Pengetahuan dan Sikap Remaja mengenai Pencegahan Penularan HIV/AIDS di SMU Negeri 2 Kota Dumai

(1)

PENGETAHUAN DAN SIKAP REMAJA MENGENAI PENCEGAHAN

PENULARAN HIV-AIDS DI SMU NEGERI 2 KOTA DUMAI

SKRIPSI

Oleh

CUT SALAWATI NIM: 111121082

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

(3)

PRAKATA

Segala Puji kepada Allah SWT atas segala berkat rahmat dan hidayah Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi ini dengan judul “Pengetahuan dan Sikap Remaja mengenai Pencegahan Penularan HIV-AIDS di SMU Negeri 2 Kota Dumai”. Serta shalawat beriring salam penulis haturkan kepada junjungan umat sepanjang masa Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan para sahabat.

Terima kasih kepada kedua orang tuaku, Alm Ibunda Karminah dan Ayahanda Teuku Ramli yang selalu menanamkan kerendahan hati dalam menapaki kehidupan, kepada suami tercinta Raynaldi yang telah memberikan cinta dan kasih sayangnya yang tulus dan selalu memotivasi serta mendo’akan dan mendorong untuk meningkatkan ilmu yang bermanfaat bagi orang lain, spesial buat putra-putriku Arman Shaldi Ahmadi dan Tiara Nalsya Andana yang selalu memberi semangat dalam segala hal.

Dalam penulisan Skripsi ini, penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak terdapat kekurangan dan kelemahan, baik dari teknik penulisan maupun materi. Hal ini karena keterbatasan, kemampuan dan pengetahuan yang penulis miliki. Untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik dari pembaca yang sifatnya membangun guna penyempurnaan dalam pembuatan Karya Tulis Ilmiah dimasa yang akan datang.

Penyelesaian Skripsi ini penulis banyak mendapatkan bantuan, bimbingan, saran dan dukungan dari berbagai pihak secara langsung maupun tidak langsung.


(4)

Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. dr. Dedi Ardinata, M.Kes, selaku Dekan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Erniyati, S.Kp, MNS, selaku Pembantu Dekan I Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Cholina Trisa Siregar, S.Kep, Ns, M.Kep, Sp.KMB, selaku Dosen Pembimbing Skripsi di Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

4. Ibu Rika Endah Nurhidayah, S.Kp, M.Pd, selaku Dosen Penguji I Skripsi di Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

5. Ibu Yesi Ariani, S.Kep, Ns, M.Kep,CCWC selaku Dosen Penguji II Skripsi di Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

6. Ibu Diah Arruum, S.Kep, Ns, M.Kep, selaku Dosen Pembimbing Akademik di Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

7. Seluruh staf dan dosen pengajar di Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara. 8. Dra. Hj. Heppi Syuryani, selaku Kepala Sekolah SMU Negeri 2 Kota Dumai yang telah

memberi izin bagi peneliti untuk melakukan penelitian di sekolah yang ibu pimpin. 9. Rekan-rekan Mahasiswa Ekstensi B stambuk 2011 di Fakultas Keperawatan USU special

buat Desi. A, Ika. A, Krissan, Anggi, Inggrid, Faisal, Yulia. T, Tety, Elpiana dan Martoni semoga kita tetap menjadi sahabat selamanya dan terima kasih atas kebersamaannya, support serta semangat yang selalu kalian berikan.


(5)

Akhir kata penulis berharap semoga karya tulis ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan di bidang keperawatan dan pihak-pihak yang membutuhkan. Semoga Alla SWT memberikan rahmatNya kepad kita semua. Amien.

Medan, Februari 2013


(6)

DAFTAR ISI

Halaman Judul Halaman Pengesahan

Prakata ... i

Daftar Isi ... iii

Abstrak……… vii

BAB 1. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang ... 1

2. Rumusan Masalah ... 6

3. Tujuan Penelitian ... 6

4. Manfaat Penelitian ... 6

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 1. Pengetahuan ... 8

1.1.Pengertian ... 8

1.2. Tingkatan Pengetahuan ... 8

1.3. Cara Memperoleh Pengetahuan ... 9

1.4. Faktor-faktor yang mempengaruhi Pengetahuan ... 10

1.5. Pengetahuan Remaja mengenai HIV-AIDS ... 11

1.5.1. Pengertian HIV-AIDS ... 11

1.5.2. Penyebab HIV-AIDS ... 12

1.5.3. Tanda dan Gejala HIV-AIDS ... 12

1.5.4. Cara Penularan HIV-AIDS………. 13

1.5.5. Cara Pencegahan HIV-AIDS……… 16

1.5.7. Tahapan Perkembangan HIV – AIDS………... 18

2. Sikap……… 19

2.1. Pengertian………. 19

2.2. Tingkatan Sikap ... 19


(7)

2.4. Pembentukan Sikap………. 21

2.5. Faktor Pembentukan Sikap………. 22

2.6. Pengukuran Sikap………... 24

2.7. Sikap Remaja mengenai HIV – AIDS………... 25

3. Remaja……… 25

3.1. Pengertian……… 25

3.2. Karakteristik Remaja……… 27

3.3. Pertumbuhan dan Perkembangan Remaja……… 29

3.4. Tugas Perkembangan Remaja……….. 34

3.5. Remaja dan HIV – AIDS……… 34

BAB 3. KERANGKA PENELITIAN 1. Kerangka Penelitian ... 38

2. Definisi Operasional ... 39

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN 1. Desain Penelitian ... 40

2. Populasi ... 40

3. Sampel ... 40

4. Waktu dan Lokasi Penelitian ... 41

5. Pertimbangan Etik ... 42

6. Instrumen Penelitian ... 42

7. Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen ... 45

8. Pengumpulan Data………. 46

9. Analisa Data ... 47

BAB 5. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Hasil ... 48

2. Pembahasan………. 50

BAB 6. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 1. Kesimpulan……….. 56


(8)

Daftar Pustaka ……….. 59

Lampiran – lampiran 1. Inform Concent……… 62

2.Jadwal Tentatif Penelitian………. 63

3. Taksasi Dana……… 64

4. Instrumen Penelitian………. 65


(9)

Judul : Pengetahuan dan Sikap Remaja mengenai Pencegahan Penularan HIV/AIDS di SMU Negeri 2 Kota Dumai .

Penulis : Cut Salawati

Nim : 111121082

Jurusan : Sarjana Keperawatan (SKep)

Tahun Akademik : 2011

Abstrak

Remaja merupakan kelompok usia beresiko tinggi penularan HIV/AIDS karena pada masa remaja terjadi krisis identitas, 30% dari penderita HIV/AIDS ini adalah remaja berusia 15-24 tahun. Pengetahuan dan informasi yang tidak benar mengenai HIV/AIDS kepada remaja dapat mengakibatkan respon, pendapat,dan penilaian yang salah terhadap pencegahan penularan HIV/AIDS. Tujuan penelitian untuk mengidentifikasi pengetahuan dan sikap remaja mengenai pencegahan penularan HIV-AIDS di SMU Negeri 2 Kota Dumai. Desain peneltian deskriptif dengan jumlah sampel 123 orang menggunakan tehnik proportional random sampling,dengan menggunakan kuesioner sebagai instrument penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan remaja mengenai pencegahan penularan HIV/AIDS baik (56,1%) dan sikap remaja mengenai pencegahan penularan HIV/AIDS cukup (61,79%.). Pengetahuan akan menumbuhkan suatu sikap, baik sikap positif maupun negatif dalam diri seseorang, dengan berkembangnya intelegensi, bertambahnya pengalaman, sejalan dengan bertambahnya usia dan dari objek tersebut dapat terbentuk sikap tersendiri pula, tetapi dalam realitasnya ada faktor-faktor lain yang mempengaruhi sikap dan perilaku seseorang seperti pengalaman pribadi, kebudayaan, orang lain yang dianggap penting, media massa, institusi atau lembaga pendidikan dan lembaga agama, serta faktor emosi dalam diri individu dan dalam interaksi sosialnya.Tenaga kesehatan diharapkan dapat mengembangkan bentuk pendidikan kesehatan yang lebih efektif dan bekerjasama dengan berbagai pihak dengan memberikan penyuluhan dan pendekatan pendidik sebaya (peer education).


(10)

Judul : Pengetahuan dan Sikap Remaja mengenai Pencegahan Penularan HIV/AIDS di SMU Negeri 2 Kota Dumai .

Penulis : Cut Salawati

Nim : 111121082

Jurusan : Sarjana Keperawatan (SKep)

Tahun Akademik : 2011

Abstrak

Remaja merupakan kelompok usia beresiko tinggi penularan HIV/AIDS karena pada masa remaja terjadi krisis identitas, 30% dari penderita HIV/AIDS ini adalah remaja berusia 15-24 tahun. Pengetahuan dan informasi yang tidak benar mengenai HIV/AIDS kepada remaja dapat mengakibatkan respon, pendapat,dan penilaian yang salah terhadap pencegahan penularan HIV/AIDS. Tujuan penelitian untuk mengidentifikasi pengetahuan dan sikap remaja mengenai pencegahan penularan HIV-AIDS di SMU Negeri 2 Kota Dumai. Desain peneltian deskriptif dengan jumlah sampel 123 orang menggunakan tehnik proportional random sampling,dengan menggunakan kuesioner sebagai instrument penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan remaja mengenai pencegahan penularan HIV/AIDS baik (56,1%) dan sikap remaja mengenai pencegahan penularan HIV/AIDS cukup (61,79%.). Pengetahuan akan menumbuhkan suatu sikap, baik sikap positif maupun negatif dalam diri seseorang, dengan berkembangnya intelegensi, bertambahnya pengalaman, sejalan dengan bertambahnya usia dan dari objek tersebut dapat terbentuk sikap tersendiri pula, tetapi dalam realitasnya ada faktor-faktor lain yang mempengaruhi sikap dan perilaku seseorang seperti pengalaman pribadi, kebudayaan, orang lain yang dianggap penting, media massa, institusi atau lembaga pendidikan dan lembaga agama, serta faktor emosi dalam diri individu dan dalam interaksi sosialnya.Tenaga kesehatan diharapkan dapat mengembangkan bentuk pendidikan kesehatan yang lebih efektif dan bekerjasama dengan berbagai pihak dengan memberikan penyuluhan dan pendekatan pendidik sebaya (peer education).


(11)

BAB 1 PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan pandemi global yang menimbulkan dampak kesehatan, sosial, ekonomi, dan politik.

Hal ini dapat dipahami karena paling tidak ada empat faktor utama yang mendasarinya. Pertama, penyebarannya yang pesat, pada awalnya AIDS hanya terdapat di negara-negara Afrika, tetapi saat ini telah ditemukan hampir di seluruh dunia. Kedua, pertambahan jumlah penderitanya yang cepat, untuk Indonesia pada tahun 2000, bila tidak dilakukan intervensi diperkirakan kasus HIV-AIDS 2.500.000 orang sedangkan bila dilakukan intervensi dengan melaksanakan program pencegahan yang intensif angka tersebut dapat ditekan menjadi 500.000 orang. Ketiga, cara pencegahan dan penanggulangannya yang efektif belum ditemukan dan berbagai penelitian tentang tindakan imunisasi dan obat-obatan yang dapat melumpuhkan penyebab AIDS, belum terbukti kemanjurannya. Keempat, akibat yang ditimbulkannya sangat berbahaya. Seorang yang telah didiagnosa HIV positif, dalam waktu 5-10 tahun akan masuk dalam stadium AIDS yang akan menyebabkan kematian (Harahap & Andayani, 2004).

Akhir tahun 2007 diperkirakan orang dengan HIV dan AIDS (ODHA) didunia sekitar 33 juta dimana 90% diantaranya terdapat dinegara berkembang. Tingkat perkembangan virus HIV-AIDS di Indonesia sangat mengkhawatirkan, dari seluruh


(12)

Negara di Asia, negara kita tergolong yang paling cepat terjadi peningkatan penyebaran virus mematikan ini (Darmasih, 2009).

Jumlah kasus baru HIV-AIDS menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan, sejak kasus pertama 1987 hingga Desember 2011 ada sebanyak 26.483 jiwa pengidap AIDS dan ada 66.600 jiwa yang positif terinfeksi HIV dan yang meninggal 5.056 jiwa, yang dilaporkan dari 33 provinsi (Ditjen PP & PL Kemenkes RI, 2011). Kelompok remaja dari waktu kewaktu kasus HIV-AIDS cenderung meningkat, dari data Ditjen PP & PL Kemenkes RI, 2011 terdapat 26.483 kasus HIV-AIDS , 821 kasus pada kelompok umur 15-19 tahun dan pada kelompok umur 20-29 tahun dijumpai 12.288 kasus HIV-AIDS.

Data dari komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Riau 2011 menyatakan sekitar 620 kasus HIV-AIDS yang tersebar diseluruh kabupaten/kota, dimana sebarannya terbanyak diibukota Riau Pekanbaru, dengan jumlah kasus yang mencapai 373 kasus, kemudian disusul Kota Dumai sebanyak 54 kasus, kabupaten Rokan Hilir 40 kasus, Bengkalis 37 kasus, Kampar 24 kasus, Siak 23 kasus, Indragiri Hilir 18 kasus, Rokan Hulu 16 kasus, Pelalawan 14 kasus, Indragiri Hulu 13 kasus, Meranti 5 kasus dan kabupaten Kuatansingingi ada 3 kasus. Dengan demikian Kota Dumai berada diperingkat kedua setelah Kota Pekanbaru. Data yang didapat dari KPA (Komisi Penanggulangan AIDS) Dumai dari 54 kasus yang ada terdapat 2 kasus usia < 16 tahun, 10 kasus usia 17-24 tahun dan 42 kasus pada usia > 25 tahun.

Remaja adalah bagian dari penduduk dunia yang berskala kecil namun memiliki sumbangan besar bagi perkembangan masa dunia, sangat sedikit remaja


(13)

yang memiliki pengetahuan memadai dan benar tentang IMS termasuk HIV-AIDS pada hal pengetahuan tersebut dibutuhkan untuk terhindar dari resiko penularan dan tidak diskriminatif kepada penderita AIDS. (Ghifari, 2004)

Data yang didapat dari UNAIDS (United Nation For AIDS. 2007) dan United Nation Population Fund pada akhir tahun 2007 menyebutkan kalangan remaja dunia dewasa ini hidup berdampingan dengan HIV-AIDS karena sebagian kasus baru HIV-AIDS telah menyerang remaja usia 15-24 tahun. Dilaporkan bahwa setiap 14 detik, satu orang remaja terinfeksi virus HIV/AIDS. Setiap hari sekitar 6000 orang berusia 15-24 tahun tercatat sebagai penderita baru HIV. Sebanyak 87% pengidap HIV-AIDS hidup dinegara miskin dan berkembang. Banyak kalangan remaja tidak mempunyai informasi mengenai kesehatan, pencegahan kehamilan, infeksi yang ditimbulkan akibat hubungan seks serta HIV-AIDS. Sebagaimana disadari bahwa jumlah penduduk Indonesia ini mencapai 210 juta jiwa dimana didalamnya yang disebut remaja kira-kira 30%. Terancamnya remaja dunia oleh penyakit HIV-AIDS, juga tidak terluput mengancam remaja Indonesia.

Masa remaja merupakan masa yang penuh gejolak, masa yang penuh dengan berbagai pengenalan dan pertualangan akan hal-hal yang baru termasuk pengalaman berinteraksi dengan lawan jenis sebagai bekal manusia untuk mengisi kehidupan mereka kelak. Sekitar 30% dari penderita HIV-AIDS ini adalah remaja. Diserangnya usia produktif ini merupakan suatu tantangan yang perlu segera diatasi mengingat usia produktif adalah aset pembangunan bangsa (BKKBN, 2009).


(14)

Karakteristik remaja yang rasa ingin tahunya sangat tinggi menyebabkan mereka mencoba segala sesuatu yang menurut mereka menarik. Jika tidak tersedia informasi yang benar mengenai masa remaja dapat mengakibatkan prilaku yang merugikan bagi remaja termasuk terinfeksi HIV-AIDS (Depkes RI,2008).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Mangindaan (1996), dimana sebagian besar partisipan cukup berpendidikan, mempunyai pengetahuan yang salah tentang penyebab AIDS, banyak warga Negara Indonesia pernah mendengar tentang HIV-AIDS, tetapi pengetahuan tentang cara penularan dan pencegahannya belum dikenal luas. Mereka menganggap AIDS adalah penyakit kutukan Tuhan. Akibat pengetahuan yang salah, penderita AIDS menghadapi masalah dan berbagai penderitaan sehubungan dengan penyakit mereka disamping penderitaan secara fisik juga penderitaan sosial akibat kesan buruk masyarakat. Banyak penderita HIV-AIDS yang mengalami diskriminasi dan prasangka buruk masyarakat.

Berdasarkan laporan Komisi Penanggulangan Aids Nasional Tahun 2007 menyatakan bahwa penyakit menular seksual dan HIV-AIDS bukanlah topik yang baru lagi, karena berbagai media informasi sudah sering menyiarkan atau mengangkat topik tersebut. Banyak warga negara Indonesia pernah mendengar tentang HIV-AIDS namun pengetahuan tentang cara penularan dan pencegahannya belum dikenal luas terutama dikalangan remaja

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Eni Wiyanti (2001) memperlihatkan 45,6% bersikap positif terhadap HIV/AIDS pada remaja sementara 54,4% bersikap negatif. Hal ini diperkuat oleh Haeriyanto.S (1997) yang menyatakan bahwa remaja


(15)

dengan sikap yang baik ataupun rendah dapat saja memiliki perilaku seksual yang beresiko. Sikap bukan merupakan suatu tindakan aktivitas akan tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku (Notoatmodjo,2003).

Hasil penelitian yang dilakukan Darmasih (2009) dengan judul ”Faktor-faktor yang mempengaruhi seksual remaja di Jawa Tengah: implikasinya terhadap kebijakan dan layanan kesehatan seksual dan reproduksi”, pada umumnya terdapat sikap negatif terhadap hubungan seksual pranikah.

Dari hasil survey awal yang telah penulis lakukan dengan mengajukan 6 pertanyaan lisan mengenai pencegahan penularan HIV/AIDS, dari 10 orang siswa/I yang diajukan pertanyaan, 45% dari mereka hanya bisa menjawab 2 – 3 pertanyaan dan 55% nya bisa menjawab 4 – 6 pertanyaan. Alasan mereka tidak dapat menjawab pertanyaan dengan benar karena mereka tidak pernah mendapatkan informasi dari sumber yang benar dan tidak adanya tempat atau layanan khusus remaja dimana mereka bisa menanyakan tentang hal-hal seperti itu. Karena pengetahuan mereka tentang HIV-AIDS yang sedikit tersebut peneliti juga ingin mengetahui bagaimana sikap mereka mengenai HIV-AIDS. Karena cara bersikap terhadap suatu objek juga ditentukan dari pengetahuan tentang objek tersebut.

Berdasakan latar belakang diatas peneliti tertarik untuk mengetahui pengetahuan dan sikap remaja mengenai pencegahan penularan HIV-AIDS di SMU Negeri 2 kota Dumai dan penelitian ini belum pernah dilakukan oleh karena itulah informasinya masih sangat minim dan ini menjadi fenomena yang perlu digali lebih dalam oleh peneliti.


(16)

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas maka dapat dikemukakan bahwa perumusan masalah dalam penelitian ini adalah Bagaimana Pengetahuan dan sikap remaja mengenai pencegahan penularan HIV-AIDS di SMU Negeri 2 Kota Dumai.

3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi pengetahuan dan sikap remaja mengenai pencegahan penularan HIV-AIDS di SMU Negeri 2 Kota Dumai.

4. Manfaat Penelitian

Hasil Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi : 4.1. Pemerintah daerah setempat

Untuk meningkatkan pengetahuan dan sikap remaja dalam upaya pencegahan peningkatan kasus HIV-AIDS. Hal ini dapat dilakukan dengan pembentukan program kesehatan yang diberikan melalui sekolah-sekolah.

4.2.Petugas kesehatan setempat

Puskesmas setempat dapat mengaktifkanUsaha Kesehatan Sekolah (UKS) yang dapat memberikan penyuluhan kepada siswa-siswi disekolah setempat mengenai HIV-AIDS agar mereka memiliki pengetahuan yang benar mengenai pencegahan penularan HIV-AIDS.

4.3. Pihak Sekolah

Pihak sekolah dapat memberikan program pendidikan kesehatan melalui ceramah, seminar maupun dimasukkan dalam mata pelajaran sekolah untuk


(17)

meningkatkan pengetahuan remaja terutama mengenai pencegahan penularan HIV-AIDS.

4.4.Para Pendidik di sekolah

Bagi pendidik disekolah dapat lebih memperhatikan pendidikan kesehatan bagi siswa-siswi sekolah tersebut dan memberikan informasi mengenai pencegahan penularan HIV-AIDS yang diperlukan oleh siswa-siswi sekolah tersebut.

4.5. Bagi Penelitian Keperawatan

Sebagai sumber data bagi peneliti lain yang ingin melakukan penelitian lebih lanjut tentang pengetahuan dan sikap remaja mengenai pencegahan penularan HIV-AIDS.


(18)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

1. Pengetahuan

1.1.Pengertian Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera yaitu penglihatan, penginderaan, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan diperoleh melalui mata dan telinga (Notoatmodjo, 2003).

1.2. Tingkatan Pengetahuan

Tingkatan pengetahuan dalam domain kognitif menurut Notoatmodjo (2003) meliputi :

1. Tahu (know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu tahu ini merupakan tingkatan yang paling rendah.

2. Memahami (comprehension)

Memahami merupakan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara besar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan.


(19)

3. Aplikasi (aplication)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya). Aplikasi disini dapat diartikan sebagai sebagai aplikasi atau penggunaan metode dalam situasi nyata.

4. Analisis (analysis)

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam satu struktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain.

5. Sintesis (syntesis)

Sintesis ini menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhanyang baru. Dengan kata lain adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada.

6. Evaluasi (evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaianpenilaian itu didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada.

1.3. Cara Memperoleh Pengetahuan

Penelitian Rogers (1974) mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru, di dalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan, yaitu :


(20)

1. Awarenest (kesadaran), yakni orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui stimulus (obyek) terlebih dahulu.

2. Interest, yakni orang mulai tertarik pada stimulus.

3. Evaluation yakni (menimbang-nimbang baik dan tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya)

4. Trial adalah orang yang telah mulai mencoba perilaku baru

5. Adoption, adalah subyek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus.

Pengetahuan dapat diperoleh dari pengalaman sendiri maupun dari pengalaman orang lain. Pengetahuan seseorang dikumpulkan dan diterapkan secara bertahap, mulai dari tahap yang paling sederhana ke tahap yang lebih lengkap, tahap tersebut adalah :

1. Orang yang mengetahui akan pengetahuan yang baru.

2. Orang merasa tertarik untuk mendapatkan pengetahuan tersebut. 3. Orang mulai menilai pengetahuan yang diperolehnya.

4. Orang menerapkan pengetahuan tersebut dalam kehidupan sehari-hari.

1.4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan

Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan menurut Notoatmodjo (2003) adalah sebagai berikut:

1. Tingkat pendidikan

Pendidikan merupakan upaya untuk memberikan pengetahuan sehingga terjadi perubahan perilaku positif yang meningkat.


(21)

2. Pengalaman

Sesuatu yang pernah dilakukan seseorang akan menambah pengetahuan tentang suatu yang bersifat informal.

3. Informasi

Seseorang yang mendapatkan informasi lebih banyak akan menambah pengetahuan menjadi lebih luas.

4. Budaya

Tingkah laku manusia atau kelompok manusia dalam memenuhi kebutuhan yang meliputi sikap dan kepercayaan (Notoatmodjo, 2003).

1.5. Pengetahuan remaja mengenai HIV–AIDS

Pengetahuan yang dimaksud adalah segala sesuatu yang diketahui remaja tentang HIV-AIDS meliputi : pengertian, penyebab, tanda dan gejala, cara penularan, cara pencegahan, dan tahapan perkembangan.

1.5.1. Pengertian HIV-AIDS

HIV (Human Imunodeficiency Virus) adalah virus yang meyerang sistem kekebalan tubuh manusia. Virus HIV yang masuk ke dalam tubuh akan berkembang biak. Virus HIV akan masuk dalam sel darah putih dan merusaknya, sehingga sel darah putih yang berfungsi sebagai pertahanan terhadap infeksi akan menurun jumlahnya. Akibatnya sistem kekebalan tubuh mejadi lemah dan penderita mudah terkena berbagai penyakit.

AIDS (Aqcuired Imuno Deficiency Syndrome) adalah kumpulan gejala penyakit yang timbul karena rendahnya daya tahan tubuh. Pada awalnya penderita


(22)

HIV positif sering tidak menampakkan gejala sampai bertahun-tahun (5–10 tahun). Banyak faktor yang mempengaruhi panjang pendeknya masa tanpa gejala ini, namun pada masa ini penderita dapat menularkan penyakitnya pada orang lain (Mandal, 2006).

1.5.2. Penyebab HIV- AIDS

AIDS disebabkan oleh Human Imunodeficiency Virus (HIV) yaitu sejenis retro virus (virus yang dapat menggandakan dirinya sendiri pada sel-sel yang ditumpanginya) yang merusak sistem kekebalan tubuh manusia atau sel-sel darah putih (limfosit) virusnya akan memecah diri lalu merusak sel darah putih lainnya. Virus AIDS menyerang sel darah putih khusus yang dinamakan T-lymthocytes, perlawanan tubuh dari serangan infeksi. Ketika terjadi kerusakan T-cell yang signifikan, seseorang tidak dapat melawan sebagian besar kuman yang masuk ke dalam tubuh. Akibatnya tubuh mulai ditulari infeksi yang luar biasa dan menetap pada seseorang dan amat sulit diatasi meskipun dengan obat-obatan dan perawatan medis yang terbaik. Orang yang terserang AIDS tidak memiliki sistem kekebalan yang normal. Virus AIDS menyerang sel T di dalam darah, meyebabkan sistem kekebalan tidak efektif dalam pertahanan melawan kuman-kuman yang menyerang. (Adler, 1998).

1.5.3.Tanda dan Gejala HIV-AIDS

Setelah seseorang terinfeksi HIV, dalam waktu 2-3 bulan tubuhnya baru akan menghasilkan antibodi. Masa ini disebut periode jendela, berdasarkan hasil tes darah yang dilakukan barulah dapat mengetahui seseorang mengidap HIV positif (+)


(23)

atau HIV negatif (-). Disebut HIV (+) jika dalam darahnya terkandung HIV, disebut HIV (-) jika dalam darahnya tidak terkandung HIV. Jika ternyata orang tersebut mengandung HIV (+) gejala yang terlihat belum ada hanya merasakan sakit ringan biasa seperti flu. Masa-masa ini disebut masa laten, dapat berlangsung selama 5-10 tahun. Baik pada masa periode jendela maupun pada masa laten, seseorang tersebut sudah dapat menularkan HIV pada orang lain. Setelah melewati masa laten, orang yang terinfeksi HIV mulai memperlihatkan gejala-gejala AIDS. (Brunner & Suddarth, 2000)

Gejala klinis pada stadium AIDS menurut Nursalam (2007) dibagi antara lain : 1. Gejala utama atau mayor

a. Demam berkepanjangan lebih dari 3 bulan.

b. Diare kronis lebih dari 1 bulan berulang maupun terus-menerus. c. Penurunan berat badan lebih dari 10 % dalam 3 bulan.

2. Gejala minor

a. Batuk kronis selama lebih dari 1 bulan.

b. Infeksi pada mulut dan tenggorokan disebabkan jamur candida albicans.

c. Pembengkakan kelenjar getah bening yang menetap di seluruh tubuh.

d. Munculnya herpes zooster berulang dan bercak-bercak gatal di seluruh tubuh.

1.5.4.Cara Penularan HIV-AIDS

Kasus AIDS pertama kali ditemukan di Amerika Serikat pada tahun 1981, kemudian Centers for Disease Prevention (CDC) antara 1 Juni 1981 sampai September 1982 menemukan laporan sejumlah 593 kasus infeksi opurtunistik yang


(24)

timbul akibat HIV-AIDS yang membahayakan jiwa penderitanya. Penderita pada umumnya berusia antara 15-60 tahun dan jumlah 243 penderita telah meninggal dunia. Penularan HIV demikian cepat menyebar, sehingga sampai Mei 1985 diperkirakan 12.000 kasus (Harahap, 2000).

HIV hanya dapat ditularkan bila terdapat kontak langsung dengan cairan tubuh atau darah. Dosis atau banyaknya jumlah virus memegang peranan penting. Makin besar jumlah virusnya, makin besar kemungkinan infeksinya. Jumlah virus yang banyak terdapat didalam darah, sperma, dan cairan vagina, sedangkan dalam air ludah, air mata, urin, keringat dan Air Susu Ibu (ASI) hanya ditemukan sedikit sekali, sehingga kecil kemungkinannya untuk dapat tertular apabila berkontak dengan cairan-cairan tersebut (Budimulja, 1999).

Berdasarkan data Departemen Kesehatan RI (2001), penularan HIV/AIDS sebagian besar melalui hubungan seksual dengan pasangan yang berlainan jenis atau heteroseksual (61,7%), disusul dengan Homoseksual-biseksual (20,3%), Injecting Drug User/IDU (15,7%), perinatal (1,2%), dan tranfusi darah (0,7%). (Aprilianingrum, 2002).

Secara garis besar ada dua cara penularan HIV-AIDS, yaitu secara kontak seksual dan nonseksual. Penularan secara kontak seksual dapat terjadi antara laki-laki dengan perempuan (heteroseksual), antara laki-laki dan laki-laki (homoseksual), dan antara perempuan dengan perempuan (hubungan lesbian). Cara berhubungan seksual yang dilakukan dapt melalui beberapa cara, yaitu kelamin dengan kelamin ( genito-genital), kelamin dengan Anus (Ano-genital atau anal seks), kelamin dengan mulut


(25)

(Oro-genital atau orak seks) dan tangan dengan kelamin (mano genital). Kemungkinan tertular HIV cukup berbeda-beda tergantung jenis dan cara berhubungan, resiko terbesar untuk tertular HIV adalah apabila melakukan hubungan seksual secara anal dan vaginal, hubungan seksual secara anal sangat rentan untuk penularan HIV karena lapisan kulit sekitar dubur cukup tipis, sehingga dapat mengakibatkan luka yang mengeluarkan darah dan dapat terjadi kontak antar cairan tubuh (Widoyono, 2008)

Penularan secara non seksual dapat terjadi melalui transmisi parenteral dan transmisi transplasental. Transmisi parenteral terjadi melalui penggunaan jarum dan alat tusuk lainnya (alat tindik, tatto) yang telah terkontaminasi, terutama pada penyalahguna atau pecandu narkotik yang menggunakan jarum suntik secara bersama-sama. Penularan parenteral lainnya adalah melalui trasfusi darah atau pemakai produk donor dengan HIV positif. Resiko terinfeksi HIV karena mendonorkan darah sangat kecil terjadi selama jarum suntik yang digunakan steril dan sekali pakai dan yang mendonorkan darah juga tidak terinfeksi dengan HIV. Penularan secara tranplasental dapat terjadi malalui ibu hamil yang positif HIV kepada bayi yang dikandungnya, penularan dapat terjadi selama kehamilan, saat melahirkan atau selama menyusui setelah melahirkan. (Zulkifli, 1999).

Kegiatan atau perilaku yang dianggap mempunyai resiko yang rendah dan seringkali tidak ada hubungannya dengan infeksi HIV antara lain adalah transmisi okupasi, tenaga kesehatan mempunyai resiko kecil terhadap transmisi okupasi (misalnya melalui jarum suntik) yaitu kurang dari 0,4% atai 1:200 . Tenaga kesehatan


(26)

dapat terinfeksi HIV dari kontak dengan darah atau cairan tubuh lainnya yang mengandung HIV melalui luka akibat terkena jarum suntik bekas penderita HIV-AIDS.(Centers for Disease Control, 1991 dikutip dari Zulkifli, 1999).

HIV tidak menular melalui peralatan makan, pakaian, handuk, saputangan, toilet yang dipakai secara bersama-sama, berpelukan, berjabat tangan, hidup serumah dengan penderita HIV-AIDS, gigitan nyamuk dan hubungan sosial yang lain (Nursalam, 2007).

1.5.5. Cara Pencegahan HIV- AIDS

Menurut Mandal (2006) Sampai saat ini belum ada pengobatan yang dapat menyembuhkan AIDS, belum ada vaksin yang dapat mencegah terjadinya AIDS, dan belum ada metode yang terbukti dapat menghilangkan infeksi carier HIV. Karena alasan ini segala usaha harus dilakukan untuk mencegah AIDS. Menurut Zulkifli (1999), AIDS sudah pasti akan mendatangkan kematian, maka pencegahannya merupakan upaya penanggulangan yang terutama harus dilakukan. Upaya yang dapat dilakukan adalah pencegahan penularan melalui jalur non seksual, jalur seksual dan pencegahan penularan dari ibu ke anak.

Pencegahan penularan melalui jalur non seksual terdiri dari dua cara yaitu pertama, transfusi darah, cara ini dapat dicegah dengan mengadakan pemeriksaan donor darah, sehingga hanya darah yang bebas HIV yang ditransfusikan. Kedua, penularan AIDS melalui jarum suntik atau sejenisnya dapat dicegah dengan upaya sterilisasi atau mengguanakan jarum suntik sekali pakai.


(27)

Pencegahan penularan melalui jalur seksual dapat dilakukan dengan pendidikan atau penyuluhan yang intensif yang ditujukan untuk merubah cara hidup dan perilaku seksual. Pada hakekatnya setiap individu secara individu secara potensial adalah pelaku seks. Potensi ini mencapai puncaknya pada usia remaja dan membutuhkan penyaluran sampai seseorang mencapai usia tua. Selain upaya pendidikan/penyuluhan intensif, cara pencegahan dapat dilakukan dengan monogami, menghindari hubungan seksual dengan wanita tuna susila (WTS), tidak melakukan hubungan seksual dengan penderita AIDS dan Pergunakan kondom terutama bagi kelompok perilaku resiko tinggi. Upaya pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak yang dapat dilakukan adalah menganjurkan kepada ibu yang menderita AIDS atau HIV positif untuk tidak hamil.

Ketahanan masyarakat terhadap penularan HIV/AIDS dapat melalui empat jenis perilaku yang dikenal dengan ABCD yang terdiri dari A berarti Abstinence,yaitu menahan nafsu seksual atau tidak melakukan hubungan seksual sama sekali, terutama yang belum menikah. B berarti Be Faithful, yaitu tidak berganti-ganti pasangan dan saling setia kepada pasangannya. C berarti Condom, jika kedua cara diatas sulit, harus meakukan hubungan seksual yang aman yaitu dengan menggunakan alat pelindung atau kondom. D berarti Don’t share srynge, yaitu tidak memakai jarum suntik atau alat yang menembus kulit bergantian dengan orang lain, terutama dikalangan IDU (Injecting Drug Use). (Aprilianingrum, 2002 ; Harahap 2000).


(28)

1.5.6. Tahapan perkembangan HIV-AIDS

Menurut BKKBN (2009) perjalanan HIV-AIDS dapat melalui beberapa tahapan. Hal ini bervariasi antara satu orang dan orang lain, antara lain :

1. Fase 1

Umur infeksi 1-6 bulan sejak terinfeksi HIV, individu sudah terpapar dan terinfeksi tetapi ciri-ciri terinfeksi belum terlihat meskipun dilakukan tes darah. Pada fase ini antibodi individu terhadap HIV belum terbentuk. Bisa saja individu terlihat atau mengalami gejala-gejala ringan seperti flu (biasanya 2-3 hari sembuh sendiri).

2. Fase 2

Umur infeksi 2-10 tahun sejak terinfeksi HIV. Pada fase kedua ini individu sudah positif HIV tetapi belum menampakkan gejala sakit. Namun sudah dapat menularkan pada orang lain.

3. Fase 3

Mulai muncul gejala-gejala awal penyakit tetapi belum disebut sebagai gejala AIDS. Gejala-gejala AIDS antara lain : keringat yang berlebihan pada malam hari, diare terus-menerus, pembengkakan kelenjar getah bening, flu yang tidak sembuh-sembuh, nafsu makan berkurang, badan menjadi lemah dan berat badan terus berkurang. Pada fase ketiga ini sistem kekebalan tubuh mulai berkurang.

4. Fase 4

Sudah masuk pada fase AIDS. AIDS sudah dapat terdiagnosa setelah kekebalan tubuh sangat berkurang dilihat dari jumlah sel T nya. Kemudian timbul penyakit tertentu yang disebut dengan infeksi oportunistik, yaitu TBC, infeksi


(29)

paru-paru yang menyebabkan radang paru-paru-paru-paru dan kesulitan bernafas, kanker, sariawan, kanker kulit, infeksi usus yang menyebabkan diare parah berminggu-minggu dan infeksi otak yang menyebabkan kekacauan mental dan sakit kepala.

2. Sikap

2.1. Pengertian Sikap

Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap stimulus atau objek. Sikap itu tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan dahulu dari perilaku tertutup. Sikap itu masih merupakan reaksi terbuka atau tingkah laku yang terbuka sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek (Notoatmodjo, 2003).

2.2. Tingkatan Sikap

1. Menerima (receiving)

Menerima diartikan bahwa orang (subyek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan (objek).

2. Merespon (responding)

Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan, dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap.

3. Menghargai (valving)

Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga.


(30)

4. Bertanggung jawab ( responsible)

Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko merupakan sikap yang paling tinggi.

2.3. Struktur Sikap

Menurut Azwar (2005) mengikuti skema triadic, struktur sikap terdiri atas tiga komponen yang saling menunjang yaitu komponen kognitif (cognitif), komponen afektif (affective), dan komponen konatif (conative).

1. Komnponen kognitif

Komponen kognitif berisi kepercayaan seseorang mengenai apa yang berlaku atau apa yang benar bagi objek sikap. Kepercayaan datang dari apa yang telah kita lihat atau apa yang telah kita ketahui. Berdasarkan apa yang telah kita lihat itu kemudian terbentuk suatu idea atau gagasan mengenai sifat atau karakteristik umum suatu objek.

2. Komponen Afektif

Kompoenen afektif menyangkut masalah emosional subjektif seseorang terhadap suatu objek sikap. Secara umum, komponen ini disamakan dengan perasaan yang dimiliki terhadap sesuatu. Namun , pengertian perasaan pribadi seringkali sangat berbeda perwujudannya bila dikaitkan dengan sikap.

3. Komponen Konatif

Komponen sikap yang berkaitan dengan predisposisi atau kecenderungan bertindak terhadap objek sikap yang dihadapinya.


(31)

2.4. Pembentukan Sikap

Menurut Azwar (2005) Sikap dapat dibentuk atau berubah melalui 4 macam cara yaitu adopsi, diferensiasi, integrasi, dan trauma.

1. Adopsi

Yang dimaksud dengan adopsi adalah kejadian-kejadian dan peristiwa-peristiwa yang terjadi berulang dan terus menerus, lama kelamaan secara bertahap diserap kedalam diri individu dan mempengaruhi terbentuknya suatu sikap.

2. Diferensiasi

Dengan berkembangnya intelegensi, bertambahnya pengalaman, sejalan dengan bertambahnya usia, maka ada hal-hal yang tadinya dianggap sejenis, sekarang dipandang tersendiri. Terdapat objek tersebut dapat terbentuk sikap tersendiri pula.

3. Integrasi

Pembentukan sikap disini terjadi secara bertahap, dimulai dengan berbagai pengalaman yang berhubungan dengan satu hal tertentu.

4. Trauma

Pengalaman yang tiba-tiba, mengejutkan, yang meninggalkan kesan mendalam pada jiwa orang bersangkutan. Pengalaman-pengalaman yang traumatis dapat juga menyebabkan terbentuknya sikap.

Dalam interaksi sosialnya, individu bereaksi membentuk pola sikap tertentu terhadap berbagai objek psikologis yang dihadapinya,diantaranya berbagai faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap adalah pengalaman pribadi, kebudayaan,


(32)

orang lain yang dianggap penting, media masa, institusi atau lembaga pendidikan dan lembaga agama, serta faktor emosi dalam diri individu (Azwar, 2005).

2.5. Faktor Pembentukan Sikap

Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap menurut Azwar (2005) adalah :

1. Pengalaman pribadi.

Apa yang telah dan sedang kita alami akan ikut membentuk dan mempengaruhi penghayatan kita terhadap stimulus sosial. Tanggapan akan menjadi salah satu dasar terbentuknya sikap. Untuk dapat mempunyai pengalaman yang berkaitan dengan obyek psikologis. Apakah penghayatan itu kemudian akan membentuk sikap positif atau negatif tergantung dari berbagai faktor.

2. Pengaruh orang lain yang dianggap penting.

Orang lain di sekitar kita merupakan salah satu diantara komponen yang ikut mempengaruhi sikap. Orang penting sebagai referensi (personal reference), seperti tenaga kesehatan (dokter, perawat, dan lain-lain). Pada umumnya individu cenderung untuk memiliki sikap yang konformis atau searah dengan sikap orang yang dianggap penting.

3. Pengaruh kebudayaan.

Kebudayaan di mana seseorang hidup dan dibesarkan mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan sikap seseorang. Seseorang mempunyai pola sikap dan perilaku tertentu dikarenakan mendapat reinforcement (penguatan, ganjaran) dari masyarakat untuk sikap dan perilaku tersebut.


(33)

4. Media masa.

Sebagai sarana komunikasi berbagai bentuk media massa mempunyai pengaruh besar dalam pembentukan opini dan kepercayaan orang. Dalam menyampaikan informasi sebagai tugas pokoknya, media masa membawa pesan yang berisi sugesti yang dapat mengarahkan opini seseorang. Adanya informasi baru mengenai sesuatu hal memberikan landasan berfikir kognitif baru bagi terbentuknya sikap terhadap hal tersebut. Apabila cukup kuat, akan memberi dasar efektif dalam menilai sesuatu hal, sehingga terbentuklah arah sikap tertentu.

5. Lembaga pendidikan dan lembaga agama.

Lembaga pendidikan dan lembaga agama sebagai suatu system mempunyai pengaruh dalam pembentukan sikap, dikarenakan keduanya meletakkan dasar pengertian dan konsep moral dalam diri individu. Pemahaman akan baik dan buruk, garis pemisah antara sesuatu yang boleh dan tidak boleh dilakukan, diperoleh dari pendidikan dan dari pusat keagamaan serta ajaran-ajarannya.

6. Pengaruh faktor emosional

Kadang-kadang sesuatu bentuk sikap merupakan pernyataan yang didasari oleh emosi yang berfungsi sebagai pengalaman frustasi atau peralihan bentuk mekanisme pertahanan ego, sikap demikian dapat merupakan sikap yang sementara dan segera berlalu begitu frustasi telah hilang akan tetapi dapat pula merupakan sikap yang lebih persisten dan lebih lama.


(34)

2.6. Pengukuran Sikap

Mengukur sikap tidak lain adalah mencoba menentukan peringkat sikap seseorang menurut cirri-ciri yang sudah ditetapkan. Pada umumnya pengukuran sikap dapat dibagi dalam tiga cara, yaitu wawancara, observasi, dan kuesioner. Setiap cara memiliki keuntungan dan keterbatasan sehingga peneliti perlu mempertimbangkan cara yang sesuai dengan tujuan penelitian sikap (Hidayat, 2007).

Skala yang digunakan dapat berupa skala nominal, ordinal, maupun interval. Skala sikap yang sering digunakan adalah pertama skala model Thurstone, dengan skala ini responden diminta untuk menyatakan setuju atau tidak setuju terhadap deretan pernyataan mengenai objek sikap. Skala yang kedua adalah model Likert, dengan skala ini responden diminta untuk membubuhkan tanda cek pada salah satu dari lima kemungkinan jawaban yang tersedia “ sangat setuju “, “setuju “, “tidak setuju”,”tidak tahu”, “sangat tidak setuju”. Peneliti dapat menyingkatnya menjadi empat tingkatan sesuai dengan keinginan dan kepentingan peneliti yang menciptakan instrument tersebut, seperti selalu, sering, kadang-kadang, tidak pernah. Ketiga adalah semantic differensial (perbedaan semantik). Dengan instrumen ini responden diminta untuk menentukan peringkat terhadap objek sikap diantara dua kutub. Kata sifat yang berlawanan misalnya, “baik-tidak baik”, “berharga-tidak berharga”, dan sebagainya. Keempat adalah skala Guttman, merupakan semacam pedoman wawancara/kuesioner terbuka yang dimaksud untuk membuka sikap. Kelima adalah skala Inkeles, merupakan jenis kuesioner tertutup seperti tes prestasi belajar bentuk pilihan ganda (Arikunto, 2005).


(35)

2.7. Sikap remaja mengenai HIV-AIDS

Sikap remaja tentang HIV-AIDS adalah respon, pendapat, penilaian remaja terhadap pencegahan penularan HIV-AIDS. Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung dapat dinyatakan bagaimana pendapat dan pernyataan responden terhadap suatu obyek. Secara tidak langsung dapat dilakukan dengan pernyataan-pernyataan hipotesis kemudian dinyatakan pendapat responden melalui kuesioner (Notoatmodjo, 2003). Kuesioner mengacu pada skala Likert dengan bentuk jawaban pertanyaan atau pernyataan terdiri dari jawaban sangat setuju, setuju, tidak setuju, sangat tidak setuju.

Sikap dapat bersifat positif dan dapat pula bersifat negatif (Azwar, 2005) : 1. Sikap positif kecenderungan tindakan adalah mendekati, menyenangi,

mengharapkan obyek tertentu.

2. Sikap negatif terdapat kecenderungan untuk menjauhi, menghindari, membenci, tidak menyukai obyek tertentu.

3. Remaja

3.1. Pengertian Remaja

Remaja atau adolescence berasal dari kata latin yang berate “tumbuh” atau “tumbuh menjadi dewasa”. (Hurlock, 1999). .Segi program pelayanan, definisi remaja yang digunakan oleh Depkes adalah mereka yang berusia 10-19 tahun dan belum kawin. Sementara itu menurut BKKBN batasan usia remaja adalah 10-19 tahun.


(36)

Menurut Sarwono (2001), menjelaskan mengenai batasan usia remaja yaitu 14 sampai 24 tahun dan belum menikah, masa remaja adalah masa transisi atau peralihan dari masa anak ke dewasa, pada masa ini individu banyak mengalami perubahan-perubahan fisik maupun psikis.

Menurut WHO remaja adalah Individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan tanda-tanda seksual sekundernya sampai saat ia mencapai pematangan seksual dan individu yang mengalamai perkembangan psikologis dan pola identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa dengan batasan usia remaja adalah 12-24 tahun. Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial-ekonomi yang penuh pada keadaan yang relatif lebih mandiri.

Menurut Jones remaja adalah diantara masa kanak-kanak dengan masa dewasa yang secara biologis terletak pada usia 10-19 tahun. Remaja adalah masa peralihan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa yang berlangsung antara usia 21 tahun. Masa remaja dibagi menjadi 3 yaitu : masa remaja awal antara usia 12-15 tahun, remaja pertengahan antara usia 12-15-18 tahun, dan masa remaja akhir antara usia 18-21 tahun. Perserikatan bangsa-bangsa (PBB) sendiri menetapkan usia 15-24 tahun sebagai usia remaja dan di Indonesia batasan remaja yang mendekati batasan PBB tentang remaja adalah kurun usia 14-24 tahun dan belum menikah (Sarwono, 2001).


(37)

3.2. Kartakteristik Remaja

Menurut Hurlock ( 1999:206 ) cirri-ciri remaja yaitu : 1. Masa remaja sebagai periode yang penting

Kendatipun semua periode dalam rentang kehidupan adalah penting, namun kadar pentingnya berbeda-beda. Pada periode remaja, akibat langsung maupun akibat jangka panjang tetaplah penting, ada periode yang penting karena akibat fisik dan ada pula akibat psikologisnya. Perkembangan fisik yang cepat dan penting disertai cepatnya perkembangan mental yang cepat, terutama pada awal masa remaja. Semua perkembangan itu menimbulkan pengaruh yang sangat besar untuk masa depannya.

2. Masa remaja sebagai periode peralihan

Peralihan tidak berarti terputus dengan satu berubah dari apa yang telah terjadi sebelumnya, melainkan lebih-lebih sebuah peralihan dari suatu tahap perkembangan ketahap berikutnya. Dalam setiap periode peralihan, status individu tidaklah jelas dan terdapat keraguan akan peran yang akan dilakukan. Pada masa ini, remaja bukan lagi seorang anak dan juga bukan orang dewasa. Status remaja yang tidak jelas ini juga menguntungkan karena status memberi waktu kepadanya untuk mencoba gaya hidup yang berbeda dan menentukan pola prilaku, nilai dan sifat yang paling sesuai bagi dirinya.

3. Masa Remaja sebagai periode perubahan

Tingkat perubahan dalam sikap dan prilaku selama masa remaja sejajar dengan tingkat perubahan fisik. Ada 5 perubahan yang sama yang hampir bersifat universal, yaitu :


(38)

a. Meninggikan Emosi

Perubahan emosi terjadi lebih cepat, selama masa awal remaja, maka meningginya emosi lebih menonjol pada masa awal periode akhir-akhir masa remaja.

b. Perubahan tubuh

Disini mulai tampak perbedaan antara pria dan wanita akibat perubahan fisik yang terjadi, misal remaja wanita mulai tumbuh payudara, mulai terlihat timbunan lemak dipinggulnya.

c. Minat dan peran yang diharapkan

Bagi remaja muda masalah baru yang timbul tampaknya lebih banyak dan lebih sulit diselesaikan dibandingkan masalah yang dihadapi sebelumnya. Remaja akan tetap merasa ditimbuni masalah sampai ia sendiri menyelesaikan menurut kepuasannya.

d. Perubahan nilai-nilai

Apa yang pada masa kanak-kanak dianggap penting sekarang setelah hampir dewasa dianggap tidak penting lagi. Sekarang mereka mengerti bahwa kualitas lebih penting daripada kuantitas.

e. Sikap ambivalen terhadap setiap perubahan

Mereka menginginkan dan menuntut kebebasan tetapi mereka sering takut bertanggung jawab akan apa akibatnya dan meragukan kemampuan mereka untuk mengatasi tanggung jawab tersebut.


(39)

4. Masa Remaja sebagai usia bermasalah

Setiap periode mempunyai masalahnya sendiri-sendiri, namun masalah masa remaja sering menjadi masalah yang sulit diatasi baik oleh anak laki-laki maupun perempuan karena tidak mampu mereka untuk mengatasi sendiri masalahnya menurut cara yang mereka yakini, banyak remaja akhirnya menemukan bahwa penyelesainnya tidak selalu sesuai dengan harapan mereka.

5. Masa Remaja sebagai masa rasa ingin tahu

Rasa ingin tahu ini lebih membahayakan, karena seringkali melibatkan beberapa hal yang tidak vital dan mendasar ,bagaimana karakteristik remaja lain yaitu kebutuhan akan kemandirian yang mendorong kearah tindakan untuk membuktikan rasa ingin tahunya. Rasa ingin tahu dan kebutuhan akan kemandirian tersebut mendorong remaja kearah kematangan. Akan tetapi jika rasa ingin tahu ini tidak dijaga, dalam batasan tertentu yang tidak dapat dikuasainya akan membawanya kepada pengetahuan yang sebenarnya secara emosional belum siap diterima remaja. Oleh sebab itu remaja membutuhkan bimbingan orang yang lebih dewasa dalam member batasan tentang sejauh mana ia boleh “mencoba” dan dampak (resiko dan manfaat) dari hasil “percobaan” tersebut.

3.3. Pertumbuhan dan perkembangan Remaja

3.3.1. Pertumbuhan dan perkembangan remaja awal ( 12-15 tahun )

a. Pertumbuhan Fisik

Pertumbuhan meningkat cepat, tampak karakteristik seks sekunder. Pertumbuhan ini menyebabkan tingkah laku anak menjadi sangat kasar, canggung,


(40)

kurang sopan dan sebagainya. Terjadilah hentakan-hentakan aktivitas baik pada anak laki-laki maupun pada anak perempuan pada masa remaja awal ini dicirikan dengan peningkatan aktivitas. Peningkatan aktivitas tersebut bukan berarti peningkatan agresivitasi akan tetapi hal ini merupakan proses intensifikasi dari pada daya adaptasi terhadap realitas dunia serta usaha untuk menguasai lingkungannya.

b. Perkembangan Kognitif

Menggali kemapuan baru untuk pikiran abstrak yang terbatas, mencari-cari nilai dan energy baru, serta perbandingan terhadap “normalitas” dengan sebaya yang jenis kelaminnya sama.

c. Perkembangan Identitas

Remaja terus menerus memikirkan perubahan tubuh yang cepat, mencoba berbagai peran, pengukuran ketertarikan dengan penerimaan atau penolakan terhadap teman sebaya dan mengaskan norma-norma kelompok.

d. Hubungan dengan orang tua

Mendefinisikan batasan kemandirian-ketergantungan, keinginan yang kuat untuk tetap tergantung pada orang tua sambil mencoba untuk memisahkan diri.

e. Hubungan dengan teman sebaya

Mencari teman sebaya untuk menghadapi ketidakstabilan yang diakibatkan oleh perubahan yang cepat, meningkatkan pertemanan ideal, yang dekat dengan anggota dan jenis kelamin yang sama, remaja awal umumnya berjuang untuk menguasai mengambil tempat didalam kelompok.


(41)

f. Perkembangan seksualitas

Eksplorasi diri dan evaluasi terbatas yang biasanya berkelompok dan intimasi terbatas.

g. Kesehatan Psikologis

Terjadi perubahan alam perasaan yang meluas, bermimpi disiang hari yang terus menerus dan marah yang diekspresikan dengan kemurungan, kemarahan yang meledak-ledak secara verbal.

3.3.2. Pertumbuhan dan perkembangan remaja tengah ( 15- 18 tahun )

a. Pertumbuhan Fisik

Terjadi pertumbuhan lambat pada anak perempuan, bentuk tubuh mencapai 95% tinggi orang dewasa dan karakteristik seks sekunder tercapai dengan baik.

b. Perkembangan kognitif

Kengembangkan kapasitas untuk berpikir abstrak, menikmati kekuatan intelektual, sering dalam istilah idealistic dan prihatin dengan filosofi, politis dan masalah sosial

c. Perkembangan identitas

Remaja tengah cenderung mengubah citra diri, sangat berfokus pada diri sendiri, narsisme (kecintaan pada diri sendiri) meningkat, kecenderungan kearah pengalaman didalam dan penemuan diri, mempunyai banyak fantasi kehidupan, idealistis, mampu menerima implikasi masa depan tentang perilaku dan keputusan baru dan penerapannya bervariasi.


(42)

d. Hubungan dengan orang tua

Remaja yang berada pada masa remaja tengah akan mengalami konflik utama terhadap kemandirian dan control, terjadi titik rendah dalam hubungan orangtua-anak, dorongan paling besar untuk emansipasi, pelepasan diri dan pelepasan emosional dan ireversibel dari orang tua.

e. Hubungan dengan teman sebaya

Kebutuhan identitas yang kuat untuk memantapkan citra diri, standar perilaku dibentuk oleh kelompok sebaya, penerimaan oleh teman sebaya sangat penting, rasa takut akan penolakan dan eksplorasi terhadap kemampuan untuk menarik lawan jenis. f. Perkembangan seksualitas

Terjadi hubungan jamak multiple, ketentuan kearah heteroseksualitas (bila homoseksual diketahui pada saat ini), eksplorasi terhadap daya tarik diri, perasaan dicintai dan pembentukan hubungan sementara.

g. Kesehatan psikologis

Kecenderungan kearah pengalaman dalam diri, lebih intropektif, kecenderungan untuk menarik diri ketika marah atau perasaan sakit hati, vascillation emosi dalam rentang dan waktu dan perasaan tidak adekuat yang umum, kesulitan dalam meminta bantuan.

3.3.3. Pertumbuhan dan perkembangan remaja akhir ( 18- 21 tahun )

a. Pertumbuhan fisik

Pertumbuhan remaja telah matang secara fisik, struktur dan pertumbuhan reproduktif hampir komplit.


(43)

b. Perkembangan kognitif

Remaja telah mencapai pikiran abstrak, dapat menerima dan bertindak pada pelaksanaan jangka panjang, mampu memandang masalah secara komprehensif, identitas intelektual dan fungsional telah terbentuk.

c. Perkembangan identitas

Definisi citra tubuh dan peran gender hamper menetap, identitas seksual matang, fase konsolodasi tentang identitas, stabilitas harga diri, nyaman dengan pertumbuhan fisik, peran social terdefinisi dan terartikulasi.

d. Hubungan dengan orang tua

Perpisahan emosional dan fisik dari orangtua terselesaikan, bebas dari orang tua dengan sedikit konflik dan emansipasi hampir terjamin.

e. Hubungan dengan teman sebaya

Kelompok sebaya berkurang dalam hal kepentingan yang berbentuk pertemanan individu, pengujian hubungan pria-wanita terhadap kemungkinan hubungan yang permanen, hubungan dicirikan dengan member dan berbagi

f. Perkembangan seksualitas

Membentuk hubungan yang stabil dan saling tertarik, meningkatkan kapasitas untuk mutualitas dan prioritas, berkencan sebagai pasangan pria-wanita, keintiman melibatkan komitmen dari pada eksplorasi dan romanisme.

g. Kesehatan psikologis

Pada saat ini emosi remaja lebih konstan dan marah lebih tepat untuk disembunyikan.


(44)

3.4. Tugas Perkembangan Remaja

Tugas-tugas dalam perkembangan mempunyai tiga macam tujuan , yaitu berguna sebagai petunjuk bagi individu untuk mengetahui yang diharapkan masyarakat dari mereka, memberi motivasi pada setiap individu untuk melakukan yang diharapkan oleh kelompok sosial sepanjang kehidupan mereka, dan yang terakhir adalah dapat menunjukkan pada setiap individu tentang apa yang akan mereka hadapi dan tindakan yang diharapkan dari mereka kalau sampai pada tingkat perkembangan berikutnya (Hurlock, 1999).

Menurut Havighurst, seorang sarjana yang terkenal dalam bidang psikologi pendidikan, tugas perkembangan masa remaja adalah memperoleh hubungan antar pribadi dan berkomunikasi secara lebih dewasa dengan kawan sebaya, baik pria maupun wanita, memperoleh peranan sosial pria dan wanita, menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya dengan efektif, memperoleh kebebasan emosional dari orangtua dan orang dewasa lainnya, mencapai kepastian akan kebebasan dan kemampuan berdiri sendiri, memilih dan mempersiapkan lapangan pekerjaan, mempersiapkan diri dalam pembentukan keluarga, membentuk system nilai-nilai moral, dan falsafah hidup (Gunarsa & Gunarsa, 2003 ).

3.5. Remaja dan HIV-AIDS

Menurut Sarwono (2003), perilaku seksual adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual baik yang dilakukan sendiri, dengan lawan jenis maupun sesama jenis tanpa adanya ikatan pernikahan menurut agama. Menurut Stuart dan


(45)

Sundeen (1999), perilaku seksual yang sehat dan adaptif dilakukan ditempat pribadi dalam ikatan yang sah menurut hukum. Sedangkan perilaku seksual pranikah merupakan perilaku seksual yang dilakukan tanpa melalui proses pernikahan yang resmi menurut hukum maupun menurut kepercayaan masing-masing.

Remaja melakukan berbagai macam perilaku seksual beresiko yang terdiri atas tahapan-tahapan tertentu yaitu dimulai dari berpegangan tangan, cium kering, cium basah, berpelukan, memegang atau meraba bagian sensitif, petting, oral seks, dan bersenggama (sexual intercourse). Perilaku seksual pranikah pada remaja ini pada akhirnya dapat mengakibatkan berbagai dampak yang merugikan remaja itu sendiri. Seringkali remaja merasa bahwa orang tuanya menolak membicarakan masalah seks pranikah sehingga mereka kemudian mencari alternatif sumber informasi lain seperti teman atau media massa. Beberapa kajian menunjukkan bahwa remaja sangat membutuhkan informasi mengenai persoalan seksual dan reproduksi. Remaja seringkali memperoleh informasi yang tidak akurat mengenai seks dari teman-teman mereka, bukan dari petugas kesehatan, guru atau orang tua (Gemari, 2003).

Berdasarkan data yang dihimpun PKBI (Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia) tahun 2006 menunjukkan remaja yang mengaku pernah melakukan hubungan seks pranikah adalah remaja usia 17-19 tahun. Sebanyak 60% di antaranya mengaku tidak menggunakan alat kontrasepsi dan mengaku melakukannya di rumah sendiri, karena kurangnya informasi atau pengetahuan akan reproduksi dan seksual


(46)

yang benar menjadikan seks sebagai ajang coba-coba yang berujung pada beberapa risiko di antaranya kehamilan.

Data BKKBN menunjukkan, Survei Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia 2002-2003 menyebutkan, remaja yang mengaku memiliki teman yang pernah berhubungan seksual sebelum menikah pada usia 17-19 tahun mencapai 34,7% untuk perempuan dan 30,9% untuk laki-laki. Mereka yang berumur 20-24 tahun yang pernah melakukan hal serupa ada 48,6% untuk perempuan dan 46,5% untuk laki-laki.

Hal serupa didapat dari data Komisi Nasional Perlindungan Anak tahun 2008. Dari 4.726 responden siswa SMU di 17 kota besar diperoleh hasil, 97% remaja pernah menonton film porno serta 93,7% pernah melakukan ciuman, meraba kemaluan, ataupun melakukan seks oral. Sebanyak 62,7% remaja SMU tidak perawan dan 21,2% remaja mengaku pernah aborsi. Perilaku seks bebas pada remaja terjadi di kota dan desa pada tingkat ekonomi kaya dan miskin. para remaja ini sebenarnya memerlukan pelayanan kesehatan reproduksi lebih spesifik. Terutama bagi remaja yang mengalami risiko Tiad KRR ( Kesehatan Reproduksi Remaja) yakni seksualitas, HIV-AIDS dan Napza. Dengan mendapatkan informasi yang benar mengenai risiko Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR), maka diharapkan remaja akan semakin berhati-hati dalam melakukan aktivitas kehidupan reproduksinya.

Laporan dari jurnal kependudukan dan pembangunan dalam tahun 2009 dalam Dharmayanti menunjukkan tentang penelitian terhadap 164 orang terdiri atas 139 subjek laki – laki dan 29 subjek wanita pada siswa–siswi kelas III SMA di kota


(47)

Surakarta dengan hasil 43,17% subjek laki–laki kadang–kadang melakukan onani, 36% subjek wanita tidak pernah melakukan masturbasi, 41,73% subjek laki–laki melakukan hubungan seks pada usia 18–19 tahun dan 60% subjek wanita pada usia 17-18 tahun, 42,45% laki–laki melakukan hubungan seks pada usia 17-18 tahun dan 28% subjek wanita 15-16 tahun. Terdapat 2,88% subjek laki–laki dan 11,5% subjek wanita melakukan hubungan seks pada usia 12-14 tahun. Sebagian besar alas an subjek laki–laki adalah bukti rasa cinta sebanyak 47,73% sedangkan 44% subjek wanita melakukanan hubungan seks pertama kali didasari keinginan untuk mencoba.


(48)

BAB 3

KERANGKA PENELITIAN

1. Kerangka Penelitian

Kerangka penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan pengetahuan dan sikap remaja mengenai pencegahan penularan HIV-AIDS di SMU Negeri 2 Kota Dumai.

Skema I. Kerangka Penelitian

Pengetahuan dan sikap remaja terhadap pencegahan penularan HIV-AIDS

Baik Cukup Kurang


(49)

2. Definisi Operasional

No Variabel Definisi

Operasional

Alat Ukur Hasil Ukur Skala

1. Pengetahuan Remaja

Segala sesuatu yang diketahui dan dipahami oleh remaja mengenai HIV-AIDS yang mencakup pengertian HIV-AIDS, Penyebab dari HIV-AIDS, tanda dan gejala dari HIV-AIDS, penularan HIV-AIDS dan upaya pencegahan penularan HIV-AIDS

Kuesioner Baik = 14 - 17 Cukup = 7 - 13 Kurang = 0 - 6

Ordinal

2 Sikap Remaja Respon yang

dimiliki remaja merupakan

pendapat, penilaian dan kesiapan untuk beraksi terhadap upaya pencegahan penularan HIV-AIDS

Kuesioner Baik = 44 - 56 Cukup = 29 - 43 Kurang = 14 - 28


(50)

BAB 4

METODOLOGI PENELITIAN

1. Desain Penelitian

Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif dengan tujuan mengidentifikasi pengetahuan dan sikap remaja mengenai pencegahan penularan HIV-AIDS di SMU Negeri 2 Kota Dumai.

2. Populasi

Populasi adalah setiap subjek (misalnya manusia, pasien) yang memenuhi kriteria yang telah ditetapkan (Nursalam, 2003). Populasi pada penelitian ini adalah semua siswa/siswi SMU Negeri 2 Kota Dumai yang berjumlah 1229 orang (Data Jumlah Siswa/siswi SMU N 2 Kota Dumai Agustus 2012).

3. Sampel

Sampel adalah sebagian dari keseluruhan objek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi. Apabila populasi kurang dari 100 sampel diambil semua sehingga penelitiannya merupakan penelitian populasi, tetapi jika subjeknya besar dapat diambil 10% - 20% atau lebih. Pada penelitian ini jumlah sampelnya adalah 10% dari populasi yaitu 122,9 orang dan dibulatkan menjadi 123 orang dan dalam penelitian ini menggunakan teknik probability sampling yaitu pengambilan secara random dimana setiap subjek dalam populasi mendapat peluang yang sama untuk dipilih sebagai anggota sampel. Metode pengambilan sampel menggunakan metode


(51)

sampel penelitian tidak tunggal, tetapi gabungan dari 2 teknik yaitu proporsi dan acak. Pengambilan sampel dari setiap kelas ditentukan dengan menggunakan rumus :

1 = N1

N x n

Keterangan :

�1 = Besar sampel yang harus diambil dari Kelas

�1 = Besar populasi dari Kelas

N = Besar populasi

n = Besar sampel

Tabel 1. Distribusi Sampel berdasarkan proporsi remaja SMU Negeri 2 Kota Dumai

Kelas Populasi Sampel

X XI XII Total 484 435 310 1229 48 44 31 123

Berdasarkan perhitungan, maka jumlah sampel yang diambil dari kelas X 48 orang kelas XI 44 orang dan kelas XII 31 orang. Sampel dari tiap kelas diambil secara acak dengan teknik undian.

4. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus 2012 sampai dengan September 2012. Penelitian dilakukan di SMU Negeri 2 Kota Dumai, dengan alasan


(52)

sekolah SMU ini mudah dijangkau peneliti, populasinya lebih banyak dari SMU yang ada di Dumai dan siswa/siswi yang sekolah di SMU N 2 ini memiliki status sosial yang berbeda dan penelitian tentang pengetahuan dan sikap remaja mengenai pencegahan penularan HIV-AIDS belum pernah dilakukan di SMU Negeri 2 ini sebelumnya.

5. Pertimbangan Etik

Peneliti memberikan penjelasan kepada responden tentang maksud, tujuan serta prosedur penelitian yang dilakukan. Lembar persetujuan (informed consent) menjadi responden sebagai bukti kesediaannya sebagai sampel dalam penelitian. Dalam hal ini responden berhak untuk menolak terlibat dalam penelitian ini. Peneliti akan merahasiakan identitas responden yang sudah dilampirkan di lembar persetujuan responden. Jika responden bersedia diteliti maka harus terlebih dahulu menandatangani lembar persetujuan, jika responden menolak diteliti maka peneliti tidak dapat memaksa dan tetap menghormati hak-hak responden. Untuk menjaga kerahasiaan responden, peneliti tidak akan mencantumkan nama responden (anonymity) pada lembar pengumpulan data yang diisi oleh responden. Lembar tersebut hanya diberi nomor kode tertentu. Kerahasiaan (confidentiality) informasi yang diberikan oleh responden dijamin oleh peneliti. (Nursalam,2003).

6. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian adalah alat-alat yang digunakan untuk pengumpulan data (Notoatmodjo, 2010). Data penelitian diperoleh dengan menggunakan instrumen penelitian berupa kuesioner. Instrumen ini terdiri dari tiga bagian yaitu kuesioner


(53)

data demografi, pengetahuan dan sikap remaja mengenai pencegahan penularan HIV-AIDS.

Kuesioner data demografi mencakup data mengenai usia, jenis kelamin, agama, suku dan sumber informasi tentang HIV-AIDS. Kuesioner pengetahuan remaja mengenai HIV- AIDS disusun sendiri oleh peneliti dengan berpedoman pada tinjauan pustaka dan kerangka konsep. Kuesioner yang digunakan pertanyaan tertutup dengan pilihan multiple choice . Pernyataan pengetahuan nomor 1-17 terdiri dari 2 penyataan pengertiaan HIV-AIDS pada nomor 1, dan 3, 2 pernyataan penyebab HIV-AIDS nomor 2, dan 4 , 3 pernyataan gejala HIV-AIDS nomor 5, 6 dan 7, 4 pernyataan cara penularan HIV-AIDS nomor 8, 9, 10 dan 11, 6 pernyataan pencegahan penularan HIV-AIDS nomor 12, 13, 14, 15, 16, dan 17. Jawaban benar diberi nilai 1 dan bila jawaban salah diberikan nilai 0. Dalam penelitian ini indikator yang digunakan untuk pengetahuan remaja dikategorikan atas 3 kelas interval. Nilai terendah yang mungkin dicapai adalah 0 dan nilai tertinggi adalah 17, berdasarkan rumus statistika P = rentang dibagi dengan banyak kelas (sudjana, 1992). Dimana P merupakan panjang kelas, dengan rentang (nilai tertinggi dikurang dengan nilai terendah) sebesar 17 dan dibagi atas 3 kategori kelas yaitu baik, cukup dan kurang, maka diperoleh panjang kelas sebesar 5, 6 dan dibulatkan menjadi 6

Dengan P = 6 dan nilai terendah adalah 0 sebagai batas bawah kelas pertama, maka pengetatuan remaja mengenai HIV-AIDS dikategorikan dalam kelas interval sebagai berikut :


(54)

Baik : 14 – 17

Cukup : 7 - 13

Kurang : 0 - 6

Kuesioner sikap remaja mengenai HIV-AIDS meliputi terhadap penderita HIV-AIDS dan sikap terhadap upaya pencegahan penularan HIV-AIDS dengan pernyataan sikap nomor 1-14 terdiri dari 7 pernyataan sikap positif yaitu terdapat pada nomor 3, 8, 10, 11, 12, 13, 14 dan 7 pernyataan sikap negatif yaitu terdapat pada nomor 1, 2, 4, 5, 6, 7, 9 . Kuesioner ini menggunakan skala Likert dengan pilihan jawaban Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak Setuju (TS) dan Sangat Tidak Setuju (STS). Nilai tertinggi pada skala ini adalah 4 dan terendah adalah 1, pada pertanyaan positif responden menjawab sangat setuju nilainya 4, setuju nilainya 3, tidak setuju nilainya 2 dan sangat tidak setuju nilainya 1, pada pertanyaan negatif apabila responden menjawab sangat setuju nilainya 1, setuju nilainya 2, tidak setuju nilainya 3 dan sangat tidak setuju nilainya 4. Penelitian sikap remaja mengenai HIV-AIDS ini indikator dikategorikan atas 3 kelas interval. Nilai terendah yang dicapai adalah 14 dan nilai tertinggi adalah 56, berdasarkan rumus statistika P = rentang dibagi dengan banyak kelas. P merupakan panjang kelas, dengan rentang (nilai tertinggi dikurang dengan nilai terendah) sebesar 42 dan dibagi atas 3 kategori kelas yaitu baik, cukup dan kurang, maka diperoleh panjang kelas sebesar 14 dan nilai


(55)

terendah adalah 14 sebagai batas bawah kelas pertama, maka sikap remaja mengenai HIV-AIDS dikategorikan dalam kelas interval sebagai berikut :

Baik : 44 – 56

Cukup : 29 – 43

Kurang : 14 – 28

7. Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen

Validitas adalah suatu indeks yang menunjukkan kemampuan instrumen pengumpulan data untuk mengukur apa yang harus diukur, untuk mendapatkan data yang relevan dengan apa yang sedang diukur (Dempsey, 2002). Pada penelitian ini uji validitas yang digunakan adalah validitas isi (content validity indeks/CVI), yaitu validitas berdasarkan tinjauan pustaka selanjutnya dikonsultasikan kepada yang berkompeten dibidang tersebut (Polit and Hungler, 1999). Penelitian ini dikonsultasikan kepada 3 orang yang terdiri dokter spesialis penyakit dalam, dokter umum yang ditunjuk sebagai konselor HIV-AIDS kota Dumai dan Perawat Senior yang memiliki kompetensi sesuai dengan topik penelitian ini. Uji validitas ini untuk kuesioner pengetahuan diperoleh hasil 0,97 dan kuesioner sikap di peroleh hasil 0,827. Oleh sebab itu, instrument dikatakan valid sesuai dengan pendapat Polit & Hungler (1999) Content Validity Indeks (CVI)>0,7.

Uji reliabilitas instrumen adalah suatu uji yang dilakukan untuk mengetahui konsistensi dari instrument sehingga dapat digunakan untuk penelitian selanjutnya dalam ruang lingkup yang sama (Dempsey, 2002). Uji realibilitas ini akan diujikan pada 30 responden yang bukan menjadi sampel tapi mempunyai karakteristik yang


(56)

sama yaitu siswa/siswi SMU Negeri 1 Kota Dumai. Dalam penelitian ini digunakan reliabilitas konsistensi internal karena memiliki beberapa kelebihan diantaranya pemberian instrument hanya satu kali dengan bentuk instrument kepada satu subjek studi (Dempsey, 2002). Pada penelitian ini pengujian reliabilitas akan menggunakan rumus Cronbach’s alpha, dalam sistem komputerisasi dengan hasil uji untuk pengetahuan 0,845 dan untuk sukap diperoleh hasil 0,927. Oleh sebab itu, instrument dikatakan reliabel sesuai dengan pendapat Polit & Hungler (1999) karena memiliki nilai reliabelitas >0,7.

8. Pengumpulan Data

Proses pengumpulan data penelitian dilakukan setelah peneliti mendapatkan surat permohonan izin penelitian dari Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara dan selanjutnya mengirim surat permohonan izin penelitian yang telah diperoleh kepada Kepala Sekolah SMU Negeri 2 Kota Dumai, setelah mendapatkan izin penelitian dari Kepala Sekolah Negeri 2 maka peneliti mulai mengumpulkan data dengan membagi kuesioner kepada responden sesuai dengan nomor undian absen secara acak dan ada 123 orang responden yang menjadi sampel penelitian terdiri dari kelas X.XI dan XII.

Peneliti menemui responden dan menjelaskan kepada responden tentang tujuan dan cara pengisian kuesioner, kemudian calon responden yang bersedia diminta untuk menandatangani formulir persetujuan (informed consent) dan diminta untuk mengisi kuesioner dengan diberikan waktu sekitar 15 – 20 menit. Peneliti memberikan kesempatan bertanya jika ada pertanyaan dalam kuesioner yang tidak


(57)

dimengerti oleh responden, setelah responden selesai mengisi kuesioner, peneliti mengumpulkan kuesioner kembali dan memeriksa jika ada lembar kuesioner yang tidak lengkap atau pertanyaan dalam kuesioner tidak diisi selurunya oleh responden juga, data yang tidak lengkap dilengkapi saat itu.

9. Analisa Data

Data yang telah terkumpul diolah dan ditabulasi dengan langkah – langkah yaitu memeriksa kembali semua kuisioner yang telah diisi oleh responden, dengan maksud untuk memeriksa apakah setiap kuisioner telah diisi sesuai dengan petunjuk (editing). Memberikan kode tertentu pada kuisioner yang telah diajukan untuk mempermudah sewaktu mengadakan tabulasi dan analisa data (coding). Dan mempermudah analisa data, pengolahan dan pengambilan kesimpulan melakukan tabulasi (tabulating). Setelah data terkumpul, maka analisa data dilakukan melalui pengolahan dan secara komputerisasi. Pengolahan data statistik deskriptif, data demografi akan disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi dan persentasi. Hasil analisa data disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi untuk melihat pengetahuan dan sikap remaja mengenai pencegahan penularan HIV-AIDS di SMU Negeri 2 Kota Dumai .


(58)

BAB 5

HASIL DAN PEMBAHASAN

Bab ini menguraikan data hasil penelitian serta pembahasan tentang pengetahuan dan sikap remaja mengenai pencegahan penularan HIV/AIDS yang diperoleh melalui pengumpulan data terhadap 123 orang responden remaja SMU Negeri 2 Kota Dumai mulai bulan April s/d September 2012.

1. Hasil Penelitian

Hasil penelitian ini menjabarkan deskripsi karakteristik responden, pengetahuan dan sikap remaja mengenai pencegahan penularan HIV/AIDS di SMU Negeri 2 Kota Dumai.

1.1. Karakteristik Responden

Deskripsi karakteristik responden mencakup Usia, jenis kelamin, agama, suku dan sumber informasi. Responden dalam penelitian ini berjumlah 123 orang, yaitu remaja yang ada di SMU Negeri 2 Kota Dumai terdiri dari kelas X,XI dan XII. Karakteristik responden yaitu, mayoritas responden berusia 15 tahun ada 56 orang (45,5%), Responden jenis kelamin perempuan ada 83 orang (67,5%). Mayoritas responden beragama islam ada 109 orang (88,6%), suku responden Melayu ada 54 orang (43,9%), dan seluruh rensponden yaitu 123 orang (100%) pernah mendapatkan informasi mengenai HIV/AIDS, sumber informasi yang diperoleh mayorias responden ada 46 orang (37,4%) dari televisi.


(59)

Tabel 2. Distribusi frekuensi, persentase data demografi Remaja SMU N 2 Kota Dumai (n=123)

Karakteristik Responden Frekuensi Persentase (%)

Usia 15 Tahun 16 Tahun 17 Tahun Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Agama Islam Kristen Protestan Kristen Katolik Suku Melayu Minang Jawa Batak Aceh Mandailing Lain-lain Sumber Informasi Majalah/Koran Penyuluhan/Seminar Televisi Internet Teman 56 41 26 40 83 109 9 5 54 30 10 11 3 3 12 25 14 46 26 12 45,5 33,3 21,2 32,5 67,5 88,6 7,3 4,1 43,9 24,4 8,1 8,9 2,4 2,4 9,8 20,3 11,4 37,4 21,1 9,8

1.2. Pengetahuan dan Sikap Remaja mengenai pencegahan penularan

HIV/AIDS

Untuk mengetahui pengetahuan dan sikap remaja mengenai pencegahan penularan HIV/AIDS dilakukan dengan cara membagi 3 interval yaitu Baik, Cukup dan Kurang. Hasil penelitian yang dilakukan peneliti selama melakukan penelitian mulai dari bulan aguatus s/d september 2012 di SMU Negeri 2 Kota Dumai diperoleh


(60)

pengetahuan remaja mengenai pencegahan penularan HIV/AIDS adalah Baik dengan jumlah frekuensi 69 orang responden (56,1%). Dan sikap remaja mengenai pencegahan penularan HIV/AIDS adalah Cukup dengan jumlah frekuensi 76 orang responden (61,79%).

Tabel 3. Distribusi frekuensi persentase Pengetahuan remaja mengenai pencegahan penularan HIV/AIDS (n=123)

Pengetahuan Frekuensi Persentase (%)

Baik Cukup Kurang 69 54 0 56,1 43,9 0

Tabel 4. Distribusi frekuensi persentase Sikap remaja mengenai pencegahan

penularan HIV/AIDS (n=123)

Sikap Frekuensi Persentase (%)

Baik Cukup Kurang 37 76 10 30,08 61,79 8,13 2. Pembahasan

2.1. Pengetahuan Remaja mengenai Pencegahan Penularan HIV/AIDS

Hasil penelitian menunjukkan mayoritas tingkat pengetahuan remaja mengenai pencegahan penularan HIV/AIDS adalah baik (56,1%). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Oktavia ( 2008) yang berjudul pengetahuan remaja tentang penyakit HIV/AIDS di SMA Yadika & Bogor yang mendapatkan proporsi responden dengan pengetahuan baik sebanyak 108 respoden (69,2%) dan tidak baik sebanyak 48 responden (30,8%) dan hasil penelitian ini juga tidak jauh berbeda dengan


(61)

penelitian yang dilakukan Supriatna (2006) yang berjudul hubungan karakteristik responden sumber informasi dengan tingkat pengetahuan terhadap HIV-AIDS pada anak jalanan usia remaja di rumah singgah Gesang Kota Bogor Timur, hasil penelitian dari 54 orang (54%) berpengetahuan tinggi dan 46 orang (46%) yang berpengetahuan rendah.

Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Meyrani (2006) yang berjudul pengetahuan dan sikap remaja tentang HIV-AIDS di lingkungan XI Kelurahan Harjosari II kecamatan Medan Amplas dengan hasil 13 orang (37,1%) berpengetahuan baik dan 22 orang (62,9%) yang berpengetahuan cukup dan dengan hasil penelitian Dianingtyas dan Dewi (2007) dengan proporsi tingkat pengetahuan rendah sebesar 54 orang (58,1%) dan tingkat pengetahuan tinggi sebesar 39 orang (41,9%) sehingga kedua hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian di SMU Negeri 2 Kota Dumai.

Pengetahuan mengenai HI-AIDS dan upaya pencegahannya merupakan variabel yang dianalisis untuk mengetahui pengetahuan remaja SMU Negeri 2. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar pengetahuan responden mengenai pencegahan penularan HIV-AIDS baik, hal ini dikarenakan semua responden pernah mendapatkan informasi dan saat ini informasi mengenai HIV-AIDS dan pencegahannya lebih mudah didapatkan yaitu melalui seminar, internet, majalah, televisi , teman dan lain sebagainya.

Hal ini sesuai dengan teori pengetahuan dari Notoatmodjo (2003) yang menyebutkan bahwa pengetahuan adalah berbagai gejala yang ditemui dan diperoleh


(62)

manusia melalui pengamatan inderawi, pengetahuan muncul ketika seseorang menggunakan indera atau akal budinya untuk mengenali benda atau kejadian tertentu yang belum pernah dilihat atau dirasakan sebelumnya, dan pengetahuan didapat melalui beberapa sumber yaitu pengalaman, tradisi, metode otoritas, induksi, deduksi dan pendekatan ilmiah.

Menurut Notoatmodjo (2003) pengetahuan merupakan hasil tahu dan suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar.

Perkembangan seksualitas merupakan masa kritis bagi remaja, saat remaja mengalami masa pubertas yang ditunjukkan dengan terjadinya aktifitas hormonal yang sangat aktif, ini dapat mengakibatkan keinginan remaja tentang seks dan kesehatan reproduksi meningkat sehingga untuk memenuhi keingintahuan tentang seks dan kesehatan reproduksi, remaja berusaha segala sesuatu yang menurut mereka menarik dan melakukan eksplorasi sendiri tentang seks dan kesehatan reproduksi (BKKBN, 2009).

Pengetahuan mengenai HIV/AIDS dan upaya pencegahannya sangat penting bagi remaja karena orang yang sudah terinfeksi virus HIV tidak dapat menahan serangan infeksi penyakit lain karena sistem kekebalan tubuhnya menurun secara drastis, dengan mengetahui cara penularan dan pencegahannya maka diharapkan tidak terjadinya penularan penyakit HIV-AIDS (Depkes RI, 2008) .


(63)

2.2. Sikap Remaja mengenai Pencegahan Penularan HIV/AIDS

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa secara umum sikap responden mengenai pencegahan penularan HIV-AIDS adalah baik sebanyak 30,08%, Cukup 61,79% dan Kurang 8,13%. Hasil penelitian ini ada persamaan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Meyrani (2006) yang berjudul pengetahuan dan sikap remaja tentang HIV/AIDS di lingkungan XI Kelurahan Harjosari II kecamatan Medan Amplas dengan hasil 14 orang remaja (40%) mempunyai sikap baik dan 21 orang remaja (60%) mempunyai sikap cukup. Hal ini tidak sesuai dengan hasil dari penelitian yang dilakukan oleh Veronika (2004) terhadap 94 orang remaja di SMU Negeri 2 Binjai menunjukkan bahwa sebanyak 75,53% (71 orang) memiliki sikap baik tentang PMS dan HIV-AIDS, sedangkan yang memiliki sikap cukup tentang PMS dan HIV/AIDS sebanyak 24,47% ( 23 orang).

Menurut Niven (2002) pengetahuan mengenai suatu objek akan menjadi sikap bila pengetahuan itu disertai dengan suatu kesiapan bertindak. Menurut Green (1980. Dikutip dari Notoatmodjo, 2003) pengetahuan merupakan faktor predisposisi terjadinya perilaku yang terdiri dari 3 ranah yaitu pengetahuan, sikap, dan psikomotor, sehingga sikap bukan merupakan suatu tindakan aktivitas akan tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku, sehingga sikap yang baik ataupun rendah dapat saja memiliki perilaku seksual yang beresiko.

Perkembangan jumlah penderita penyakit HIV-AIDS yang cukup pesat dari tahun ketahun perlu diupayakan pemberdayaan remaja untuk melindungi diri, usaha seperti ini terutama harus ditujukan kepada para remaja itu sendiri, sehingga diri


(64)

mereka terbentuk mekanisme pencegahan yang mandiri. Pencegahan didasari oleh pengetahuan dan sikap yang positif terhadap perilaku seksual yang sehat dan untuk mencegah dampak-dampak negatif perilaku seksual seperti penyakit menular seksual dan HIV/AIDS (Sarwono, 2008).

Pengetahuan akan menumbuhkan suatu sikap, baik sikap positif maupun negatif dalam diri seseorang, dengan berkembangnya intelegensi, bertambahnya pengalaman, sejalan dengan bertambahnya usia maka ada hal-hal yang tadinya dianggap sejenis, sekarang dipandang tersendiri terhadap objek tersebut dan dari objek tersebut dapat terbentuk sikap tersendiri pula, tetapi dalam realitasnya ada faktor-faktor lain yang mempengaruhi sikap dan perilaku seseorang seperti pengalaman pribadi, kebudayaan, orang lain yang dianggap penting, media massa, institusi atau lembaga pendidikan dan lembaga agama, serta faktor emosi dalam diri individu dan dalam interaksi sosialnya.(Azwar, 2005)

Pengetahuan merupakan hasil “tahu” dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Pengideraan terjadi melalui panca indera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, perasa dan peraba. Ini bisa diartikan bahwa informasi yang diterima remaja tergantung bagaimana masing-masing individu mempersepsikannya (Notoatmodjo, 2003).

Hasil penelitian ini antara pengetahuan dan sikap mempunyai hasil yang berbeda ini dikarenakan sikap diawali dari pengetahuan yang baik atau kurang, positif maupun negatif namun ada faktor-faktor lain yang mempengaruhi sikap maupun


(65)

perilaku seseorang, sehingga apa yang diketahui seringkali tidak konsisten dengan apa yang muncul dalam sikap maupun perilakunya. (Azwar, 2005).

Pengetahuan, nilai kepercayaan dan tradisi merupakan faktor yang mempengaruhi dan memotivasi terjadinya sikap dan perilaku seseorang (Notoatmodjo, 2003). Menurut Sarwono (2000) bahwa kenyataannya tidak selalu pengetahuan yang baik berakhir dengan sikap yang baik juga, hal ini sesuai dengan pernyataan Notoatmodjo,2003 bahwa manusia juga sebagai makhluk individual sehingga apa yang datang dari dalam dirinya (internal) juga mempengaruhinya dalam bersikap maupun berprilaku.

Hal ini berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek, penilaian-penilaian itu didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada (Notoatmodjo, 2003).

Sumber informasi merupakan sarana komunikasi yang mempunyai pengaruh besar dalam pembentukan kepercayaan seseorang, dalam menyampaikan informasi yang berisi sugesti yang dapat mengarahkan opini seseorang. Adanya informasi baru mengenai sesuatu hal memberikan landasan berfikir kognitif baru bagi terbentuknya sikap terhadap hal tersebut, apabila cukup kuat, akan memberi dasar afektif dalam menilai sesuatu hal, sehingga terbentuklah arah sikap tertentu (Azwar, 2005).


(66)

BAB 6

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan uraian pembahasan yang dilakukan oleh peneliti terhadap 123 responden dapat ditarik kesimpulan karakteristik responden remaja mayoritas berusia 15 tahun, berjenis kelamin perempuan,beragama islam, dan suku melayu, seluruh responden pernah mendapatkan informasi mengenai HIV/AIDS dan sumber informasi yang diperoleh mayoritas dari televisi.

pengetahuan dan sikap remaja mengenai pencegahan penularan HIV/AIDS di SMU Negeri 2 Kota Dumai mayoritas untuk pengetahuan remaja baik dengan jumlah 69 responden (56,1%) dan yang cukup berjumlah 54 responden (43,9%), sedangakan untuk sikap remaja baik dengan jumlah 37 responden (30,08%), sedangkan yang cukup berjumlah 76 responden (61,79%) dan yang kurang 10 responden (8,13%).

Pengetahuan akan menumbuhkan suatu sikap, baik sikap positif maupun negatif dalam diri seseorang, dengan berkembangnya intelegensi, bertambahnya pengalaman, sejalan dengan bertambahnya usia dan dari objek tersebut dapat terbentuk sikap tersendiri pula, tetapi dalam realitasnya ada faktor-faktor lain yang mempengaruhi sikap dan perilaku seseorang seperti pengalaman pribadi, kebudayaan, orang lain yang dianggap penting, media massa, institusi atau lembaga pendidikan dan lembaga agama, serta faktor emosi dalam diri individu dan dalam interaksi sosialnya.


(67)

2. Rekomendasi

2.1.Praktik keperawatan

Peran perawat adalah untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat khususnya pada remaja mengenai kesehatan dan juga menekankan pentingnya pencegahan penularan HIV/AIDS itu sendiri oleh karena itu diharapkan perawat dapat mengembangkan bentuk pendidikan kesehatan yang lebih efektif dalam upaya meningkatkan pengetahuan dan sikap remaja mengenai pencegahan penularan HIV/AIDS dengan melakukan pendekatan pendidik sebaya (peer education) dalam memberikan informasi sehingga diharapkan remaja dapat memperoleh pengetahuan yang maksimal dan informasi yang diterima remaja tidak salah mempersepsikannya.

2.2.Pihak Sekolah

Pihak sekolah dapat bekerjasama dengan petugas kesehatan setempat untuk membuat program pendidikan kesehatan mengenai HIV/AIDS dan upaya pencegahan penularannya dan program tersebut dijadikan kegiatan ekstrakurikuler bagi siswa-siswi SMU Negeri 2 Kota Dumai sehingga diharapkan siswa-siswi dapat memperoleh informasi yang benar dan mampu melakukan penilaian terhadap upaya pencegahan HIV/AIDS.

2.3. Peneliti selanjutnya

Penelitian selanjutnya diharapkan dapat mengidentifikasi hubungan antara pengetahuan, sikap dan tindakan remaja mengenai pencegahan penularan HIV-AIDS dalam kaitannya dengan data demografi atau faktor-faktor lain yang


(68)

memepengaruhinya dengan jumlah yang lebih banyak sehingga hasil yang diperoleh lebih repsentatif.


(69)

DAFTAR PUSTAKA

Adler, M.W. (1996). Petunjuk Penting AIDS. Edisi 3. Jakarta. EGC.

Ahmad, W. P. (2008). Dasar-dasar Metodologi Penelitian Kedokteran dan Kesehatan. Edisi 1-7. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Andayani, A. (1996). Konsep diri, Harga Diri dan Kepercayaan Diri Remaja. Jurnal Remaja; Yogyakarta.

Aprilianingrum, F. (2002). Survey Penyakit Sifilis dan infeksi HIV pada pekerja Seks Komersial Resosialisasi Argoreja Kelurahan Kalibanteng Kulon Kecamatan Semarang Barat Kota Semarang. Dibuka pada website http:/www.health-Irc.or.id.

Arikunto. S. (2005). Manajemen Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta

Azwar, S. (2005). Sikap Manusia: Teori dan Pengukurannya. Edisi Kedua. Yogyakarta:PUstaka Keluarga.

BBKBN.(2009) Harapan Hidup pada 2019 diharapakan70,6 tahun.

Brunner & Suddart. (2000). Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta. EGC

Budimulja. (1999). Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) dalam Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi Ketiga Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Darmasih,R. (2009). Faktor-faktor yang mempengaruhi Prilaku Seks Pranikah pada Remaja di Surakarta. Fakultas Ilmu Kesehatan UMS Surakarta.

Demsey, P.A. (2002). Riset Keperawatan Buku Ajar dan Latihan. Edisi 4. Jakarta: EGC.

Departemen Kesehatan RI. (2008). Menaggulangi HIV/AIDS dan PMS lainnya pada remaja, pusat penyuluhan Kesehatan Masyarakat diakses 26 Maret 2012

Dharmayanti, M. (2009). Overview Adolescent Health Problems and Services. Dianingtyas & Dewi (2007). Hubungan Data Demografi Siswa SMU dengan Tingkat

Pengetahuan Seks, HIV-AIDS & Prilaku Seksual. Reseach UI, Depok Indonesia


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)