahun Kayu Bulat
juta US Kayu Gergajian
juta US Kayu Olahan
juta US
2001 5,62 89,48
2.486,26 2002 2,59
124,75 2.540,86
2003 0,24 85,84
2.535,03 2004 0,33
26,88 2.277,15
2005 0,19 3,41
2.401,66 2006 0,17
37 2.089,44
Sumber : Departemen Kehutanan 2006 diolah
1
Selain sebagai penghasil devisa, industri kayu olahan juga berperan dalam penyerapan tenaga kerja. Menurut APKINDO Asosiasi Pengusaha Kayu
Indonesia, pada tahun 2005 industri kayu olahan menempati urutan ketiga dalam penyerapan tenaga kerja di sektor industri kehutanan. Industri ini mampu
menyerap tenaga kerja sebesar 370 ribu orang setelah industi mebel dan kayu lapis.
Pengembangan industri kayu olahan terus dilakukan mengingat kontribusinya yang besar terhadap perekonomian negara. Namun, pengembangan
ini mengalami hambatan pada empat tahun terakhir karena ketersediaan kayu hutan alam yang semakin menipis. Hal ini menyebabkan pemerintah membatasi
jumlah izin pemanfaatan kayu IPK hutan alam untuk industri khususnya kayu- kayu keras seperti kayu jati dan mahoni. Porsi hutan tebang yang diberikan untuk
industri jauh dari kebutuhannya. Pada tahun 2004 pemerintah hanya memberikan jatah tebang sebesar 5,7 juta m
3
, sedangkan kebutuhan normal rata-rata per tahun
adalah 40 juta m
3
Departemen Kehutanan 2004. Kebijakan tersebut mengurangi ketersediaan bahan baku kayu untuk industri kayu olahan karena sebagian besar
industri kayu olahan menggunakan kayu jenis tersebut. Semakin menipisnya ketersediaan bahan baku menjadi masalah serius bagi
industri kayu olahan. Hal ini tercermin dari penurunan produksi kayu olahan sebesar 16,6 persen pada tahun 2004 yang merupakan penurunan tertinggi.
Namun, pada tahun 2005 produksi kayu olahan mengalami peningkatan sebesar 4,3 persen yang juga diikuti peningkatan volume ekspornya sebesar 10,6 persen
Tabel 5. Peningkatan produksi dan ekspor kayu olahan ini disebabkan pada tahun 2005 pemerintah menaikkan jatah hutan tebang dari 5,7 juta m
3
menjadi 8,7 juta m
3
Departemen Kehutanan 2005.
Tabel 4. Produksi Kayu Olahan Tahun 2001-2006
Tahun Kayu Olahan m
3
Perubahan
2001 6.120.545 -
2002 6.439.278 5,2
2003 8.267.153 28,4
2004 6.900.552 -16,6
2005 7.193.903 4,3
2006 6.762.561 -6,9
Sumber : Departemen Kehutanan 2006 diolah
Peningkatan jatah tebang pada tahun 2005 tetap tidak dapat memenuhi kebutuhan bahan baku kayu untuk industri kayu olahan. Karena itu, pada tahun
2006 penurunan produksi terjadi kembali yaitu sebesar 6,9 persen yang diikuti oleh penurunan volume ekspor sebesar 9,3 persen dan nilainya sebesar 13 persen.
Penurunan nilai dan volume ekspor kayu olahan juga terjadi pada tahun 2003,2004 dan 2006. Pada tahun 2003 volume ekspor menurun sebesar 2,6
persen, namun penurunan ini lebih kecil dibanding dengan penurunannya pada tahun 2004 sebesar 22,7 persen Tabel 5. Penurunan volume ekspor ini selain
karena adanya keterbatasan bahan baku namun juga adanya pengaruh isu tentang pelestarian hutan dunia dimana produk-produk hasil hutan yang diekspor harus
memenuhi syarat dalam pengelolaan hasil hutan yang ditetapkan negara tujuan.
Tabel 5. Ekspor Kayu Olahan Tahun 2001-2006
Tahun Kayu Olahan
Nilai juta US Volume ton
Perubahan Volume
2001 2.486,26 6.043.605
- 2002 2.540,86
6.257.317 3,5
2003 2.535,03 6.094.972
-2,6 2004 2.277,15
4.708.167 -22,7
2005 2.401,66 5.207.322
10,6 2006 2.089,44
4.723.041 -9,2
Sumber : Departeman Kehutanan 2006 diolah
Sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri yang tinggi, maka terus dikembangkan budidaya berbagai jenis tanaman kehutanan
untuk menyediakan jenis kayu lain sebagai bahan baku alternatif. Bahan baku alternatif ini sebagian besar berasal dari hutan rakyat. Hutan rakyat bukan
merupakan hutan lindung yang dikonsentrasikan untuk kelestarian alam sehingga dapat dimanfaatkan untuk menyediakan bahan baku industri. Tersedianya bahan
baku alternatif membuat industri kayu olahan dapat mengurangi ketergantungannya terhadap kayu hutan alam yang semakin menipis.
Salah satu jenis tanaman yang mulai digunakan sebagai bahan baku alternatif adalah tanaman sengon. Kayu sengon dapat dipanen pada usia 3-5 tahun,
relatif lebih cepat daripada kayu hutan lainnya seperti kayu jati dan mahoni yang baru dapat dipanen apabila umurnya telah lebih dari 15 tahun. Karena itu,
penggunaan tanaman sengon akan tetap menjaga kelestarian sumberdaya hutan. Produksi kayu sengon terus mengalami peningkatan karena semakin
banyak industri kayu olahan yang mulai beralih menggunakan kayu sengon.
Peningkatan produksi ini juga didukung dengan luas lahan kayu sengon yang terus bertambah seiring dengan semakin tingginya minat petani untuk budidaya
kayu sengon. Pada Tabel 6 terlihat bahwa peningkatan produksi, penggunaan maupun luas lahan tertinggi terjadi pada tahun 2005.
Tabel 6. Produksi dan Luas Lahan Kayu Sengon
Tahun Produksi m
3
Penggunaan m
3
Luas Lahan
ha
2001 49.484 48.450
223.138 2002 62.931
60.931 279.100
2003 67.229 66.141
288.147 2004 85.473
83.734 289.248
2005 290.821 282.528
305.252 Sumber : Badan Pusat Statistik 2006
Industri kayu olahan sengon sangat penting untuk dikembangkan karena industri ini dapat mengatasi masalah ketersediaan bahan baku kayu hutan alam
yang semakin menipis. Penggunaan kayu sengon sebagai bahan baku alternatif diharapkan dapat meningkatkan kembali ekspor kayu olahan yang akan berimbas
pada peningkatan devisa negara. CV. Cipta Mandiri merupakan satu-satunya perusahaan kayu olahan
sengon di Kabupaten Kendal, Jawa Tengah. Sebagian besar perusahaan kayu olahan di Kabupaten Kendal menggunakan bahan baku kayu jati karena hutan jati
di wilayah Kendal cukup luas yaitu sekitar 20.389,7 ha berdasarkan risalah kilat seksi perencanaan hutan 1 Pekalongan tahun 2003.
Adanya kebijakan pemerintah tentang pengurangan jatah hutan tebang industri, termasuk kayu jati menjadikan CV. Cipta Mandiri yang berbahan baku
berasal dari hutan rakyat kayu sengon sangat penting untuk dikembangkan. Pengembangan perusahaan kayu olahan sengon di Kabupaten Kendal didukung
oleh adanya Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan Gerhan Kabupaten Kendal
dengan program pembibitan pohon sengon pada lahan seluas 25 ha dan penanaman bibit pohon sengon sebanyak 200 bibit per ha pada 600 ha hutan
rakyat Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Tengah 2006. Program ini bertujuan menyediakan bahan baku alternatif untuk mengurangi peran kayu jati sebagai
bahan baku utama industri kayu olahan.
1.2 Perumusan Masalah