Langkah-langkah Pengumpulan Data Proses Pengumpulan Data di Lapangan

4.1.1 Langkah-langkah Pengumpulan Data

1. Dalam tahapan penelitian ini, peneliti memulai dengan studi kepustakaan di perpustakaan guna mengumpulkan buku-buku yang berhubungan dengan judul penelitian yang sedang diteliti oleh peneliti, yakni: ”Pemaknaan Hasil Karya Foto Prewedding Luar Ruangan dalam Wacana Fenomenologis”. 2. Kemudian peneliti melakukan pra penelitian di lokasi penelitian yang bertempat di Jalan Setia Budi Medan. Kemudian peneliti menyusun proposal penelitian. Perbaikan proposal penelitian, kemudian dikonsultasikan dengan dosen pembimbing. 3. Peneliti juga melakukan wawancara dengan fotografer C11E studio foto, guna menghasilkan data-data hasil karya foto prewedding. 4.2 Pemaknaan Hasil Karya Foto Prewedding Luar Ruangan 4.2.1 Hasil Karya Foto Prewedding Luar Ruangan Pertama Sumber : C11E Studio Foto Hasil karya foto prewedding di ambi di Stasiun Kereta Api di Medan dengan tema adalah “Anak Sekolah di Jepang”. Foto ini berceritakan tentang gaya pacaran anak sekolah di Jepang. Di negara Jepang banyak sekali kebiasaan- kebiasaan dalam hal hari-hari menjalani masa pacarannya yang dianggap unik, menarik, dan jauh berbeda dengan negara kita sendiri. Menurut fotografer Anak-anak muda Di Jepang lebih suka menunjukkan rasa sayang, suka, maupun cinta dengan perbuatan, perlakukan dan perhatian dari pada perkataan walaupun di tempat-tempat umum. Jika dibandingkan di negara kita sendiri yang lebih banyak berkata-kata atau rayuan gombal. Rasa sayang, suka maupun cinta dengan perbuatan, perlakuan dan perhatian dapat dilihat di hasil karya foto prewedding di atas. Dimana calon pengantin laki-laki menunjukkan rasa sayang kepada calon pasangan pengantin wanita dengan mengandeng erat tangannya dan menatapnya dengan senyuman walaupun di tempat ramai, padat dan sibuk dengan urusan orang masing-masing seperti stasiun Kereta Api yang selalu dikunjungi oleh banyak orang dari berbagai umur baik anak-anak, dewasa, orang tua dan yang lanjut usia yang sibuk dengan urusan masing-masing. Orang Jepang lebih suka menunjukkan rasa saya dengan perbuatan tanpa melihat lokasi karena orang Jepang beranggapan sesungguhnya rasa suka lebih bisa dibuktikan dengan perbuatan dan sikap. Oleh sebab itu, orang Jepang susah sekali menyatakan cinta dengan perkataan “aishiteru” pada lawan jenisnya karena memiliki banyak arti. Orang Jepang mengartikan “ai” dengan kata “sayang” bukan mengatakan “cinta”, orang Jepang lebih suka memakai kata “aku suka padamu” dari pada “aku cinta kamu”, karena kata “ai” lebih diartikan “saya” www.google.co.id. Pakaian yang digunakan kedua calon pengantin adalah disesuaikan dengan tema yang digunakan kedua calon pengantin yaitu pakaian anak sekolah di Jepang yaitu pakaian hitam putih dan calon pengantin wanitanya memakai dasi dengan sepatu hitam tanpa hak tinggi. Pemilihan pakaian sesuai dengan keinginan calon pengantin, hanya saja fotografer turut menyumbang saran dan ide agar hasil akhir terlihat lebih baik. Pemilihan lokasi dipilih oleh fotografer dan calon pengantin di Stasiun Kereta Api karena anak sekolah di Jepang lebih sering memakai Kereta Api dalam perjalannya jika dibandingkan dengan kenderaan sendiri. Orang Jepang biasanya kalau ingin bertemu dengan pasangan mereka lebih suka memilih janjian disuatu tempat, berbeda dengan gaya pacaran di negara kita sendiri yang lebih suka antar jemput pasangannya. Karena anak sekolah di Jepang jarang punya kenderaan sendiri atau tidak terlalu membutuhkan dan mereka lebih sering menggunakan Kereta Api dalam berkenderaan. Agar lebih terlihat sangat natural, fotografer sengaja mengambil moment saat kereta api sedang melaju kencang, agar sesuai dengan kenyataan bahwa Jepang terkenal dengan kota yang sibuk. Yang lebih menyenangkan dari gaya pacaran anak sekolah di Jepang selain menunjukkan rasa cinta dengan perbuatan, perlakukan dan perhatian tanpa melihat situasi dan kondisi, gaya pacaran anak sekolah di Jepang juga “betsu, betsu” yaitu “bayar sendiri-sendiri”. Walaupun diajak makan berduan di restoran, ini bukan berarti ditraktir dan kalaupun terpaksa ditraktir, biasanya harus balas mentraktir dihari pacaran berikutnya www.google.co.id. Dengan mengambil tema ini, maka berarti kedua calon pasangan pengantin telah kontak pribadi, mengamati atau mengalami sebuah cara untuk belajar lebih banyak tentang pengalaman-pengalaman budaya. Pengetahuan ini lah yang menggambarkan fenomenologi sebagai sebuah tradisi. Proses penafsiran disebut hermeneutika. Penafsiran budaya umumnya disebut dengan etnografi Littlejohn dan Karen, 2009:457. Penafisiran budaya merupakan usaha untuk memahami tindakan sebuah kelompok atau budaya. Clifford merupakan seorang penafsir budaya atau etnograf yang besar Littlejohn dan Karen, 2009:458. Greertz menggambarkan penafsiran budaya sebagai deskripsi padat thick description dimana penafsir menggambarkan kegiatan-kegiatan budaya dari sudut pandang penduduk asli Littlejohn dan Karen, 2009:458. Dalam penafsiran budaya, lingkaran hermeneutika ini merupakan gerakan dari konsep pengalaman dekat ke konsep pengalaman jauh. Konsep pengalaman dekat experience-near concept adalah konsep yang memiliki makna bagi anggota sebuah budaya dan konsep pengalaman jauh experience-distant- concepts memiliki makna bagi orang di luar budaya tersebut. Penafsiran budaya sebenarnya menerjemahkan keduanya sehingga pengamatan dari luar dapat memahami perasaan dan pemaknaan anggota sebuah budaya dalam sebuah situasi. Jika hasil karya foto prewedding di atas dipertanyakan kepada orang lain tentang maknanya, maka dari sudut jauh mungkin orang lain tersebut akan menganggap hasil karya foto prewedding itu tidak cocok karena tidak sesuai dengan budaya Indonesia yang masih ada budaya Timur Tengahnya yang sangat dilarang untuk menunjukkan kemesraan di muka umum. Tetapi jika ditanyakkan kepada orang dari pandangan dekat maka mereka akan menganggap itu cocok dan pantas, karena mereka menganggap itu hal yang wajar dalam berpacaran dan apalagi di zaman sekarang bila dilihat gaya anak sekolah dalam berpacaran tidak memandang tempat untuk menunjukkan rasa sayangnya. Maka masalah-masalah etnografi muncul ketika penafsir kurang dapat memahami perilaku. Pengalaman sebelumnya selalu memberikan semacam skema untuk memahami sebuah kejadian, tetapi etnografi merupakan sebuah proses di mana pemahaman seseorang menjadi lebih halus dan akurat. Oleh sebab itu, sebagai sebuah aktivitas hermeneutika, etnografi merupakan sebuah proses yang sangat pribadi dan proses mengalami pengalaman sebuah budaya. Fotografer juga harus mendalami budaya Jepang sedikit demi sedikit, agar foto yang dihasilkan maksimal. Karena hasil foto tidak akan terlihat alami dan tidak terlihat seperti kenyataan aslinya apabila apa yang diinginkan calon pengantin tidak dapat dimengerti oleh fotografer karena sang fotografer tidak memahami sedikitpun tentang konsep atau tema yang dimaksud. Sebagaimana yang dikatakan oleh Lyall Crawford “Sebagai seorang etnograf, saya hanya menguasai apa yang saya uji- sebuah situasi yang dihadapkan pada kekebalan emosional, ketidakstabilan intelektual, dan kecurigaan akademis. Pemikiran dalam hal ini, mengambil giliran etnografi, menjalani dan menulis tentang kehidupan etnograf, merupakan sebuah laporan diri tentang pengalaman-pengalaman pribadi” Littlejohn dan Karen, 2009:459. Oleh karena mengandalkan pada pengalaman pribadi etnograf sendiri, penafsiran budaya seluruhnya bersifat fenomenologis. Menurut fotografer berdasarkan fenomenologis, foto ini mengandung makna dimana calon pengantin ingin mengenang masa-masa sekolah mereka dulu, saat mereka bertemu pertama kali dan melewati masa-masa pacaran di zaman sekolah. Foto ini ingin mengabadikan masa-masa itu tetapi dengan konsep yang lebih menarik, tidak terbatas dengan gaya anak sekolah di Indonesia saja. Foto ini hanya memiliki makna anak sekolahan, walaupun terdapat perbedaan yang cukup signifikan antara anak sekolah di Indonesia dan di Jepang. Hal itu dapat dilihat dari pakaian dan alat transportasi yang digunakan. Tetapi hal itu tidak mengurangi makna yang dimaksud oleh foto ini. Pemilihan pakaian, lokasi dan gaya pemotretan memang benar-benar disesuaikan dengan tema yang dimaksud. Agar foto ini benar-benar seperti kenyataannya di Jepang sana. Fenomena foto prewedding dengan tema anak sekolahan ini menurut fotografer cukup banyak diminati. Hanya saja gaya dari anak sekolahan itu sering dimodifikasi agar tidak terlihat biasa-biasa saja. Seperti yang sering orang-orang katakan, bahwa masa-masa sekolah itu adalah masa yang paling indah yang tidak akan terulang lagi. Karena alasan itulah maka tema anak sekolahan lebih sering dipakai untuk tema foto prewedding sebelum mereka melepas masa lajang menuju ke jenjang pernikahan. Gaya atau posisi pasangan calon pengantin pun diatur seceria mungkin agar terlihat kesan anak sekolahannya, terlihat kesan anak-anak dan kesan manjanya. Tidak terlihat beban diwajah mereka, seperti disaat mereka dimasa sekolah dulu, ceria, bahagia dan menjalani hidup dengan beban yang tidak berat. Hal-hal tersebut tertuang dan tergambar jelas dalam foto ini. Menurut teori fenomenologis, Fenomenologi berkembang sebagai metode untuk mendekati fenomena-fenomena dalam kemurniannya. Fenomena disini dipahami sebagai segala sesuatu yang dengan suatu cara tertentu tampil dalam kesadaran kita. Baik berupa sesuatu sebagai hasil rekaan maupun berupa sesuatu yang nyata, yang berupa gagasan maupun kenyataan. Artinya fotografer boleh berimajinasi sesuai dengan tema yang diinginkan calon pasangan pengantin, dengan catatan segala sesuatu yang nyata atau pun berupa gagasan, hendaknya tidak boleh lari dari teori-teori atau kenyataan yang ada. Apalagi foto ini menyangkut satu kebudayaan dari negara lain. Hendaknya segala sesuatu tentang kebudayaan itu harus dimengerti atau diketahui.

4.2.2 Hasil Karya Foto Prewedding Luar Ruangan Kedua