Tabel 7. Hasil uji statistik Spearman status fungsional dengan konsep diri pasien stroke di RSUP Haji Adam Malik Medan n=33
Variabel 1 Variabel 2 p value r
Status fungsional Konsep diri 0,005 0,477
2. Pembahasan
2.1. Analisa data demografi Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden
berada pada usia dewasa madya 40-60 tahun. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Depkes RI 2013 yang menyatakan bahwa
stroke di Indonesia berada pada usia dewasa madya mengalami peningkatan 15,9 di perkotaan sedangkan di pedasaan sebesar 11,5.
Dewasa madya merupakan masa terjadinya perubahan-perubahan jasmani dan mental Okhtavia, 2014.
Sarafino dalam Okhtavia, 2014 menegaskan bahwa tidak hanya faktor biologis seperti faktor genetik dan jenis kelamin yang menyebabkan
terjadinya stroke, namun faktor gaya hidup seperti stress, mengkonsumsi makanan berlemak, junk food, kurang berolahraga, kebiasaan merokok dan
mengkonsumsi alkohol juga meerupakan penyebab terjadinya stroke. Gallagher, Lachman, Lewkowetz, dan koleganya dalam Papalia, 2008
menjelaskan bahwa usia dewasa madya merupakan usia produktif dengan tanggung jawab yang berat dan beragam, menuntut peran, tanggung jawab
Universitas Sumatera Utara
sebagai seseorang yang menjalankan rumah tangga, perusahaan, membesarkan anak, dan menata karir.
Kejadian stroke yang meningkat pada usia dewasa madya selaras dengan beberapa hasil penelitian. Penelitian yang dilakukan Sonatha
2013 terhadap 56 pasien stroke menemukan proporsi kejadian stroke pada usia dewasa madya mencapai 46,4, selain itu penelitian terbaru
yang dilakukan oleh Huda dan Rizka 2013 pada 104 pasien stroke juga menunjukkan bahwa sebagian besar stroke dialami oleh dewasa madya,
yaitu mencapai 69,2 . Hal ini mendukung hasil penelitian ini yaitu stroke banyak terjadi pada usia dewasa madya 40-60 tahun.
Proporsi responden yang mengalami stroke lebih banyak terjadi pada wanita daripada laki-laki. Hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti
tidak sesuai dengan teori dan penelitian yang menyatakan bahwa laki-laki lebih sering mengalami stroke dibandingkan wanita. Informasi yang
didapatkan oleh peneliti dari responden wanita yang mengalami stroke diketahui bahwa kurang melakukan aktivitas sehari-hari. Mayoritas wanita
yang menjadi responden dalam penelitian ini merupakan ibu rumah tangga, yang kesehariannya berada dirumah dan jarang beraktifitas diluar
rumah. Fadlulloh 2014 menyatakan bahwa salah satu faktor risiko yang
dapat menyebabkan stroke adalah aktifitas yang kurang atau kurang berolahraga. Aktifitas yang kurang membuat suplai energi menjadi
berlebih, apabila terus bertambah dapat menyebabkan hiperkolesterolemia.
Universitas Sumatera Utara
Hal ini dapat mengakibatkan penimbunan lemak di pembuluh darah sehingga menyebabkan aliran darah tidak lancar, dan berisiko terjadinya
stroke. Pendidikan terakhir responden mayoritas SD, data tersebut
menunjukkan bahwa responden mempunyai pendidikan rendah yang hanya menempuh pendidikan selama 6 tahun. Sutrisno 2007 dalam buku
yang berjudul Stroke? You must know before you get it yang menyatakan bahwa pengetahuan perlu dimiliki oleh individu untuk mencegah dirinya
mengalami stroke dan memperbesar harapan hidup. Penelitian yang dilakukan oleh Sonatha 2012 menyatakan bahwa tingkat pengetahuan
individu sangat penting untuk menentukan sikap dalam perawatan pasien stroke, selain itu rendahnya tingkat pengetahuan tentang stroke
menyebabkan meningkatnya tingkat keparahan, pasien tidak memiliki kemandirian, terjadi serangan berulang, bahkan dapat menyebabkan
kematian. Proporsi kejadian stroke iskemik lebih banyak dibandingkan dengan
stroke hemoragik. Stroke iskemik paling banyak dialami oleh responden, hasil penelitian ini selaras dengan beberapa penelitian yang sudah
dilakukan. Penelitian yang dilakukan oleh Fadluloh 2014 pada 31 responden diketahui bahwa mayoritas jenis stroke adalah stroke iskemik
mencapai 80,6. Selain itu penelitian yang dilakukan oleh Nuh Huda 2013 pada 104 responden stroke didapatkan bahwa terdapat 75 orang
atau sebanyak 72,1 mengalami stroke iskemik dibandingkan stroke
Universitas Sumatera Utara
hemoragik yang dialami sebanyak 29 orang 27,9. Stroke iskemik merupakan kematian jaringan otak yang disebabkan karena pasokan dan
aliran darah yang tidak adekuat sampai keotak, dapat disebabkan karena aterosklerosis, thrombus, dan emboli. Namun, proses aterosklerosis atau
timbunan lemak dan kolesterol di pembuluh merupakan penyebab utama terjadinya stroke iskemik pada usia dewasa madya.
2.2. Analisa status fungsional Penelitian yang telah dilakukan di ruang rawat inap A4 rindu A4
RSUP Haji Adam Malik Medan diketahui bahwa responden penelitian lebih dari setengah memiliki tingkat ketergantungan total. Usia merupakan
salah satu faktor yang menentukan status fungsional tingkat ketergantungan individu. Ropyanto 2011 mengatakan bahwa usia
dewasa awal memiliki status fungsional yang paling tinggi atau memiliki tingkat ketergantungan yang rendah dibandingkan dengan usia dewasa
menengah dan dewasa akhir. Mayoritas responden yang memiliki tingkat ketergantungan total
adalah responden yang berusia dewasa madya 40-60 tahun. Responden memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi dengan orang disekitarnya.
Hal ini selaras dengan penelitian Hayase, dkk 2004 dalam Fadlulloh, 2014 yang menyatakan bahwa kemampuan activity daily living ADL
didewasa madya dan setelah usia 50 tahun keatas akan mulai mengalami penurunan secara bertahap sampai akhir hidupnya, sehingga mengalami
ketergantungan terhadap orang terdekat. Hal ini semakin diperparah
Universitas Sumatera Utara
dengan kondisi penyakit yang dialami oleh individu. Selaras dengan pendapat Praswoto 2008 yang menyatakan bahwa tingkat ketergantungan
semakin meningkat sejalan dengan pertambahan usia yang mengalami penurunan fungsi atau terjadi perubahan fisiologis yang terjadi.
Penelitian lainnya yang selaras telah dilakukan oleh Huda dan Rizka 2013 terhadap dewasa madya dan dewasa akhir menyatakan bahwa
terdapat kecenderungan menurunnya kapasitas fungsional baik pada tingkat seluler maupun pada tingkat organ, akibatnya individu pada masa
ini mulai bergantung untuk menjalankan aktivitasnya sehari-hari. Hal inilah yang menyebabkan dewasa madya lebih banyak memiliki tingkat
ketergantungan total, dan tidak berbeda jauh dengan yang dialami oleh dewasa akhir.
Faktor lain yang juga mempengaruhi status fungsional tingkat ketergantungan responden adalah adalah kondisi penyakit. Semakin lama
dan kronisnya suatu penyakit yang diderita, maka semakin besar pula tingkat ketergantungan individu dalam melakukan aktivitas sehari-hari.
Penyakit stroke merupakan salah satu penyakit kronis yang dapat mengakibatkan gangguan menelan disfagia, gangguan kekuatan dan
tonus otot, gangguan refleks, gangguan keseimbangan ataksia, gangguan bicara seperti disfasia atau afasia, bahkan hingga mengakibatkan
kelumpuhan, tergantung dengan otak bagian mana yang mengalami sumbatan atau perdarahan Sutrisno, 2007. Dampak fisik yang dialami
akibat penyakit stroke mempengaruhi penurunan status fungsional,
Universitas Sumatera Utara
sehingga menyebabkan pasien stroke memiliki tingkat ketergantungan yang sangat tinggi, sehingga menyebabkan pasien stroke memerlukan
bantuan orang disekitarnya untuk dapat beraktivitas dan melakukan perawatan diri.
Penelitian lainnya yang seleras adalah penelitian yang dilakukan Alaszewski 2003 yang menunjukkan bahwa sekitar 22,70 pasien stroke
bergantung pada pasangan ataupun perawatnya dalam melakukan perawatan diri. Ratnasari, Kristiyawati, dan Solechan 2011 dalam
Fadlulloh, 2014 juga melakukan penelitian status fungsional pada pasien stroke dan didapatkan bahwa 45 pasien stroke berada pada kategori
status fungsional ketergantungan berat sangat bergantung. Pasien stroke yang mengalami keterbatasan gerak akibat dampak
fisik dari penyakit yang diderita harus dibantu oleh orang disekitar seperti keluarga dan perawat. Aktivitas dan perawatan diri yang perlu dibantu
oleh orang terdekat pasien stroke seperti mandi, toileting, makan minum, mengenakan pakaian, berhias, kebersihan diri, berjalan, menuruni tangga
maupun berpindah tempat. Informasi yang didapat selama melakukan penelitian diketahui bahwa mayoritas responden dengan ketergantungan
total banyak yang tidak mampu makan sendiri. Penggunaan nasogastric tube NGT digunakan juga pada responden yang sadar namun mempunyai
keterbatasan dalam mengunyah makanan, selain itu responden dibantu seluruhnya dalam hal penyiapan makanan, memegang sendok dan
menyuap makanan sendiri kedalam mulut.
Universitas Sumatera Utara
Keluarga atau perawat juga membantu responden untuk mandi, selain itu penyediaan seluruh kelengkapan mandi dibantu oleh keluarga
dan perawat. Pasien tidak mampu memegang gayung, tidak mampu mengguyurkan air kebadan, tidak mampu membersihkan dan menggosok
badan. Responden juga tidak mampu melakukan perawatan diri. Bantuan untuk menyediakan kelengkapan bercukur, berhias, menyisir rambut,
berbedak dan menggosok gigi dilakukan oleh kelurga dan perawat. Responden dengan ketergantungan total juga banyak yang tidak
mampu berpakaian sendiri. Responden tidak dapat melepaskan pakaian, mengancingkan baju atau resleting celana, tidak mampu mengambil
sendiri pakaian. Semua membutuhkan bantuan keluarga dalam berpakaian dan menyiapkan pakaian. Aktivitas bowel yang dilakukan oleh responden
lebih banyak membutuhkan pencahar dan menggunakan diaper. Penggunaan pencahar dilakukan untuk membantu melunakkan dan
mengeluarkan feses. Responden penelitian yang dirawat inap banyak yang bed rest, sehingga tidak ada pergerakan. Hal ini yang mengakibatkan
responden sulit untuk BAB. Responden yang dirawat di rumah sakit jarang menggunakan pispot, namun menggunakan diaper karena fleksibel dan
mudah untuk dipakai. Responden dengan tingkat ketergantungan total juga menggunakan
kateter atau diapers saat berkemih. Penggunaan kateter dilakukan karena keterbatasan pasien untuk berjalan ke toilet dan kelemahan otot
perkemihan. Mayoritas responden juga tidak mampu melakukan aktivitas
Universitas Sumatera Utara
toileting, karena keterbatasan gerak yang dialami oleh pasien stroke. Tidak mampu berjalan ke toilet, beranjak kedari kloset, merapikan pakaian
sendiri, membersihkan sendiri organ genital setelah buang air besar atau buang air kecil.
Responden tidak mampu berpindah dari tempat tidur ke kursi atau kekursi roda dan sebaliknya. Tidak memiliki keseimbangan untuk pindah.
Jika dipindahkan memerlukan bantuan banyak orang untuk menggotong dan menggendong. Responden juga lebih banyak tidak mampu melakukan
pergerakan. Responden tidak mampu total melakukan pergerakan atau tidak mampu melakukan pergerakan 5 meter, dan tidak ada
keseimbangan jika melakukan pergerakan. Responden sebagian besar tidak mampu menuruni dan menaiki tangga. Responden banyak yang tidak
mampu untuk berdiri, dan tidak memiliki keseimbangan untuk berjalan, menaiki maupun menuruni tangga.
2.3. Analisa konsep diri Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa responden sebagian besar
memiliki konsep diri negatif. Faktor yang mempengaruhi konsep diri responden dalam penelitian ini adalah stresor fisik berupa penyakit yang
dialami, significant other orang terpenting, dan self perception persepsi diri sendiri. Stresor fisik yaitu penyakit stroke yang dialami responden
juga sangat mempengaruhi konsep diri negatif yang dimiliki. Perubahan konsep diri yang dialami berawal dari dampak penyakit yang diderita yang
mengakibatkan kelumpuhan bagi responden.
Universitas Sumatera Utara
Penyakit stroke tidak hanya membawa dampak bagi fisik responden, namun juga berdampak bagi psikologis responden. Selaras dengan
pernyataan Thompson 1991, dalam Okthavia, 2014 yang menyatakan bahwa stroke membawa pengaruh terhadap semua aspek kehidupan
seseorang yang mengalaminya baik dari aspek psikologis personal, vokasional, sosial, dan juga fisik. Wicaksana 2008 menyatakan bahwa
secara psikologis penderita stroke mengalami su atu “kehilangan” yang
sangat besar dan berharga dalam hidupnya, yaitu “kehilangan” kebebasan untuk bergerak dan bekerja, kegagahan, kekuatan anggota tubuh,
kemandirian, dan keterampilan. Konsep diri responden yang dipengaruhi oleh significant other yaitu
orang disekitar yang terpenting dan terdekat dengan individu. Selama penelitian dilakukan peneliti melihat bahwa responden yang di rawat inap
didampingi oleh keluarga, kemudian informasi yang didapatkan dari responden diketahui bahwa keluarga yang mendampingi atau keluarga
yang datang berkunjung ke rumah sakit sering menangis melihat kondisi yang sedang dialami oleh responden. Hal ini yang membuat responden
bertambah sedih dengan kondisinya. Seharusnya keluarga tidak menunjukkan kesedihan yang dialami didepan anggota keluarganya yang
sakit, namun memberikan dukungan dan semangat. Keluarga responden juga mengatakan sulit melakukan pekerjaan
karena harus menjaga responden yang dirawat inap di rumah sakit, sehingga berpengaruh terhadap kebutuhan finansial keluarga. Anggota
Universitas Sumatera Utara
keluarga yang mendampingi paling banyak adalah pasangan responden, seperti suami atau istri responden. Responden yang memiliki anak juga
harus menitipkan anaknya kepada anggota keluarga yang lain atau kepada tetangga.
Hal ini selaras dengan penelitian konsep diri pada pasien stroke yang telah dilakukan oleh Rohardirja 2012 diketahui bahwa responden
memiliki konsep diri negatif mencapai 46,67 karena keluarga responden tidak memberikan dukungan, banyak yang tidak menyukai, serta keluarga
responden mengatakan responden telah menyusahkan keluarga. Dukungan dan penerimaan dari orang terdekat yaitu keluarga sangat mempengaruhi
konsep diri indivu yang mengalami penyakit. Rusmini 2003 juga menyatakan bahwa dukungan keluarga dapat
meringankan rasa sakit pada penderita stroke sebangai bentuk pengobatan secara psikis. Dukungan keluarga atau orang terdekat pasien stroke mampu
meningkatkan koping dan membuat cara pandang positif terhadap penyakit stroke yang dialami, mampu mengoptimalkan aspek emosional,
penghargaan, dan informasi, sehingga pasien stroke merasa dirinya masih dihargai, dicintai, diperhatikan, dan merasa dirinya tidak berbeda dengan
individu lainnya. Namun, jika tidak ada dukungan dari orang terdekat yaitu keluarga membuat cara pandang negatif terhadap dirinya sendiri,
memandang diri tidak berguna, dan hanya menyusahkan keluarga. Hal inilah yang membuat responden memiliki konsep diri negatif.
Universitas Sumatera Utara
Self perception atau persepsi diri juga dapat mempengaruhi konsep diri, Hal ini dapat dilihat dari persepsi responden terhadap penyakit stroke
yang dialami dan perubahan yang terjadi pada dirinya. Responden tidak dapat menerima perubahan yang terjadi, hanya pasrah, dan memiliki
pikiran negatif bahwa keadaan sekarang merupakan buah dari gaya hidup buruk yang dulu dilakukan, tidak mengkonsumsi makanan yang sehat,
mengkonsumsi alkohol, merokok, dan malas untuk berolahraga. Mayoritas
responden menyatakan
bahwa tidak
menyukai keterbatasan gerak yang dialami saat ini, tidak dapat melakukan aktivitas
seperti dulu, tidak dapat bekerja, sehingga mempengaruhi peran sebagai seorang istrisuami dan orang tua, dan mempengaruhi ekonomi keluarga.
Selain itu, responden merasa malu terhadap kelumpuhan dan perubahan fisik lainnya yang dialami dan sering mengatakan “aku tidak bisa apa-apa
lagi sekarang”. Hal ini mengakibatkan depresi bagi responden, sehingga tidak jarang peneliti menemukan responden mengeluh dan menangis.
Hasil penelitian terhadap komponen konsep diri salah satunya adalah gambaran diri, diketahui bahwa gambaran diri responden mayoritas adalah
negatif. Potter dan Perry 2005 menyatakan bahwa gambaran diri dipengaruhi oleh pandangan pribadi tentang karakteristik dan kemampuan
fisik serta persepsi dari pandangan orang lain. Responden yang memiliki gambaran diri negatif menyatakan tidak menerima perubahan fisik yang
terjadi, tidak menyukai dan malas menyentuh anggota gerak yang lumpuh, dan terkadang tidak percaya diri terhadap keterbatasan fisik yang dialami.
Universitas Sumatera Utara
Hal ini selaras dengan penelitian yang dilakukan oleh Tarigan 2013 bahwa responden yang memiliki gambaran diri negatif berarti responden
kesulitan melakukan penyesuaian diri terhadap perubahan fisik yang terjadi.
Komponen konsep diri yang juga diteliti adalah ideal diri. Mayoritas responden memiliki ideal diri realistis yang dipengaruhi oleh spiritualitas.
Responden yang memiliki ideal diri realistis menyatakan bahwa pasrah dan tetap berdoa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Walaupun responden sulit
bahkan tidak menerima perubahan yang terjadi akibat stroke yang dialami, memiliki perasaan tidak berdaya, bahkan sering putus asa dan menangis,
responden tetap memiliki harapan dimasa depan untuk dapat melakukan semua aktivitas yang dilakukan tanpa mengalami gangguan fisik maupun
psikis. Stuart dan Sundeen 1991 menyatakan bahwa ideal diri akan
melahirkan harapan individu terhadap dirinya, sebagai pengatur internal individu, serta membantu individu untuk mempertahankan kemampuannya
menghadapi konflik atau kondisi yang dapat memperburuk, dan sangat penting dimiliki untuk mempertahankan kesehatan dan kesimbangan
mental individu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih dari setengah responden
memiliki harga diri rendah. Responden yang memiliki harga diri rendah menyatakan bahwa mereka tidak percaya diri dengan kondisi yang dialami
sekarang terkhusus pada pasangan masing-masing dan jika teman atau
Universitas Sumatera Utara
kerabat datang berkunjung untuk melihat kondisi responden, memiliki perasaan dijauhi oleh orang-orang sekitar. Stuart dan Sundeen 1991
menjelaskan bahwa harga diri adalah bentuk penilaian individu terhadap hasil yang dicapai. Selaras dengan teori Potter dan Perry 2005 yang
menyatakan bahwa semakin besar kejadian yang menganggu individu semakin besar pula penurunan harga diri yang terjadi, namun semakin
tinggi pencapaian dan dukungan yang diterima maka semakin tinggi harga diri yang dimiliki.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa peran diri yang paling besar dialami oleh responden adalah peran diri yang tidak memuaskan.
Responden yang memiliki peran diri yang tidak memuaskan mengatakan bahwa kondisi dan perubahan fisik yang dialami mengakibatkan peran dan
tanggung jawab tidak terlaksana, seperti peran menjadi suami yang harus bekerja mencari nafkah, peran istri yang harus melayani suami, menjadi
orang tua yang harus menjaga dan mengawasi anak, dan peran di lingkungan masyarat juga tidak dapat dilakukan semenjak sakit dan
dirawat di rumah sakit. Hal inilah yang mengakibatkan terjadinya konflik peran, sehingga lebih banyak responden yang memiliki peran diri yang
tidak memuaskan. Sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh Potter dan Perry 2005
bahwa perilaku individu dengan peran yang tidak memuaskan menunjukan ketidakpuasan individu terhadap peran yang sedang dilakukannya,
Universitas Sumatera Utara
mengingkari ketidakmampuan menjalankan peran, kegagalan menjalankan peran yang baru, ketegangan menjalankan peran yang baru.
Potter dan Perry 2005 lebih menegaskan bahwa individu yang mengalami perubahan peran diri karena kondisi penyakit yang diderita
seperti stroke tidak lagi mampu memenuhi harapan keluarganya, yang akhirnya akan menimbulkan ketegangan atau konflik, akibatnya anggota
keluarga akan mengubah interaksi mereka dengan pasien. Belajar menyesuaikan diri pada peran yang diperoleh oleh setiap individu
merupakan salah satu cara agar individu terlepas dari gangguan peran diri. Identitas diri merupakan komponen terakhir yang juga diteliti dalam
penelitian ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas responden dalam penelitian ini memiliki identitas diri yang tidak jelas. Responden
yang memiliki identitas diri yang tidak jelas mengatakan bahwa ragu memandang diri sendiri, ragu dengan kemampuan yang dimiliki saat ini,
tidak mampu untuk mengambil keputusan, menganggap diri tidak sempurna, dan memiliki ketergantungan dalam beraktivitas.
Identitas diri yang tidak jelas dipengaruhi oleh penyakit stroke yang diderita. Sejalan dengan teori Potter dan Perry 2005 bahwa identitas diri
dipengaruhi oleh stresor sepanjang hidup salah satunya adalah stresor psikososial karena penyakit yang diderita, akan membuat kebingungan
identitas, sehingga perlu adanya dukungan keluarga dalam mendampingi pasien stroke.
Universitas Sumatera Utara
2.4. Analisa hubungan status fungsional dengan konsep diri pasien stroke Penelitian ini menggunakan uji Sperman untuk mengetahui
hubungan status fungsional dan konsep diri pasien stroke di ruang rawat inap Rindu A4 RSUP Haji Adam Malik Medan, dan diperoleh hasil r
spearman’s = 0,477 dengan p value = 0,005 lebih kecil dari 0,05, maka melalui analisa tersebut H
ditolak dan H
a
diterima, sehingga dapat disimpulan bahwa terdapat hubungan dengan kekuatan sedang antara
status fungsional dengan konsep diri pasien stroke. Hubungan antara kedua variabel adalah positif yang berarti searah, maka semakin rendah status
fungsional pasien stroke maka semakin rendah negatif konsep diri pasien stroke.
Hasil penelitian dari reponden yang berjumlah 33 orang diketahui bahwa mayoritas responden memiliki status fungsional dengan tingkat
ketergantungan total dan memiliki konsep diri negatif. Dampak fisik yang terjadi akibat penyakit stroke berpengaruh terhadap status fungsional
pasien stroke. Dampak fisik merupakan suatu stimulus yang sangat mempengaruhi otak manusia. Stimulus tersebut akan mempengaruhi
sistem limbik atau yang lebih dikenal dengan sebutan otak emosi, kemudian rangsangan tersebut mengaktifkan thalamus dan diteruskan ke
neocorteks, yaitu membantu individu untuk menilai rangsangan secara rasional, kemudian rangsangan diteruskan kembali menuju amigdala.
Rangsangan yang sampai pada amigdala akan memicu aktifasi dari pusat emosional seperti perasaan sedih, putus asa, merasa diri tidak berguna,
Universitas Sumatera Utara
atau respon emosional lainnya Atkinson, et all., 1999. Hal inilah yang berkaitan dengan konsep diri negatif yang dimiliki oleh responden.
Konsep diri merupakan keyakinan, citra mental individu dalam memandang dan menilai dirinya berdasarkan kekuatan dan kelemahan
yang dimiliki, serta mempengaruhi individu dalam berinteraksi dan bertindak dalam semua aspek kehidupan, termasuk kesehatan. Potter dan
Perry 2005 menyatakan bahwa konsep diri dan persepsi tentang kesehatan sangat berkaitan satu sama lain, konsep diri yang baik membuat
individu berfikir positif terhadap kesehatannya, namun konsep diri negatif membuat individu berfikir dan memandang negatif terhadap kesehatannya.
Responden yang memiliki konsep diri negatif memandang dirinya negatif, pesimis terhadap kesembuhan yang dialami, pasrah dengan
keadaan. Hal ini selaras dengan pendapat Kozier, Glenora, dan Berman serta koleganya 2004 yang menyatakan bahwa pasien penderita penyakit
kronis yang memiliki konsep diri negatif cenderung memandang dirinya tidak berguna lagi, putus asa, tidak berdaya, gagal, merasa ditolak,
menarik diri, menghindar untuk berinteraksi, murung, dan kehilangan semangat. Konsep diri negatif mempengaruhi seluruh aspek kehidupannya
termasuk keberhasilan penyembuhan dan dapat lebih memperburuk kondisinya.
Konsep diri positif sangat penting dimiliki oleh pasien stroke, sehingga pasien stroke memiliki cara pandang positif terhadap perubahan
yang terjadi pada dirinya, mudah berubah, dan mengenali kebutuhan serta
Universitas Sumatera Utara
mengembangkan pola hidup yang sehat, berfikir optimis, memiliki motivasi yang kuat untuk sembuh, menerima dan sabar dalam menghadapi
setiap pengobatan, dan giat melakukan rehabilitasi fisik seperti fisioterapi yang dapat mengembalikan fungsi tubuh, sehingga secara berangsur pasien
stroke dapat belajar memenuhi kebutuhan perawatan diri dan beraktivitas mandiri, tidak bergantung dengan orang disekitarnya.
Universitas Sumatera Utara
79
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN